"Dua bulan sejak 25 Desember lalu, ibu seperti menyerah," Yanti bercerita tentang ibunya yang tahun ini berusia 80 tahun. Dengan mata berkaca, ia berulang mengucap terima kasih. Kedatangan tim liputan Metro TV membuat ibu empat anak itu semangat hidupnya mekar lagi, bahkan jika biasanya hanya terbaring, kini ia bisa duduk diatas kasurnya. Sore itu ibunda Yanti melalui telepon meminta putri keduanya itu pulang lebih cepat. "Ibu bilang ada tamu dari Metro TV. Saya kaget," ujarnya jujur.
Malam itu saya dan tim liputan Mata Najwa tiba di sebuah rumah di kawasan Klender Jakarta Timur. Arsitektur rumah itu terlihat khas tempo dulu. Selain satu set meja dan empat kursi di teras depan, sebuah altar sembahyang berdiri di samping rumah. Setelah disambut tuan rumah dan dibekali penjelasan kondisi sang calon narasumber, masuklah saya ke ruangan Nenek Pudjarti, pengasuh Meutia Hatta semasa putri sulung Sang Bung itu masih belia.
"Om swastyastu," akhirnya saya masuk ke kamar Nenek Pudjarti. Ia kemudian menyambut kedatangan saya dengan keramahan yang sama seperti ketika saya menelpon mohon izin wawancara. Saya lalu duduk di kursi diantara dua ranjang, ranjang Nenek Pudjarti dan ranjang tempat suaminya yang berusia 83 tahun berbaring.
Saya langsung menceritakan maksud kedatangan, menjelaskan rencana penayangan wawancara, dan menjamin bahwa Cut Meutia Farida Hatta (Nenek Pudjarti selalu memanggilnya dengan sebutan Cut), merestui wawancara itu. Untaian kisah pun bergulir.
Saya umur 14 tahun mengikuti ibu saya, beliau sebagai penjahit istana wakil presiden. Waktu itu Bu Rahmi Hatta sedang mengandung tua. Waktu itu belum ada gurita, baju bayi, popok, dsb. Itu yang jahit ibu saya. Saya diminta membordir baju itu. Lahirlah puteri pertama bapak wakil presiden tanggal 21 Maret tahun 1947, dinamakan Meutia Farida, di belakangnya tentu Hatta. Karena nenek beliau, ibu dari ibu Hatta orang Aceh, ditambah Cut, sebutan Aceh. Jadi sampai sekarang pu kami menyebut Cut Meutia Farida Hatta.
Setahun setelah Cut Meutia lahir, tahun 1948 tanggal 18 Desember, bapak-ibu wakil presiden bersama rombongan menuju Kaliurang-Yogyakarta, sore berangkat bermalam di Kaliurang. Putrinda Bu Farida Hatta bersama rombongan menyusul. Ternyata ada telepon dari ajudan presiden, memberitahuakan bahwa Bung Hatta harus turun, karena waktu itu bukan bantuan yang turun dari Belanda tapi tentara. Di Lapangan Maguo sudah disiapkan mobil AB 32 untuk pegawai. Saya sudah duduk disana, tapi saya dipanggil oleh Ibu Hatta, pindah di mobilnya ibu-bapak. Pakaian saya kan di AB 32, "sudah gampang tu," kata Bu Hatta. Saya di depan bersama supir. Sampai di Pakem, pesawat terbangnya sangat rendah, dan bomnya dijatuhkan, padahal mobil AB 317 itu sudah dikerudungi oleh daun-daunan, untung tidak terkena. Aduh mati saya, Bu hatta bilang "Ti, ga mati Ti." Ternyata mobil AB 32 kembali ke Kaliurang.
Kita masuk kota Jogjakarta sepi senyap Malioboro, di Ngupasan sebelah gedung agung. Disana sudah ada KNIL yang pamer senjata, tapi Bu Hatta bilang tenang, kita jangan waswas. Beliau menyebarkan peluru di depan kita, bapak wakil presiden di gedung agung, mungkin sedang rundingan dengan Bapak Republik Indonesia Soekarno. Bapak mondar-mandir, akhirnya bawa bendera putih, Indonesia menyerah. Saya bingung harus pulang, gimana, kebetulan ada pegawai kebun yang tinggal di kediaman ibu. Tolong sampaikan ke ibu saya selamat di gedung agung. Akhirnya kami dari ngupasan ada empat yang mengikuti, semua perempuan.
Malam harinya, kami melihat Ibu Fatmawati, Soekarno dengan Mas Guntur dan Bu Mega tidur di kamar mandi menurunkan kasur, kami tidur di manapun. Kata Bung Karno "wis ojo podo wedi". Malam harinya dar der dor, saya hanya nangis. Saya berdoa. "Nah itu bagus berdoa," kata Bung Karno. Terus ternyata mungkin apa itu yang dikatakan perang enam jam di Jogja, saya ga tau belum ingat apa-apa. Ada pegawai yang naik ke pohon, Belanda bilang turun, nanti ditembak. Kita pada ketakutan. Tapi, tiga hari kemudian atau lima hari kemudian Bapak Soekarno sudah disiapkan jip yang akan mengangkut beliau. Disitu saya melihat Bu Fatmawti sedang gandeng Ibu Megawati dan gandeng Mas Guntur, dan Ibu Hatta menggendong Cut Meutia Farida Hatta dengan tangis anak dan ibu sendiri, tapi bapak-bapak dengan tegar dan percaya diri bilang semua akan selamat. Beliau mencium bu megawati. Bung hatta juga mencium bu meutia. Beliau naik mobil dengan dihormati MP-MP Belanda dengan hormat. Mereka menghormati presiden dan wakil presiden republik indonesia. Mereka melambaikan tangan. (Beberapa kalimat terakhir di paragraf ini diceritakan hinnga Nenek Pudjarti menangis).
Pada suatu pagi Ibu Fatmawati ambil sayuran, tapi polisi militer hormati Bu Fatmawati, mereka kawal. Dua bulan kami di gedung agung. Disitu Ibu Fat dan Ibu Hatta dikawal mereka dengan kendaraan mencari tempat tinggal. Sebegitu pengawal kita berpakaian preman supaya tidak ketahuan Belanda, ibu belanja.
Pada suatu hari akan ketemu Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saya diajak Ibu Hatta. Kami diberi tugas Bu Rahmi Hatta ambil nampan dan unjukan. Sri Sultan Hamengku Buwowo ke-9, Sinuwun ya sudah rawuh, kita jongkok sampai di samping Rahmi Hatta, itu nampan bunyi. Bunyi cangkir yang akan dihaturkan. Sinuwun hanya mesem. Aduuuh, bisa melihat beliau mesem tu terobat sekali. Saya yang haturkan unjukan, alhamdulillah selamat, ga tumpah. Lalu mundur lagi. Itulah daya raja itu ga bisa kita orang kecil punya. Bisa menghaturkan unjukan itu ganjaran luar biasa.
Tahun 1950 kita pindah ke Jakarta. Tinggal di Merdeka Selatan. Saya dapat tugas antar sekolah Bu Meutia Hatta, waktu itu umur empat tahun. Kemana Cut pergi mesti saya ikut. Ke Megamendung juga, tempat istirahat ibu-bapak, saban Minggu kita kesana. Dengan mbak Megawati ya dulu kecil-kecil sudah jadi pengibar bendera pusaka. Bu Mega sama Bu Mutia Hatta, ceritanya dulu. Kami juga kadang sowan ke istana, ketemu Bu Fatmawati dengan Mas Guntur, Bu Rahmawati, Bu Sukma, udah seperti saudara. Bu Rahmawati juga berkunjung ke Merdeka Selatan.
Bung Hatta seperti di foto, pendiam tapi kepandaiannya itu, hobinya baca. Nah sekarang Ibu Mutia mewarisi kepandaiannya beliau. Pandai sekali Bu Farida, sudah profesor doktor kan. Udah gitu lahirlah Ibu Gemala Rafiah Hatta. Ibu Rahmi menganggap yang lahir bayi laki-laki karena mengharap laki-laki. Tempat tidur yang model sekarang, warna biru waktu itu karena dianggap laki, ternyata perempuan. Waktu itu dokter Sarwono, dokter untuk kelahiran, dokter Suharto, dokter pribadi dari Keramat dulu. Udah itu kemana pun saya diajak oleh Ibu Hatta, nonton bioskop sudah ada tempat. Di Metropole. Saya nonton mesti ada lima tempat kosong, saya, ayahanda, bukan Bung Hatta. Bung Hatta nggak kerso pergi-pergi. Ibunda, Ibu Hatta, saya, pengawal satu. Nonton film. Ga pernah beliau (Bung Hatta), kecuali acara resmi. Paling ke gunung, ke Megamendung, terus cari ikan, mancing.
Acara dulu tu bagus sekali. Pada suatu saat Indira Ghandi datang ke Indonesia, Bung Hatta sudah siap, Bu Hatta sudah siap. Saya jemput sekolah dulu. Terus dilukis oleh Basuki Abdullah bagus sekali nak, ditempel di tembol di Jalan Diponegoro ada. Wah lukisannya hebat. Di istana, pernah masuk istana? Itu disana lukisannya bagus. Ibu Farida dilukis pake kudung, cannnnntik sekali. Tidak neko-neko kudungnya. Ada di depan istana merdeka lukisannya.
Terakhir saya mau diajak ke Cina dan Jepang, tapi saya sudah disumpah untuk kabinet Presiden Soeharto. Setelah ikut Presiden Soeharto, saya ditanya ketika Bu Meutia mau jadi manten. Biasanya di meja Ibu Tin ada apa? Saya matur, ada satu set beliau kan makan sirih, itu harus ada. Bukan harus, kalau bisa diadakan, itu Bu Tin senang. Kalau keluar negeri bawa nak, jadi sirih lengkap, melati lengkap, itu bawa di ice (box), jadi dingin.
***
Wawancara dengan Nenek Pudjarti berlangsung lebih dari setengah jam. Cuplikan wawancara diatas tayang dalam program Mata Najwa Metro TV episode Istana Punya Cerita. Untuk menyaksikan wawancara Meutia Hatta dengan sisipan wawancara Nenek Pudjarti, klik gambar di bawah. Untuk melihat rekaman lengkapnya, kunjungi http://www.matanajwa.com/read/videolist