Rabu, 27 Agustus 2014

Duduk di Samping Pak Pilot yang Sedang Bekerja



Pulang dari tugas liputan di Kabupaten Puncak Papua, saya duduk di kursi co pilot dalam pesawat dari Ilaga ke Timika. Rasanya menyenangkan sekali. Video di atas itu gambarannya. Atau foto-foto di bawah ini:

Sebuah air terjun di tengah belantara hutan terlihat dari pesawat


Kelokan sungai pun bisa kita nikmati dengan jelas

Terbang di atas awan

Rekan tim liputan yang lain duduk di bagian belakang pesawat yang sebenarnya untuk mengangkut barang

Kumpulan titik-titik rumah itulah ilaga, distrik yang jadi ibu kota kabupaten puncak papua. Ada delapan distrik di kabupaten yang berdiri sejak 2008 ini. Sebuah distrik ada yang nyebut "negara lain" karena rawan. Rawan you know lah. Tapi sekarang kata bupati, TNI, peneliti, warga-warga di sana: sudah aman.

Lihat titik merah putih di bukit kering itu? Dia bendera merah putih ukuran 10x15 meter persegi. Memperingati HUT RI Ke-69, di kabupaten puncak dipasang 5 bendera raksasa di 5 bukit berbeda. Bukit menggaro hangus karena dibakar warga. Tadinya mau dibuat kebun. Simak kisah lengkap pendakian ke Bukit Menggaro di tautan ini.

Yang putih-putih itu bukan salju. Tapi memang di pegunungan tengah ini dingin. Bahkan puncak cartenz ada di kawasan pegunungan tengah papua, di kabupaten puncak yang kami kunjungi. Ibu kota kabupaten puncak itu namanya distrik ilaga

Ini dia salah satu pemandangan dari pesawat barang yang kami tumpangi dari ilaga ke timika. Ada banyak jenis tebing. Yang rata kayak di kanan itu memang unik

Seminggu setelah terbang, pesawat yang pernah kami tumpangi terpeleset di landasan pacu. Beruntung awak kapalnya selamat.

Kamis, 21 Agustus 2014

Mendaki Bukit Menggaro di Kabupaten Puncak Papua

Pada hari ketiga kunjungan saya ke Kabupaten Puncak Papua beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mendaki Bukit Menggaro di kabupaten yang ada sejak 2008 lalu itu. Bukit ini merupakan satu diantara lima bukit lain yang ditempeli bendera merah putih raksasa ukuran 10x15 meter persegi. Kunjungan utama saya ke bukit ini sebenarnya adalah untuk mewawancara anggota TNI yang bertugas di Ilaga, distrik yang jadi pusat Kabuten Puncak. Mereka memilih lokasi ini karena pemandangannya bagus. Dari bukit yang terbakar ini, seluruh Ilaga terlihat. Berikut ini video tentang keindahan Bukit Menggaro yang saya rekam:





Lettu Pasukan Fajar Kharisma ketika saya wawancara. Di kesempatan lain ia tak pelit kasih info yang off the record.
Kamera Bang Coky punya fasilitas tembakan 30 kali berurutan. Ini beberapa pose absurd yang saya lakukan. Hehe.

Saya dan Prasetyo Prayogo, juru kamera yang bersama saya meliput di Kabupaten Puncak Papua.

Bang Arif ketika diwawancara saya persilahkan menyampaikan salam ke keluarga. Saya kira pesannya bakal personal, ternyata dia bilang dirgahayu Indonesia blablabla. Diakhiri dengan teriakan "Merdeka!"

Kamera Bang Coky punya fasilitas tembakan 30 kali berurutan. Ini beberapa pose absurd yang saya lakukan. Hehe.

Kami sempat berfoto di belakang si bendera raksasa. Tadinya mau 17 bendera yang dipasang, tapi waktu pemasangan dan dananya gak cukup. Untuk satu bendera aja harganya empat juta.

Saya jalan di belakang, karena tertahan dengan pesona bunga ini. Bang Fajar teriak ingatkan saya jalan cepat. Katanya kalau sore makin rawan di Puncak sini.
Sebuah sarang semut khas Papua dipetik dari pohon yang terbakar. Sarang ini sudah tidak lagi dihuni semut. Sebenarnya ini kaktus, yang sifatnya epifit atau numpang hidup di pohon lain. Tapi dia bersimbiosis dengan semut sehingga menjadi kaktus berlubang yang katanya punya banyak khasiat medis. Seorang peneliti UGM yang saya temui di Puncak bilang kalau ini ditanam di luar Papua ga bisa tumbuh, karena perlu semut yang cuma ada di Papua.

Bang Arif ini pernah cerita waktu tahun 1998 dia masih SMP. Ikutan jarah toko ambil Sega. Eh, pas keluar toko Sega-nya dipalak anak SMA. Haha. Lalu pas kami ngobrolin soal Erick Tohir, dia tanya Erick ini orang mana. Saya ga tau tapi pernah nonton sebuah wawancara yang bocorkan bahwa nama Erick itu dikasih ayahnya dari nama seorang pahlawan Viking. Kata Bang Arif, "oh pantesan saya lihat di Sega waktu itu ada nama Erick, sama nama lain yang akhirnya son-son," begitu katanya kira-kira.

Ditanya soal tokoh idola, Lettu Arif Wambrauw mengaku fans berat Jenderal SBY. Dia pernah salaman sama Pak Presiden sewaktu dilantik, dan bilang kalau ngefans banget. Lalu Bu Ani yang ada di sampingnya tanya, Bang Arif ini orang mana. Dia jawab Padang campur Papua, tinggal di Jakarta. "Saya seneng banget waktu itu," ujarnya mengenang. Hingga kini fotonya ketika bersalaman saya Pak Beye dipajang di ruang tamu rumahnya.

Ketika menuju perjalanan pulang, saya tertegun melihat sebuah lumut yang warnanya indah. Ternyata di samping lumut itu tumbuh tanaman Kantong Semar. Indah sekali.

Bang Ian gak sadar saya foto ketika turun bukit. Seorang tentara harus ganti penutup kepala ketika dalam posisi berjalan dan tidak. Yang dipakainya di foto itu, topi baja. Di dadanya juga ada besi yang melindungi objek vital. Pakai rompi anti peluru sudah merupakan kewajiban bagi tentara yang bertugas di Puncak.
 

Kami berangkat sekitar pukul tiga sore dengan menggunakan mobil ini. Bukit Menggaro berada dekat dengan bandara Ilaga.

Bang Ian ini ternyata adik kelas semasa SMA komandannya sendiri, Bang Fajar. "Saya yang ngelap ingusnya," kata anggota Paskhas berpangkat letnan satu itu.

Berusaha terlihat seram tapi sepertinya gagal. Hehe.

Ini Lettu Infanteri Arif Wambrauw, komandan pos 751/Raider Ilaga. Saat naik Bukit Menggaro, ia sedang berpuasa. "Saya nadzar," katanya mengemukakan alasan. Bang Arif pernah kuliah di UNJ Jakarta di jurusan olah raga. Setelah beberapa kali gagal masuk sekolah militer, ia lulus. Setelah menjadi tentara, ia memenuhi janji bahwa jika jadi anggota TNI, akan puasa senin-kamis.

Kamis, 14 Agustus 2014

Menyelam di Sabang

Tulisan di bawah ini ditulis oleh saya (berpenutup kepala) dan Reno Sitoarso (kanan). Foto milik Chandra Sugondo. Yang paling kiri di foto adalah Mun, dive master kami
Saya akan gambarkan eksotisnya alam bawah laut bumi Sabang, Provinsi Aceh. Ada beberapa titik selam (dive spot), belasan bahkan sampai dua puluh lebih dive spot yang ada. Dari yang berupa tebing (cave), terowongan (tunnel), bangkai kapal (wreck ship), sampai yang bergelembung belerang (volcano underwater). Tapi sebelum lebih lanjut mengenal singkat ketujuh titik penyelaman tadi, ada baiknya kamu simak dulu video berikut ini:






Dalam dua hari kesempatan menyelam, ada 7 titik yang saya selami. Ini dia kisah mereka:
  1. East Seulako. titik penyelaman ini berdekatan dengan pulau kecil tak berpenghuni yang terletak di utara Pulau Weh. kami melakukan penyelaman pada kedalaman 20 meter, dan dapat melihat banyak kerumunan ikan berbagai macam jenis, untuk moray eel  jenis Blackspotted, Giant Moray serta Honeycomb juga dapat dijumpai pada kedalaman ini. Saya berjumpa dengan 4 ekor jenis moray eel sekepalan tangan yang kepalanya menjulur-julur dengan mulut menganga yang sepertinya menyambut kami dengan ramah, ada juga gurita hitam, stone fish yang samar menyerupai batu, scorpion fish yang tiarap di karang juga ada. Dua ikan terakhir itu berbahaya. Jangan disentuh.
  2. West Seulako. dibandingkan sisi timur, bagian barat Seulako ini lebih indah. Lebih banyak ikan yang berkerumun. Secara keseluruhan sih serupa dan yang dapat kita jumpai di sini dengan para nekton (organisme bergerak bebas tanpa ikut arus) di Seulako timur. di sini, saya lihat ikan napoleon dari jarak sekitar 7 meter di depan.
  3. Bate Tokong. Kamu tahu apa artinya bate tokong? batu kokoh. berlokasi belasan meter dari Pulau Seulako. Di bawah bate tokong ini ada goa melintang dengan panjang kurang dari 10 meter, yang terlihat gelap dan minim cahaya. Tapi coba kamu masuk kesana, dijamin jatuh cinta. Begitu masuk ada kelap kelip di mata saya. Rupanya itu ikan kecil yang banyak banget dan ada garis berwarna biru terang di siripnya. Entah ikan apa itu namanya, tapi indahnya bukan main. Mereka tidak takut berjarak kurang dari satu meter dari penyelam. Sekali tangan kita dikibaskan, mereka bergerak serentak ke satu arah. Luar biasa. Menyusuri goa itu, bukan hanya ikan kecil bergerombol yang cuma sejenis, tapi ada jenis lain. Ada juga udang kecil berbelang dengan antena berwarna pendar. Cantik.
  4. Arus Palee. Nah, Penyelaman di hari kedua ini saya merasakan menyelam di tempat berarus (current). Arus palee berarti arus jahat. Untungnya ketika saya nyemplung arus lagi ga jahat banget. Hehe. Di arus palee, kalau beruntung kita bisa bertemu tuan hiu sirip hitam atau hiu sirip putih. Mereka gak berbahaya buat manusia, meskipun tetep aja kalo ada darah bocor ya mereka sikat juga daging si sumber darah itu. Haha. Ada lagi hiu paus, whale shark. Dulu, kata Mun, guide/dive master saya, ada whale shark juga di sini. Si besar bertutul pemakan plankton itu enggan mampir lagi pasca tsunami, pasca kapal besar sering melintas. "Tapi empat bulan kemarin ada lagi", begitu kira-kira Mun memberi harapan. sayangnya, saya tidak ketemu sama mister hiu-hiu tadi. Tapi arus palee tetap seru. Schooling fish masih terlihat ramai, pun begitu dengan shoaling fish (ketahui perbedaan keduanya disini). Setelah menyusuri tebing kaya coral berbentuk tabung, kita akan tiba di ujung. Di sanalah, arus jahat sedikit jahil. Tubuh kita akan merasakan dorongan dan kayuhan fins terasa berat. Kalau sudah begitu jangan memaksakan melawan arus. Kami kembali berlindung di balik tebing dan lebih merapat ke dasar.  udara yang tersisa sudah menunjung angka 50. Saya tepuk dada (salah satu hand signal), kami pun perlahan naik ke permukaan dengan cara drifting.
  5. The Canyon. Siapa sangka di dekat tugu nol kilometer, ada titik selam yang indah. Dive master setempat menyebutnya Canyon, karena pada kedalaman 14 meter ada puncak tebing yang dasarnya menapak kedalaman 65 meter. Tebingnya jelas tidak kosong. Coral berbagai jenis terpajang indah di sana, dihiasi ornamen tambahan ikan-ikan di sekitarnya. Pada sebuah area, kita bisa berada diantara ngarai bawah laut yang indah bukan kepalang. Kita diapit dua tebing tinggi menjulang dan takjub bisa berada di sana. Lanjutkanlah penyelaman ke sisi tebing lain. Sebuah atol atau karang melingkar menyambut kita. Dengan gerak perlahan, kita bisa memasuki lingkaran gerbang kecil itu. Impresif. Selanjutnya kita akan bertemu dengan area selam berdasar kepingan batu-batu besar. Bentuknya banyak yang kubistik. Di sela-selanya banyak kehidupan. Dari scorpion fish (lagi), muray (lagi), sampai lion fish. Asik berkeliling ria, stok udara saya cepat menipis. Sambil ber-safety stop saya dipasok udara dari tabung Mun. Sekitar 40 menit kami menyelam, stok udara pria kecil itu masih 150an, dari stok penuh 200 bar. Dalam asupan body breathing, saya jadi saksi sebuah pertarungan indah yang sebenarnya biasa. Ribuan ikan kecil bersirip biru datang bergerombol. Mereka benar-benar melintas di antara kami. Di satu momen, kerumunan mereka pecah oleh ikan yang lebih besar, si napoleon kalau gak salah. Pecahan formasi yang rusak sementara itu loh yang keren. Ah, harus pakai kata apa lagi saya untuk menggambarkan indahnya disana. Haha.
  6. Rubiah Sea Garden. Berbekal satu tabung, kami bertolak dari pantai iboih untuk dua kali penyelaman. Pertama, di taman laut pulau rubiah. Titik ini berkategori mudah. Kami sepakat berhenti ketika jarum di gauge oksigen menunjuk angka 100. Sisanya dipakai untuk penyelaman berikutnya. Di rubiah sea garden banyak anemon, tentu clown fish kecil ada diantara tentakelnya yang terlihat kenyal. Kejutan datang. Seekor penyu melenggang cuek tepat ke arah kami. Saya menyingkir, dia lewat. Dari belakang tempurungnya saya sentuh. Si penyu menoleh angkuh lalu terus melaju. Kami lanjut berkeliling dan berhenti di angka 100.


  1. Volcano Underwater. Inilah yang paling membedakan menyelam di Sabang dan di tempat lain. Di titik ini kami menyelam tak lebih dari 10 meter. Cukup berkutat di kedalaman 7-9 meter, kita sudah bisa berjumpa dengan sumber gelembung udara hangat aktivitas vulkanik. Banyak titik semburan di dasar sana, dari yang kecil sampai yang gelembung udaranya sekepalan tangan. Kalau kamu tutup sumber udaranya, rasanya panas kayak kena ujung panas rokok. Saya merasakan sendiri soalnya. Haha. Hey, jangan kira di sana ga ada mainan lain. Meskipun dasarnya berpasir tanpa coral reef, masih ada ikan. Di antaranya ikan gembung bergigi empat. Dia sangat jinak. Kalau mau, kamu bisa pegang dia. Tapi saya sih tidak sarankan. Kalau sial, jari kamu bisa digigit. Saya dan ikan itu pernah berhadapan. Kami saling tatap mata. Hahaha. Beneran ini dia renang di depan, terus mukanya keliatan. Dua pasang gigi besar menyembul dari rahang atas dan bawahnya. Kalau saya berhak kasih dia nama, ikan ini akan bernama cepot. Karena mirip dengan tokoh punakawan sunda itu, tapi si ikan lebih menyeramkan. Haha. Menyelam di volcano underwater, kamu gak perlu pakai wet suit, karena airnya sudah hangat. Lagian kalau pake wet suit, aroma belerangnya terancam nempel dan susah hilang. Satu lagi tips terakhir buat nyelam di sini, kamu gak perlu punya stok udara banyak, karena di bawah sana kita rentan mudah bosan. Selain itu,  tidak ada objek yang dilihat selain pasir. Tapi dive spot ini tetap prestisius karena volcano underwater hanya ada di beberapa tempat di seluruh Indonesia. Jangan bilang pernah menyelam di Sabang kalau belum turun di dive spot volcano underwater (gak gitu juga sih intinya usahakan nyobain nyelam di sini lah kalau ke Sabang. Hehe).


Selama berada di Sabang, para penyelam maupun wisatawan tidak bisa sesukanya melakukan aktivitas laut seperti renang, nyelam maupun memancing di laut. Ada beberapa hari yang jadi pantangan buat beraktivitas di laut, di antaranya pada hari Jumat sampai jam 2 siang (setelah Sholat Jumat), dan ketika peringatan hari tsunami setiap tanggal 26 Desember. Adalah Putra, Pemuda asli Sabang yang sehari-hari menjadi guide/dive master. Dia berkisah tentang sekelompok wisatawan yang nekat menyelam di peringatan hari tsunami di dive spot yang memiliki wreck. Warga kemudian menyita boat mereka dan melarang adanya aktivitas menyelam di lokasi tersebut, selama beberapa periode. pada akhirnya yang rugi kan bukan si penyelam itu sendiri, tapi masyarakat sekitar. Jadi patuhilah aturan adat di sana.


Hari terakhir di Sabang saya berniat bersnorkeling di pantai dangkal depan penginapan. Malang bagi saya, sebelum ke perairan agak dalam, saya nginjak bulu babi. Padahal Deri, Ivas dan Reno teman se-tim saya bersnorkeling, bertemu lion fish dan shoaring fish di kedalaman sekitar 5 - 7 meter. Mungkin itu pertanda, agar saya suatu saat kembali lagi ke Sabang. Ya, sepertinya begitu. Semoga. :)

Sebagian teman-teman Flying Fish Divers yang menyelam bersama saya di Sabang

Selasa, 05 Agustus 2014

Mencicipi Limbangan




Pernahkah kamu merasa setelah berwisata di tempat yang jauh, ternyata sadar bahwa menikmati keindahan daerah sekitar rumah juga sesuatu yang tak kalah menyenangkan? Saya baru mengalami itu. Ada sejumlah tempat di Kecamatan Limbangan yang menyajikan pesonanya tersendiri. Beberapa tempat lain yang saya kunjungi, bernilai karena punya kepingan memori aktivitas di masa lalu. Pagi itu saya, bersama adik pertama saya Rizki, dan Ridwan teman saya semasa TK sampai SMA, mengayun langkah puluhan kilometer memutari sejumlah desa. Bapak saya dan teman semasa kuliahnya dulu juga turut serta dalam perjalanan itu. Merekalah kapten perjalannya. Bagi keduanya, perjalanan itu bagaikan nostalgia. Berikut sekilas penjelasan tentang wisata kami di Limbangan:

06.00
Berangkat dari Kampung Kudang, memutar ke Kampung Berdikari, melewati Alun-Alun Limbangan, berbelok ke arah Monggor, lurus terus menyusuri parit sampai tiba di Pasar Limbangan yang merangkap sebagai terminal. Di sana kami menyantap kupat tahu sebagai menu sarapan. Kurang dari satu jam kemudian, kami tiba di tujuan pertama.

Fajar di sekitar Alun-Alun Limbangan
Garis cahaya di jalan menuju Batu Nungku
7.30
Berjarak tak jauh dari pasar Limbangan, bukit Batu Nungku tak sulit dituju. Kita akan melewati jalan kampung, menyeberangi jembatan kecil, lalu mendaki selama beberapa menit. Sempatkan menengok ke belakang, karena Limbangan terpapar dari ketinggian akan terlihat indah dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Batu Nungku juga bisa jadi tempat berkemah. Kami sempat berpapasan dengan pendaki yang baru pulang setelah tiga malam bersenang-senang di puncak sana dengan gitar dan djembe-nya.

Saat jalan menanjak, sempatkan lihat ke belakang
Limbangan dilihat dari Batu Nungku
Mengabadikan diri
Ya begitulah. Itu saya. Hehe
Gunung Haruman didampingi Gunung Cikuray di sebelah kiri
Gunung Haruman terlihat lebih dekat di perjalanan menuju Batu Nungku
Tampakan sisi lain dari Batu Nungku
Saat beberapa langkah lagi tiba di puncak Batu Nungku, inilah pemandangannya
Pak Jai mendokumentasikan pemandangan dari atas Batu Nungku
Ridwan sedang merenung
Ridwan sedang melamun
Ridwan sedang istirahat di tempat :D
08.30
Di Kampung Cibadak Lebak, kami mampir di rumah Mak Emi, bibi bapak saya. Usianya 75 tahun, tapi masih terlihat sehat. Dengan suara cemprengnya yang khas, ia berbincang tentang banyak hal, kebanyakan nostalgia semasa muda. Kami disuguhi sesisir pisang dingin yang menyegarkan. Mak Emi mengaku senang punya kulkas di rumah panggungnya.
Mengunjungi Mak Emi
09.00
Menyusuri jalan desa Pasir Waru, kami menuju Pasir Astana. Pasir dalam basa sunda, berarti bukit. Sedangkan astana bermakna makam. Di Pasir Astana ada sejumlah makam tokoh penyebar agama islam, diantaranya Mbah Khotib atau masyarakat sekitar menyebutnya Mahketib. Di samping makam Mahketib ada sebuah bangunan kecil yang dihiasi patung Bung Karno. Di bagian atas pintunya yang berukirkan kujang, ada lambang garuda pancasila dan tulisan nama tempat itu: Museum Mini Bung Karno. Sayangnya pintu terkunci dan kami tak bisa masuk.
Sulit mendeskripsikan ini :D
Makam Syekh berlatar Gunung Haruman
Makam Mbah Khotib, salah seorang penyebar ajaran agama Islam di wilayah Limbangan
09.30
Kami melanjutkan perjalanan dengan melewati sungai Cipancar. Menyeberangi sungai itu menjadi pengalaman nostalgis yang menyenangkan. Ketika kecil, saya dan teman-teman tak jarang bermain di sungai dan berimajinasi dengan batu besar di sana. Ada batu yang kami analogikan sebagai gajah, badak, buaya, motor cross, dan sebagainya. Meskipun kali ini cuma mencelupkan kaki dan merasakan dorongan ringan arus sungai, saya sudah cukup puas. Sayangnya beberapa sampah mengotori sungai.
Menyeberangi Cipancar
Berpose ketika menyeberang 
10.00
Setelah melewati pematang sawah dan kebun, kami tiba di Leuwi Bolang. Di sini ada pintu air yang menjadi tempat anak-anak berenang, dulu. Bapak berkisah bahwa dulu ia sering melompat ke sungai dari pintu air setinggi sekitar 5 meter. Saya pernah bersama teman semasa SD berenang di sana, tapi tidak beraksi seekstrim bapak saya dulu. Haha.
Menguji nyali
Pintu air Leuwi Bolang
10.30
Matahari perlahan tidak lagi terasa hangat. Perjalanan kami berlanjut dengan menyusuri persawahan di Kampung Cangkudu. Sesekali langkah kami tersendat ketika bapak menjelaskan suatu tempat.

Menyusuri pinggiran parit di Kampung Cangkudu
Bapak mengenang tempat ini sebagai sungai yang dulunya dihampiri sawah.  
11.00
Setelah sekitar lima jam berjalan kaki, kami tiba di sebuah balong atau kolam milik Pak Jai, teman bapak yang turut serta dalam perjalanan itu. Sambil menikmati belaian angin, kami pun menyantap menu makan siang: nasi merah digabung tahu panas bersama sambal terasi segar plus gorengan dan tumis cap cay. Jeda tak lama, kami pulang ke rumah berjalan kaki lagi dan tiba pada tengah hari.

Dokumentasi serunya perjalanan di atas saya abadikan dalam wujud video. Dua video itu memang minim penjelasan. Namun di salah satu video saya sertakan secuplik sejarah Limbangan seperti tertulis di situs resmi Kabupaten Garut. Enjoy Limbangan!

Tiba di garis finish