Senin, 20 Desember 2010

MAX!! 2010


Klik pada gambar untuk memperbesar ukurannya :)

MAX!! ASOY \m/

Jumat, 10 Desember 2010

Red Hot Chili Peppers Tampil di IPB

Suatu hari gue lagi jalan di koridor rektorat. Pas ngelewatin auditorium AHN, kok ada rame-rame, masuklah gue. Ternyata disana ada konser internasional. Ga tanggung-tanggung men, yang lagi nampil Red Hot Chili Peppers. Gilaks. Mereka tampil telanjang dada, tato-tato berserakan indah di badan squad pimpinan Anthony Kiddies itu. Band legendaris asal Amrik itu tampil dalam format semiakustik, karena menyesuaikan dengan kondisi kampus (padahal telanjang dada & tato adalah bukti ketidaksesuaian dengan kondisi mayoritas kampus.haha). Setelah khatam dengan beberapa lagu, Kiddies ngasih kesempatan buat satu penonton nyanyi bareng dia di panggung, dan yang beruntung manggung bareng RHCP adalah seorang pria bernama Rheza Ardiansyah, yeah it’s me,yay!  

 


Gue melangkah ke arah panggung dengan penuh rasa jumawa, how lucky I am. Setelah duduk berdampingan dengan sang juru bicara, kami langsung bernyanyi. Nyanyian kami dituntun oleh sebuah partitur yang terpasang indah di hadapan Kiddies. Vokal Kiddo langsung mengalun dalam balutan lagu berbahasa spanyol. Gue sebenarnya bukan diehard fans RHCP, ga semua lagu RHCP gue denger. Oleh karena itu, penampilan duet yang seharusnya spektakuler itu, malah tersendat gara-gara gue ga tau lagu yang di album mana itu yang pake bahasa spanyol. Gue akhirnya cuman babibu aja ngeliatin Tony nyanyi. Si Tony dengan isyarat matanya nyuruh gue baca partitur yang ada di depannya. Pas gue liat, itu not balok. Padahal untuk melakukan kalibrasi notasi ke bunyi, gue butuh waktu sekitar 2 jam, itupun setelah solat taubat dulu, baca surat Al Jin 7 balikan, dan istighfar 33x. Duet kami pun berakhir katastropik, RHCP mengakhiri penampilannya sementara buat nyusun rencana aksi bayaran buat ngebayar kegagalan duet bareng gue.

 

Semua kru RHCP duduk melingkar di lantai panggung bak rapat-rapat di koridor GKA, mereka lagi milih lagu pamungkas. Sementara gw lihat dari jauh, ada Pak Rimbawan yang juga ngasih masukan lagu apa yang baiknya mereka mainkan setelah ini. Beberapa saat setelahnya, lingkaran itu membukarkan diri, mereka lalu keluar auditorium lewat pintu samping yang di deket panggung. Gue turun menyalami Pak Rim, sambil nanya lagu apa kira-kira yang bakal jadi pusaka mereka hari itu. Ternyata lagu terakhir RHCP dalam paket penampilannya di kampus pertanian ini adalah Venice Queen, lagu penutup album By The Way, salah satu lagu yang paling gue suka. Rasanya serotonin langsung mengalir deras di nadi gue, ga sabar pengen nonton mereka bawain lagu itu. Dari dekat panggung gue liat personel RHCP lagi pemanasan, siap-siap manggung lagi. Ada yang loncat-loncat, ada yang mondar-mandir, dsb dsb. Pasti penampilan mereka setelah ini bakal spektakuler. Pintu dekat panggung yang tadi kebuka, ditutup dulu biar ada efek wah-nya pas mereka masuk. Gue ga balik ke bangku penonton, masih di samping Pak Direktur Kemahasiswaan di hadapan pintu itu. Satu detik, dua detik, tiga detik, akhirnya brak! Pintu dibuka, cahaya putih langsung menghambur menusuk mata. Tapi seiring pintu yang kebuka, samar-samar gue denger suara cewe yang manggil. Katanya begini, “reza, gugah, tos siang” (itu bahasa sunda, bahasa manusianya reza ayo bangun, udah siang). Lama-lama suara itu makin repetitif dan jelas. Cahaya silau putih itu lama-lama berubah jadi lampu neon di atap ruang tengah rumah gue. Gue sempet bingung kenapa bisa jadi begini. Ternyata suara cewe itu adalah suara nyokap. Cahaya itu berasal dari lampu, konser RHCP di IPB itu berasal dari mimpi gue di hari pertama bulan syawal 2010. 

 

Begitulah saudaraku, meskipun konser itu baru ada di mimpi, tapi rasanya benar-benar fantastis, kerasa real. Agak kesel juga sih, kok nyokap banguninnya malah sesaat sebelum Venice Queen, kalo diundur beberapa menit lagi pasti lebih impresif. Tapi ga apa-apa lah, mimpi indah malam takbiran itu gue anggap hadiah lebaran dari Tuhan, alhamdulillah, semoga suatu hari nanti jadi nyata. Anehnya, meskipun gue ga terlalu ngefans sama RHCP, mereka cukup intens hadir di mimpi gue. Coba cek link ini. Disana gue nulis tentang Chad Smith (drummer RHCP) yang motong rambut gue sampe botak. Kata Sigmund Freud, kondisi psikologis manusia itu kayak gunung es, bagian yang di bawah air lebih besar dari yang tampak di permukaan. Maksudnya kondisi psikologis manusia bisa ditampakkan dalam tindakan sadar, tapi kebanyakan diperlihatkan oleh alam ketidaksadaran manusia itu. Mimpi itu kan salah satu kondisi alam bawah sadar manusia, nah melalui mimpi itulah sebenarnya kondisi kita diperlihatkan.

 

Tahukah teman-teman bahwa mimpi ini ternyata pertanda dari satu lagi konser kaliber internasional di IPB. Setelah masuk lagi pasca libur lebaran, gue ke ditmawa buat sebuah urusan (pinjem ruang sidang SC kalo ga salah). Ada Pak Rim di ruang tunggu, lagi ngobrol sama kliennya. Pas gue pamit, Pak Direktur manggil, dia ngasih tau kalo bentar lagi bakal ada lagi konser musik dari Erasmus Huis di IPB, MAX!! siap-siap jadi panitia lagi. Sebelumnya di bulan Mei tahun yang sama, IPB dengan kerjasama bersama Erasmus Huis berhasil menampilkan Aurelia Saxophone Quartet, di Auditorium AHN juga. Saat itu MAX!! dan Gentra Kaheman diamanahi menjadi panitia. Enam bulan berikutnya, konser serupa diadakan lagi, dengan artis yang tentu tak kalah bagus. Bahkan awalnya Daniel Sahuleka yang bakal dateng, tapi karena beberapa hal, akhirnya Yuri Honing yang confirm siap tampil di IPB.

Aurelia Saxophone Quartet

 

Yuri Honing Accoustic Quartet


Atas berkat rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, tertanggal 10 November 2010  konser yang sangat outstanding itu terlaksana. Gue jadi inget mimpi tentang RHCP dulu. Menarik ya kalo dihubung-hubungkan. Gue jadi inget kata-kata di Novel “Manjali dan Cakrabirawa”-nya Ayu Utami. Kalo ga salah gini katanya:

“Jika kebetulan terjadi terlalu sering, seorang ilmuwan akan mencari pola, seorang agamawan akan mencari hikmah dibaliknya”

Selasa, 07 Desember 2010

ADA APA DENGAN (KETIDAKKOMPAKAN) AGRIBISNIS?

Oleh: Rheza Ardiansyah (IKK44) / Pembaca Tulisan ADA APA DENGAN AGRIBISNIS?


Ketika berbicara tentang “keluarga”, maka yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah rasa persaudaraan dan kekompakan. Begitu juga halnya dengan “keluarga besar Agribisnis”. Layaknya sebuah keluarga, kekompakan seharusnya menjadi ciri utama. Tulisan ini dibuat untuk menggambarkan paradigma saya terhadap topik yang dibahas pada tulisan yang bertajuk “ADA APA DENGAN AGRIBISNIS?” karya Ginda Permana Putra yang memaparkan pengaruh PEMIRA FEM terhadap kualitas bonding horizontal di departemen Agribisnis. Saya mendapat kesempatan membaca tulisan itu setelah rekan sekelas menemukan kertas itu di Faperta dan menyarankan untuk membacanya.

Dalam paket tulisannya, ketua BP HIPMA 2010 itu memaparkan fakta bahwa “ketidakkompakan” di AGB dipicu oleh PEMIRA FEM yang selama 2 tahun terakhir diikuti 2 calon ketua BEM dari departemen AGB dan nonAGB. Polemik bermula saat ketua tim sukses untuk calon ketua BEM FEM dari nonAGB, justru berasal dari AGB, dan formasi itu bertahan selama 2 tahun. Aksi ketua tim sukses nonAGB yang mempromosikan calon yang didukungnya di depan rekan sekelasnya yang juga mencalonkan diri menjadi ketua BEM FEM, diniliai mencoreng kekompakan keluarga besar Agribisnis. Ginda juga menulis bahwa pemicu ketidakkompakan itu adalah realisasi dari sebuah skenario yang dirancang untuk memecah suara AGB.

Dalam set ide berformat 4 paragraf itu, Ginda menyatakan bahwa tiap orang memiliki hak untuk mendukung dan memilih siapapun, karena kita hidup di alam demokrasi. Namun yang menjadi permasalahan, adalah perihal pantas/tidak berkampanye di depan rival yang ironisnya ada dalam satu ruangan yang sama, sementara topik mengenai pantas/tidak adalah keputusan yang sangat subjektif. Situasi kontradiksio interminis justru saya lihat di tulisan salah satu mahasiswa AGB 44 itu. Jika benar ia mengakui hak memilih di alam demokrasi, mengapa rekomendasi yang ia ajukan justru mengarah pada keseragaman yang identik dengan anti-demokrasi? Jika memang demokrasi dijunjung tinggi, keberagaman warna dalam satu wadah justru harusnya diakui dan dihargai. Analogi yang kiranya tepat mengenai kondisi diatas adalah potret keluarga yang anggotanya berbeda agama. Keharmonisan dan sikap saling menghargai pilihan personal bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Begitu pula dengan perbedaan kayakinan privat mahasiswa AGB atas calon ketua BEM FEM yang ingin dipilihnya. Pengarahan terhadap pilihan tunggal justru akan menghantarkan pada matinya demokrasi, bahkan kemudian komunisme yang muncul. “Kekompakan” yang saya tulis dalam tanda kutip juga bisa membunuh bhineka jika kata itu diartikan keseragaman. Satu-satunya hal yang perlu diupayakan untuk menyikapi perbedaan yang memicu perpecahan adalah penghargaan, apresiasi. Primordialisme departemen juga turut andil dalam ketidakpuasan diatas. Pola pikir mercusuar mungkin—sadar atau tidak—masih melekat dalam benak kita. Citra eksternal lebih diunggulkan dibanding kualitas internal. Melalui tulisannya (yang saya interpretasikan secara subjektif), Ginda terkesan ingin mengunggulkan departemennya dibanding dengan departemen lain di FEM dengan menempatkan salah satu rekannya di kursi kepemimpinan tertinggi mahasiswa di fakultas melalui PEMIRA. Padahal yang harusnya menjadi luaran PEMIRA FEM adalah pemimpin baru yang benar-benar pantas, tanpa mempermasalahkan dari departemen mana ia berasal. Bisa jadi tulisan “ADA APA DENGAN AGRIBISNIS?” justru menjadi pemantik meletusnya isu tentang “kekompakan”. Bisa jadi juga ketidaknyamanan akibat keberagaman keyakinan pribadi adalah bukti bahwa kita belum dewasa dalam memaknai bhineka tunggal ika.

Masif apologi saya haturkan kepada rekan-rekan AGB karena lancang berucap pendapat. Kita yang sekarang duduk di institusi ini adalah pemimpin di masa depan. Jika tidak diingatkan untuk menghargai perbedaan sejak sekarang, maka pemimpin kita esok hari adalah seorang fasis yang mengharamkan perbedaan, sehingga tak ada lagi siklus thesis-antithesis-sintesis yang akan mengarahkan kita pada perbaikan.

Jumat, 19 November 2010

Senin, 01 November 2010

Kartini Sebuli

Awal dari kebangkitan sebuah masyarakat adalah timbulnya minat pendidikan, sehingga dengannya kualitas sumber daya manusia pun meningkat dan mampu bangkit menuju masa depan yang lebih cerah. Hal demikian terjadi di awal era kebangkitan Indonesia melawan penjajah saat kaum priyayi yang beruntung mengenyam pendidikan kemudian menjadi nahkoda kebangkitan bangsa. Namun dewasa ini, sistem sosial masyarakat, kemauan dan akses terhadap pendidikan masih menjadi PR besar bagi peningkatan daya juang bangsa. Selama menjalankan tugas Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sebuli Kecamatan Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan, kami menemukan seorang tokoh yang begitu gigih memperjuangkan diri atas tercapainya pendidikan yang layak. Kartini asal desa lingkar tambang itu bernama Nur Ainah.


Diawali dari televisi
Figur-figur hitam-putih itu tampak ceria di dalam balok kaca. Mereka adalah anak-anak yang beruntung mencicipi megahnya karunia pengetahuan melalui pendidikan. Di hadapan satu-satunya televisi sederhana di desa itu, Ainah cilik duduk terpaku. Rentetan adegan yang dilihatnya kemudian menggugah sebuah kemauan yang kuat terpatri dalam hatinya. Ia ingin berpendidikan tinggi seperti mereka, kemudian menjalani karir di sebuah tempat bernama kantor. Namun ternyata tak mudah menyandang cita-cita yang berbeda dengan sebaya. Sebuli adalah sebuah desa yang suasana relijiusnya begitu kental. Kebanyakan orang tua di desa itu berharap agar anaknya menjadi ahli agama, sehingga alternatif pendidikan yang dipilih adalah pendidikan dengan kurikulum yang dominan berbasis Islam. Rintangan pertama yang ia rasakan demi tingkat dan jalur pendidikan yang ia inginkan adalah ejekan lingkungannya yang lebih menghendaki Ainah melanjutkan pendidikan di pesantren selepas SD. Meski demikian, wanita yang kini bersuami kepala Desa Sebuli itu tetap teguh pada pendiriannya. Begitu pula saat hambatan finansial siap menghadang. Tanpa ragu, Ainah menyatakan siap menuntut ilmu ke SMP di ibu kota kecamatan meski dibekali seadanya.


Tekad mengalahkan alasan
Dalam masa studi di SMP itu, Nur Ainah sangat aktif di kelas. Predikat juara selalu melekat padanya. Ia pun aktif sebagai wakil ketua kelas, bahkan wakil ketua OSIS. Anak ketiga dari 6 bersaudara itu begitu gigih dalam perjuangannya. Tak jarang ia terlibat konflik dengan rekan seorganisasinya karena Ainah tak mau bolos meninggalkan kelas akibat aktivitas organisasi. Hal itu dilakukannya agar ia tetap berusaha adil dan bertanggung jawab terhadap kedua tugas itu.

Suatu hari menjelang kelulusannya dari SMP, sang ayah hadir ke rumah kos Ainah. Ayah Ainah menyampaikan kabar bahwa seorang pria telah melamar Ainah, dan jika bersedia, mereka akan dinikahkan selepas Ainah menyelesaikan studi SMP. Ainah spontan menolak lamaran itu, karena ia ingin melanjutkan sekolah. Tiadanya kekuatan finansial keluarga kembali menjadi benteng penghalang cita-cita. Karenanya dengan menikahkan sang anak perempuan tertuanya, setidaknya beban Ayah Ainah yang harus menghidupi 6 orang anak dengan rentang usia yang tak jauh berbeda bisa dibantu. Untuk keperluan sehari-hari saja keluarga petani gurem itu harus berjibaku, apalagi untuk keperluan sekolah yang nominal kebutuhan biayanya tidak kecil. Lagi-lagi Ainah menantang nasib. Ia bersedia dikirimi seadanya dan mencari biaya hidup sendiri saat SMA nanti. Sekali lagi, tekad kuat mengalahkan semua alasan untuk menyerah. Ainah melanjutkan pendidikan SMK di Pulau Laut dengan biaya hidup yang ia peroleh dari berbagai beasiswa dan hadiah berbagai perlombaan yang ia menangkan. Di ibu kota kabupaten itu, bahkan Ainah ditolong sebuah keluarga asal Bandung yang kemudian mengakuinya sebagai anak angkat.

Masa studi di SMK akhirnya usai. Berkat keuletan serta prestasi yang ia peroleh, Ainah ditawari bekerja di sebuah perusahaan kontraktor batu bara di sekitar desanya. Berkat tekad yang dikombinasikan dengan upaya gigih demi cita-citanya, kini gambaran tentang pendidikan tinggi serta pekerjaan kantor yang ia idamkan benar-benar menjadi nyata. Atas pencapaian gemilangnya itu, Ainah telah mampu menyekolahkan adik-adiknya hingga kini mereka turut bekerja di perusahaan tambang batubara PT Arutmin Indonesia.


Melengkapi diri
Pencapaian tekad personalnya telah terpenuhi, saatnya kini Ainah melengkapi separuh jiwanya yang tinggal di hati lain. Seorang pemuda yang saat itu bekerja pada sebuah perusahaan kelapa sawit beruntung menjadi tambatan hati Ainah. Isanol Fauzi nama pria itu. Mereka akhirnya bersatu dalam satu bahtera pernikahan hingga buah hati mereka pun hadir. Padatnya jadwal kerja harian memaksa Ainah terpisah dengan Naufal Anwar, anaknya. Naufal sering dititipkan di rumah neneknya sementara kedua orang tuanya bekerja. Terkadang saking padatnya jadwal kerja, Ainah baru bisa menemui anaknya setelah seminggu berpisah. Sadar akan pentingnya peran ibu dalam tumbuh kembang anaknya, Ainah memutuskan berhenti dari pekerjaannya setelah 10 tahun menggantungkan pendapatan pada perusahaan itu.

Pasca angkat koper dari tempat kerjanya, Ainah tak hanya kehilangan sumber pendapatan. Akurasi penglihatannya pun turut menurun akibat intensitas interaksi mata dan radiasi layar komputer yang tinggi saat bekerja dulu, akibatnya kini lensa tebal melapisi mata visioner sang kartini. Tak hanya itu, Ainah pun kerap merasakan nyeri di kepalanya. Ekses lain dari durasi kerja yang fantastis adalah vertigo yang juga harus ia hadapi. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk bisa sembuh dari sakitnya. Selain karena ia tak lagi bekerja, suaminya pun belum memiliki pekerjaan tetap selepas kontrak kerja di perusahaannya jatuh tempo. Meski berbagai keterbatasan menghadang, Ainah selalu mengupayakan diri meluangkan waktu bagi anaknya. Tiap pagi ia mengantar anaknya sekolah. Tiap malam anaknya dibantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Kesuksesan Naufal Anwar sepertinya telah menjadi prioritas baru Ainah.


Arti kehadiran kami
Membajanya tekad Ainah hingga mimpi pendidikan tingginya menjadi nyata tak lepas dari stimulus yang ia lihat di televisi. Meski saat itu akses terhadap televisi tidak semudah sekarang, namun muatan yang terkandung di dalamnya tepat dan menginspirasi. Agar generasi muda Desa Sebuli juga termotivasi untuk terus menuntut ilmu, maka mereka perlu mencontoh sebuah model yang bisa diikuti jejaknya. Semoga dengan kehadiran kami di Desa Sebuli, banyak anak yang terangsang untuk menuntut ilmu hingga jenjang tertinggi dan berjuang untuk mewujudkan cita-citanya.




Sabtu, 23 Oktober 2010

Jumat, 15 Oktober 2010

JAVAROCKIN'LAND 2010

Sebuah gelaran apresiasi karya musik kebanggaan bangsa baru saja dilaksanakan. Setelah digelar 3 hari di 10 hari pertama bulan ke-10, Java Rockin’ Land meninggalkan kesan khusus bagi pengunjungnya, termasuk bagi saya yang hadir di hari penutup.





Setelah bertolak bersama rombongan kecil sejawat dari kampus pertanian, kami bersembilan tiba saat Seringai menggeber festival musik terakbar seAsia Tenggara itu. Saya tiba di bibir panggung saat Psikedelia Diskodoom mengalun. Bada menyanyikan salah satu bahan album Serigala Militia itu, Arian13 yang tampil dengan kemeja bermotif bunga mulai bercurah pendapat. “Lagu selanjutnya adalah lagu baru, lagu tentang Tifatul Sembiring”, demikian ex-vokalis Puppen itu melakukan apersepsi. Menurutnya, Tiffsy (personal nickname Arian untuk sang menteri) terkesan pilih kasih dalam mendengar aspirasi dalam jejaring Twitter. Tidak setuju, block. FPI, rangkul. Demikian gelagat pak Menkominfo RI ia kisahkan. Tifatul Sembiring dikritik atas kebijakannya melakukan blokir terhadap semua situs porno yang dapat diakses di Indonesia. Arian tidak setuju dengan aksi itu. Menurutnya, eksotisme yes, pornografi no. Artinya ia setuju dengan pengurangan akses pornografi yang terbuka untuk anak dibawah umur minimal, tapi ia tak setuju bila media penayang kemolekan biologis itu ditutup total untuk semua kategori umur. PKS sucks. Begitu komentar yang Arian lempar atas partai yang pernah dipimpin pak menteri itu. Menurutnya, PKS ingin menjadikan Indonesia seperti di Arab. PKS mengarahkan telunjuk ke kondisi bangsa yang tak seperti mereka inginkan atas terjadinya bebagai polemik di negeri ini. Padahal menurut biduan bernama lengkap Arian Arifin ini, ihwal maraknya bencana, itu akibat posisi Indonesia yang sial. “Bahkan saat kiamat nanti, mungkin Indonesia ini yang akan hancur pertama kali”, tambahnya. Tapi sebelum kiamat mulai bergulir, Arian mengajak audiens untuk bersenang-senang dahulu di panggung itu. Arian mengumumkan bahwa judul lagu baru itu adalah Tifatul Sembiring. Tapi tunggu, setelah nama mantan presiden PKS itu didaulat menjadi judul lagu, kening Ricky sang gitaris berkerut, lalu terbit semacam ekspresi “hey lu ngomong apaan, ini ga ada di skenario”. Prolog berlanjut dengan iringan distorsi dan teriakan “Tiff…Tiffa…Tiffatul!”. Seiring mengalunnya lagu, warna muka gitaris seringai memerah, dan rona itu bertahan selama Tifatul Sembiring berkumandang.


"Tiff...Tiffa...Tiffatul"


Individu Merdeka!

Arian memang cukup buas mengkritik personal dari atas panggung. Dalam sebuah pensi yang diprakarsai SMAN 2 Bandung awal tahun silam, Arian bahkan mempersembahkan lagu Mengibarkan Perang untuk Roy Suryo. Saat itu Arian belum terlalu lengkap memberi penjelasan tentang kenapa Roy Suryo harus ia benci. Buntutnya, ada penonton yang lantang berteriak “Roy Suryo anjing!”. Apa penonton itu tahu siapa Roy Suryo? Apa dia paham kenapa Roy Suryo dirasa pantas disandingkan dengan kata anjing dalam satu kalimat? Mikrofon memang bak pedang bermata dua. Opini juru mic yang tidak diimbangi fakta justru mendidik audiens untuk berpikir dan bertindak secara buta. Lain halnya bila fakta yang dibeberkan. Keputusan tentang sependapat atau tidak menjadi sepenuhnya urusan pribadi, dan audiens diajak untuk berpikir.



Setelah kenyang dengan Seringai, saya melaju ke panggung berikutnya untuk menyaksikan Speaker First. Skuad rock n roll yang ganas itu berpesan agar audiens tak lupa untuk turut mendukung musisi asal negeri sendiri.


Benji & Joel Madden versi Indonesia


Ternyata begitu caranya agar akses mikrofon tetap mudah tanpa mic stand


Sing to your mouth


Vokalis baru Speaker First

Melangkah sedikit ke belakang arena Speaker First, saya tiba di panggung yang menampilkan Jolly Jumper. Saya juga berjumpa dengan Ucay Rocket Rockers yang di hari pertama festival harus memotong durasi tampil yang semula tersusun dari 9 lagu, menjadi 3 lagu karena panggungnya kebanjiran. Berlatar mega dan siluet pesawat, band yang namanya serupa kuda si koboy Lucky Luke itu tampil dengan kalimat selingan antar lagu yang monoton. Soal musik, band ini tetap membiaskan suasana seperti band-band emo lain. Namun jika dianalogikan dengan semangkuk mie bakso, penampilan Jolly Jumper petang itu kurang saus dan kecap karena suara scream tak terdengar sepanjang penampilan mereka.


Jolly Jumper kurang binal


Pesan sponsor

Saat Jolly Jumper menyanyikan Siklus Tanpa Arah sebagai penutup, beberapa orang terlihat berlari menuju sebuah panggung. Mereka tak mau melewatkan detik-detik penampilan The Vines. Band asal Australia itu tampil selama kurang lebih satu jam dengan menyuguhkan titel-titel andalan semacam Mrs. Jackson, Outtathaway!, hingga Get Free. Di penghujung penampilannya, sang vokalis melempar dan menghantam gitarnya ke drum.


Kiprah The Vines sempat tertunda akibat pengobatan sindrom autis sang vokalis


Akhiri dengan destruksi

Selanjutnya saya bertandang ke panggung yang menghadirkan Koil. Band dengan vokalis berambut panjang lurus itu malah berbagi hadiah. Dua pasang sepatu boots mereka berikan kepada 2 audiens yang beruntung berulang tahun di sekitar tanggal keramat 10-10-10 dan memakai kaos Koil atau Armada. Ya, Otong sang vokalis mengaku menyebut nama Armada bukan bermaksud mengejek, tapi Armada memang kawannya. “Sama-sama band sukses”, begitu katanya. Tak hanya boots, sebuah gitar pun Otong relakan untuk dibawa pulang seorang Killer (fans Koil) wanita. Biduan bernama lengkap Julius Aryo Verdijantoro itu menyatakan bahwa aksi bagi-bagi hadiah itu adalah salah satu upaya promosi dan bagi rezeki. Otong tentu tak lupa tugas utamanya di panggung itu. Nomor-nomor kenamaan macam Karat hingga Kenyataan Dalam Dunia Fantasi dibawakan bersama 7 lagu lainnya. Setelah mewarnai performanya dengan aksi destruksi gitar, Otong berpesan agar umatnya menjauhi narkoba, karena jika tertangkap polisi, biayanya mahal. Atau menurutnya, boleh menyimpan narkoba asal tak ada aparat yang tahu.


"Nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran"


Boots pertama dilepas


"Black Light" Shines On


Boots kedua direlakan


Gitar pun diikhlaskan

Arena berikutnya yang saya kunjungi adalah lahan yang digarap GRIBS. Kuartet berambut gondrong dan kribo itu tampil dengan performa maksimal. Bahkan di judul Rock Bersatu, Rezanov berbagi podium vokal dengan Dodi Hamson, sang juru suara Komunal. Salah satu hal yang menarik dari penampilan GRIBS adalah kehadiran ornamen di batang penyangga mic dan diatas bass drum. Entah apa kesan sebenarnya yang ingin ditampilkan dengan kehadiran penyangga ambing itu. apa itu artinya mereka playboy penakluk betina? Atau mereka hypersex yang juga berselera menikmati bungkus? Entahlah.


Dodi Hamson menemani Rezanov mengakhiri penampilan GRIBS


Apa perlu benda berwarna hijau dan jingga itu hadir di panggung band dengan musik yang kesan awalnya glamor?

Tak jauh dari panggung GRIBS, ada Royal Ego yang sedang beraksi. Mereka tampil dengan lagu yang temanya beragam. Topik-topik banal macam kaum buruh hingga kemacetan berhasil mereka bawakan bak dongeng puitis yang disampaikan oleh juru mikrofon yang berbalut syal berkombinasi topi khas Picasso dan penghayatan maksimum hingga slot geraham depan di rahang atasnya yang lengang bisa jelas terlihat.


Expressively Poetic

Kulu nafsin daiqotul maut. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Petikan ayat Quran itu terucap setelah sebuah lagu yang sarat dentuman dan distorsi bergemuruh. Tepat tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 jam 10 malam, Purgatory menebar hawa islami di JRL. Teriakan takbir riuh bersahutan di setiap sela lagu. Meski tampil dengan topeng dan cat muka, band metal satu jari itu istikomah melantunkan lirik-lirik religius Islam. Kisah Qurani tentang Nabi Yunus terbungkus rapi dalam Jonah. Pun demikian dengan Battle of Uhud yang menceritakan peristiwa perang di era nabi. Alunan puji untuk sang rasul ada di lagu MOGSAW, Messenger Of God Solallohu Alaihi Wasallam. Aksi Purgatory makin impresif dengan maraknya crowdsurfing beberapa personil.


Api pembersih dosa, Purgatory


Islam dalam irama distorsi

Dalam booklet jadwal tampil, harusnya Royal Ego dan Netral tampil di interval waktu yang sama. Padahal drummer kedua band itu adalah satu pria yang sama, Eno Gitara Ryanto. Royal Ego lalu bertukar jadwal dengan sebuah band minim distorsi namun tepat maksi dalam aksi. Mereka adalah The Trees And The Wild (TTATW). Awalnya saya tak berniat menyaksikan trio pejantan itu, namun tertundanya aksi Netral menjebak saya ke hadapan TTATW. Meski telah menyaksikan mereka sebelumnya di event lain, nyatanya saya tetap bertahan menikmati pencetak album Rasuk itu. Remedy dkk. benar-benar membius audiens yang kebanyakan wanita. Menyaksikan performa mereka adalah puncak orgasme musikal saya malam itu, terlebih ketika Derau dan Kesalahan mengalun syahdu. Teriakan “derau dan kesalahan dan penat” benar-benar menguapkan gemerisik noise, penyesalan atas kesalahan dan kebosanan aktivitas seminggu lalu.


As i say, orgasmic

Pasca menikmati aliran serotonin yang dipicu TTATW, saya melenggang ke panggung yang tadi sore dijamah Seringai dan kini digagahi Netral. Jenggot dan kumis tebal menjadikan Choki seperti tokoh di belakang manusia modern dalam skema perkembangan evolusi manusia. Bagus terlihat tetap prima meski tubuhnya mekar. Eno pun tetap tampil eksotis dengan permainan drumnya yang sarat variasi ketukan unik. Di akhir lagu Garuda di Dadaku, Choki dan Bagus turut menabuh floor tom, sementara sorak penonton menjelma menjadi suara latar.


"Kuyakin hari ini pasti menang"


Duet string

Netral turun panggung saat Superman Is Dead masih mengaum di panggung sebelah. Satu lagu tersisa sebelum trio asal pulau dewata itu mengucap perpisahan. Lagu itu didedikasikan untuk salah satu musisi senior Indonesia, Franky Sahilatua. Dengan line vocal yang diisi Eka Rock yang juga menjabat bassis, Kemesraan syahdu mengalun hingga bagian terakhir sebelum reff. Tapi hey, ternyata bagian reff diisi intro Jika Kami Bersama yang terus berlanjut hingga akhir lagu, baru kemudian lirik “kemesraan ini janganlah cepat berlalu” bisa didengar. Formula ini pernah saya cicipi di pentas seni anak SMA yang telah diceritakan di awal. Saat itu SID berbagi singgasana dengan raja-raja Jogja, Shaggy Dog.


Nobody's Perfect, Superman Is Dead


"Kemesraan ini janganlah cepat berlalu"

Saat Purgatory tampil, mereka sempat berdakwah tentang fitnah akhir jaman, tentang eksistensi Dajjal si mata satu, yang simbolnya sudah banyak bertebaran, bahkan menurutnya sudah banyak band yang bersimbol mata sebelah. Tanpa mereka duga, di panggung yang sama, beberapa jam setelah pernyataan itu terlontar, sebuah band dengan simbol satu mata di masing-masing bass drumnya yang sepasang menjadi band terakhir yang meramaikan JRL tahun ini. Sang penutup festival itu adalah Deadsquad. Titel-titel andalan dari Manufaktur Replika Baptis, Hiperbola Dogma Monotheis, Dominasi Belati hingga Horror Vision, khatam mereka lafalkan. Meski Bagus mengkhawatirkan stamina Choki saat mereka tampil atas nama Netral tadi, ex-gitaris Base Jam itu tetap menunjukkan cabikan maut di fret gitarnya saat unjuk aksi bersama Deadsquad. Begitu pula dengan Boni yang siang harinya tampil di Pasar Seni ITB besama Raksasa, pengahayatannya tetap maksimal. Soal konstan tidaknya ketukan drum serta menderunya bunyi alat pukul itu, tak usahlah rasanya kita ragukan Deadsquad. Begitu juga mutu raungan Daniel. Sepertinya dia punya 2 pita suara dengan karakter bunyi yang juga berbeda. Stevi Item? Dia bahkan jauh lebih “gondrong” dibanding saat menggenjreng di Andra & The Backbone. Menjelang lagu pamungkas, Daniel menyatakan salut atas antusiasme hadirin yang tetap mendukung musik setan. Hail satan, katanya. Perhelatan semu merah-hitam memang menarik di panggung satu ini.


Pasukan mati

Atas pernyataan musik setan Deadsquad tadi, saya tertarik untuk menarik informasi lebih dalam. Melalui Twitter, saya bertanya ke Boni. Bassis yang di Twitter dikenal dengan nama @bijiganja itu menyatakan bahwa intinya pernyataan Daniel tidak bisa digeneralisir ke Deadsquad. “Itu mungkin pendapat Daniel doang, gue cenderung ga peduli, gue Cuma mainin musik yang gue suka”, begitu pungkasnya. Saya lalu menceritakan kisah yang dituturkan Purgatory tentang mata satu. Bagaimana Deadsquad memaknai simbol itu? Boni mengaku tak tahu dan tak peduli dengan makna simbol mata satu, ia juga menyatakan tak percaya takhayul. Menurut bassis tanpa rambut itu, penggunaan simbol satu mata adalah salah satu alat dagang, sama seperti band sebelum mereka yang menggunakan dakwah sebagai alat dagang.



Di JRL 2010, ada 8 panggung yang hampir seluruhnya diisi penampil secara serentak. Hal itu tentu mengakibatkan tingginya Opportunity Cost, apalagi bila 2 atau lebih band yang wajib tonton, tak bisa kita saksikan karena waktu tampilnya yang beririsan. Demikian pula yang saya alami. Satelah puas dengan penampilan Royal Ego, saya menuju bibir sebuah panggung yang masih dipadati penonton, padahal arena artis telah gelap. Mereka meneriakkan satu kalimat yang sama, We Want More! Saya lalu bertanya pada seseorang, band apa tadi yang tampil? Mutemath katanya. Bahkan musisi yang baru lengser panggung itu menyuguhkan penampilan terbaik hari itu. Lemas rasanya setelah mengetahui bahwa saya telah melewatkan menu utama. Apalagi saat maraknya ulasan di media tentang betapa perkasanya Stryper dan Wolfmother yang tidak saya tonton, menyesal rasanya. Karenanya, saya berintrospeksi bahwa jika ada sebuah konser, maka pelajari dulu band-band yang akan hadir di pentas itu. Jika ada band internasional yang hadir, dahulukanlah untuk menyaksikan mereka. Kapan lagi bisa dengan langsung menyaksikan musisi kelas global? Selanjutnya, agar seni audiovisual bisa dikalibrasi menjadi seni visual, siapkan kamera dan baterai cadangan (karena masalah dengan catu daya, kamera tidak bisa saya gunakan. Kamera handphone yang kualitasnya lebih rendah akhirnya jadi pilihan). Terakhir, tempatilah posisi strategis di sekitar panggung, siapa tahu kita dikaruniai oleh-oleh gratis. Akibat tips terakhir tadi, saya beruntung membawa pulang 1 pick gitar Donijantoro Koil dan 1 stik drum Purgatory.
Secara keseluruhan, saya puas dan bersyukur bisa hadir di Java Rockin’ Land 2010. Karena kabarnya Metallica akan hadir di JRL tahun depan, mari menabung untuk Java Rockin’land 2011.


Bersama Rektivianto Yuwono THE SIGIT

Selasa, 21 September 2010

Kuliah Kerja Profesi (Part 3)

Jika pada mining tour pertama kami mengunjungi tambang di Site Senakin, maka di babak dua tur tambang ini kami berkesempatan berkunjung ke terminal batubara di Pulau Laut.





Sekembalinya dari pulau laut, kami mengendarai speed boat Sadewa, speed boat besar yang biasa digunakan PT Arutmin. Di jalur perjalanan, kami mampir ke pantai Tanjung Batu. Tanjung Batu adalah ibu kota kecamatan Kelumpang Tengah. Pantai di daerah sana juga tak kalah eksotik.








Suatu hari, kami harus ke Pulau Laut untuk menempuh salah satu proses pelaksanaan program. Kami berangkat menuju pulau laut dengan Sadewa, tapi kembali ke Sebuli tidak dengan speed boat yang dijamin aman itu. Pagi itu kapasitas maksimal Sadewa sudah terpenuhi. Kami akhirnya kembali ke Sebuli dengan menumpang speed boat umum yang ukurannya lebih kecil dan terbuka. Bayangkan Anda duduk hampir sejajar dengan permukaan laut. Bayangkan Anda khawatir kendaraan yang ditumpangi diatas air terombang-ambing gelombang laut. Itulah yang kami rasakan dalam perjalanan itu.
Selama perjalanan menuju seberang pulau, kami dihibur rimbun mangrove. Setelah melewati tambahan setengah jam dari durasi yang biasa ditempuh dengan Sadewa, kami sampai di dermaga desa Geronggang. Dari Geronggang, kami harus menyewa mobil dan menempuh satu jam perjalanan lagi menuju Sebuli.







Setelah melalui lebih dari lima puluh hari di lokasi KKP, kami akhirnya meninggalkan Sebuli dan kembali ke Bogor. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kalimantan, kami melewati hari dengan menyusuri sungai Barito, mampir ke Pulau Kembang yang dihuni berpuluh monyet. Kami juga tak lupa membeli souvenir di Martapura.














Pesona Kotabaru tak hanya habis di citra visual. Lidah Anda juga akan dibanjiri saliva saat manisnya makanan khas banjar memasuki rongga mulut. Mari, saya perkenalkan satu-persatu.


Kue Kararaban


Bingka pecah di ilat


Menu standar prasmanan Desa Sebuli


Amparan tatak pisang

Sekarang kita akan menikmati kisah dibalik figur di bawah ini.


Di sore hari, kami ikut serta para pemuda bermain sepak bola. Tak jarang pembekal--yang berdiri diantara saya dan Yudhis dalam foto diatas--juga turut bermandi peluh bersama warganya


Bersama tim pengibar bendera kecamatan Sampanahan


Di hadapan warisan Belanda


Berlatar sungai sampanahan


Jalan menuju luar Sebuli



Yudhis membulatkan bilangan tahun usianya dengan kejutan berupa siraman di malam hari dan kue yang dibuat warga


Markas kami


Tim kuliah kerja profesi bersama jajaran tim comdev PT Arutmin Site Senakin