Rabu, 18 Februari 2015

Integrity Lesson


Ah finally, I’ve watched End of Watch. It’s the movie told about two cops spend their days recording the missions. The movie started with the dubbing sound told that this car chasing scene is like a daily activity, their great mission to stand for the law enforcement. It was a glimpse reminded me to a song All Cops Are Gods sang by Bars of Death, a hiphop squad from Bandung. The song ironically tell the bitter thruth about cops betrayal. How some cops are cruel, evilous and act as they are the law it self. Oops, they are gods, not only law. That what the song tells us. But then I’ve found that the cops in this movie, is not like that. The cops in End of Watch, are heroes.


Let me introduce you to Brian Talyor, a member of Los Angeles Police Department. He has a hobby, record everything he had on his activity as police. Revealed a murder, chased a drug syndicate, or saved a baby from burnt house, he passed it clearly and record it as well. The footage from this guy, is what we saw along film. But not only a picture from his camera, video from his colleague is shown too. Michael Zavala, is his mate. Those police, has to fight with a lawbreaker with their revenge. But then one thing I impress from their action is, integrity. Although it was out of my expectation, I was satisfied enough.

Dua poster baru di belakang pintu. Masih ada poster film gravity tapi bingung mau ditempel di mana. Poster fury itu di belakangnya interstellar. Bingung mau pilih mana. Akhirnya pilih fury karena karakter brad pitt di film itu menginspirasi. Hehe #poster

It was in the end of 2014. There was a new movie titled Fury. Came along with Interstellar, I have found Fury is an important war movie to watch. I saw that one in Makassar, when I was on a reporting duty. This movie was nice. It was told about a tank squad whom tried to survive among the war against Nazi. The team leader shown a strong character. It was Brad Pitt. He insist his team member to be brave to fight against the more modern tank. He was trained his new team member that hasn’t been at war before, how to survive. And once again, I was impressed by integrity they shown on the movie.

So what’s another same thing from those two? It was the director, David Ayer. One of my favourite movie reviewer told that there are one important movie that we have to watch if we like Fury. It was End of Watch. But although End of Watch is not as good as Fury, spent time on those two movie is remained a unique impression. Strong characteristics. That’s another red line that I saw on those David Ayer’s work. Well, maybe I lost one or two another things that make us learn from those movies. So, why don’t you help to find another one? Go watch it!

Selasa, 17 Februari 2015

Arung Jeram di Sungai Citarik





Hari Sabtu lalu, untuk pertama kalinya, saya bermain arung jeram. Lokasinya di Sungai Citarik Sukabumi. Saya ke sana bersama Suci, Windi, Feby, Amin, dan Vinna. Kami berangkat jam 7 dari rumah Windi di Tajur Bogor, dan tiba di tujuan tiga jam kemudian. Sebenarnya kami sudah pesan untuk mulai rafting jam 13:00, tapi ternyata bisa dimajukan jadwalnya. Secara keseluruhan, saya puas dengan pelayanan dan pelaksanaan arum jeram dengan menggunakan salah satu operator itu. Tiket berarung jeram di sungai ini saya beli sewaktu hadir di travel fair sekitar November tahun lalu. 
"Sudah tahu kan, yang sakit jantung dan sakit asma gak boleh ikutan?" kata seorang petugas. "Kalau sakit hati gimana?" Tanya Feby bercanda. "Langsung sembuh!" Tawa kami pun pecah. Demikianlah suasana persiapan kami sebelum bersiap menerjang jerang. Setelah minum teh hangat, kami diajak ke sebuah pos untuk memakai pelampung, helm, dan membawa dayung. Dari tempat itu, kami dibawa dengan sebuah mobil bak. Setibanya di pos keberangkatan, dua perahu karet sudah menanti. Saatnya kami beraksi.

Usai menempuh sembilan kilometer sungai Citarik, kami disuguhi menu makan siang ala sunda. Paduan nasi pulen, sayur asem, paha ayam kampung yang digoreng kering, tahu dan tempe goreng, karedok, kerupuk, ikan asik kering, kerupuk dan sambal yang dimakan di atas daun pisang itu, bikin pengen nambah. Tapi saya gak nambah. Haha. Setelah kenyang, kami ganti baju dan memilih foto yang disediakan di sebuah gerai khusus. Harganya 20.000 rupiah per foto untuk dicopy dalam bentuk CD. Minimal beli lima jadi satu CD harganya setidaknya 100.000. Relatif murah untuk dibayar patungan dan untuk makin mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitar sungai citarik. 

Sungai ini memang jadi berkah buat warga sekitarnya. Setelah dikembangkan jadi tempat wisata, banyak yang menggantungkan sumber penghasilan dari bisnis itu. Misalnya, pemandu wisata orang sana, yang juga atlet olah raga air. Mobil bak yang digunakan untuk mengangkut wisatawan juga milik warga. Operator wisata menyewa dari mereka tiap hari. Saking terberdayanya warga lokal, kata pemandu wisata saya, Kang Abu, warga sekitar sudah ada yang pegang posisi manager. Oh iya, Kang Abu ini atlet nasional arung jeram loh. Bulan Oktober nanti, dia juga akan ikut kejuaraan internasional arung jeram di Sungai Citarik. Mau nyoba jeram sungai sekelas kejuaraan internasional? Datanglah ke Citarik.

Itu saya yang badannya condong ke luar perahu karet. Rasanya saya pengen jatuh dari sana dan menghanyutkan diri. Haha. Meskipun yang ini asik, sepertinya body rafting lebih menyenangkan
Di beberapa kesempatan saya nyalakan kamera dan merekam video. Kalau pakai jasa perekam video dari operator, biayanya 500 ribu rupiah.
Sungai Citarik ini bersih, tak ada sampah, tak ada aktivitas yang mengganggu kegiatan wisata air. Menyenangkan
Dari markas operator, kami diangkut dengan mobil bak ini ke titik awal pengarungan. Mobil ini milik warga setempat yang disewakan ke operator.
Setiba di titik keberangkatan, dua perahu karet siap menanti
Foto ini diambil menggunakan kamera Amin. Kita bisa juga minta tolong ke pemandu wisata yang ada di perahu lain untuk ambilkan foto
Di sejumlah titik, ada fotografer di pinggir sungai yang menangkap momen seru seperti ini
Foto yang dijepret tim operator selanjutnya dijual di gerai khusus dengan harga 20.000 per foto dalam bentuk data digital.
Untuk foto dengan kualitas seperti ini, rasanya harga itu sepadan. Apalagi itu digunakan buat mengembangkan ekonomi lokal
Saya pakai baju tanpa lengan, akibatnya, bagian pundak terbakar. Rasanya perih sampai tiga hari setelahnya. Hehe
Selain menerjang jerang, kami juga dikenalkan ke berbagai lokasi menarik di sepanjang sungai. Misalnya air terjun kecil
Di akhir pengarungan, kami berfoto bersama
Ada beberapa operator arung jeram di sekitar sungai citarik. Yang satu katanya fokus di pelayanan akomodasi yang maksimal, yang lain ada yang bilang jago di permainan airnya ketika kita berarung jeram
Garis finish. Di sinilah arung jeram sepanjang 9 km selama sekitar dua jam itu kami tempuh
Setelah berganti baju, sebelum pulang
Suasana tempat makan siang dan gerai foto
Suasana toilet pria. Mandi di bawah guyuran air di bawah sinar matahari menghasilkan pelangi yang terbentuk seperti mengelilingi kita. Di bagian kanan tebing dan hutan
Setibanya di garis finish, kami disuguhi minum air kelapa muda, langsung dari batoknya
Kami berfoto bersama pemandu wisata, Kang Abu dan Kang Dewa. Abu adalah atlet arung jeram nasional. 
PIntu masuk toilet dan gerai oleh-oleh
Ruang resepsionis (bawah) yang gaya arsitekturnya mirip leuit atau tempat menampung gabah khas suku sunda

Rabu, 11 Februari 2015

Menikmati Pulau Tak Berpenghuni di Bolmut


Menuju Bolmut

Hamparan biru di balik jendela pesawat kini berbatas. Saya kemudian melihat atol yang melingkar. Ia lalu bergeser hilang. Posisinya di panggung yang tampak dari udara itu digantikan Gunung Manadotua dan Pulau Bunaken. Beberapa menit kemudian, saya menapak Bumi Kawanua, Manado. Inilah titik singgah pertama saya untuk menuju Pulau Bongkil, pulau terluar Indonesia di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara (Bolmut). Kabar beredar, indahnya Bongkil bukan main-main. Posisinya yang berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, membuat Bongkil perlu mendapat perhatian khusus. 

Enam jam perjalanan darat adalah menu pertama saya. Jarak 314 kilometer itu kami lalui di pesisir utara pulau Sulawesi. Untuk menuju Bolmut dari Manado, kita bisa menumpang bis. Ongkosnya sekitar 175 ribu rupiah per orang. Pilihan lainnya, kita juga bisa menyewa sebuah taksi gelap, demikian warga sekitar memberi nama. Taksi gelap yang dimaksud, tak lain adalah mobil carteran sekelas mini van. Yang unik dari tumpangan ini, kita dipatok harga beragam angka. Jika anda duduk di samping pak supir, tarifnya 100 ribu. Nominalnya menjadi 90 ribu jika Anda ada di baris kedua, dan 80 ribu untuk posisi bontot. Kalau anda sudah duduk nyaman, saatnya menikmati perjalanan.

Dua kabupaten akan dilewati dalam perjalanan menuju Bolaang Mongondow Utara atau Bolmut. Visualisasi beragam, juga akan kita jumpai saat melewati Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow sebelum tiba di Bolmut. Dari jalan berkelok yang diapit tebing dan jurang berujung laut, hingga bukit berpuncak tumpul yang diselimuti rumput lembut hijau, lengkap tersedia. Bukan tidak mungkin juga perjalanan Anda nanti diinterupsi kawanan sapi yang menjamah jalan raya. 

Ketika berada di Minahasa Selatan, saya sempat mampir ke sebuah kedai kopi. Kios Topas namanya. Tempat ini tidak terlihat layaknya kedai biasa. Ketika hanya melihatnya dari luar, saya sempat mengira ini toko sembako. Tapi coba Anda cicipi kopinya. Kopi susu yang saya pesan sudah berwarna cokelat di bagian atas cangkir. Susu kental manis terlihat mengendap di dasarnya. Setelah saya aduk dan cicipi, toples berisi gula di atas meja tak lagi berguna. Yang jadi perhatian saya di atas sana, cuma sebuah bakpau. Ini bukan sembarang bakpau. Bagian dalamnya berisi kacang hijau yang telah menghitam. Sebelum berada di pusat bakpau, si kacang hijau disangrai dulu, baru kemudian dilumatkan. Biapong namanya. 

Saya terjaga ketika langit sudah gelap. Pening dan mual masih sedikit tersisa, buah dari perjalanan berkelok empat jam terakhir. Kini kami sudah ada di kabupaten tujuan, tepatnya di Desa Sang Tembolang Kecamatan Sangko, Bolmut. Suara deburan ombak kemudian menyusup lembut dari bagian belakang kedai kopi sederhana kami singgahi. Suara lain dari seberang jalan adalah nyawa dari syahdunya malam di Tanah Minahasa itu, suara kolintang. 

Adalah Lasarus Lutia. Petani berusia 61 tahun inilah sosok di balik si bunyi kolintang. Ditemani sang anak, istri dan cucu, Lutia memainkan sejumlah lagu dengan alat musik buatannya. Dari Teluk Bayur, Anging Mamiri, hingga Halo-Halo Bandung, khatam dibunyikan dalam versi khas dengan tangannya yang dirambati urat. "Saya main kolintang ini untuk melupakan kesusahan," ujarnya spontan. Di pelataran rumah panggungnya yang tak luas, Lutia menunjukkan kolintangnya yang lain. Ada tujuh kolintang yang ia simpan, tujuh kolintang berbagai jenis yang biasa rampak dimainkan jika lengkap anak-anaknya sedang ada di rumah. Semua ia buat sendiri. "Dibuat dari kayu bintang kulit hitam," katanya membocorkan rahasia. Sebuah harmonika biasa ia gunakan buat menentukan nada dasar. Jika masih terasa sumbang, Lutia mengiris perlahan bagian belakang bilah kayu hingga nada dasar sempurna tercipta. Lutia mengaku tak jarang memainkan kolintang di gerejanya, meski sebenarnya ada perasaan malu. "Ini kaki-kakinya saja belum ada," ujarnya merasa kekurangan. Pesimisme pria asal Sangihe ini berubah menjadi ungkapan sumringah ketika saya menjabarkan kemungkinan jika kisahnya dipaparkan media. Harap di air muka Lutia berkata, "lestarikan kolintangku!"



Pulau Bongkil

Pasir putih atau bongkil. Demikian orang Buol memberi nama pulau itu dengan bahasanya. Pulau Bongkil berjarak sekitar 15 mil dari dermaga Boroko di Kecamatan Kaidipang, Bolmut. Sebelum 2012, Pulau Bongkil terdaftar milik Kabupaten Gorontalo Utara. Kini, Kabupaten Bolmut adalah yang bertanggung jawab atas pulau kecil terluar Indonesia itu. Gelar pulau kecil terluar tersemat di nama Pulau Bongkil karena ia berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi, batas antara Indonesia dan Filipina. Sayangnya potensi pulau tak berpenghuni ini belum maksimal dioptimalkan. 

Kapal berkekuatan 150 tenaga kuda yang saya tumpangi, tiba di muka pulau. Belum ada perjalanan kapal rutin ke Pulau Bongkil. Kali itu saya menumpang kapal patroli polisi laut. Selain menumpang (kapal patroli atau kapal nelayan), menyewa kapal seharga sekitar 400 ribu rupiah per hari juga bisa kita lakukan. Singkat cerita kami kemudian sudah tiba. Sebuah kerangka dermaga berbahan kayu berdiri ringkih tak bisa digunakan. Beruntung ada seorang nelayan yang baru saja akan  bertolak dari Pulau Bongkil. Atas bantuannya, kami pun berlabuh. Di pulau tak berpenduduk itu, ada sebuah bangunan yang biasa digunakan para nelayan untuk beristirahat. Bangunan serupa rumah ini penuh goresan vandal. Dengan kaca jendela pecah dan pintu tak berdaun, nelayan atau siapa pun yang memanfaatkan tempat ini tentu tak akan nyaman. Belum lagi tak berfungsinya sebuah mercusuar. Dengan tinggi sekitar sepuluh meter, ia tak punya sumber penerangan. Padahal peran lampu mercusuar penting sebagai penanda pulau di kala malam, dan petunjuk bagi pelaut yang berlayar ketika langit gelap. 

Ada satu hal lagi yang terlewat dari pulau landai yang habis dikitari selama kurang dari setengah jam ini: bendera. Tak ada Sang Saka Merah Putih di Pulau Bongkil. Meski ada prasasti yang ditinggalkan sebagai oleh-oleh survey pada tahun 2011, keberadaan bendera tentu akan mempertegas kepemilikan pulau ini. Pemerintah setempat berjanji segera mengibarkannya di sana. Ancaman lain yang dihadapi Bongkil dan perairan di sekitarnya, adalah kerusakan ekosistem akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak. Polisi air yang bertugas pun tak bisa banyak berbuat. Kekurangan alat pertahanan dan personil malah membuat mereka terancam dibom para nelayan nakal itu. “Karena mereka takut ditangkap jadi untuk melakukan pengejaran kita gak bisa karena keterbatasan BBM,” ujar Brigadir Ari Wibowo, salah seorang personil polisi air.

Di tengah kerentanan yang melingkupi Pulau Bongkil, tak bisa dipungkiri bahwa kalau jadi tempat wisata, pulau ini punya potensi. Jika saat itu waktu saya masih cukup banyak, berkemah tentu akan sangat menyenangkan. Selain pesisirnya yang fotogenik, dangkalnya laut di sekitar pulau dan tenangnya gelombang, menggoda saya untuk membasahi diri. Maka jika Anda mengunjungi Pulau Bongkil, masukkan satu kata ini ke dalam daftar hal yang wajib dilakukan: berenang. []

Perjalanan menuju Bolaang Mongondow dari Manado

Pelabuhan Boroko

Seorang penjual ikan menunggu kapal pengangkut ikan merapat

Rangka kapal di Dermaga Boroko

Sebuah pantai di Bolaang Mongondow
Matahari terbit di Dermaga Boroko
Kepiting berlarian di pantai
Saya setelah berenang ria di pantai pulau Bongkil
 
Nelayan mulai menjemput rezekinya

Perlahan mentari terlahir di Dermaga Boroko

Pulau Bongkil

Pulau Bongkil

Seorang nelayan sehabis singgah di Pulau Bongkil

Menara Pulau Bongkil
Sebuah kedai kopi di Amurang

Sebuah bukit di Bolaang Mongondow Utara
Bukit surganya hewan ternak
Suasana klasik di Amurang

Sabtu, 07 Februari 2015

Why Do We Love Violence?



      I have just watched two movies, Nightcrawler and The Purge 2: Anarchy. Those movies was impressed me that human, is like a wolf to another, homo homini lupus. Nightcrawler told about a man who survived living in California by became a video journalist. Louis Bloom, a character roled by Jake Gillenhaal, formerly a jobless who stole and sold his illegal goods. Until one night, he saw a video journalist that was captured one accident moment. He was tried to became a part of that journalist team. But he was refused. Later on, that refusing guy become Lou’s enemy. As the story goes, Lou was learned by himself. He was recruited a high school graduated boy, Rick. Lou and Rick then seek and record several moments. Crashing cars, shooting murder, burnt home, etc. In their everyday activities, Rick paid unfairly. Lou then do anything to make his recording became exclusive shot by ignoring the journalism ethics. The way he tried to reach his ambition is the point of this movie. Once I learned, TV can make you mad.



Another movie that I’ve just saw, is The Purge 2: Anarchy. This is the sequel of a movie told a story about future of America. In early 2020’s, there are one day in a year called the purge. Every citizen allowed to do criminal act along those 12 hours. In the first movie, we served the story about how someone who saved a black skinned man, has to got a pressure from group of people who tried to kill that man. In this second movie, the story gone in the street. There were troops tried to kidnap somebody in the house, a mom and daughter. Then they saved by someone who wanted to get his revenge. In another place, there were a couple who trapped in the street because their car is broken, sabotaged by a masked group of people. Right after the purge started, those couple became a wanted one. They hid in the car owned by a man who saved a mom and her daughter. The rest of the film, told about how they survive the purge from two group that case them.


Those movies remind me that USA is a scary country. I mean, people there can easily have a gun. Shooting gun crime seems quite happen not seldomly. The movie that shows how easy it is to own a gun in US, is Bowling For Columbine. That documentary movie made by Michael Moore, also shows why americans feel secure by having a gun. Then I remember the quote said that naturally, when somebody faces a bad situation, somebody else will hope a worse thing to happen. Is that true? I’m not sure. But then my mind get back to yesterday, in the editorial meeting. There was a story about tires’ nipple raid. My manager said that don’t show the picture of the raid, but show the video of people mad because their tires become deflated. Why he said that? Because viewers love that. The rating will gained. Then why our society loves bad news? I don’t know exactly why. But we can point at our unconscious mind. Sigmund Freud said that human behavior defined by something like an iceberg. The tiny part that can been seen on the surface, is a conscious mind. The bigger part that lies under water, is an unconscious mind, and this mysterious part contribute bigger to our behavior. So, why do we love violence? we don’t know, we do it unconsciously. []



Selasa, 03 Februari 2015

Tiga Tahun JDP 7 Metro TV




Satu Februari, bagi kami JDP 7 Metro TV, adalah hari istimewa. JDP 7 adalah para reporter yang direkrut Metro TV melalui sebuah program bernama Journalist Development Program (JDP). Kami bersembilan belas adalah generasi ketujuh. Satu februari lalu kami berulang tahun ketiga. Untuk merayakan itu, yang kami lakukan adalah berkumpul, bertukar kado, dan curhat. Sayangnya gak semua hadir.



Setelah semua yang bisa datang sudah hadir, acara pun dimulai. Kado berbungkus kertas koran terkumpul di tengah meja. Kado yang terkumpul itu adalah benda-benda yang dirasa paling menggambarkan si empu kado. Kalo kata Charlen, kadonya harus yang “Njrit jadi kangen doi guah”. Kami pun berdiri. Beriring lagu cap cip cup, kado bergilir dari tangan ke tangan. Begitu hitungan berakhir di angka tujuh, berakhir pula putaran itu. Kado yang dipegang di tangan, itulah hadiah buat si pemegang, entah dari siapa. Satu persatu, kami membuka kado, menebak siapa pemberinya, menanyakan kenapa si pemberi menghadiahkan itu dan menjawab sebuah pertanyaan serupa: “setelah tiga tahun ini, lalu bagaimana?”




Siapa dapat apa? Yarnes dapat G-string pemberian Rangga. Rangga memang orangnya tidak biasa. Dalam arti positif ya. Dia gokil. Kalau on cam, atau person to camera, atau melaporkan sesuatu di depan kamera, dia berani untuk bertindak ala anak kecil yang keranjingan dengan mainan barunya, lalu heboh sendiri dengan laporan tentang konser Metallica-nya. Yarnes, tanpa diduga membungkus kadonya dengan pengemasan paling rapi. Padahal orangnya juga slengean. Haha. Dia menghadiahkan bingkai foto. Dan tanpa sengaja Rangga juga yang terima.




Aci, dia dihadiahi kutek pemberian Dinda. Kutek memang Dinda banget. Dia bercita-cita punya salon kuku. Aci sendiri ngasih sun glasses, dan itu juga dia banget. Aci lama tugas di program traveling, jadi cocok. Zaki dapat satu set cangkir dan kopi pemberian Vira. Alasan pemberian cangkir cokelat Vira, dibercandain sama Zaki. Vira sendiri dapet pistol-pistolan berpeluru karet. Lengkap dengan target sasarannya. Zaki yang ngasih. Lalu Randy. Dia dihadiahi pisang. Awalnya kami bingung apa maksudnya pisang plastik itu, lalu sadarlah kami bahwa itu bingkai foto yang lengkap dengan foto kami saat di masa pelatihan dulu. Trifty yang ngasih. Seperti biasa, Trifty selalu mencairkan suasana dengan guyonannya. Apalagi kalau ditimpali Randy yang juga iseng. Malam itu, restoran bercahaya temaram itu berisik karena kami. Randy menghadiahi Anggi dengan satu set gigi palsu.




Sementara satu set berisi enam gigi palsu dikantongi, Anggi menghadiahkan sebuah kaos. Trifty yang dapatkan kaos itu. Katanya itu merk kaos yang selalu dipakai Anggi. Charlen dapat hadiah paling besar. Keliatannya seperti roti tawar sebungkus, tapi ternyata setelah kertas Koran dikoyak, di dalamnya satu set meal box plus botol minum dan tas jinjingnya. Rangga juga yang ngasih hadiah itu. Dia memang siapkan dua hadiah. Karena kasih dua hadiah, Rangga juga dapat dua hadiah, dari Yarnes dan dari saya. Saya menghadiahkan sebuah buku. Tapi bukunya belum di-print. Haha. Pada tahun 2012, saya menulis semua kisah liputan saya. Lalu kumpulan tulisan itu dibundel dan dijuduli Jurnal Jurnalis. Karena si Jurnal Jurnalis belum dicetak, secara simbolik saya kasih Rangga buku Manis Getir Skripsi. Saya sendiri janji buat kasih dia buku yang sebenarnya di awal Februari ini. Lalu saya dapat apa? CD Sheila On 7. Senang banget saya dapat itu. Siapa yang ngasih? Tentu saja Charlen sang Sheila Gank. Saking senang dan berkesannya, saya ceritakan soal hadiah itu di posting khusus. Hehe.




Selain bertukar kado, kami masing-masing ditanya, mau lanjut di Metro TV atau gimana? Rata-rata sih bilang pada mau keluar. Haha. Kebanyakan bilang mau lanjut sekolah. Saya sendiri bilang entah sampai kapan mau jadi wartawan, tapi setidaknya saya bilang malam itu, saya merasa nyaman menjadi wartawan. Beberapa waktu setelahnya, saya malah mikir jangan-jangan saya terjebak di zona nyaman dan rawan terlena. Haha. Sekitar jam 11 malam, pertemuan kami berakhir. Saya, Zaki, Vira, Yarnes dan Anggi barengan naik taksi. Di perjalanan, Anggi bilang kalau saat dubbing, suara saya sebaiknya direndahkan lagi, apalagi saya ada di grup 3 yang kental berita politik. “Kayaknya itu udah suara terendah gue deh,” saya defensif. “Terus apa lagi Gi yang kurang?” Saya kemudian sadar, bahwa berminat saja tidak cukup. Masih banyak yang harus saya pelajari dan perbaiki, kalau memang benar-benar serius mau jadi wartawan TV yang bagus. []