Minggu, 17 Januari 2010

indigenous knowledge dalam rasa pedas

Gw sama nyokap, rada anti sama makanan pedas. Kalo nyokap, beliau emang sensitif sama makanan itu. Kalo gw, jumlah keringat yg keluar setelah makan yg pedes2 kurang lebih setara sama jumlah keringat yg keluar setelah gw maen futsal 1 jam nonstop. Kalo gw terlanjur udah makan yg pedas, nyokap suka nyaranin gw minum air hangat. Tapi selalu gw tolak, masa lidah lagi panas dipanasin lagi, ya makin panas dong nantinya. Suatu hari, gw berkunjung ke rumah bibi, disana gw makan pedas, bibi gw juga nyaranin minum air hangat. Ternyata, udah semacam kepercayaan turun-temurun di keluarga gw, kalo udah makan yg pedes, minum air hangat biar ga pedes lagi. Seperti biasa, saran beliau gw tolak, masa kuncup lidah lagi mengembang dikasih panas lagi, ntar makin ngembang, makin pedas.
Beberapa hari kemudian, seperti biasa gw ngaskus (kaskus.us), ada hot thread yang ngebahas hal2 yang biasa kita lewatin sehari-hari. Salah satunya ngebahas masalah solusi setelah kepedesan. Nih ane kasih skrinsutnya.


Setelah baca tulisan itu, akhirnya gw sadar, jangan sepelekan kearifan lokal. Mulai saat ini, gw bakal menurunkan kepercayaan minum air hangat setelah kepedesan ini ke generasi gw selanjutnya.haha.

mestakung, the power of kepepet & parkonson's law

Halo semua, apa kabar? Akhirnya, “can I say?” (hore-punya-blog.blogspot.com) punya postingan baru lagi, dan ini postingan pertama di tahun 2010.yay! ga kerasa yah, udah 2010 aja, berarti udah dua tahun blog ini merekam jejak langkah tuannya ini, subhanalloh. Di posting pertama tahun ini, gw mau cerita tentang sebuah teori yang pak Yohanes Surya bilang mestakung, semesta mendukung, atau yang dalam bahasa Aris Ahmad Jaya disebut the power of kepepet, atau dalam konteks yang lebih ilmiah disebut Parkinson’s Law. Teori yang namanya banyak tadi, intinya sama aja. Kalo kita dalam keadaan tertekan, kondisi kritis, darurat, potensi maksimal kita malah keluar.

Tentang tugas
Sejak tahun lalu, awal desember, bahkan beberapa bulan sebelumnya, tugas MK pengembangan karakter udah dikasih. Malah ada dua, yang tentang internalisasi nilai, sama yang dibagi per judul. Kalo yang dibagi per judul, ngerjainnya gw cicil, soalnya topiknya ga ambigu. hehe, tapi yang internalisasi nilai, selama liburan tahun baru, gw baru nambahin nama sama NRP doang di file itu, parah. Niatnya minggu pertama masuk sebelum UAS mau gw kerjain, tapi hukum inersia newton berkata lain. Hukum ini kan bunyinya kalo suatu benda lagi diem, benda itu bakal mempertahankan posisinya, trus kalo dia lagi gerak, tu benda juga bakal mempertahankan gerakannya. Nah, sebenernya bahan yg terkumpul udah ada, tapi ga gw susun juga, soalnya bingung, ga ada inti ceritanya. Susah mulainya.
Akhirnya, hari minggu tiba, sehari sebelum batas akhir pengumpulan tugas. Tugas internalisasi karakter gw isinya masih nama sama NRP doang, haduh. Akhirnya hari itu gw dedikasikan sepenuhnya ke pengerjaan tugas. Jam 11 gw udah nongkrong di perpus, tapi pencerahan baru datang jam 2, subhanalloh. Berkah itu datang melalui sebuah blog anak GM yg ambil mata kuliah itu taun lalu, dan dapet tugas yg sama. Woohoo! Judul tugasnya kalo ga salah “Swiss: Internalisasi Nilai Melalui Proses Pendidikan”. nah, dari judul itu lalu gw tanya ke mbah gugel, negara apa yang seru dibahas. Akhirnya Bhutan beruntung jadi topik tugas gw. Setelah ilham tadi, hukum inersia lagi-lagi membuktikan diri. Gw nulis hampir ga ada jeda sampe perpus mau tutup, ya salaam. Akhirnya hari senin tugas itu bisa dikumpul, alhamdulillah. Oiya, selama penantian di perpus dari jam 11 sampe jam 2, gw dapet oleh2. hehe, ada lagu barunya Four Year Strong (link downloadnya ada di myspace fys), kabar metal scene kita yg lagi panas gara2 Melody Maker (cek infonya di rollingstones.co.id), lirik lagu melody fall yang judulnya un treno per non so, video ascoltami (masih melody fall),sampe lagu2 aneh dari deathrockstar.info (the fellow, rajasinga, the scooters, sajama cut, dll). Sebagai sajian spesial awal tahun ini, gw lampirkan isi tugas gw tentang Bhutan yang sekarang dipimpin raja berusia 28 tahun dan ga lagi menggunakan Gross National Product (GNP) buat ngukur kesejahteraan bangsanya. Mereka pake Gross National Happiness (GNH). Penasaran? Silahkan tongkrongin tulisan di bawah ini. Ga ada salahnya dibaca dulu (meskipun panjang), semoga menginspirasi dan menambah referensi.
JUDUL
“Internalisasi Nilai-Nilai Karakter di Bhutan”
PEMBAHASAN
Kesejahteraan adalah tujuan utama yang ingin ditempuh setiap bangsa, karena dengan kesejahteraan, kebahagiaan secara nasional dapat terwujud. Pertumbuhan ekonomi pun bagi beberapa negara menjadi target utama untuk tujuan tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi dengan karakter yang baik, hanya akan berakibat pada kehancuran manusia dan kehidupan itu sendiri. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang bersifat kapitalistik akan mengeruk potensi alam dan memorak-porandakan homeostatis natural bumi. Konversi lahan serapan air menjadi vila, konversi hutan bakau menjadi apartemen nomor wahid, pembukaan lahan hutan untuk tujuan ekonomis, semua tindakan itu jika tanpa diiringi kebijakan dalam mengolahnya akan berakibat pada kehancuran manusia itu sendiri. Pada prinsipnya proses pengelolaan alam dalam rangka peningkatan kualitas hidup harus bertolak pada prinsip triple zero, yaitu zero extinction, zero emission, dan zero waste. Ketiga prinsip itu adalah cerminan kualitas karakter manusia yang luhur. Zero extinction berarti bahwa pengelolaan sumber daya tidak boleh mengakibatkan kepunahan yang akan mengganggu keseimbangan komposisi alam. Zero emission adalah falsafah yang menunjukkan proses pengelolaan sumber daya yang berkarakter haruslah meminimalkan pengeluaran zat emisi, sehingga tidak mencemari lingkungan. Prinsip terakhir dalam teori tersebut adalah zero waste yang berarti bahwa proses pengelolaan sumber daya harus meminimalkan zat racun yang merusak lingkungan.
Di tengah hiruk-pikuk kesibukan kebanyakan negara yang mengejar pencapaian ekonomi itu, ada sebuah negara yang pencapaian ekonominya tidak terlalu tinggi, namun ia menjadi negara yang paling bahagia di dunia. Menjadi negara paling bahagia tentunya menjadi tujuan akhir semua bangsa, namun negara ini tak perlu pencapaian ekonomis yang terlalu tinggi untuk menyandang gelar itu. Bhutan, begitulah negara sebenua Indonesia itu biasa dipanggil.
Bhutan adalah sebuah negara kecil di Asia Selatan yang berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Wilayahnya terhimpit antara India dan Republik Rakyat Cina. Nama lokal negara ini adalah Druk Yul, artinya "Negara Naga". Gambar naga di benderanya merepresentasikan hal tersebut. Warna kuning emas melambangkan kekuasaan raja, warna merah jeruk adalah warna jubah Lama (biksu) Tibet yang melambangkan kekuatan spiritual agama Budha, naga putih nan bersih melambangkan negara Bhutan ini, sedangkan mutiara putih digenggamannya melambangkan kewibawaan dan kesucian. Arti Bhutan dalam bahasa Sansekerta ialah “Dataran tinggi di sebelah Tibet”, agama Budha aliran Tibet (Tantrayana) mempengaruhi kepercayaan dan gaya hidup rakyat setempat. Pemerintahan yang dijalankan negara tersebut adalah kekuasaan monarki absolut. Raja Jigme Singye Wangchuck yang memimpin sejak tahun 1972 mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008, sekaligus turun tahta. Saat ini, Bhutan dipimpin oleh seorang raja muda lulusan Oxford University berusia 28 tahun bernama Jigme Khesar Namgyel Wangchuck.
Selama ratusan tahun Bhutan tidak memiliki sistem sensus kependudukan yang lengkap, maka itu statistik kependudukan Bhutan tidak akurat, diperkirakan berpenduduk sekitar 700.000 hingga 1.500.000 orang, terutama didominasi suku Tibet dan suku Nepal. Suku Tibet terutama menetap dan tersebar di bagian barat, kurang lebih 65% dari populasi keseluruhan. Suku Nepal tersebar di bagian selatan, sekitar 35%. Selain itu masih ada suku India. Bhutan adalah negara agama yang seluruh warganya beriman, ada sebanyak 75% warga menganut agama Budha Tantrayana aliran Tibet, sebanyak 25% menganut agama Hindu. Agama Budha aliran Tibet (Tantrayana) mempengaruhi kepercayaan dan gaya hidup setempat.
Meski menjadi salah satu yang terkecil di dunia, ekonomi Bhutan telah berkembang pesat sekitar 8% pada 2005 dan 14% pada 2006. Per Maret 2006, pendapatan per kapita Bhutan adalah US$1.321 yang membuatnya tertinggi di Asia Selatan. Standar hidup Bhutan berkembang dan merupakan salah satu yang terbaik di Asia Selatan. Ekonomi Bhutan adalah salah satu yang terkecil dan kurang berkembang di dunia, yang berbasis pertanian, kehutanan, dan penjualan PLTA ke India. Pertanian menyediakan mata pencaharian buat lebih dari 80% penduduk. Praktek agraria sebagian besar terdiri atas pertanian dan peternakan hewan. Kerajinan tangan, khususnya menjahit dan produksi seni keagamaan untuk altar rumah merupakan industri kecil milik rakyat dan sumber pendapatan. Angka cakupan hutan belantara di Bhutan sebesar 72%, atau berada pada urutan nomor 1 di Asia. Sebanyak 26% tanah di seluruah negeri dijadikan taman nasional. Pada 2005 Bhutan memperoleh hadiah “Pengawal Bumi” dari Pelestarian Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme, UNEP). Di sebelah selatan ibu kota yakni kota kabupaten Chukha terdapat sebuah saluran bawah tanah sedalam 100 meter yang menuju ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Bhutan.
Demi melindungi hutan dan kontur tanah, proyek yang semestinya bisa diselesaikan dalam tempo 4 tahun, akhirnya selesai dalam waktu 12 tahun untuk menembus gunung sejauh puluhan kilometer. Air salju dari gunung yang tinggi dialirkan ke bawah tanah. Sedangkan pada dinding pembangkit listrik itu dipajang 12 lukisan raksasa tentang kisah sang Budha. Karena tidak menghendaki turis yang meluber dapat merusak tradisi kebudayaan dan ekologi, maka barang siapa yang memasuki Bhutan diharuskan membayar biaya visa sebesar US$ 200 (sekitar Rp 2 juta). Pada akhir 2004, pemerintah Bhutan mengumumkan perintah pelarangan merokok di seluruh negeri. Peraturan ini adalah pelarangan merokok kali pertama di dunia, para warganya dilarang menghisap rokok di tempat umum maupun lokasi terbuka manapun. Selain itu pemerintah menentukan, setiap orang setiap tahun minimal harus menanam 10 batang pohon dan juga melarang impor kantong plastik. Bhutan menerapkan aturan umum bahwasanya laki-laki dan perempuan harus mengenakan model busana nasional, kaum prianya berupa sepotong rok terusan yang setinggi lutut, disebut sebagai Gol, kaum perempuan dengan model 3 potong, panjangnya mencapai tungkai dan disebut Kira. Sistem kehidupan yang berjalan di Bhutan adalah struktural fungsional, karena dalam pelaksanaannya, pembagian tugas antar komponen masyarakat sudah tertata rapi.

Kebahagiaan di Bhutan
Bhutan disebut sebagai “Shangrilla di kaki gunung Himalaya”. Sebanyak 97% rakyatnya menganggap diri mereka sangat berbahagia. Bukan kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman. Mereka berpikir bahwa dengan memiliki rumah dan sawah, mereka sudah cukup puas. Orang Bhutan beranggapan bahwa kemiskinan yang sesungguhnya adalah apabila tak mampu beramal kepada orang lain. Karena mereka adalah umat Budha, maka mereka tidak membunuh makhluk berjiwa, itulah sebabnya mereka mengimpor daging dari India. Namun demikian di atas meja makan jarang terlihat makanan jenis daging, melainkan makan sayur-sayuran atau produk dari susu.
Pengalaman kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, sang mantan raja yang tidak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan sebuah negara yang berbahagia sebagai amanah jabatannya. Prinsip kesetaraan, kepedulian dan konsep ekologi menyulap Bhutan menjadi negara besar dalam hal kebahagiaan. Pada 2005, Bhutan menjadi fokus berbagai media besar seantero dunia, teori Gross National Happiness (GNH) memperoleh perhatian seksama masyarakat internasional dan menjadi tema pelajaran ilmu ekonomi yang digandrungi para pakar dan institut penelitian sebagian negara seperti AS, Jepang dan lain-lain. Konsep “baru” dalam pandangan negara maju pada abad-21 ini, diam-diam telah dijalankan di Bhutan selama hampir 30 tahun lamanya. Yang disebut “Model Bhutan” ialah mementingkan perkembangan yang seimbang antara materi dan spiritual, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan proteksi terhadap kebudayaan tradisional diletakkan di atas perkembangan ekonomi, standar untuk pengukuran perkembangan ialah Gross National Happiness (GNH).
Pada tahun 1987, muncul sebuah tudingan yang dicetuskan oleh seorang wartawan dari Financial Times (Britania Raya) bahwa perkembangan di Bhutan lambat. Dalam menanggapi hal itu, sang Raja berkata bahwa "Kebahagiaan Nasional Bruto lebih penting daripada Produk Domestik Bruto". Pernyataan ini memberi pertanda penemuan terkini oleh para psikolog ekonomi Barat, termasuk penerima Nobel 2002 Daniel Kahneman, yang mempertanyakan hubungan antara tingkat pendapatan dan kebahagiaan. Di samping itu, nampaknya kebijakan itu mendapat hasil yang diharapkan seperti dalam survei terkini yang diatur oleh Universitas Leicester di Britania Raya, Bhutan diurutkan sebagai tempat paling bahagia ke-8 di bumi. Dalam survei tersebut, terdapat 12 negara yang penduduknya mayoritas merasa bahagia dengan kondisi yang terjadi di negaranya. Keduabelas negara itu mayoritas memiliki pendapatan perkapita yang tinggi. Namun tidak demikian dengan Bhutan. Meskipun pendapatan perkapitanya tidak setinggi negara lain, negara itu mampu bertengger di urutan kedelapan, mengalahkan Brunei Darussalam, Kanada, Irlandia dan Luxemburg di urutan setelahnya. Sementara itu di urutan pertama, Denmark bertengger sebagai negara yang penduduknya paling bahagia atas kondisi negaranya. Menyusul Switzerland di posisi kedua, kemudian Austria, Iceland, Bahama, Finlandia dan Swedia di urutan tiga hingga tujuh.

Sistem Kehidupan di Bhutan
Bhutan adalah sebuah negara pertanian. Tak ada gedung-gedung mewah yang bisa dijumpai disana, namun kondisi tersebut bukan berarti negara itu tertinggal secara teknologi. Internet café tersebar di pelosok kota. Para petani pun tak jarang yang berkomunikasi dengan telepon seluler. Pemerintah Bhutan rupanya sudah merencanakan semua strategi pencapaian prestasi itu dengan baik. Di sekolah dan tempat-tempat umum, banyak tulisan raja Jigme Singye Wangchuck yang menyatakan bahwa Gross National Happines (GNH) lebih penting daripada Gross National Product (GNP) . Rupanya hal itu turut memotivasi warganya untuk tetap bahagia walau nilai GNP mereka tidak terlalu tinggi.
Hal lain yang perlu dicontoh dari Bhutan adalah bahwa disana tidak ada perbelanjaan militer atau senjata, selain itu rakyatnya dapat menikmati fasilitas medis dan pendidikan dengan gratis. Anggaran belanja negara untuk kegiatan medis adalah 12% dan pendidikan 18% dari APBN. Angka itu berarti 2,5 kali dari belanja negara dalam bidang serupa di Taiwan. Di Indonesia, pemerintahnya sudah mengupayakan agar 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan, bahkan penyerapan anggaran pendidikan pada tahun 2006 telah melebihi angka 20%, yaitu 22,44%. Namun realisasi atau penyerapan dana pendidikan untuk tahun 2008 hanya 16,67%, dan perlu dicari tahu mengapa penyerapannya cuma sejumlah itu. Untuk tahun 2009, dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan juga mendekati 20% dari total APBN. Dalam bidang kesehatan, APBN sang jamrud khatulistiwa ini belum mencapai 15%.
Sejak 20 tahun silam, Bhutan mempercepat laju modernisasinya, sehingga dalam kurun waktu tersebut, persentase melek huruf meningkat 1 kali lipat atau 54%, sementara itu 97% anak usia sekolah telah menyenyam pendidikan, bahkan pemerintah mewajibkan pendidikan dasar bagi warganya selama 10 tahun. Selain itu, hal utama yang diupayakan warganya bukanlah pengembangan usaha, namun peningkatan kualitas pendidikan. Warga Bhutan hidup sederhana dan beriringan dalam balutan budaya aslinya, tidak seperti negara-negara miskin yang meninggalkan dan menganggap budaya lokal sebagai faktor penghambat modernisasi. Di Bhutan, sembilan puluh sembilan persen mahasiswanya yang telah melaksanakan studi di luar negeri, memilih kembali ke tanah airnya dan mengabdi disana.

Peran Internalisasi NIlai Karakter Dalam Proses Pencapaian Kesejahteraan bangsa
Karakter bangsa yang berkualitas, adalah akumulasi dari karakter individu yang baik pula. Dalam sebuah mitos tradisional, proses penanaman karakter, diibarat sebagai seorang manusia yang memelihara dua ekor serigala—serigala baik dan serigala jahat. Serigala itu akan mempengaruhi kehidupan seorang manusia. Jika ia mampu berbuat baik, maka ia seakan-akan telah memberi makanan kepada serigala baik. Namun sebaliknya, jika ia berlaku buruk, maka serigala jahatlah yang ia besarkan. Serigala yang paling berpengaruh ialah serigala yang sering diberi asupan kekuatan oleh pemiliknya.
Pemerintah Bhutan telah berhasil menerapkan peraturan yang mendukung perkembangan karakter baik pada warganya. Hal itu terlihat dari kebijakan lama masa studi dan anggaran pendidikan serta kualitas penerapan budaya lokal yang baik. Menurut teori ekologi keluarga Ully Bronfenbrenner, sekolah adalah mikrosistem yang berpengaruh langsung terhadap sikap dan persepsi seseorang. Seorang pelajar bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam sehari di sekolah. Penanaman nilai-nilai karakter yang baik perlu diterapkan di institusi tersebut. Menurut Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin Ryan dalam Megawangi (2004), ada tujuh kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik. Ketujuh kompetensi itu adalah:
1. Menjadikan diri sebagai contoh
2. Menempatkan pembentukan karakter siswa sebagai prioritas
3. Mengadakan diskusi tentang isu-isu moral
4. Menyampaikan secara diplomasi (bijak) posisi siswa di tengah isu-isu moral yang sedang berkembang
5. Mengajarkan empati
6. Menciptakan suasana kelas yang bernuansa karakter luhur
7. Membuat serangkaian aktivitas untuk mempraktekkan nilai-nilai karakter.

“a teacher in a school should bring up the children with compassion, love, petience, acceptance, peace, unity, and exalted qualities…she must raise children with love, and allow their natural goodness to develop”
(Bawa Muhaiyaddeen)
Selain dalam kehidupan di dunia pendidikan, penerapan pola hidup yang berkarakter juga tercermin di Bhutan dalam aspek lain. Segi kehidupan lain yang juga perlu dicontoh, adalah kehidupan yang harmonis antar warga. Rasanya gelar negara yang bahagia tak mungkin didapatkan Bhutan jika mereka tidak mampu menerapkan kesembilan nilai karakter yang dicetuskan oleh Indonesia Heritage Foundation. Kesembilan hal ini pula yang perlu dicontoh oleh Indonesia agar negeri berjuta pulau ini pun mampu menjadi negara yang makmur. Kesembilan nilai tersebut adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggung jawab
3. Kejujuran, kebijaksanaan
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka menolong, dan gotong royong
6. Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi dan kedamaian dan kesatuan

Kesembilan nilai dan teladan-teladan yang telah diuraikan diatas, tidak akan mampu merubah apapun jika tidak diimplementasikan dalam tindakan nyata. KH Abdullah Gymnastiar, menyatakan bahwa cara agar kebaikan segera tersebar adalah dengan memulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari hal yang kecil. Niscaya, perubahan menuju masa depan yang gilang-gemilang akan segera terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
http://terselubung.blogspot.com/2009/12/bhutan-negara-paling-bahagia-di-dunia.html [Tanggal akses 10 Januari 2010]
http://aureliaclaresta.wordpress.com/2008/03/10/12-negara-paling-bahagia/ [Tanggal akses 10 Januari 2010]
http://www.boncherry.com/blog/2008/11/07/the-new-king-of-bhutan-is-the-worlds-youngest-king/ [Tanggal akses 10 Januari 2010]
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhutan [Tanggal akses 10 Januari 2010]
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29 [Tanggal akses 10 Januari 2010]
http://74.125.153.132/search?q=cache:azz6H2X002EJ:www.depkes.go.id/index.php%3Foption%3Dnews%26task%3Dviewarticle%26sid%3D519%26Itemid%3D2+apbn+kesehatan%27&cd=2&hl=en&ct=clnk&client=opera [Tanggal akses 10 Januari 2010]
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation
Megawangi, Ratna.1999. Membiarkan Berbeda. Jakarta: Mizan