Jumat, 24 Februari 2012

Tentang Kami dan Kita

Seorang teman rupanya tersinggung. Ketika itu saya memperbaiki penggunaan kata "kita" dan "kami". Mulanya saya kira tak ada buntut setelah di akhir koreksi saya berkata lirih, "sori". Ternyata setelah sekian hari berlalu dan kami dihadapkan ke satu sumber suara yang sama, ia menyinggung lagi urusan kita-kami. Katanya pembicara di depan saja bilang kita, bukan kami. Saya bilang si pembicara salah. Teman saya lalu tersenyum kecut.

Saya heran kenapa kita dan kami ini jadi sering tertukar begini. Mungkin ini gejala yang sama ketika kata "tuan" dan "nyonya" berganti menjadi "anda" di tahun 50an. Ketika itu Rosihan Anwar memperkenalkan kata ganti orang kedua itu sehingga berkesan setara. Meski mungkin memang benar ini gejala bahasa yang bisa benar-benar terjadi, saya merasa geli sendiri jika terus membiarkan gejala itu menunjukkan bahwa poin ketiga sumpah pemuda sedang memudar. Penggunaan kata kita (aku dan kamu) untuk menggantikan maksud kami (aku dan orang lain, tidak termasuk kamu), adalah proses membahasa inggriskan bahasa indonesia. Dalam bahasa inggris, kami dan kita diwakili satu kata yang sama, "us" atau "we". Lalu saat ini di Indonesia, pernyataan "kami putera-puteri bangsa indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indonesia" sudah kehilangan esensi. Sumpah pemuda malangnya seakan diketok sebatas slogan. Maka dengan ini saya mengajak teman-teman untuk kembali menggunakan kami dan kita sesuai dengan porsinya masing-masing. Kalau kita terus memaklumi kosongnya eksekusi semboyan di Indonesia, sudahlah lebih baik bangsa ini melaju sendiri di atap kereta-kelas-ekonomi tren, tanpa identitas dasar yang menjadi pembatas lintasan. Lupakan bhineka tunggal ika, buang ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani, kasarnya demikian. 






Coba teman-teman tengok arti kata "kita" di sumber ini dan ini. Atau arti "kami" di sini dan sini. Terlihat kan bedanya?

Berikut bacaan yang sangat saya rekomendasikan untuk sejawat baca. 
“Kita” dan “Kami” pada 2012
Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIAL
Sumber : KOMPAS, 5 Januari 2012
Beberapa tahun belakangan saya cemas melihat, mendengar, dan membaca media massa—elektronik atau cetak, juga media sosial—serta percakapan sehari-hari yang mencampuradukkan saja pengertian dan penggunaan kata ”kita” dan ”kami”.
Sekarang semua cenderung memakai kata ”kita”, padahal yang dimaksudkan adalah ”kami”. Sepasang selebriti yang sedang pacaran ketika ditanya media infotainment menjawab, ”Yah, kita jalani saja, sekarang kita belum serius.” Menteri menjelaskan kepada wartawan, ”Masalah itu sedang kita proses”; dan presenter stasiun televisi berkata, ”Kita menyiapkan sebuah acara menarik untuk Anda.” Padahal, semua ”kita” itu, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, seharusnya ”kami”.
Lebih kaget lagi ketika saya bertanya kepada mahasiswa saya (Psikologi, semester I): apa bedanya ”kita” dan ”kami”? Satu kelas, sekitar 50 mahasiswa, bingung. Salah satu mencoba menjawab, ”Kita itu kalau sedang berdua atau kelompok kecil. Kalau kelompoknya besar: kami.” Yang lain diam seribu bahasa. Gubrak! (bahasa gaul). Hampir pingsan saya. Orang Indonesia sudah tidak bisa lagi membedakan antara ”kita” dan ”kami”.
Fuad Hassan, dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1974 (dalam versi bahasa Inggris: Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness, Winoka, 2005), menyatakan bahwa ”kita” dan ”kami” bukan hanya merupakan ciri khas bahasa Indonesia, melainkan punya makna budaya dan cara berpikir bangsa ini. Bahkan, Fuad Hassan membuktikan tesisnya bahwa orang Indonesia menjadi neurosis (stres, depresi, cemas, dan sebagainya) karena kehilangan kemampuannya ber- ”kita” dan hanya bisa ber-”kami” saja.
Dalam bahasa Inggris (dan Belanda yang saya pahami sedikit selain Inggris), tidak ada pengertian ”kita”. Yang ada hanya ”kami” (Inggris: we) sebagai jamak dari ”aku” (Inggris: I), sebagai lawan kata dari ”kamu” atau ”kalian” (you). Adapun tentang pihak ketiga, bahasa Indonesia ataupun Inggris sama-sama memilikinya: dia (he/she) untuk tunggal dan mereka (they) untuk jamak.
”Kami” yang Melebur
Akan tetapi, bahasa Indonesia memiliki ”kita” yang berarti ”aku/kami dan kamu/kalian sebagai bagian dari satu kebersamaan”. Berbeda dari ”kami” yang berarti ”aku bersama teman-temanku atau kelompokku atau kerabatku, sedangkan kamu/kalian bukan bersama aku”.
Ketika seseorang ber-”kita”, dia meleburkan dirinya kepada diri-diri orang lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya (ke-”kami”-annya). Kami orang Ambon-Kristen dan kami orang Ambon-Muslim bisa saling berseteru, tetapi bisa saling bersatu, sebagai sesama orang Ambon. Kami orang Ambon, kami orang Jawa, kami orang Sulawesi, bersama menjadi kita bangsa Indonesia. Terjadilah Sumpah Pemuda (1928) yang berujung kemerdekaan Indonesia (1945).
Namun sekarang, ketika bangsa ini kembali ke ke-”kami”-an masing-masing (dengan salah sebut sebagai ”kita”), bisa diramalkan akan berkeping-kepinglah jadinya bangsa ini. Kita LSM (kamu pemerintah), kita rakyat (kamu polisi), kita Muslim (kamu Kristen, Syiah, Ahmadiyah), kita Madura (kamu Dayak, Melayu), kita STM anu (kamu SMA itu), dan seterusnya. Ujung-ujungnya bukan NKRI yang jaya dan rakyat sejahtera, melainkan jahit mulut, rakyat ditembak polisi, polisi dibacok rakyat, bom, dan sebagainya. Itulah keadaan bangsa ini pada tahun 2011.
Bagaimana 2012? Kita (bukan kami) harus kembali ke semangat ke-”kita”-an untuk mencapai Indonesia bersatu, bersama, damai, sejahtera, dan makin maju. Semua eksponen bangsa harus ber-”kita” bangsa Indonesia untuk selesaikan semua masalah. Dari kasus Mesuji sampai Bank Century, dari pilkada sampai pemilu, dari agama sampai etnik dan politik. Pokoknya semua.
Semangat ke-”kita”-an itu ada pada saat seluruh bangsa Indonesia bersorak ketika timnas sepak bola Indonesia mencetak gol ke gawang lawan. Yang Muslim, yang Kristen, yang Papua, yang teroris, yang Golkar, PDI-P, atau Demokrat, semua bersorak: ”Goool...!!!” Tak peduli apakah yang mencetak gol Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Titus Bonai, Andik Vermansyah, atau mungkin juga Markus Haris sekalipun.
Untuk memperkaya kasus keganjilan dan koreksi tentang penggunaan bahasa, coba teman-teman buka tautan dari the poskamling ini. isinya jelas, informatif dan menarik.

Minggu, 19 Februari 2012

Tentang Yang Tertinggi

Benar kata Trifty, insting dasar manusia itu ada 3: bertahan hidup, punya keturunan dan punya tuhan. Sejarah pencarian Tuhan yang saya baca di buku History of God karya Karen Armstrong diawali bangsa Yunani yang ketika itu menafsirkan gejala alam dengan kehadiran tuhan berupa dewa. Matahari disebut apollo, bumi disebut gaia, langit aeon, dan lain-lain. Tapi diantara banyak dewa/tuhan tadi, ada yang tertinggi, Zeus.


 
Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapaknya para nabi. Kisah pencarian tuhan nabi Ibrahim (yang pernah ngira matahari tuhan, ternyata bukan. Bulan itu tuhan, ternyata bukan) menghasilkan kesimpulan bahwa ada tuhan tunggal yang abadi yang ga mungkin hilang-hilangan kayak benda yang dia kira tuhan tadi.

Di Hindu, dikenal Brahmana. Kata itu mirip Ibrahim di Islam. Nabi Ibrahim di Islam punya istri Siti Sarah. Di Hindu selain Brahmana juga ada Sarasvati. Dalam agama tertua itu ada konsep yang tertinggi yang disebut Sang Hyang Widi.


 
Nabi Musa, ketika ditanya tuhannya siapa, dia bilang "Tuhanku yang satu". Nabi Muhammad ditanya siapa tuhannya, dijawab "qul huwallohuahad". Jadi, seperti yang dibahas di film cin(t)a, kita menyembah tuhan yang sama dengan cara yang berbeda-beda. 


*ilustrasi zeus diambil dari sini
*ilustrasi brahma diambil dari sini
*ilustrasi cin(t)a diambil dari sini

Can I Say Jadi Media Partner

Saya masih inget, waktu itu hari Jumat, saya buka Twitter dan taulah bahwa dalam waktu dekat bakal ada 2 acara musik seru, pensi Regina Pacis Bogor dan Bazaar SMA 2 Bandung. Ke kedua panitia acara itu, saya menawarkan diri untuk jadi peliput atas nama Can I Say Magazine. Untuk Pensi di RP, intinya semua lancar. Sampai acara beres pun saya hadir buat meliput langsung. Nah buat yang kedua ini ada cerita khususnya. Can I Say ngeliput acara SMA 2 Bandung jadi spesial karena itulah kali pertama majalah digital yang dirintis sejak Agustus tahun lalu itu jadi media partner resmi, sampe logonya dipajang di media publikasi acara.

Hari Jumat itu saya SMS humas Bazaar SMA 2. Mereka menyambut positif itikad baik dari Can I Say buat meliput. Katanya mau jadi media partner ga? Kalau mau kirimin logo siang itu juga. Saya bilang ga usah, nanti Can I Say bantu publish di social media. Tapi si panitia bilang sayang, soalnya lumayan biar logonya dipajang, lagian bentar lagi mau dicetak. Dipikir-pikir, oke juga Can I Say nampang. Yaudah beberapa menit kemudian saya kirim logonya. Sebenarnya, saya sebagai salah satu kru Can I Say pengennya dapet free pass doang, ga lebih (maksudnya ga lebih juga ga apa-apa,sukur-sukur lebih untungnya,haha). Pasalnya, pensi SMA 2 itu salah satu pensi yang layak ditunggu, tiap taun pengisi acaranya ajib. Tahun 2009 adalah kali pertama saya nonton pensi SMA 2. Waktu itu ada Rocket Rockers, SID, Beside, sampe Burgerkill. Acaranya di kampus SMA 2 di Cihampelas. Saya sampe bela-belain nginep di rumah sodaranya Hiban, ade kelas saya. Tahun berikutnya, saya nonton sendirian di Sabuga. Disana saya juga puas banget nonton Polyester Embassy, Rock and Roll Mafia, Shaggy Dog, bahkan ikut moshing-moshingan di bibir panggung waktu Seringai beraksi. Pensi SMA 2 emang suka pas waktunya, di awal tahun, pas lagi libur semester.

Nah untuk tahun ini, meski mendapat kesempatan nonton gratis, sayangnya saya ga bisa dateng liput langsung. Kita lanjutkan cerita yang tadi ya, kita lanjut dari ngirim logo. Nah setelah itu saya dikontak buat sign MoU. Itulah yang sebenarnya ga saya mau, takutnya tiba-tiba ga bisa padahal udah deal kan berabe. Kebetulan waktu itu panitia kontak pas saya lagi di jalan dari Bogor ke Bandung, pas terjebak 15 jam gara-gara demo buruh itu. Besoknya saya tanda tanganlah MoU itu, artinya saya kudu dateng entar. Eh tiba-tiba seminggu sebelum acara, saya harus masuk kerja di hari Sabtu. Mulailah hari itu saya cari pengganti, dan dapetlah Van, partner in crime saya soal konser-konseran. Saya dan Van lumayan sering dateng ke konser bareng, bahkan kami rela menembus jarak dan durasi perjalanan demi sebuah gelaran musik. Intinya Van sudah menyelamatkan saya dan Can I Say. Saya ga dituntut secara hukum gara-gara melanggar perjanjian yang ditandatangani diatas materai, sekaligus Can I Say ga tercemar namanya karena menyeleweng dari peliputan. Yaudah intinya itu, Can I Say Magazine untuk pertama kalinya jadi media partner. Hehe. Coba lihat logo di kanan bawah poster ini:

Nonton Four Year Strong


Saya pertama kali denger tentang Four Year Strong itu dari blog si myspace-nya Pee Wee Gaskins. Waktu itu peskins lagi difitnah bahwa lagu Here Upon The Attic mirip sama salah satu lagunya FYS. Dari situ saya nyari lagu-lagunya FYS, sampe komplit semua album punya mp3-nya (bajakannya :D). Taun lalu katanya FYS mau manggung di Indonesia, bareng Set Your Goals. Kombinasi poll tuh. Sayang saya ga bisa nonton, lagian konsernya juga batal. haha. Taun 2012 ini saya beruntung bisa nonton mereka langsung. Itu semua berkat Mike.

Saya dateng ke Bulungan setelah Billfold beres manggung, sebelum FYS tampil. Beberapa saat kemudian dua orang berjenggot bawa gitar naik panggung, nah itulah Four Year Strong. Malam itu sepertinya mereka tampil bersama bassis additional, soalnya asing gitu wajahnya. Pemain synthesizer jelas ga ada, udah dipecat. Kabarnya gara-gara emang ga penting katanya, sadis amat ya, mecat temen cuma gara-gara itu. Akibatnya cukup fatal bos, lagu-lagu enak yang harusnya ada synth jadi ga ada di setlist. Ada sih satu-dua lagu. Bahkan lagu pertama, What The Hell is Gigawatt itu harusnya ada synth meskipun dikit, tapi diilangin. Tapi tetep seru kok. FYS juga bawain lagu baru. Hampir di sepanjang penampilan mereka, saya nyanyi-nyanyi, teriak-teriak, enak banget. Total sekitar 1 jam lebih dikit mereka tampil. Encorenya lagu Wasting Time. Balik nonton Four Year Strong, saya dikenalin sama temen-temennya Mike. Salah satu dari mereka, Yogi, bilang kalo saya tadi keliatan nikmatin lagunya banget. Haha. Jadi malu. Mike nambahin, katanya pas dia mau nyamperin, sayanya lagi ngangguk-ngangguk. hehe. By the way, konser itu sponsornya Peter Says Denim loh. Kabarnya clothing line itu asli buatan Indonesia. Keren banget mereka bisa endorse band internasional.

Oiya, ada kejadian mengejutkan. Pas lagi foto-foto, tiba-tiba panel di kamera bilang bahwa memory card rusak. Sial, padahal udah ngerekam video lagu pertama, foto-foto juga ada disana. Akhirnya di sisa pertunjukan, saya nyimpen fotonya di memori internal. Pas pulang ke kosan, masukin memory card ke laptop, ternyata bisa dibaca, data selamat. Syukurlah. Ini foto dan video yang saya dari konser impresif itu.












Minggu, 12 Februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

Ilmu Keluarga dan Konsumen



Salah satu penentu madaninya suatu masyarakat, adalah tingginya kualitas individu yang menyusunnya, sementara kualitas individu tadi akan sangat bergantung pada sebuah institusi sosial bernama keluarga. Sadar akan hal penting itu, beberapa negara telah lebih dahulu melakukan kajian terhadap keluarga dan komponen di dalamnya. Di Indonesia, ilmu keluarga belum familiar. Untuk mengisi kekosongan bidang studi itu, pada tahun 1963 Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan sebuah departemen yang berfokus pada pendalaman keilmuan tentang keluarga, departemen itu bernama Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK). Seiring dengan dinamika kehidupan akademik di kampus pertanian, Departemen IKK kemudian berkembang dan berubah nama menjadi Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga (GMSK). Hal itu dilatarbelakangi oleh eratnya kekerabatan antara ilmu gizi dan ilmu keluarga, sehingga kedua keilmuan itu dilebur pada 13 Juni 1981.

Ilmu alam adalah studi yang banyak dipelajari di IPB, termasuk di dalamnya ilmu ekologi. Kriteria ekologi selama ini masih berkutat pada sistem kehidupan secara luas yang mencakup manusia, hewan, tumbuhan, dan hubungan diantara ketiganya. Ilmu ekologi tadi kemudian berkembang dan menyesuaikan dengan kondisi aktual, sehingga ada salah satu cabang ilmu itu yang disebut ekologi manusia. Untuk menjaga agar panji ekologi manusia tetap berkibar, maka pada Januari 2005 IPB membentuk sebuah fakultas bernama Fakultas Ekologi Manusia. Di dalamnya terdapat tiga departemen, yaitu Departemen Gizi Masyarakat (GM), Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), serta Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Dua departemen pertama tadi adalah derivasi dari Departemen yang sebelumnya dikenal dengan nama GMSK. Dengan demikian, tanggal 10 Januari dicanangkan sebagai ulang tahun departemen yang telah menjadi wadah kami belajar, IKK.
Tulisan diatas saya susun bersama Agus Surachman dari berbagai sumber untuk keperluan pembuatan buku angkatan IKK 44. Di bawah ini saya tunjukkan foto yang menunjukkan tempat kami mahasiswa IKK menuntut ilmu. Kamu bisa mendalami sejarah tentang departemen ini dengan lebih detil melalui sebuah karya tulis yang digubah para pengajar Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga IPB di tautan ini.












JDP 7