Selasa, 25 Agustus 2015

Berpartisipasi di Kelas Inspirasi Garut


Untuk pertama kalinya, saya berpartisipasi dalam acara Kelas Inspirasi di Garut, kota kelahiran saya. Meski sempat terancam gak jadi karena fluktuasi kepastian jadwal liputan di Papua, akhirnya jadi juga saya ikutan. Lokasi kelas inspirasinya di SDN Sirnagalih 1 di Kecamatan Bayongbong Garut. SD itu sederhana, tidak terlalu mewah dan bagus banget tapi memang terlihat layak buat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar standar.

Hari itu dimulai dengan upacara bendera. Menarik mendengar tim aubade menyanyikan lagu-lagu nasional. Saya jadi ingat waktu meliput upacara 17 Agustus di Intan Jaya Papua. Anak-anak di sana menyanyikan lagu Garuda Pancasila dan Bangun Pemudi Pemuda dengan langgam yang disesuaikan dengan dialek setempat. Hal serupa juga saya temukan di Bayongbong. Bahkan lagu Hymne Pahlawan (mengheningkan cipta) juga ketukannya pas di akhir dipercepat. Bapak kepala sekolahnya sendiri mengakui hal itu dan mohon dimaklumi.


Upacara pun usai, kami para inspirator masuk ke kelas masing-masing. Kelas pertama saya adalah kelas 5. Pancingan saya nyangkut. Kelasnya seru. Pemaparan materi lancar. Sesuai dengan buku panduan yang dikirimi panitia beberapa hari sebelumnya, saya menyampaikan materi berdasarkan poin-poin berikut ini:
  • Siapakah aku?
  • Apa profesiku?
  • Apa yang dilakukan profesiku setiap hari saat berkerja?
  • Dimana aku berkerja?
  • Apa peran/manfaat dari profesiku di masyarakat?
  • Bagaimana cara menjadi aku?
Setelah memperkenalkan nama dan profesi, saya kemudian jelaskan bahwa pekerjaan wartawan adalah jalan-jalan. Sehingga ruang kerjanya adalah di mana-mana. Foto-foto dokumentasi liputan di berbagai tempat pun saya perlihatkan kepada mereka. Soal manfaat profesi, rata-rata mereka sudah tahu bahwa intinya wartawan memberi informasi, pengetahuan. Itu saya dapatkan ketika memancing mereka aktif terlibat diskusi di awal kegiatan di kelas. Nah, untuk menunjukkan caranya menjadi wartawan, saya paparkan juga pesan utama yang harus tersampai seperti yang tertulis di buku panduan: memotivasi untuk sekolah hingga jenjang tertinggi, dan menanamkan empat nilai moral positif utama (kejujuran, kerja keras, pantang menyerah dan kemandirian). Soal kejujuran saya perdalam dan tekankan bahwa sifat itu bisa dipupuk dengan tidak mencontek. Contek-mencontek, sepengamatan saya saat itu berdasarkan pengakuan siswa, masih jadi penyakit kronis pendidikan kita.


Saya juga berimprovisasi. Memberi kesempatan kepada anak-anak untuk merasakan jadi wartawan TV: megang kamera dan bicara di depan kamera. Itu saya lakukan di kelas 2. Sebenarnya karena waktunya masih ada dan agak mati gaya. Haha. Untung anak-anaknya aktif mau nyoba jadinya seru. Keseruan serupa juga terjadi di kelas 1. Bahkan over seru, sedikit kacau. Haha. Lihat saja di video ini.




Tapi ada juga kelas yang dingin. Ketika masuk kelas 6, saya kira akan seseru kelas 5, tapi ternyata tidak. Meski mereka memperhatikan, tapi ketika diminta dialog dua arah mereka pasif. Meski demikian, ekspresi khas anak-anak itu tetap muncul. Maksud saya ekspresi takjub, kaget, nggak nyangka. Misalnya ketika saya ceritakan bahwa saya dari Papua, bagaimana kondisi Papua, dan foto plus video liputan saya di tempat lain.

Seusainya kelas inspirasi, anak-anak menempelkan kertas bertuliskan nama dan cita-cita mereka. Di antara sekian banyak profesi impian yang bertebaran di pohon cita-cita, ada satu-dua siswa yang menuliskan wartawan di bawah namanya. Semoga jadi apapun mereka nanti, bisa bermanfaat dan mereka bahagia, sebahagia para inspirator dengan profesinya masing-masing. []