Sabtu, 31 Desember 2011

Kaya Dengan Karya

       Pada pertengahan tahun 2011, saya beruntung menjadi bagian dari keluarga besar Forum Indonesia Muda (FIM), sebuah wadah berbagi dan menerima inspirasi serta kontribusi. Beberapa bulan pasca pelaksanaan kegiatan FIM kesepuluh, para peserta di dalamnya menginisiasi pembuatan buku yang berisi tentang kiprah mereka di berbagai bidang. Saya memilih topik tentang seni dan budaya sebagai fokus bahasan. Melalui media ini, saya akan berbagi tentang produksi seni-budaya yang telah saya hasilkan di 2011.

     Saya mengawali tahun pertama di dekade kedua abad ke-21 ini dengan slogan “Kaya dengan Karya”. Saya bertekad untuk memproduksi minimal satu karya tiap bulannya. Di akhir tahun nanti, saya juga ingin menampilkan karya-karya tadi dalam satu pameran. Hampir seluruh produk yang saya hasilkan dipublikasikan melalui blog ini. Teman-teman yang saya hormati, selamat datang di pameran akhir tahun saya. Dalam tulisan ini, saya hanya akan berbagi tentang karya apa yang telah saya produksi tiap bulan di tahun 2011.

Januari
Saya memulai debut karya tahun ini dengan memproduksi foto-foto suasana sawah yang kemudian dipublikasikan di blog dengan judul Mooi Indie. Foto-foto itu adalah karya fotografi pertama saya dengan menggunakan Kodak Easyshare Z981. Setelah saat itu, kamera itulah yang menemani saya membekukan waktu.


Di bulan yang sama, saya juga mempublikasikan hasil wawancara dengan Maul, Limpy dan Ikiw, mahasiswa IPB yang dikenal sebagai musisi di kampusnya. Ketiganya merupakan embrio ide dari majalah digital Can I Say yang saya rilis sembilan bulan kemudian.

Februari
Karya berupa foto masih mendominasi produksi saya di bulan kedua. Liputan Konser Tunggal KOIL yang saya buat di penghujung bulan rupanya menuai lebih banyak apresiasi. Ulasan yang saya buat juga dimuat dalam Lorong Zine, majalah yang dibuat apresiator kelompok musik senior asal Bandung itu.

 

Maret
Di bulan ini, saya mengikuti seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN). Salah satu episode dalam seleksi itu adalah penilaian kemampuan seni. Untuk bagian itu, saya menampilkan aransemen ulang dari musik daerah yang dikemas ulang dalam balutan musik digital. Berkat seleksi itu, dua karya aransir ulang telah terbentuk.


Di bulan yang sama, saya turut bagian dalam pameran lukisan yang merupakan salah satu tahap dari rangkain Eco Ethnic Art Festival yang digelar komunitas Wahana Telisik Seni dan Sastra di kampus IPB Darmaga.


April
Di bulan ini, saya bersama Agus Surachman memproduksi sebuah film pendek yang diikutsertakan dalam sebuah kompetisi tentang migrasi pemuda yang digelar oleh World Bank. Dari sinilah lahan atensi saya terhadap produksi video tumbuh subur. Saya membuat film dokumenter hingga video liputan karena sebelumnya termotivasi oleh Rahmat’s Journey yang dibuat bersama Agus tadi.


Saya juga tampil di acara RASSA membawakan sebuah puisi/lagu Homicide yang judulnya Barisan Nisan. Ini pengalaman pertama saya baca puisi di depan umum.hehe. Acara itu ternyata juga diliput media lokal Bogor, jadi mejeng deh saya di Jurnal Bogor. :D






Mei
Ada lima hari di bulan kelima ini yang begitu berkesan. Saya berkesempatan untuk mengikuti Forum Indonesia Muda ke-10. Melalui acara itu, saya termotivasi untuk menjadi mandiri sebagai enterpreneur. Saya juga menghasilkan sebuah cerpen yang terinspirasi dari kisah yang dituturkan Bapak Houtman Zainal Arifin, salah satu pembicara di gelaran FIM X itu.

Juni
Ketika menjalani aktivitas sebagai mahasiswa tingkat akhir, terbersit ide dalam benak saya untuk juga menulis buku tentang berbagai kejadian unik selama penyelesaian skripsi. Rintisan pertama buku berjudul Manis Getir Skripsi itu pun kemudian terbit.


Di pertengahan tahun ini, saya masih konsisten memproduksi karya fotografi tiap bulannya hingga akhir tahun. Juni ini, saya juga merilis video dokumentasi kegiatan Kuliah Kerja Profesi di Kalimantan Selatan yang saya ikuti setahun sebelumnya.

Juli
Karya foto, video, hingga ulasan buku masih saya buat di bulan ini. Konser Fusion Music Festival dan Java Rocking Land adalah dua gelaran musik yang saya gunakan sebagai alat asah kemampuan jurnalistik, fotografi dan videografi.

Agustus
Di bulan kemerdekaan ini, saya merilis majalah digital Can I Say yang terbit tiap bulan. Saya juga memproduksi sebuah lagu dalam wujud video.

September
Saya belajar melakukan tranformasi karya di bulan ini. Ada sebuah kisah di kampus IPB yang kemudian saya visualisasikan ke dalam bentuk film pendek berjudul Sudah Tahu bersama Agus Surachman dan Metha Djuwita. Keterampilan menghasilkan foto HDR (High Definition Range) juga saya asah di bulan ini, selain produksi rutin majalah digital Can I Say.

Oktober
Bogor ternyata menyimpan inovasi budaya yang cemerlang. Seorang dalang bernama Ki Drajat mengkreasikan wayang yang terbuat dari bambu. Meski belum begitu ternama, gaung popularitas karya Ki Drajat sudah merambah benua Eropa. Tak jarang beberapa turis mancanegara mengunjungi sanggarnya. Tertarik dengan kiprahnya, saya, Aisyah  Noor dan Syifa Fauziah membuat film dokumenter tentang sosok inspiratif itu. Berikut ini adalah video yang memperlihatkan kisah di balik pembuatan film berjudul Wayang Bambu itu.

November
Lima video saya publikasikan di bulan kesepuluh ini.  Tiga diantaranya adalah aransemen ulang dari berbagai lagu, sementara dua video lain berisi hasil liputan open mic Stand Up Comedy di Bogor dan video liputan kegiatan konservasi di Gunung Halimun-Salak.
Di awal tahun, saya merencanakan membuat sebuah buku yang berisi kisah di balik pembuatan skripsi. Buku berjudul Manis Getir Skripsi itu akhirnya dirilis dalam format buku-e di bulan penutup tahun 2011 ini. Selain Manis Getir Skripsi, saya juga membuat Akademi Pasca Graduasi, buku-e serupa buku pertama yang berisi paradigma dan fakta yang muncul setelah saya lulus dari IPB. Sekarang kedua buku itu udah jadi versi cetak juga.
Di bulan penutup ini saya juga berkesempatan bergabung dengan Asphoria, sebuah band yang karyanya saya gandrungi. Peran manager saya sudah bukan hal yang mudah. Semoga saya bisa belajar dengan baik. Untuk Asphoria, saya juga mempersembahkan sebuah video bagi lagunya yang bertitel Dialek Ruang Hampa.


Saya tentu berharap eksistensi saya dan karya-karya yang telah diproduksi dapat berguna bagi lingkungan sekitar. Meski mungkin nilai guna itu belum banyak terasa, saya terus mencoba dan belajar agar lebih baik lagi.

Saya terkesan dengan kuotasi dari Ibnu Qayyim yang menyatakan bahwa akar kesalahan itu ada 3—kesombongan, keserakahan dan kedengkian. Selama menghasilkan kreasi di tahun 2011 lalu, mungkin ada hal-hal yang kurang berkenan (terutama mungkin terkesan menyombongkan diri, karena ini blog pribadi yang sangat self-centered). Untuk itu saya mohon maaf. Terima kasih juga saya haturkan untuk teman-teman yang sudah mengomentari, memberi masukan, memperbaiki, ataupun cuma mampir. Hehe. Sampai jumpa di tahun 2012.


Jumat, 30 Desember 2011

Dangdut



Di grup Facebook HIMAGA IPB (Himpunan Mahasiswa Garut IPB), ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Tatang Gunawan. Saya memberikan beberapa poin komentar dan mohon izin ke penulis untuk mempublikasikan tulisannya disini, biar lebih banyak lagi orang yang baca. 


Ketika Dangdut Dicap Murahan Eksistensi Musik Indonesia Dipertanyakan
Oleh : Tatang Gunawan 
Dangdut menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Bagaimana tidak, musik dangdut yang notabene musik rakyat Indonesia kini terkesan menjemukan dan kadang dicap murahan. Dalam perkembangannya dangdut telah banyak melewati berbagai fase dimulai dari fase dangdut klasik, 70-an, 80-an hingga dangdut sekarang yang katanya kontemporer. Bila ditinjau dari asal sejarahnya dangdut berasal dari kulturisme musik India dan Melayu yang mengendap dengan irama dang dan dut (asal kata dangdut) yang dipadukan dengan harmonisasi aransemen dengan nada dicengkokan. Indonesia adalah dangdut, dan dangdut adalah Indonesia Begitulah kira-kira orang menyebut keakraban diantara keduanya. Padahal jika ditilik lebih jauh, dangdut bukanlah produk asli kebudayaan Indonesia, melainkan musik yang berasal dari India.Namun karena sudah tanggung disukai, lalu kita mengklaim dangdut sebagai milik Indonesia. Untung India tidak marah kebudayaannya diklaim negara lain, tidak seperti kita yang marah ketika kebudayaannya diklaim Malaysia(Alkatiri, 2010).
Dangdut adalah jenis musik yang sangat unik. Dangdut dapat dipadukan dengan berbagai musik lain (bersifat konservatif) misalnya ketika rock didangdutkan berubah menjadi rockdut, pop didangdutkan menjadi popdut, dan musik jawa seperti keroncong didangdutkan menjadi campur sari, yang diperkenalkan oleh Didi Kempot. Dangdut memiliki biraba 4/4 dan jarang ditemukan lagu dangdut yang memiliki birama3/4 kecuali pada berbagai lagu dangdut tahun 1960-an seperti burung nuri dan seroja. Musik dangdut sangat miskin impropisasi, baik melodi maupun harmoni. Walaupun demikian karena kekurangan itulah musik dangdut berbeda dengan aliran musik lain seperti pop, rock, keroncong dan mengandalkan ketukan tabla dan singkep. Musik dangdut dibawakan dengan nada dicengkokan, dan hal inilah yang menjadi daya tarik utama dangdut yang membawa penikmatnya dengan tanpa sadar berjoged. Dan saking nikmatnya, sebagian orang berpendapat stress dikepala hilang sesaat apabila mendengar dan berjoged dangdut. 
Dangdut masuk ke Indonesia tahun 1940-an ketika musik melayu kontemporer masuk dan berpadu dengan unsur-unsur India (seperti penggunaan tabla) serta cengkok dan harmonisasi Arab. Perkembangan dangdut mulai matang tahun 1950-an sampai 1960-an ketika banyak bermunculan orkes-orkes melayu di Jakarta yang memainkan lagu Deli dari Medan. Dan bersamaan dengan masuknya musik India kedalam dangdut yang dibawa oleh Eliya Kadam dengan lagu boneka Indianya dan Husein Banafie (salahsatu penulis lagu ratapan anak tiri) yang berhasil membius masyarakat kita dengan nada-nada indahnya. Gaya musik dangdut terus berkembang ditahun 1970-an dengan kemunculan Soneta Group yang dimotori Rhoma Irama sang King of Dangdut, Elvie Sukaesih sang ratu dangdut, dan A. Rafiq si Elvisnya dangdut. Mereka membawa musik dangdut menjadi musik yang digemari masyarakat Indonesia khususnya kaum marjinal. Apalagi, pada tahun itu perkembangan musik Barat sedang panas-panasnya dan membawa angin segar bagi musik dangdut dengan kemunculan gitar listrik, mandolin, orgen listrik dan perkusi. Nada dangdut yang lemah gemulai dan merayu-rayu serta sangat terbuka terhadap pengaruh musik lain mulai dari keroncong, laggam, rock, pop, bahkan house musik makin menancapkan eksistensi dangdut pada waktu itu. Sebut saja lagu adu domba ciptaan Rhoma Irama yang berhasil membius dan mengetarkan pinggul orang Indonesia untuk bergoyang.
Seiring perkembangan pemerintahan Soeharto dangdutpun menghasilkan kroni-kroninya. Sebut saja Megy Z, Kristina, Mansyur S, Iis Dahlia, Evi Tamala, Ikeu Nurjanah dan kawan-kawan. Dangdut mulai meramaikan jagad hiburan dan industri musik tanah air sehingga Indonesia mulai terserang wabah dangdut. Bahkan virus dangdut sampai ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, beberapa negara Eropa, hingga negara adikuasa yaitu Amerika Serikatpun tidak luput dari wabah dangdut, maka pada tahun 80-90 an Rhoma Irama sang Raja dangdut mengklaim bahwa kita sudah swasembada dangdut.dan sampai akhir tahun 90-an saat runtunya rezim soeharto dangdutpun mulai tergerus dan mengalami masa reformasi dangdut.
Dangdut memang fantastis. Dangdut telah melewati berbagai kondisi yang berbaur dengan kultur masyarakat Indonesia. Dangdut adalah musik kebanggaan bangsa, karena melalui dangdut kita dikenal dunia dan melalui dangdut juga kita memiliki karakter musik tersendiri yang dimiliki bangsa lain. Fanatisme akan dangdut juga menjadi fenomena yang ajaib bahkan beberapa tokoh musik dunia menyebut itu sebagai the miracle of dangdut. Fanatisme itu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia saja, bahkan negara-negara lain seperti Arab Saudi, Qatar, Belanda , sampai negara adidaya yaitu Amerika Serikat tak luput dari fanatisme dangdut. Hal itu dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti: (1) lirik musik dangdut yang unik dan mudah dimegerti, (2) dangdut adalah musik rakyat, tidak ada pembeda baik sikaya atau si miskin (3) aransemen musik yang familiar dan mudah mengajak badan untuk bergoyang, dan (4) musik dangdut yang dipercaya dapat menghilangkan stres adalah faktor penentu kenapa dangdut sangat digemari .Dangdut juga kerap kali digunakan sebagai alat politik. Partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan musik dangdut untuk menarik massa.


Setelah reformasi dangdut mulai menapaki perjalanan baru yaitu dangdut yang lebih demokratis, dangdut menjadi lebih berani dan agresif. Media masa dan TV menjadi lebih sering mengadakan acara-acara dangdut yang dibumbui goyang erotis. Hal itu diawali dengan kemunculan Ainul Rokhimah atau lebih familiar dipanggil Inul Daratista dengan goyang ngebornya merubah wajah musik dangdut menjadi sangat variatif dan kadang dicap murahan. Hal ini adalah evolusi dari berbagai goyang dangdut diberbagai daerah yang memunculkan jiwa erotisme ini. Perlu disadari dangdut diberbagai pelosok dapat dikatakan sangat erotis, jika Inul bergoyang dengan pantatnya, di daerah ada yang lebih seronok lagi. Ironis memang kondisi dangdut saat ini. Pasalnya setelah kemunculan goyang ngebornya Inul, muncul goyang ngecor, goyang gergaji, pata-pata, sedot tembok dan goyang perkakas bangunan lainnya. Bahkan banyak pihak yang menyebut dangdut adalah makanan pokoknya, dan erotis adalah lauknya. Keadaan ini memaksa sang raja dangdut Rhoma Irama turun tangan dan mencekal Inul, alhasil konser- konser inul dibatalkan dan karirnya meredup sejak saat itu kemudian ia beralih profesi menjadi pengusaha karoke bersama suaminya Adam Suseno. Paling tidak Inul telah menjadi tokoh reformasi dangdut dan melahirkan tokoh-tokoh dangdut baru seperti Trio Macan dan Dewi Persik. Kasus cekal- mencekal terjadi kembali kali ini Dewi Persik yang dicekal walikota tanggerang karena dinilai goyangannya mengundang nafsu kaum adam.
Di era sekarang ini dangdut mengalami erosi karakter. Dangdut sekarang dipandang sebagai musik murahan, aliran musik orang kampung dan musik dengan tampilan sensualitas yang mempertontonkan aurat khususnya kaum hawa. Tidak bisa dipungkiri hal ini telah menjadi paradigma baru masyarakat saat ini. Mereka lebih senang menyayikan lagu berbahasa Jepang atau hip-hopnya orang Barat ketimbang dangdut is the music of our country. Kalangan musisi dangdutpun terkesan apatis dan membiarkan sensualitas dangdut terus berjalan. Bahkan para penyayi dangdut kontemporer saat ini merasa bangga dan tidak ada rasa malu sedikitpun ketika ia mempertontonkan goyangan sensualitasnya. Banyak musisi dangdut yang berpendapat dangdut tanpa goyang itu bagai sayur tanpa garam. Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang ini apakah goyangan yang berlebihan dengan sensualitas itu boleh. Jika itu dilegalkan bahkan dilumrahkan dimana letak moral orang timur dengan adat-istiadatnya. Benar, dangdut sedang mengalami krisis karakter.
Dangut berkembang menjadi sangat Indonesia. Dangdut ditampilkan sangat instan tetapi ingin cepat sukses. Muncul berbagai kontes dangdut yang memunculkan bintang-bintang dangdut karbitan yang dipaksa untuk popular sebelum waktunya. Ya, tidak kunjung satu tahun mereka eksis di pangung dangdut tanah air namanya meredup tatkala kontes dangdut itu selsai. Dangdut juga dibuat dengan apa adanya. Banyak musisi dangdut saat ini cenderung membuat musik dangdut dengan nada seronok dan lirik yang sebetulnya tidak patut untuk dibuat lagu. Misalnya keong racun, jablai dan kucing garong yang sebetulnya tidak pantas diperdengarkan. Bahkan banyak anak- anak yang menyayikanya. Ironis memang. Dangutpun terkesan munafik dan mengharapkan belas kasihan orang. Dangdut digunakan sebagai media penyayi untuk merauk rupiah dengan saweran yang memperontonkan erotisme. Jadi mungkin wajar dangdut mendapat cap murahan dari masyarakat.
Tindakan cekal-mencekalpun terjadi pada musik dangdut. Dangdut yang dijadikan media dakwah oleh Rhoma Irama berubah menjadi dangdut sebagai media penyalur erotisme. Jauh sebelumnya, dangdut juga mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan sekaten, karena penyayi dangdut wanitanya terlalu terbuka dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi sekaten. Kemunculan Inul Daratista dicekal Rhoma Irama, Dewi Persik dicekal walikota Tangerang, dan MUI Kalimantan Timur, serta Trio Macan yang dicekal FBI. Dangdut memang telah mengalami pergiliran jaman.
Terdapat berbagai alasan yang mengangap dangdut tergolong sebagai musik murahan, yaitu ;(1) Dangdut adalah musiknya orang marginal sehingga dipandang musik rendahan. (2) Dangdut sekarang dipertontonkan dengan goyang-goyang yang aneh dan mengumbar hawa nafsu sehingga kerapkali dipandang dangdut adalah makanan pokok dan erotis adalah lauknya.(3) Dangdut terkesan munafik dan mengharap belas kasihan orang lain, dangdut ditampilkan erotis hanya untuk meraup sedikit rupiah oleh penyayinya. (4) Banyak lagu dangdut yang sebetulnya melanggar norma kesusilaan baik dari aransemen maupun liriknya dan (4) Dangdut dipandang tidak indah lagi karena tidak bersifat mendidik lagi.
Sebetulnya apa yang terjadi dengan salahsatu jenis musik kebanggaan kita ini? Dangdut dicap menjadi murahan. Siapa yang harus disalahkan mengenai hal ini?, apakah sang raja dangdut yang tidak sanggup membentengi erotisme dangdut atau presiden yang sepertinya tidak peduli dan tidak pernah menyinggung musik dangdut yang sedang menjadi polemik di masyarakat. Ingat bangsa yang besar adalah bangsa yang cinta akan karya anak bangsanya. Memang dangdut bukan berasal dari Indonesi, akan tetapi dangdut telah menjadi ruh bangsa dan dapat dimasukan kedalam budaya bangsa. Dan ketika dangdut dicap murahan apakah kita sebagai bangsa Indonesia akan membiarkannya? Tentu tidak kita harus melakukan proteksi terhadap musik kebanggaan kita ini. Kita harus mengambil berbagai langkah seperti; (1) Erotisme musik dangdut harus dihapuskan karena melanggar norma kesusilaan dan dapat menjadi racun bagi anak bangsa. (2) Pembibitan musik dangdut harus diperbaiki dari sifat instant. (3) Keorganisasian musik dangdut yang professional dan buat peraturan tentang dangdut dan bila perlu buat undang undang khusus tentang dangdut.
Dilihat dari sejarah, perkembangan dan pengaruh musik dangdut di masyarakat serta terlepas dari kata dangdut adalah Indonesia, dan Idonesia adalah dangdut. Dangdut telah mewarnai relung hati rakyat khususnya kaum marjinal. Dangdut terbukti kerap kali mengharumkan bangsa di luar negeri dan menurut Denny Sukrie secara perlahan tapi pasti, dangdut bisa menjadi pinggang dan mencapai undakan sebagai jati diri bangsa. Dangdut mulai ada dimana-mana. Termasuk di layar kaca, media elekronik yang penuh dengan dentuman utas dangdut. Maka berdendanglah Project Pop “ Dangdut is The Music of My Country”.


Dangdut adlah musik bangsa
Karena,
Indonesia adalah dangdut,dan
Dangdut adalah Indonesia
Jadi 
Ketika dangdut dicap murahan
Eksitensi musik Indonesia dipertanyakan
Wahai generasi muda penerus bangsa
Ayo bangun dangdut


Dari : Anak Bangsa Pecinta Dangdut


Nah, ini komentar saya:


tulisannya bagus,izin share di grup lain boleh? :)
aya sababaraha hal anu ku abi hoyong dikomentari:
1. saur abi mah nya,penurunan popularitas dangdut teh kulantaran dangdut tos jadi idola semua kalangan,terutama kalangan menegah ke bawah baik dari sisi ekonomi,sosial,pendidikan,dll.ieu pendapat abi nya,t acan aya survey resmi sih.hehe.kasusna siga musik alay.padahal alay oge identitas bangsa eta teh.tahun lalu jakartabeat.net bikin lomba penulisan opini musik,nu juara teh justru nu nulis ttg alay.saurna fenomena alay teh siga harajuku di jepang.di jepang,style harajuku sok dianggap rendah,kampungan.tapi malah laku di indonesia.alay ge bisa jadi kitu,dangdut juga mungkin kitu.tah jadi kitu intina penurunan prestise dangdut teh kumargi tos tiasa nembus sekat kelas masyarakat,jadi lumrah.padahal urang pan sok bangga mun misalna selera musikna (atawa hal lain ge) beda sareng nu sanes.
2. dangdut nu kontam ku nilai erotisme, senasib sareng musik metal anu dicap satanis,padahal kan teu sadaya kitu.mun misalna dangdut diicalkeun nilai erotisna,atuh asa bakal jadi robah sanes dangdut deui,pan dangdut teh ngageolkeun bujur tea sanes?eta teh erotis tea pan?hehe.siga metal nu dipaksakeun kedah ngomongkeun nu sopan2 di lirikna.atuh kumaha da teu ngeunah,padahal pan sejarahna/identitasna ge sanes kitu.jaipong ge ceuk abi mah erotis,beberapa tari bali ge erotis,makana abi gaduh stigma nyalira soal budaya indonesia,erotically beautiful. jadi sur abi mah solusina,ameh teu terkesan erotis,audiensna kedah dibatasi.erotisme itu kan relatif nya.mungkn aya nu nyangka cipika-cipiki erotis,katinggal pingping erotis,aya oge nu nganggap biasa2.
3. koreksi,sanes denny sukrie,tapi denny sakrie,mangga polow twitterna @dennysakrie,sok aya inpo anu sae
4. Nuhun, punten bilih aya nu lepat :)

Indonesia - Malaysia

Sore itu saya lagi ngerjain majalah Can I Say Edisi 4. Eh ada Vivi online Facebook. Saya ajak ngobrol dia, sekalian wawancara 3 film terakhir yang dia tonton. Akhirnya tibalah kami di pertanyaan soal hubungan Indonesia-Malaysia. Vivi adalah mahasiswi Departemen Arsitektur Lanskap IPB yang lagi belajar di Malaysia. Berikut transkrip pembicaraan kami:

Saya: eh vi indonsia gmn sih d mata org malay?

Vivi: hmm.gimana ya ngejelasinnya. so far yg gw rasain mereka sangat2 baik. baiiiiikkkkk bangetttttt. disini ga banyak orang tau ttg konflik indo-malay.mostly (educated people) selalu mikir kalo kita ini saudara serumpun. Kenapa gitu? soalnya d beberapa daerah d sini, emg ada satu kampung yg emg kturunan indonesia. misal --> di johor ada kampung jawa, nenek moyang mereka dari ponorogo dan orang2 disitu sangat2 bangga kalo mereka keturunan jawa. trus ada lagi di negeri sembilan satu kampung keturunan minangkabau. Lagi2 mereka amat sangat bangga atas keminangkabauan mereka. itulah kenapa reog ponorogo dan rumah minang sangat dibanggakan disini. mereka bukan mau mencuri budaya orang, tapi mereka itu bagian dari budaya itu sendiri dan mereka berusaha buat ngelestariin itu, ja

Saya: edan,gw baru tau vi. knp g ada yg nulis gini dr dulu ya?

Vivi: mgkn lo bisa nulis ini, karena gw ga pandai nulis, jadi lo ngewakilin gw. hahahaa. sering banget orang2 johor disini ngajakin gw ngobrol pake bahasa jawa dan mereka kalo gw ajak ngomong melayu, mereka ga mau, mereka prefer jawa dan belakangan ini gw jadi mikir sebenernya isu2 yg ada di indonesia ttg ngerebut budaya itu sebatas propaganda pihak2 yg ga bertanggungjawab dan mereka pinter banget provokasi pers sampe semuanya nyebar d indonesia raya. oh iya, gw sempet sedih jg denger ada berita : Malaysia mau mencuri kembali rumah gadang indonesia. padahal, d negeri sembilan itu ada istana yg emg bntukny rmh gadang dan setau gw itu lagi di renov

Saya: wah gw ngerasa enlightened bgt vi. wawancara ini ntar gw tulis deh

Vivi: walah. segitunyaa. hahaha

Saya: solnya gw ketipu juga vi. jd sebel sm malay

Vivi: hahahaa

Selang beberapa minggu kemudian, saya mendapati kabar mengejutkan dari tautan ini bahwa (mungkin beberapa dari) mereka (orang Malaysia) memang senang maling budaya orang lain.karena malysia emang krisis kebudayaan. Tapi menurut saya, kita jangan terpancing pola pikir generalisasi membabi buta ya. Kalau pun ada yang ga sreg antara Indonesia dan Malaysia, semoga bisa selesai dengan jalan damai. :)


* Foto Vivi diambil dari akun facebooknya

Diskusi Musik

Beberapa hari lalu seseorang mempublikasikan artikel tentang musik dangdut di sebuah forum facebook (lalu saya publikasikan ulang tulisan itu disini). Saya mengomentari artikel itu dengan informasi tentang Terbujur Kaku, musisi dangdut digital (ini istilah saya sendiri, entah kategori itu secara resmi ada atau ngga) idola saya. Untuk membuktikan eksistensi si alter ego dari Phleg itu, saya cari infonya dari mesin pencari, ternyata review peluncuran albumnyalah yang keluar, yang di dalamnya ternyata terjadi diskusi meriah yang sukses membuat saya bertahan membaca tiap keping komentar yang berjumlah 168 posting ketika saya akses itu. Saking serunya, ada beberapa tokoh musik jedak jeduk yang ambil bagian, dari Kill The DJ, Dubyouth, sampe Dillinja, DJ kondang asal UK, dia sampe minta ngomong pake inglis,trus ada yg post gini:

indonesia :
biar debat ini jadi produktif, kompilasi YOU ARE A DISGRACE TO THE MUSIC harus segera dibuat. pre order dah, saya pesen duluan okey brooo

jawa :
ben depate dadi produktif, kompliasi YOU ARE A DISGRACE TO THE MUSIC kudu ndang digawe, pre order wes, aku pesen sekk, ok daaabbb

english :
(mohon bantuan translator wastedrockers)

nb.

asik banget asli udah lama gak perang diskursus genre sejak awal 90an, ini sangat2 menghibur. makasih gembi dan jerome.

peluk dan sun sayang buat semua

bambang rahmantyo said this on April 18, 2010 at 3:00 pm

Lucu yah. Jadi ini ceritanya ada yang ga setuju gitu sama review albumnya, trus saling lempar argumen.

padahal cuma ngomogin review album tapi ribut n ribetnya dah kayak kasus bank century,

Helladare said this on November 9, 2010 at 7:06 am

Masalahnya, ada kata-kata yang saling menyerang, ribut dah. Udah mulai redup, eh ada yang nyiram pake bensin lagi. Bahkan ada yang minta jerigen bensin. haha.

permisis, ada yang punya jerigen bensin ga ya?…..wkwkwkw

indra said this on February 27, 2010 at 7:08 am

Banyak ilmu-ilmu baru yang saya dapat, termasuk di dalamnya istilah, tokoh dan hal lain soal musik jenis ini yang belum saya tahu. Bahasanya juga tinggi, sampe si Dubyouth bilang gini:

gila pinter2 banget yang di forum ini sih.. bahasanya cerdas2.. saya sampe sungkan mau ngomong apa.
saya buat musik aja ya.. karena itulah sumbernya.

dubyouth_rockah said this on May 18, 2010 at 5:36 am

Ujung-ujungnya sih kayaknya damai, admin wastedrockers yang satu lagi (yang lebih kalem keliatannya) bisa menengahi dengan bilang gini:

Ya udah, ya udah…

Kami hormati pendapat kalian berdua: mas Jerome dan mas Gembi.
Argumen dan kapasitas dr kalian berdua kami hormati :)
Intinya cuma beda sudut-pandang aja kok.
Tapi next-time, klo debat musik jangan pake dirty-words dan emosi yah ;)

Jadi, damai aja yah kalian berdua. Mudah2x-an komen2x panasnya cuma ada di sini aja, tidak di dunia nyata. Kopi darat aja lah kalian berdua. Pasti dijamin jadi lebih enak deh diskusi dan ngobrolnya.

- Dede

wastedrockers said this on February 22, 2010 at 10:19 am

Saya juga pengen ngomentarin sih. hehe. Tapi bukan soal drum n bass, breakcore, blablabla bratbretbrot apalah itu saya belum paham, tapi soal ini:

1. Saya menemukan sebuah argumen menarik soal konsep bermusik. Coba simak omongan ini:

memangnya dalam penciptaan karya mesti ada konsep yang harus dibuat sebelum karya tersebut dieksekusi ya? bukankah ada juga karya-karya yang bergulir begitu aja lalu konsepnya “dibuat” belakangan? yang jadi masalah adalah, bagaimana kita tau sebuah lagu yang diciptakan artis or producer punya konsep? tidak mungkin, bukan si terbujurkaku mesti presentasi karyanya dulu di hadapan para kurator musik seperti anda-anda yang menulis musik di sini? di sini phleg berperan sebagai seniman, dan kita yang berapresiasi. in the end, terserah si phleg mau presentasi or ga kek, itu terserah dia. jargon “asal ada konsepnya” (dan jargon-jargon sejenis) ini rada klise menurut gw, apalagi dalam sebuah penciptaan karya yang kadang intuitif. lagian, tidak ada konsep juga tergolong konsep, bukan?

wastedrockers said this on February 15, 2010 at 1:25 pm

2. Ini juga bagus nih:

Saya mengutip sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu musisi dreampop favorit saya, KEVIN SHIELDS(gitaris My Bloody Valentine) ketika dia diwawancarai mengapa dia menghabiskan 500 ribu dolar, 25 studio dan “membuang-buang waktu” selama 3 tahun untuk membuat LOVELESS,(1990) album yang masih dianggap Avant-Garde hingga saat ini.
“KAMI TIDAK PERNAH MERASA MEMBUAT MUSIK. YANG KAMI CIPTAKAN ADALAH MASA DEPAN”
Ok.. mas Jerome.. buatlah INDONESIA menjadi lebih bangga dengan JAVABASS!!!

-ANDHIKA WEARS PRADA_

ANDHIKA NUGRAHA said this on February 22, 2010 at 4:15 am

3. Kalo udah ngomongin aliran musik, beberapa orang kayanya ngerasa paling bener deh, ngerasa hasil "uji organoleptik"-nya sama musik yang dia denger paling pas sama referensi klasifikasi musik yang dia tau. Ga klopnya pendapat dua/lebih orang terhadap satu musik bisa memicu masalah kayak di grup tadi. Menurut saya sih baiknya yang keluarin pernyataan, perkuatlah argumennya sama sebuah teori. Misalnya, "ini musiknya tergolong dangdut deh, soalnya menurut Sumarwan (2004) kalo ada suara dung dang dut itu ya dangdut namanya". Nah, kalau begitu kan enak ada dasar teorinya (masih terjangkit efek penyelesaian skripsi), tapi kalau ga ada teorinya ya udah bilang menurut saya dua ribu sebelas aja. hehe. Intinya yang saya sesalkan sikap ga ada yang mau ngalahnya itu.

4. Ketika adu pendapat memanas, ada yang bilang gini:

Gw bener-bener ga abis pikir, pola pikir lo sependek itu. Logika lo udah kaya suporter sepakbola yang “you-know-lah”, sekali dipanasin, ledakannya udah lebih daripada nuklir.
padahal dia sama aja pecinta musik juga bisa sereaktif suporter bola

wastedrockers said this on February 22, 2010 at 6:56 am

Masalahnya, yang ngatain si orang itu kayak suporter sepakbola yang “you-know-lah”, malah “you-know-lah”. Dia melawan api dengan api, nyuruh orang santai dianya sendiri nyolot. Suporter sepakbola yang “you-know-lah” itu kan mungkin minoritas, tapi karena kita suka menggenralisir, jadinya kalimatnya bergaya pars pro toto gitu. Siapa tau gara-gara kisruh soal diskusi ini, ntar ada yang bilang "udah kaya kritikus musik yang “you-know-lah”, sekali dipanasin, ledakannya udah lebih daripada nuklir." Jadi ayo, kita belajar menyampaikan pendapat dengan santun. By the way, tulisan saya ini ga nyolot kan? hehe.

5. Bagian paling mengejutkan akhirnya tiba juga. Jadi si Jerome ini albumnya laku di negeri tetangga, tapi doi malah nyebut negara yang bikin dia tenar itu dengan sebutan plesetan. Rivalnya menggunakan blunder ini sebagai celah buat nyerang. Nah si Jerome nangkis, ini dia kilahnya:

btw all my malysian friends dg bangga menyatakan bahwa mereka memang senang maling budaya orang lain kok…karena malysia emang krisis kebudayaan….pemerintahnya aja yg nggak mau nyadar …. so no worry lah about malingsia …..

jerome said this on February 22, 2010 at 10:00 am

Pernyataan ini bertentangan sama keterangan yang saya dapet dari Vivi yang sekarang lagi ada di negeri jiran itu. Katanya justru banyak orang sono yang ga tau ada bara dalam sekam hubungan RI-Malay. Bahkan Vivi jelasin bahwa pencurian pengklaiman budaya yang terjadi itu sebenarnya adalah kesalahpahaman. Orang Malaysia ngaku itu budaya mereka karena orang yang ngaku itu asalnya dari Indonesia yang punya budaya yang sama, terus lestari juga disana, gitu ceritanya. 

6. Saya baru tau kalau Terbujur Kaku itu ternyata mahasiswa UNAIR.

mosok arek unair gak iso boso inggris

Wok The Rock said this on February 14, 2010 at 6:06 pm

Anak-anak wastedrockers juga kayaknya masih berstatus mahasiswa. Gembi si penulis artikel bilang gini:

jadi buat reggae soundsystem di kampus ga nih?

wastedrockers said this on February 22, 2010 at 10:28 am

Terus admin satunya lagi yang namanya Dede jawab gini

Reggae Soundsystem di kampus tetep harus dijadiin. Tapi alay2x preman yang suka nongkrong d Bluestage ma gedung Hima harus diberesin dulu. Karena mereka taunya cuma “No Woman No Cry”-nya Bob Marno ama “Hongky Tonk Woman”-nya The Rolling Changcuters Stones doang!

wastedrockers said this on February 23, 2010 at 2:07 am

Seru sekali keliatannya. Saya makin "ambisius" sama harapan saya dulu waktu mimpin MAX!!, salah satu organisasi musik di kampus IPB. Waktu itu saya pengen merintis pembuatan semacam organisasi musik/forum diskusi/forum silaturahmi musisi/organisasi musik di tiap kampus di Indonesia. Kalau para aktivis BEM berdemonstrasi melalui BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia), kenapa kita aktivis seni musik kampus ga "berdemonstrasi" melalui musik di wadah yang lingkupnya nasional tadi?

Udah segitu aja tambahan dari saya. Terima kasih perhatiannya, maaf kalau ada yang salah. :)


Rabu, 28 Desember 2011

Selasa, 27 Desember 2011

Borobudur




Jadi kalau mau naik ke candi Borobudur, kita harus pakai kain batik
Petugas peminjaman kain batik
Gajah tunggang
View from the top
Repairing
Headless
Foreigners
Stupa
Sang Buddha
The Buddha
Gunung sekeliling
Graha Padmasambhava dari atas candi
Tanpa Stupa
Buddha terkecil
Wayang kulit
Ada sebuah mitos yang menyatakan bahwa siapapun yang mampu menyentuk arca di dalam stupa, maka semua keinginannya akan terkabul.fenomena itu tergambar dalam lukisan diatas
Mengendarai delman di kampung sekitar candi
Sepeda
Papasan
Borobudur
Kata Pak Kusir, vihara ini justru banyak dikunjungi pelawat dari luar negeri kayak Thailand, dll
Beo
Old woman
Menyeberang
Candi renovasi
Jejak letusan
Di bis

Kiddy on a Bikey


Senin, 26 Desember 2011

Pameran Not Fade Away

Saya dan Herry Sutresna sudah beberapa kali berbincang melalui email, tapi saya baru tahu beberapa waktu kemudian bahwa salah satu motor kelompok musik legendaris Homicide itu rutin menulis di blog pribadinya, gutterspit.com. Melalui salah satu postingnya, tahulah saya bahwa di suatu galeri di Bandung akan digelar pameran seorang seniman serba bisa bernama Andry Moch. Selepas membaca informasi disana, saya hanya sebatas tahu dan ingin datang, kendala jarak Bogor-Bandung menciutkan niat.

Beberapa minggu kemudian saya berkesempatan mengunjungi adik saya di Dago Bandung. Sewaktu melintas di depan kampusnya, saya menemukan baliho pameran yang dimaksud Ucok Homicide di blognya. Meski hari sudah petang, saya nekad menyisihkan waktu untuk berkunjung ke pameran itu. Sore itu pintu masuk galeri tertutup kawanan orang yang sedang berbincang. Saya nyatakan maksud ingin mengapresiasi, namun sayang waktu kunjung telah usai. Ketika ditanya dari mana saya berasal, barulah pengelola pameran mengasihani kehadiran saya yang demi pameran itu. Saya tak berkeberatan meski lampu besar tidak diaktifkan, meski demikian si pengelola yang wajahnya (dan rambutnya juga) mirip Tison itu berbaik hati menyempurnakan kelengkapan pameran. Saya berkeliling menikmati karya almarhum sambil berbincang dengan pengelola tadi, yang memperkenalkan diri sebagai Amenk, si perupa yang pamerannya sempat saya sesalkan tidak dihadiri, padahal ketika itu Ucok didaulat jadi penyampai opening speech. Melalui Amenk saya juga diingatkan untuk hadir beberapa hari lagi, karena Ucok akan tampil. (sementara hingga saat ini saya belum pernah menyaksikan penampilan sang legenda secara langsung). Akhirnya di hari penampilan Ucok akan berlangsung, saya benar-benar absen. 

Berikut foto-foto yang menggambarkan suasana pameran Not Fade Away karya Andry Moch, seniman jebolan UPI Bandung yang mangkat di usia muda dan karyanya sudah menembus gerbang pameran tingkat internasional di berbagai negara.






Minggu, 25 Desember 2011

Ujung Genteng

Akhirnya kesampaian juga saya pergi ke pantai Ujung Genteng. Awalnya keberangkatan bersama teman-teman sekelas/seangkatan ini jadi salah satu alternatif keberangkatan field trip kalau misalnya ga jadi ke luar negeri dan luar pulau. Ujung Genteng ada di Sukabumi, deket rumah Herti. Saya dan 8 orang lainnya menuju kesana dengan kendaraan umum. Ada beberapa kisah menarik selama disana, cerita di bis misalnya. Ada yang duduk di depan, deket ibu-ibu yang lagi berantem sama suaminya dan dia mau pulang ke rumah orang tuanya. Ada yang deket ibu muda yang terkesan menelantarkan anaknya, dll. Di tengah perjalanan yang medannya mirip jalur ke pantai Garut Selatan, seorang Bapak berkopiah duduk di samping saya. Setelah tahu saya orang Garut, dia ngajak salaman. Beliau bernostalgia tentang pengalamannya menziarahi makam-makan di Garut, hingga tibalah Si Bapak ke anaknya yang ia banggakan. Katanya anaknya ini dikaruniai semacam berkah khusus. Sekarang dia kelas 4 SD dan sudah merokok, katanya. Saya setengah percaya, bener umur segitu udah merokok? Iya katanya, bahkan si anak pintar itu sudah berasap sejak usia tiga tahun. Beberapa menit kemudian, kami kehabisan topik pembicaraan, si bapak lalu menyalakan tuhan sembilan senti di dalam bis tanpa AC yang semua jendelanya ditutup karena diluar sedang hujan.

Oke, lupakan kepulan asapnya. Setelah perjalanan 10 jam dari kampus IPB itu, kami menjelajahi pantai Cibuaya sampe penangkaran penyu. Simak foto dan videonya di bawah ini.