“Apa yang kamu lihat dari foto ini?” Tanya pria bertopi itu. Saya kemudian menafsirkan sekenannya, “yang satu lari sebagai hobi, yang lain lari sebagai kewajiban”. Dia tidak menyalahkan, pun tak menyebut jawaban saya betul sepenuhnya. Pria tadi, yang juga melingkarkan syal kain tenun di lehernya, kemudian memaparkan bahwa ada makna lain yang sebenarnya ingin dia sampai melalui foto itu.
Sebuah foto memperlihatkan seorang perempuan berbaju olah raga lengan terbuka. Dengan topi Santa Klaus, ia berlari di sebuah jalan ibu kota. Di seberangnya, barisan tentara juga berlari, beberapa di antara mereka curi pandang ke si perempuan. Di belakang si tentara sebuah ucapan selamat natal dan tahun baru besar terpampang. Ternyata cara tafsir saya terlalu sederhana. Sang fotografer, Erik Prasetya, memaknai rekaman peristiwa itu sebagai mahalnya bayaran atas sebuah rasa aman. Bahwa agar si perempuan merasa nyaman merayakan natal dan tahun baru, atau jogging dengan busana demikian, perlu pengamanan yang jumlahnya juga diperlihatkan di foto. Dari momen itulah kemudian saya sekali lagi dibuat berdecak kagum dengan karya fotografi. Betapa ia multitafsir dan tetap indah. Yang juga membuat saya terkesan, adalah kisah dibalik fotografi jalanan dan tantangannya.
Adalah Erik Prasetya, seorang fotografer yang mendalami dunia pengabadian momen selama setidaknya 25 tahun terakhir. Ia pernah dinobatkan sebagai satu dari 20 fotografer Asia berpangaruh tahun 2012 oleh organisasi Invisible Photographers Asia. Erik kemudian menawarkan sebuah pendekatan fotografi bernama estetika banal. Dengan estetika banal, gerak manusia dan elemen keseharian yang banal atau terkesan biasa, ditampilkan dalam sebingkai keindahan. Estetika banal, juga jadi tajuk pameran foto Erik Prasetya. Sejumlah figur ditampilkan sejak 17 Januari 2015 dalam Galeri Salihara yang melingkar. Foto yang dijepret tahun 1990an berwarna hitam-putih. “Ini (foto hitam-putih) proyek pribadi. Saat itu saya sebagai profesional selalu bekerja dengan warna. Assignment-ku minta warna, sehingga ada rasa kalo pake warna itu kerja profesional, bukan buat saya. Yang kedua hitam putih itu filmnya murah”, ujarnya menjelaskan.
Meski ada yang hitam-putih dan banyak juga yang berwarna, foto Erik bernyawa sama: jalanan. Lokasi semua fotonya adalah jalan. Dari jalanan itu pula berbagai makna dan kisah ia perlihatkan. Misalnya, sebuah foto yang memperlihatkan seorang wanita berambut hijau, bertengger di sebuah jembatan penyeberangan dengan novel filsafat Dunia Sofi di tangannya. Bibir yang hampir tersungging direkam sebagai respon dari senyum yang lebih mengembang dari seorang pria di depannya. “Kalau saya selalu berusaha menebak apa yang akan terjadi. Sebelum terjadi saya harus tahu kejadian berikutnya”, ujar pria asal Padang Sumatera Barat ini mengawali kisah. “Saya foto sekali. Saya ingin lihat reaksi dia, ternyata dia cuek. Kemudian dia berdiri dan menyender. Saya set ukuran, jarak. Udah betul. Bergitu saya lihat gerombolan orang turun, nah ini momen saya. Nah inilah (jadinya). Tapi ini kan yang berhasil, yang gagal banyak juga”.
Pameran estetika banal, bagi Erik Prasetya adalah pertanggungjawaban. “Setiap tahun bikin semacam pertanggungjawaban, catatan tentang Jakarta. Tahun ini saya bikin street, rain and style, paling tidak 40 post card tiap tahun. Nanti setelah 3-4 tahun jadi buku dengan tema lain”, Erik menjelaskan. Selain melalui pameran foto, ia juga meluncurkan sebuah buku kolaborasi dengan istrinya, Ayu Utami. Tentang isinya, ia hanya menarangkan bahwa buku berisi 13 subjudul itu tentang pencarian estetika Erik dan Ayu. Judulnya Banal Aesthetics and Critical Spiritualism.
Buku ini dirilis pada 31 Januari 2015 sore di Serambi Salihara, bersamaan dengan penutupan pameran dan penerbitan buku pertama dari seri novel berjudul besar Spiritualisme Kritis yang digubah Ayu Utami. Titel pertama seri tersebut berjudul Simple Miracle: Doa dan Arwah. Seri spiritualisme kritis itu sendiri berarti bahwa kisah yang dihadirkan Ayu dalam seri bukunya, akan mengupas hal-hal spiritual yang dikaitkan dengan logika berpikir rasional. “Seri spiritualisme kritis adalah refleksi tokoh Parang Jati di seri Bilangan Fu”, ujar sosok yang kisah hidupnya dituliskan sang istri Ayu Utami dalam novel Cerita Cinta Enriko itu menutup percakapan. []