Senin, 23 Juli 2012

Hari Anak? Sudah Lupa Tuh

Pemerintah menetapkan tanggal 23 Juli sebagai hari anak nasional. Faktanya, tahun ini pemerintah sendiri mengingkari adanya hari itu dengan tidak menggelar selebrasi. Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (KPA), Arist Merdeka Sirait menyayangkan hal tersebut. Katanya batalnya peringatan hari anak nasional bisa melukai perasaan anak Indonesia, sekaligus memberangus hak anak untuk menyatakan pendapat. 




Hari Anak Nasional, diperingati setiap tanggal 23 Juli. Peringatan itu sudah dimulai sejak tahun 70an, entah dengan latar belakang apa. Yang bertanggung jawab dengan pelaksanaan hari anak adalah kementrian agama. Saya juga gagal mencari tahu kenapa harus kementrian ini yang pikul pertanggungjawaban. Setiap perayaan hari anak akan digelar, anak-anak dari seluruh Indonesia berkumpul di sebuah forum bernama Kongres Anak Indonesia (KAI). Tahun ini adalah penyelenggaraan KAI yang kesebelas kali. KAI 2012 dihelat di Batam, dengan menghadirkan 400 anak Indonesia dari seluruh provinsi. Mereka merumuskan delapan pernyataan sebagai suara dan pandangannya untuk Indonesia. Nantinya, delapan poin tadi akan dibacakan di hadapan presiden ketika hari anak sedang dirayakan. Malangnya, anak-anak kita tidak diberi kesempatan untuk membacakan deklarasi itu, bahkan sejak perayaan hari anak beberapa tahun silam, entah mengapa. Tahun ini, rumusan yang mereka buat kembali harus tinggal di atas kertas. Presiden mengonfirmasi berhalangan hadir di perayaan hari anak nasional yang seyogianya digelar di akhir Juni lalu, agar tidak mengganggu aktifitas ibadah puasa. Ternyata, presiden sibuk dengan urusan lain yang dianggapnya lebih penting. Akhirnya, peringatan hari anak diundur hingga hari yang seharusnya, tanggal 23 Juli. Di bulan Juli ini, beliau juga urung hadir, acara kembali batal. Pemerintah berjanji akan memperingati hari anak tanggal 4-5 September 2012. Kata Arist, udah basi. Momennya udah lewat.

"Diundurnya hari anak nasional ini kegagalan kita, orang tua, bahkan pemerintah untuk memprioritaskan urusan anak. Hari anak nasional memang cuma selebrasi, tapi itu bisa memotivasi anak, menunjukkan bahwa kita peduli kepada mereka", begitu kira-kira tanggapan Arist menanggapi pengunduran hari anak nasional. Meski demikian, kegagalan yang Arist nyatakan bisa diobati dengan sebuah program bernama Peluk Anak Indonesia. Arist menganjurkan agar orang tua memeluk anaknya sebelum atau/dan setelah si anak melakukan berbagai aktivitas. Ketika kita memeluk si anak, kita bisa membisikan sesuatu untuknya. Dia juga bisa menyatakan apa yang ia rasakan. Arist menyimpulkan bahwa berbagai tindak kekerasan yang dilakukan anak, sebenarnya akarnya karena kurangnya perhatian orang terdekat.

Tentang ritual hari anak nasional, Arist juga mengusulkan agar hasil kongres anak Indonesia tetap dibacakan, meski lingkupnya tidak di cakupan nasional. Para anak Indonesia bisa membacakannya untuk pemimpin daerahnya. Pemimpin daerah si anak pun bisa menggelar "upacara" peringatan yang sederhana, namun tetap penuh makna penghormatan terhadap hak anak untuk berpendapat.

Hari anak nasional, sudah diusulkan untuk menjadi hari libur nasional, agar anak punya waktu untuk menikmati masanya, bersama orang-orang terdekatnya. Namun hingga kini usulan itu belum dikabulkan. Kita masih bisa memberi kebaikan lebih untuk anak-anak kita, seperti mengaplikasikan gerakan Peluk Anak Indonesia tadi misalnya. Beberapa minggu lalu, Jambore Sahabat Anak digelar di bumi perkemahan Ragunan, Jakarta. Acara itu diikuti oleh seribu anak kaum marjinal di Jabodetabek. Adanya kegiatan itu setidaknya menandakan bahwa kita tidak sepenuhnya lupa akan anak Indonesia.

Pemerintah mungkin bukan tidak mau memberi kado istimewa untuk anak Indonesia pada waktunya, namun kita juga harus maklum, dan fokus ke solusi. Pemerintah juga mungkin sedang mempersiapkan kejutan yang justru akan lebih berkesan bagi anak-anak kita, siapa tahu. Kita lihat saja awal September nanti. Sementara itu, kita lihat anak Indonesia sekarang, apa yang sudah kita lakukan untuk mereka?

Senin, 16 Juli 2012

Dharma Gita Mahaguru

Puteri Sang Putera Fajar Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, menceritakan ringkasan perjalanan hidup ayahnya melalui pementasan drama bertitel Dharma Gita Mahaguru. Pementasan ini bahkan menggambarkan kondisi nusantara sebelum Indonesia ada. Patih Gajah Mada tampil merapalkan sumpah palapa, bahkan kisah pertempuran cakil dan garuda demi Sinta juga ada. Barulah setelah sebuah tarian kecak, Soekarno dikisahkan lahir. Soekarno lahir dari ibu yang berdarah Bali. Jadi tarian khas Bali yang menyambut kelahiran Sang Putera Fajar itu menurut saya sebuah deskripsi cantik. Alur kemudian terus bergulir. Kusno atau Bung Karno kecil beranjak dewasa. Ia berguru ke tokoh politik Cokroaminoto. Bung Karno lalu dipenjara karena penentangannya pada penjajahan. Ia kemudian bertemu Bu Fatmawati, ibu sang sutradara yang diperankan oleh aktris senior Widyawati. Singkatnya, Bung Karno membacakan teks proklamasi, lalu berpidato menyatakan kelahiran Pancasila, berdiskusi dengan seorang petani bernama Marhaen yang diperankan rapper Iwa K. Penampilan Iwa K. diwarnai senandung lagu Bebas yang populer dinyanyikannya sejak tahun 90an. Klimaks dari kisah Dharma Gita ini adalah peristiwa G30S/PKI. Peristiwa itu tentu tak lepas dari sosok Soeharto yang kemudian menguasai Indonesia melalui Supersemar yang diwanti-wanti Bung Karno bukan sebagai surat pengalihan kekuasaan. Soeharto yang diperankan wartawan Prabu Revolusi lalu membubarkan PKI. Aksi itu tidak dilakukan Bung Karno karena khawatir terjadi perpecahan antar sesama bangsa Indonesia. Bung Karno lalu menghabiskan akhir hayatnya di Wisma Yaso. Ia digambarkan begitu sedih, gundah, dan tersiksa. Bung Karno pun wafat. Seorang perempuan muda yang sepertinya ia adalah representasi si sutradara, berlari menangisi peti mati ayahnya. Sujiwo Tedjo hadir kembali menutup lakon, setelah menyanyikan Pada Suatu Ketika, lagunya sendiri. Titik Puspa, Tarzan dan Kadir lalu menyampaikan epilog. Mereka bilang jangan sekali-kali melupakan sejarah, jas merah. Saya sebenarnya agak mengerutkan dahi, bukankah Bu Rachmawati harusnya lebih tahu tentang kurang tepatnya penggunaan jas merah? Layar meredup, lalu semua pemeran menghormat penonton, pertunjukan usai.





Sebelum pentas dimulai, saya mewawancarai sutradara, Rachmawati Soekarnoputri. Dari wawancara itu, saya lalu tahu bahwa awalnya, peran Soekarno akan dihadiahkan kepada seorang wartawan, Andri Jarot. Namun katanya setelah melalui berbagai pertimbanga, akhirnya Anjasmara yang jadi Si Bung. Prabu Revolusi juga direkrut atas kehendak Bu Rachma. Rupanya kakak mantan presiden Megawati Soekarnoputri ini suka bereksperimen dengan peran. Tengok saja Widyawati yang didapuk sebagai Bu Fat. Sebenarnya tak ada masalah ketika melihat sosok Widyawati yang masih terlihat muda dari usianya yang sudah kepala 6. Bu Fat usianya lebih muda dari Bung Karno ketika Sang Putera Fajar menyuntingnya. Tapi ketika tahu bahwa Widyawati sudah senior, rasanya saya lebih suka beliau jadi Inggit saja, salah satu istri Soekarno yang usianya lebih tua dari Sang Bung.


Peristiwa G30S/PKI adalah peristiwa besar. Dalam drama Dharma Gita Mahaguru, deskripsi pembunuhan jenderal digambarkan dengan indah. Tujuh jenderal yang membentuk pose monumen pancasila sakti, dihampiri sosok misterius yang kemudian menusuk-nusuk boneka yang ia bawa. Para pahlawan revolusi itu pun berjatuhan satu-persatu. Ada sebuah cerpen yang saya suka. Cerpen ini ditampilkan dalam rubrik cerpen Kompas hari Minggu 8 Juli 2012, judulnya Kabut Ibu. Cerpen ini menurut saya cerdas, karena mampu menampilkan nasib para korban peristiwa pemberontakan itu, dalam tuturan fiksi yang mistis dan alur yang eksotis. Selain itu, salah satu referensi saya untuk mengetahui fakta dibalik G30S/PKI, adalah melalui film dokumenter Shadow Play


Akhir-akhir ini, seni pertunjukan sepertinya sedang menggeliat hebat. Tema yang diangkat juga menarik, kebanyakan menceritakan kembali kisah masa lalu atau cerita rakyat. Itu artinya, kita tidak sedang melupakan sejarah. Kita juga selalu ingat dengan pesan Bung Karno untuk tidak sekali pun melupakan sejarah, Jali Merah.

Rabu, 11 Juli 2012

Tentang Palang

Saya sekarang ditugaskan di desk sosbudtek (sosial, budaya, teknologi). Nantinya jenis berita yang saya liput akan berkisar tentang ketiga bidang itu. Liputan pertama saya di desk ini adalah tentang peringatan hari palang merah dan bulan sabit merah sedunia di Jakarta. Acara peringatan itu diisi parade lampion dengan menyusuri jalan sekitar balai kota Jakarta, di malam hari. Tadinya daerah itu hujan loh, udah turun rintik-rintik kecil, kilat udah beberapa kali berkelebat, tapi untungnya hujan ga jadi datang, kegiatan itu pun lancar digelar.

Sebelum acara dimulai, saya sempat diskusi dulu sama panitia. Katanya parade lampion ini tujuannya buat memberi sosialisasi lambang palang merah yang merupakan simbol kegiatan kemanusiaan yang dipakai di seluruh dunia. Jadi selama ini sering terjadi salah kaprah tentang penggunaan tanda palang merah. Tanda palang merah dan bulan sabit merah digunakan di seluruh dunia sebagai simbol gerakan kemanusiaan. Meskipun ada satu negara yang menggunakan tanda lain. Untuk lebih jelasnya kamu dengar aja rekaman pembicaraan saya di bawah ini.

Tentang Palang 1 by Rheza Ardiansyah

Tentang Palang 2 by Rheza Ardiansyah


Peserta nunggu acara dibuka




Banyak anak kecil ikutan

Kaos panitia


Penampilan marching band Gita Sapta Bahari dari STIP yang keren banget


Pras, kameramen yang bertugas sama saya

Start

Pas lagi nunggu arakan saya cegat, saya mengabadikan "perjuangan" ini dulu

Parade lampion yang juga diikuti tim marching band. Waktu itu saya pinjam lampion buat on cam, eh pas mau dibalikin, yang punya lampion udah jalan jauh di depan dan saya ga inget siapa dan orangnya yang mana. Yaudah akhirnya lampionnya saya bawa pulang. Haha.

Jalan Sore

Denny Malik ternyata ga ada matinya. Dia bikin konser peringatan 32 tahun berkarya. Berarti, doi udah eksis sejak tahun 1980 dong. Padahal usianya sekarang 49 tahun, setahun diatas usia ayah saya. Tapi karyanya yang satu ini bener-bener hebat dah. Dia bikin tarian yang gabungin unsur tradisional dan modern, dan keren banget.







Saya sebenarnya datang terlalu pagi, terlalu sore lah tepatnya, padahal acara dimulai malam. Tapi ga apa-apa lah, saya pake waktu nunggu kameramen datang sambil bikin naskah. Di kesempatan kali ini, saya berduet dengan Ridswan, si kameramen CDP 3 asal Madura yang sekelas waktu training dan dia juga sekosan sekarang. Ridswan ini sangat teliti dalam mengambil gambar. Ia sangat patuh sama kaidah baku pengambilan gambar. Ekspresi marah yang justru ga serem sering saya liat pas dia ngambil gambar konser. Seringkali ada yang lewat nutupin panggung, meskipun orang yang halangin itu ga tepat di depan kamera.

Pembukaan konser

Dari tari tradisional yang ditambahi unsur modern

Sampai tarian modern yang tetap bernuansa etnis

 
 
Sosok Denny Malik diparodikan Wawan Team Lo 


Titi DJ nyanyi Bubuy Bulan sama Cingcangkeling. Dua-duanya lagu daerah sunda.


 Titi DJ sama Dara Jana nyanyiin lagu Ekspresi Ekspresi. Lagu itu diciptakan Titi DJ dan baru malam itu pertama kali diperdengarkan di depan publik.



Barulah ini si pengarah acara sekaligus tokoh utama tampil, nyanyiin lagu legendarisnya, Jalan Jalan Sore




Saya punya kenangan khusus soal Jalan Jalan Sore. Lagu itu rilis tahun 1989, di tahun saya lahir. Saya dididik bersama iringan lagu itu ketika berumur dua sampai tiga tahunan. Ketika itu saya tinggal di sebuah kampung bernama Bungbulang. Tiap sore saya diajak jalan-jalan sama bapak saya. Waktu itu pas lagu Jalan Jalan Sore lagi terkenalnya. Jalan sore buat saya jadi ritual spesial. Di jalan saya diajari berbagai hal, misalnya yang saya ingat, saya diajarkan buat ga ngomong kasar, pas denger beberapa santri di pesantren di trek perjalanan. Kami biasanya baru pulang setelah bunyi desiran bambu di hutan terdengar kencang, dan tongeret mulai berbunyi melengking.


Zaman sekarang, jalan-jalan sore udah ga relevan kali ya buat beberapa orang. Tapi yang penting jiwa dari jalan-jalan sore itu semoga ga hilang di tengah keluarga Indonesia, seperti diskusi, ngajarin banyak hal yang ada di jalan, silaturahmi juga, curhat, dan banyak lagi manfaat lain. 

Minggu, 08 Juli 2012

Can I Say Magazine 10th Edition

RELEASE!!
Can I Say 9th Edition



Klik gambar di atas untuk mengunduh Can I Say 10th Edition dengan format Flipping Book EXE (31.7 MB)

atau

Gunakan link di bawah ini untuk mengunduh Can I Say 10th Edition dengan format PDF (10.3 MB)

Can i say 10th edition

View more documents from canisay

Regards,

Seni, Seniman, dan Karya Seni

Selasa, 03 Juli 2012