Rabu, 11 Februari 2015

Menikmati Pulau Tak Berpenghuni di Bolmut


Menuju Bolmut

Hamparan biru di balik jendela pesawat kini berbatas. Saya kemudian melihat atol yang melingkar. Ia lalu bergeser hilang. Posisinya di panggung yang tampak dari udara itu digantikan Gunung Manadotua dan Pulau Bunaken. Beberapa menit kemudian, saya menapak Bumi Kawanua, Manado. Inilah titik singgah pertama saya untuk menuju Pulau Bongkil, pulau terluar Indonesia di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara (Bolmut). Kabar beredar, indahnya Bongkil bukan main-main. Posisinya yang berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, membuat Bongkil perlu mendapat perhatian khusus. 

Enam jam perjalanan darat adalah menu pertama saya. Jarak 314 kilometer itu kami lalui di pesisir utara pulau Sulawesi. Untuk menuju Bolmut dari Manado, kita bisa menumpang bis. Ongkosnya sekitar 175 ribu rupiah per orang. Pilihan lainnya, kita juga bisa menyewa sebuah taksi gelap, demikian warga sekitar memberi nama. Taksi gelap yang dimaksud, tak lain adalah mobil carteran sekelas mini van. Yang unik dari tumpangan ini, kita dipatok harga beragam angka. Jika anda duduk di samping pak supir, tarifnya 100 ribu. Nominalnya menjadi 90 ribu jika Anda ada di baris kedua, dan 80 ribu untuk posisi bontot. Kalau anda sudah duduk nyaman, saatnya menikmati perjalanan.

Dua kabupaten akan dilewati dalam perjalanan menuju Bolaang Mongondow Utara atau Bolmut. Visualisasi beragam, juga akan kita jumpai saat melewati Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow sebelum tiba di Bolmut. Dari jalan berkelok yang diapit tebing dan jurang berujung laut, hingga bukit berpuncak tumpul yang diselimuti rumput lembut hijau, lengkap tersedia. Bukan tidak mungkin juga perjalanan Anda nanti diinterupsi kawanan sapi yang menjamah jalan raya. 

Ketika berada di Minahasa Selatan, saya sempat mampir ke sebuah kedai kopi. Kios Topas namanya. Tempat ini tidak terlihat layaknya kedai biasa. Ketika hanya melihatnya dari luar, saya sempat mengira ini toko sembako. Tapi coba Anda cicipi kopinya. Kopi susu yang saya pesan sudah berwarna cokelat di bagian atas cangkir. Susu kental manis terlihat mengendap di dasarnya. Setelah saya aduk dan cicipi, toples berisi gula di atas meja tak lagi berguna. Yang jadi perhatian saya di atas sana, cuma sebuah bakpau. Ini bukan sembarang bakpau. Bagian dalamnya berisi kacang hijau yang telah menghitam. Sebelum berada di pusat bakpau, si kacang hijau disangrai dulu, baru kemudian dilumatkan. Biapong namanya. 

Saya terjaga ketika langit sudah gelap. Pening dan mual masih sedikit tersisa, buah dari perjalanan berkelok empat jam terakhir. Kini kami sudah ada di kabupaten tujuan, tepatnya di Desa Sang Tembolang Kecamatan Sangko, Bolmut. Suara deburan ombak kemudian menyusup lembut dari bagian belakang kedai kopi sederhana kami singgahi. Suara lain dari seberang jalan adalah nyawa dari syahdunya malam di Tanah Minahasa itu, suara kolintang. 

Adalah Lasarus Lutia. Petani berusia 61 tahun inilah sosok di balik si bunyi kolintang. Ditemani sang anak, istri dan cucu, Lutia memainkan sejumlah lagu dengan alat musik buatannya. Dari Teluk Bayur, Anging Mamiri, hingga Halo-Halo Bandung, khatam dibunyikan dalam versi khas dengan tangannya yang dirambati urat. "Saya main kolintang ini untuk melupakan kesusahan," ujarnya spontan. Di pelataran rumah panggungnya yang tak luas, Lutia menunjukkan kolintangnya yang lain. Ada tujuh kolintang yang ia simpan, tujuh kolintang berbagai jenis yang biasa rampak dimainkan jika lengkap anak-anaknya sedang ada di rumah. Semua ia buat sendiri. "Dibuat dari kayu bintang kulit hitam," katanya membocorkan rahasia. Sebuah harmonika biasa ia gunakan buat menentukan nada dasar. Jika masih terasa sumbang, Lutia mengiris perlahan bagian belakang bilah kayu hingga nada dasar sempurna tercipta. Lutia mengaku tak jarang memainkan kolintang di gerejanya, meski sebenarnya ada perasaan malu. "Ini kaki-kakinya saja belum ada," ujarnya merasa kekurangan. Pesimisme pria asal Sangihe ini berubah menjadi ungkapan sumringah ketika saya menjabarkan kemungkinan jika kisahnya dipaparkan media. Harap di air muka Lutia berkata, "lestarikan kolintangku!"



Pulau Bongkil

Pasir putih atau bongkil. Demikian orang Buol memberi nama pulau itu dengan bahasanya. Pulau Bongkil berjarak sekitar 15 mil dari dermaga Boroko di Kecamatan Kaidipang, Bolmut. Sebelum 2012, Pulau Bongkil terdaftar milik Kabupaten Gorontalo Utara. Kini, Kabupaten Bolmut adalah yang bertanggung jawab atas pulau kecil terluar Indonesia itu. Gelar pulau kecil terluar tersemat di nama Pulau Bongkil karena ia berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi, batas antara Indonesia dan Filipina. Sayangnya potensi pulau tak berpenghuni ini belum maksimal dioptimalkan. 

Kapal berkekuatan 150 tenaga kuda yang saya tumpangi, tiba di muka pulau. Belum ada perjalanan kapal rutin ke Pulau Bongkil. Kali itu saya menumpang kapal patroli polisi laut. Selain menumpang (kapal patroli atau kapal nelayan), menyewa kapal seharga sekitar 400 ribu rupiah per hari juga bisa kita lakukan. Singkat cerita kami kemudian sudah tiba. Sebuah kerangka dermaga berbahan kayu berdiri ringkih tak bisa digunakan. Beruntung ada seorang nelayan yang baru saja akan  bertolak dari Pulau Bongkil. Atas bantuannya, kami pun berlabuh. Di pulau tak berpenduduk itu, ada sebuah bangunan yang biasa digunakan para nelayan untuk beristirahat. Bangunan serupa rumah ini penuh goresan vandal. Dengan kaca jendela pecah dan pintu tak berdaun, nelayan atau siapa pun yang memanfaatkan tempat ini tentu tak akan nyaman. Belum lagi tak berfungsinya sebuah mercusuar. Dengan tinggi sekitar sepuluh meter, ia tak punya sumber penerangan. Padahal peran lampu mercusuar penting sebagai penanda pulau di kala malam, dan petunjuk bagi pelaut yang berlayar ketika langit gelap. 

Ada satu hal lagi yang terlewat dari pulau landai yang habis dikitari selama kurang dari setengah jam ini: bendera. Tak ada Sang Saka Merah Putih di Pulau Bongkil. Meski ada prasasti yang ditinggalkan sebagai oleh-oleh survey pada tahun 2011, keberadaan bendera tentu akan mempertegas kepemilikan pulau ini. Pemerintah setempat berjanji segera mengibarkannya di sana. Ancaman lain yang dihadapi Bongkil dan perairan di sekitarnya, adalah kerusakan ekosistem akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak. Polisi air yang bertugas pun tak bisa banyak berbuat. Kekurangan alat pertahanan dan personil malah membuat mereka terancam dibom para nelayan nakal itu. “Karena mereka takut ditangkap jadi untuk melakukan pengejaran kita gak bisa karena keterbatasan BBM,” ujar Brigadir Ari Wibowo, salah seorang personil polisi air.

Di tengah kerentanan yang melingkupi Pulau Bongkil, tak bisa dipungkiri bahwa kalau jadi tempat wisata, pulau ini punya potensi. Jika saat itu waktu saya masih cukup banyak, berkemah tentu akan sangat menyenangkan. Selain pesisirnya yang fotogenik, dangkalnya laut di sekitar pulau dan tenangnya gelombang, menggoda saya untuk membasahi diri. Maka jika Anda mengunjungi Pulau Bongkil, masukkan satu kata ini ke dalam daftar hal yang wajib dilakukan: berenang. []

Perjalanan menuju Bolaang Mongondow dari Manado

Pelabuhan Boroko

Seorang penjual ikan menunggu kapal pengangkut ikan merapat

Rangka kapal di Dermaga Boroko

Sebuah pantai di Bolaang Mongondow
Matahari terbit di Dermaga Boroko
Kepiting berlarian di pantai
Saya setelah berenang ria di pantai pulau Bongkil
 
Nelayan mulai menjemput rezekinya

Perlahan mentari terlahir di Dermaga Boroko

Pulau Bongkil

Pulau Bongkil

Seorang nelayan sehabis singgah di Pulau Bongkil

Menara Pulau Bongkil
Sebuah kedai kopi di Amurang

Sebuah bukit di Bolaang Mongondow Utara
Bukit surganya hewan ternak
Suasana klasik di Amurang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar