“Waktu saya cuma dua hari lagi Pak. Senin dan selasa, lalu selesai. Empat bulan kami berjuang untuk delapan ribu mitra, saya jujur harap-harap cemas. Tapi kita berdoa, semoga...,” kalimat Artha Bachtiar terputus. Kata-katanya tercekat. Ia coba melanjutkan, tapi gagal. Genangan air lalu tampak di matanya yang memerah. Artha menyerahkan mikrofon ke pria di sebelahnya. Sore itu ratusan orang hadir di Jalan Cipaganti 82 Bandung, Jawa Barat. Mereka adalah investor atau mitra usaha Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada. Koperasi bentukan direktur utama Cipaganti Group Andianto Setiabudi ini terbentuk pada 2002. Sejak saat itu hingga kini, 3,2 trilyun rupiah terkumpul. Itu bukan angka irasional, mengingat tiap investor minimal menanamkan modal 100 juta rupiah. Uang dari delapan ribuan orang itu kemudian disalurkan ke unit-unit usaha Cipaganti Group. Para investor kemudian dijanjikan bagi hasil keuntungan dengan rentang persentase bunga antara 1,4 hingga 1,7 persen dengan jangka waktu pengendalian satu hingga lima tahun. Semula semua berjalan seperti biasa, hingga Maret 2014 kemudian tiba. Kala itu banyak investor yang tak lagi menerima dana yang dijanjikan. Padahal, 80an persen mitra usaha berstatus pensiunan. Tak sedikit dari mereka yang mencurahkan seluruh asetnya di Koperasi Cipaganti. Makanya tak heran, ketika keran bagi hasil tertutup, banyak yang kesulitan. Seorang mitra usaha dilaporkan meninggal, tepat setelah bertelepon menanyakan dana investasinya di Koperasi Cipaganti. Satu lagi di hari yang sama, seorang mitra usaha berusia 70 tahun pun akhirnya meregang nyawa. Penyakitnya kambuh setelah tahu bahwa Juli ini koperasi tak bisa membayarkan dana yang ia tanamkan. Itu baru dua contoh. Ada yang bilang sudah sampai sembilan orang mitra yang akhirnya meninggal sebelum uang mereka kembali.
Mada Kresna misalnya. Pria yang tinggal di Bogor Jawa Barat ini harusnya sudah bisa mengambil kembali uangnya pada Juli ini, tepat satu tahun masa tanam modal di Koperasi Cipaganti. Padahal, uang itu akan ia jadikan modal pengobatan. Mada mengalami kecelakaan hingga sebatang pen tertanam di tulang belakangnya. Belum lagi sebuah luka teperban di tumitnya. Ia paling takut jika kakinya sampai harus diamputasi. “Saya juga dapat yah semacam pesangon segala macam (yang disetorkan ke koperasi). Saya butuh biaya untuk operasi segala macam. (Awalnya) saya merasa cukup aman karena perjanjiannya pake notaris. Dan ditambah lagi serugi-ruginya modal saya akan balik. Tapi dengan kenyataannya dengan PKPU segala macam, modal dasar yang PKPU pun tidak akan balik dengan cara sepeti ini. Penuh ketidakpastian dan tidak ada itikad baik,” pungkasnya.
Koperasi Cipaganti sejak Mei lalu dilaporkan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Atas laporan itu, statusnya kemudian menjadi Penangguhan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU. Artinya, koperasi ini dipaksa membayar utangnya kepada investor, dengan mekanisme yang menguntungkan semua pihak. Proses PKPU inilah yang bagi para investor, terasa berat. Empat bulan terakhir, puluhan orang investor merelakan diri menjadi relawan yang mengurusi berbagai upaya agar uang milik lebih dari delapan ribu orang itu bisa kembali. Namun, aral dan rintangan bukan berarti tak ada. Yang pertama, pihak pengelola koperasi dinilai tidak kooperatif. Ketua Koperasi Cipaganti mengaku hanya jadi boneka. Selama setahun menjabat di posisi itu, ia tak pernah diberi bocoran laporan keuangan koperasi. Pengelolaan pegawai juga bukan dia yang mengatur, melainkan ketua dewan pengawas koperasi yang juga menjadi dirut Cipaganti Group, Andianto Setiabudi. Para mitra sebenarnya tak percaya dengan pengakuan itu. Menurut mereka, tak mungkin seorang master mau dibohongi. Lagian kata seorang mitra, gaji ketua koperasi per bulan tembus puluhan juta rupiah. Melalui tim kuasanya hukumnya, Andi menyatakan punya itikad baik. Buktinya ia kooperatif merancang proposal perdamaian. Yang pasti, kini Andianto Setiabudi beserta kakak dan istrinya yang juga punya jabatan tinggi di koperasi, ditahan Polda Jawa Barat. Kata sebuah sumber, sebelum ditahan Andianto sudah menyiapkan rencana kabur ke luar negeri.
Kendala kedua yang dihadapi para relawan mitra usaha, adalah perpecahan pendapat di antara para mitra sendiri. Itu muncul, terutama ketika mereka dihadapkan pada ajuan proposal perdamaian dari pihak Koperasi Cipaganti. Mengakali pengembalian dana nasabah, sebuah proposal disodorkan kepada para investor. Isinya, pihak Koperasi Cipaganti menawarkan pendirian sebuah perusahaan yang disebut PT Pooling Asset. Perusahaan itu nantinya menaungi aset Cipaganti Group di beberapa perusahaan. Kali pertama proposal itu ditawarkan, investor menolak. Yang mereka perlukan dalam waktu dekat sebenarnya cuma pembayaran cicilan uang untuk keperluan hari raya. Andianto menjawab tak punya uang itu. Usulan untuk menjual aset perusahaannya pun ditolak karena menurutnya, kondisi Cipaganti sedang tidak di atas angin. Harga jual bisa jatuh. Andi juga menolak menjaminkan aset pribadinya untuk para mitra. Akibat penolakan itu, seorang mitra menghembuskan mosi keberpihakan panitia PKPU yang seharusnya netral. Ia menilai panitia mengintervensi keputusan Andianto. Seorang panitia berkilah atas tuduhan itu. Katanya, ia sudah bertanya kepada Andianto terkait kesediannya menjaminkan aset pribadi. Namun jawaban sang ikon cipaganti dinilai membingungkan. Pertemuan Andi dan investor hari itu pun berbuah kekecewaan para mitra usaha.
Dua hari menjelang putusan pengadilan terkait nasib koperasi, sebuah pertemuan akbar digelar di GOR Mahaka Jakarta Utara. Tiga ribuan orang dari berbagai daerah, memaksakan diri hadir. Momen ini penting karena nasib proposal yang diajukan koperasi akan ditentukan. Para investor dihadapkan pada dua pilihan: menerima proposal pendirian perusahaan yang isinya telah direvisi sesuai kesepakatan koperasi-mitra usaha, atau menolak itu dan rela Koperasi Cipaganti dinyatakan pailit. Perencana keuangan Aidil Akbar menilai dua pilihan tadi dilematis. “Seperti makan buah simalakama, dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati,” ujarnya mengandaikan. Dengan disetujuinya proposal pun, dana mitra tidak lantas segera kembali. Mereka harus mendata aset yang dimiliki perusahaan itu, menaksir kepemilikan modal usaha untuk kemudian dikembangkan. Masalahnya, tak ada angka pasti. Angka yang disebut-sebut pun jelas tak cukup menutupi utang yang harus dibayarkan ke semua mitra usaha. Kepolisian Daerah Jawa Barat bilang nilainya 800 milyar. Seorang mitra katakan yang ada cuma 100 milyar. Kemana sisa lebih dari dua trilyun lain? Cuma Andianto Setiabudi yang paham. Ia sempat berkilah dana sebesar itu raib akibat kerugian bisnis pertambangan. Harga jual batu bara memang sempat anjlok. Nah apa yang terjadi kalau koperasi pailit? Seluruh asetnya akan dilelang. Aset itu juga akan dikurangi komisi sana-sini, yang nilainya tak kecil. Bisa-bisa mitra tidak dapat apa-apa.
Kericuhan pun pecah. Beberapa mitra usaha mengaku tak tahu soal tawaran proposal itu, padahal perwakilan mereka sudah beberapa kali berembug dengan pihak koperasi untuk merumuskan proposal. Argumen lain berbunyi penolakan muncul karena aset perusahaan belum jelas. Mereka tak mau beli kucing dalam karung, mengambil perusahaan yang belum tentu akan menguntungkan. Padahal audit terhadap aset, baru bisa dilakukan setelah perusahaan itu dikuasai para mitra usaha, yang memegang 99,9 persen saham. Akhirnya, mereka tetap berdiri di kubunya masing-masing meski pemungutan suara terus digelar.
Dua hari setelahnya, sejumlah mitra hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Telat belasan menit, sidang putusan kepailitan koperasi cipaganti akhirnya dibuka. Sidang ini mengagendakan pengesahan hasil voting di GOR Mahaka. Hasilnya, lebih dari 90 persen mitra usaha setuju dengan proposal pembentukan PT Pooling Asset. Namun pengesahan raihan suara itu ditunda hingga delapan hari, karena kendala teknis yang dinilai tidak signifikan. Akhirnya, kini delapan ribuan mitra usaha Koperasi Cipaganti menggantungkan harapan kepada sebelas wakil mereka untuk mengelola perusahaan baru mereka.
Rentetan kisah ini juga berbuah pelajaran bagi para penanam modal yang ingin investasinya ranum berkembang. Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM, Setyo Heriyanto, mengingatkan para calon investor untuk berhati-hati memilih instrumen investasi. Kejelian mendalami koperasi yang akan mereka percayai jadi modal penting. Perencana keuangan Aidil Akbar punya tips lain. Katanya jangan tergiur dengan bunga bagi hasil yang sedemikian besar. Ia menambahkan, bahwa pemerintah atas nama Kementerian Koperasi dan UKM harus membentuk badan khusus yang bisa menangani masalah serupa yang dialami Koperasi Cipaganti. Ide itu mencuat setelah ia sadar, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak punya wewenang menyemprit Koperasi Cipaganti. Celakanya Kementerian Koperasi juga punya jangkauan kekuatan yang terbatas. Undang-undang nomor 17 tahun 2012 dibatalkan Mahkamah Konstitusi setelah seseorang mengajukan judicial review. Padahal di sana, impian Aidil tentang badan pelindung koperasi tertanam. “Sebetulnya sedang disiapkan sih waktu itu,” tutup Setyo. []