Senin, 31 Maret 2014

Ada Sesuatu di Something In The Way



"Ini bukan film tentang pornografi. Ini tentang orang yang berhubungan dengan pornografi," kira-kira demikian jawaban Teddy Soeriaatmaja ketika ditanya apa filmnya identik dengan tren film Indonesia yang katanya selalu berbumbu seks dan komedi. Penjelasan Teddy yang bernada tegas beralasan karena memang filmnya yang barusan diputar tidak demikian. Seri kedua trilogi kehidupan masyarakat urban Jakarta itu kini hadir lagi dengan judul Something In The Way.


Something In The Way berkisah tentang seorang sopir taksi bernama Ahmad (Reza Rahadian) yang hobinya bermasturbasi. Ia lakukan itu ketika menunggu penumpang, ketika sendirian di rumah susunnya, ketika di kamar mandi, hampir dimana-mana. Tapi, Ahmad ini relijius juga. Dia solat. Siang hari sebelum cari penumpang ketika malam, Ahmad menghadiri ceramah di masjid. "Film ini tentang kita yang kadang rajin pergi ke mesjid, ke gereja, ke tempat ibadah, tapi juga tetap melakukan dosa," Teddy menggambarkan di sebuah sesi tanya jawab.


Konflik dalam film ini muncul setelah Ahmad mengenal dan jatuh cinta dengan Kinar, seorang pekerja seks komersial yang ternyata tetangganya. Namun Kinar terganggu dengan cara Ahmad menunjukkan yang perasaannya. Ahmad dinilai mengusik profesi yang telah ia jalani selama 13 tahun. Ada tiga bab yang menjadi jeda sekian detik di film ini. Ketiganya berdasarkan fluktuasi interaksi Ahmad dan Kinar.


Something In The Way adalah film kedua Teddy yang digarap bukan berdasarkan pesanan. Biasanya putra mantan duta besar Indonesia di Austria ini jadi sutradara "sewaan". Setelah kenyang mengolah Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007) hingga Rumah Maida (2009), Teddy menempuh jalur lain ketika menggarap Lovely Man (2011). Lovely Man kemudian mengantarkan Donny Damara, aktor utamanya, menyabet gelar aktor terbaik dalam gelaran Asian Films Awards. Film ini juga diganjar penghargaan Best Director dan Best Film di Festival Film Palm Spring AS.


Nasib serupa dialami Reza Rahadian. Berkat membintangi film Something In The Way, ia menjadi aktor terbaik versi majalah Tempo tahun 2013. Predikat yang diraih Reza memang setimpal dengan yang ia tunjukan di film berdurasi hampir 90 ini. Sosok Ahmad dalam tubuh Reza terlihat sedemikian kikuk, canggung, sekaligus emosional di saat lain. Kata Teddy sang sutradara, Reza terpilih karena permainan memukaunya di film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta.


Donny Damara hadir lagi di Something In The Way. Meski belum menonton film Lovely Man, kehadiran Donny saya rasa bisa mendistraksi sosoknya yang digambarkan berbeda di film pertama. Teddy berargumen pemilihan Donny karena ia dinilai pantas memerankan tokoh itu. Demikianlah Teddy bergaya memainkan "instrumen" dalam filmnya. Suka tidak suka itulah dia. Saya juga harus maklum ketika tokoh Pinem selalu tampil sedang menyantap mie, sehingga terkesan dia makan mie tiap waktu. Sang sutradara mengaku sadar dan memang itu yang ia ingin perlihatkan. Apapun itu, gagasan Teddy menampilkan kisah dan mendramatisasinya tetap memikat. Something In The Way saat saya menyaksikannya di Galeri Indonesia Kaya Sabtu (23/3) lalu, belum ditayangkan di bioskop Indonesia manapun. Makanya tak heran sang sutradara meminta penonton menitipkan semua ponsel dan alat rekam saat menyaksikan film itu. Jadi kapan filmnya tayang di bioskop? Entahlah, saya lupa nanya. Hehe. []

* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog Can I Say Magazine

Brutalitas The Raid 2: Berandal

Di sebuah pematang perkebunan tebu, suatu sore, dengan langit kelabu pekat. Sebuah lubang kubur terbuka menganga, siap menyambut penghuni barunya, Andi (Donny Alamsyah). Dengan tangan terikat, ia diseret orang-orang Bejo (Alex Abbad), seorang bos mafia berkacamata hitam dengan kaki pincang. Andi dan Bejo kemudian saling lempar kata, sebelum sebuah hal mengejutkan terjadi. Demikian The Raid 2: Berandal memulai kisah.



Beberapa saat setelah mereka berpisah, Andi dan Rama (Iko Uwais) meniti kisah masing-masing. Rama mengikuti saran kakaknya Andi untuk menemui seorang polisi bersih, Bunawar (Cok Simbara). Disodori bukti kejahatan, Bunawar pesimistis. Ia tawarkan Rama sebuah peran: menyusup ke dalam organisasi mafia penguasa kota yang ada di belakang para polisi korup. Telanjur basah, Rama terima tantangan itu. Namanya kini Yuda. Di dalam sebuah penjara kemudian ia ada. Misinya, masuk organisasi mafia melalui anak pemimpinnya bernama Uco (Arifin Putra). Uco di dalam penjara mencari pengakuan. Ia sedang diproyeksikan mengganti Bangun (Tio Pakusadewo), ayahnya yang menguasai seperdua wilayah kota. Separuh lainnya dikuasai mafia pimpinan Goto (Kenichi Endo). Goto dan Bangun hidup harmonis dengan jatah wilayah masing-masing. Bejo, yang belum punya wilayah kekuasaan, berusaha memecah keduanya. Perebutan wilayah kekuasaan antar kelompok mafia itulah garis merah film ini.

Liku perebutan kekuasaan kelompok mafia dalam The Raid 2: Berandal, diwarnai drama serta audio visual yang brutal, kelam, sadis, sekaligus indah. Ada banyak "subjudul" pertempuran di dalamnya, sebut saja yang pertama dihadirkan, perkelahian di lapangan berlumpur penjara. Itu baru satu hal. Masih ada adegan adu jotos di dalam mobil yang sedang melaju, kejar-kejaran di jalan, hingga pembantaian oleh tokoh-tokoh dengan karakternya yang khas.



Penokohan yang kuat dalam film ini memperkuat kesan komikal The Raid 2. Dalam wawancaranya di majalah Tempo, sutradara Gareth Evans mengakui niatnya meng-komik-kan Jakarta. Kota dalam film ini adalah antah-berantah. Meski kita bisa mengenali kawasan Blok M, atau sekitaran Distrik Pusat Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta, kita bakal dikecoh ketika melihat kota yang sama bersalju. Diakui Gareth ketika menghadiri midnight show di Blitz Megaplex Grand Indonesia Sabtu (23/3) lalu, tujuannya mendinginkan Jakarta agar mendukung suasana seorang tokoh Prakoso. Sebagai Prakoso inilah Yayan Ruhiyan kini tampil. Berambut panjang terurai berantakan dan berlaga seperti gelandangan, anehnya Koso beristri cantik, seorang anonim yang diperankan Marsha Timothy. Meski tak terlalu banyak scene yang menghadirkan Koso, toh penggambaran watak ayah rindu anak itu demikian jelas. Kekuatan watak itu juga terjadi di tokoh lain. Semua hadir dengan ciri khasnya masing-masing. Bejo si anak tukang sapu jalan yang jadi bos mafia, si pria dengan stik base ball yang dengan senyum meminta bola ke musuhnya (Very Tri Yulisman), si wanita bisu bermartil dua yang ternyata kekanakan (Julie Estelle), si pria minang pendiam dengan sepasang karimbit di tangan (Cecep Arif Rahman), dan Eka (Oka Antara) si tangan kanan Bangun. Tokoh-tokoh tersebut adalah kunci dalam setiap fragmen adegan menarik dalam The Raid 2.

Film berdurasi lebih dari dua jam ini menyisakan sebuah adegan misterius di akhir. Sebuah saat ketika satu pembicaraan ditutupi musik latar yang merepetisi. Detik-detik "yang hilang" itulah jabang bayi The Raid 3. "Jika The Raid 2 berawal kisah beberapa jam setelah pertempuran di gedung, maka The Raid 3 akan menceritakan beberapa saat sebelum adegan terakhir terjadi," begitu kira-kira Gareth menjelaskan. Katanya sih sudah rampung. Saya berharap memang demikian. Semoga tak perlu menunggu bertahun-tahun buat bisa menyaksikan yang ketiga. []

* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog Can I Say Magazine

Jumat, 28 Maret 2014

Memori Tentang Istana

"Dua bulan sejak 25 Desember lalu, ibu seperti menyerah," Yanti bercerita tentang ibunya yang tahun ini berusia 80 tahun. Dengan mata berkaca, ia berulang mengucap terima kasih. Kedatangan tim liputan Metro TV membuat ibu empat anak itu semangat hidupnya mekar lagi, bahkan jika biasanya hanya terbaring, kini ia bisa duduk diatas kasurnya. Sore itu ibunda Yanti melalui telepon meminta putri keduanya itu pulang lebih cepat. "Ibu bilang ada tamu dari Metro TV. Saya kaget," ujarnya jujur.

Malam itu saya dan tim liputan Mata Najwa tiba di sebuah rumah di kawasan Klender Jakarta Timur. Arsitektur rumah itu terlihat khas tempo dulu. Selain satu set meja dan empat kursi di teras depan, sebuah altar sembahyang berdiri di samping rumah. Setelah disambut tuan rumah dan dibekali penjelasan kondisi sang calon narasumber, masuklah saya ke ruangan Nenek Pudjarti, pengasuh Meutia Hatta semasa putri sulung Sang Bung itu masih belia.

"Om swastyastu," akhirnya saya masuk ke kamar Nenek Pudjarti. Ia kemudian menyambut kedatangan saya dengan keramahan yang sama seperti ketika saya menelpon mohon izin wawancara. Saya lalu duduk di kursi diantara dua ranjang, ranjang Nenek Pudjarti dan ranjang tempat suaminya yang berusia 83 tahun berbaring.

Saya langsung menceritakan maksud kedatangan, menjelaskan rencana penayangan wawancara, dan menjamin bahwa Cut Meutia Farida Hatta (Nenek Pudjarti selalu memanggilnya dengan sebutan Cut), merestui wawancara itu. Untaian kisah pun bergulir.

 


Saya umur 14 tahun mengikuti ibu saya, beliau sebagai penjahit istana wakil presiden. Waktu itu Bu Rahmi Hatta sedang mengandung tua. Waktu itu belum ada gurita, baju bayi, popok, dsb. Itu yang jahit ibu saya. Saya diminta membordir baju itu. Lahirlah puteri pertama bapak wakil presiden tanggal 21 Maret tahun 1947, dinamakan Meutia Farida, di belakangnya tentu Hatta. Karena nenek beliau, ibu dari ibu Hatta orang Aceh, ditambah Cut, sebutan Aceh. Jadi sampai sekarang pu kami menyebut Cut Meutia Farida Hatta.

Setahun setelah Cut Meutia lahir, tahun 1948 tanggal 18 Desember, bapak-ibu wakil presiden bersama rombongan menuju Kaliurang-Yogyakarta, sore berangkat bermalam di Kaliurang. Putrinda Bu Farida Hatta bersama rombongan menyusul. Ternyata ada telepon dari ajudan presiden, memberitahuakan bahwa Bung Hatta harus turun, karena waktu itu bukan bantuan yang turun dari Belanda tapi tentara. Di Lapangan Maguo sudah disiapkan mobil AB 32 untuk pegawai. Saya sudah duduk disana, tapi saya dipanggil oleh Ibu Hatta, pindah di mobilnya ibu-bapak. Pakaian saya kan di AB 32, "sudah gampang tu," kata Bu Hatta. Saya di depan bersama supir. Sampai di Pakem, pesawat terbangnya sangat rendah, dan bomnya dijatuhkan, padahal mobil AB 317 itu sudah dikerudungi oleh daun-daunan, untung tidak terkena. Aduh mati saya, Bu hatta bilang "Ti, ga mati Ti." Ternyata mobil AB 32 kembali ke Kaliurang.

Kita masuk kota Jogjakarta sepi senyap Malioboro, di Ngupasan sebelah gedung agung. Disana sudah ada KNIL yang pamer senjata, tapi Bu Hatta bilang tenang, kita jangan waswas. Beliau menyebarkan peluru di depan kita, bapak wakil presiden di gedung agung, mungkin sedang rundingan dengan Bapak Republik Indonesia Soekarno. Bapak mondar-mandir, akhirnya bawa bendera putih, Indonesia menyerah. Saya bingung harus pulang, gimana, kebetulan ada pegawai kebun yang tinggal di kediaman ibu. Tolong sampaikan ke ibu saya selamat di gedung agung. Akhirnya kami dari ngupasan ada empat yang mengikuti, semua perempuan.

Malam harinya, kami melihat Ibu Fatmawati, Soekarno dengan Mas Guntur dan Bu Mega tidur di kamar mandi menurunkan kasur, kami tidur di manapun. Kata Bung Karno "wis ojo podo wedi". Malam harinya dar der dor, saya hanya nangis. Saya berdoa. "Nah itu bagus berdoa," kata Bung Karno. Terus ternyata mungkin apa itu yang dikatakan perang enam jam di Jogja, saya ga tau belum ingat apa-apa. Ada pegawai yang naik ke pohon, Belanda bilang turun, nanti ditembak. Kita pada ketakutan. Tapi, tiga hari kemudian atau lima hari kemudian Bapak Soekarno sudah disiapkan jip yang akan mengangkut beliau. Disitu saya melihat Bu Fatmawti sedang gandeng Ibu Megawati dan gandeng Mas Guntur, dan Ibu Hatta menggendong Cut Meutia Farida Hatta dengan tangis anak dan ibu sendiri, tapi bapak-bapak dengan tegar dan percaya diri bilang semua akan selamat. Beliau mencium bu megawati. Bung hatta juga mencium bu meutia. Beliau naik mobil dengan dihormati MP-MP Belanda dengan hormat. Mereka menghormati presiden dan wakil presiden republik indonesia. Mereka melambaikan tangan. (Beberapa kalimat terakhir di paragraf ini diceritakan hinnga Nenek Pudjarti menangis).

Pada suatu pagi Ibu Fatmawati ambil sayuran, tapi polisi militer hormati Bu Fatmawati, mereka kawal. Dua bulan kami di gedung agung. Disitu Ibu Fat dan Ibu Hatta dikawal mereka dengan kendaraan mencari tempat tinggal. Sebegitu pengawal kita berpakaian preman supaya tidak ketahuan Belanda, ibu belanja.

Pada suatu hari akan ketemu Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saya diajak Ibu Hatta. Kami diberi tugas Bu Rahmi Hatta ambil nampan dan unjukan. Sri Sultan Hamengku Buwowo ke-9, Sinuwun ya sudah rawuh, kita jongkok sampai di samping Rahmi Hatta, itu nampan bunyi. Bunyi cangkir yang akan dihaturkan. Sinuwun hanya mesem. Aduuuh, bisa melihat beliau mesem tu terobat sekali. Saya yang haturkan unjukan, alhamdulillah selamat, ga tumpah. Lalu mundur lagi. Itulah daya raja itu ga bisa kita orang kecil punya. Bisa menghaturkan unjukan itu ganjaran luar biasa.

Tahun 1950 kita pindah ke Jakarta. Tinggal di Merdeka Selatan. Saya dapat tugas antar sekolah Bu Meutia Hatta, waktu itu umur empat tahun. Kemana Cut pergi mesti saya ikut. Ke Megamendung juga, tempat istirahat ibu-bapak, saban Minggu kita kesana. Dengan mbak Megawati ya dulu kecil-kecil sudah jadi pengibar bendera pusaka. Bu Mega sama Bu Mutia Hatta, ceritanya dulu. Kami juga kadang sowan ke istana, ketemu Bu Fatmawati dengan Mas Guntur, Bu Rahmawati, Bu Sukma, udah seperti saudara. Bu Rahmawati juga berkunjung ke Merdeka Selatan.

Bung Hatta seperti di foto, pendiam tapi kepandaiannya itu, hobinya baca. Nah sekarang Ibu Mutia mewarisi kepandaiannya beliau. Pandai sekali Bu Farida, sudah profesor doktor kan. Udah gitu lahirlah Ibu Gemala Rafiah Hatta. Ibu Rahmi menganggap yang lahir bayi laki-laki karena mengharap laki-laki. Tempat tidur yang model sekarang, warna biru waktu itu karena dianggap laki, ternyata perempuan. Waktu itu dokter Sarwono, dokter untuk kelahiran, dokter Suharto, dokter pribadi dari Keramat dulu. Udah itu kemana pun saya diajak oleh Ibu Hatta, nonton bioskop sudah ada tempat. Di Metropole. Saya nonton mesti ada lima tempat kosong, saya, ayahanda, bukan Bung Hatta. Bung Hatta nggak kerso pergi-pergi. Ibunda, Ibu Hatta, saya, pengawal satu. Nonton film. Ga pernah beliau (Bung Hatta), kecuali acara resmi. Paling ke gunung, ke Megamendung, terus cari ikan, mancing.

Acara dulu tu bagus sekali. Pada suatu saat Indira Ghandi datang ke Indonesia, Bung Hatta sudah siap, Bu Hatta sudah siap. Saya jemput sekolah dulu. Terus dilukis oleh Basuki Abdullah bagus sekali nak, ditempel di tembol di Jalan Diponegoro ada. Wah lukisannya hebat. Di istana, pernah masuk istana? Itu disana lukisannya bagus. Ibu Farida dilukis pake kudung, cannnnntik sekali. Tidak neko-neko kudungnya. Ada di depan istana merdeka lukisannya.

Terakhir saya mau diajak ke Cina dan Jepang, tapi saya sudah disumpah untuk kabinet Presiden Soeharto. Setelah ikut Presiden Soeharto, saya ditanya ketika Bu Meutia mau jadi manten. Biasanya di meja Ibu Tin ada apa? Saya matur, ada satu set beliau kan makan sirih, itu harus ada. Bukan harus, kalau bisa diadakan, itu Bu Tin senang. Kalau keluar negeri bawa nak, jadi sirih lengkap, melati lengkap, itu bawa di ice (box), jadi dingin.

***

Wawancara dengan Nenek Pudjarti berlangsung lebih dari setengah jam. Cuplikan wawancara diatas tayang dalam program Mata Najwa Metro TV episode Istana Punya Cerita. Untuk menyaksikan wawancara Meutia Hatta dengan sisipan wawancara Nenek Pudjarti, klik gambar di bawah. Untuk melihat rekaman lengkapnya, kunjungi http://www.matanajwa.com/read/videolist


Senin, 17 Maret 2014

Jalan-Jalan ke Bantaeng

Dokumentasi liputan saya ke Bantaeng yang tidak (mungkin) tayang 
di program Mata Najwa Metro TV

Minggu, 16 Maret 2014

300: Rise of an Empire


Menyaksikan film 300: Rise of an Empire, seakan memasuki mimpi buruk. Yunani kala itu begitu suram. Ditambah suasana invasi kerajaan Persia dan tumpahan darah perangnya, film itu cukup kuat menghadirkan peradaban lampau yang menyeramkan. Saya sebenarnya ketinggalan 10 menit pertama. Tapi toh saya tetap bisa mengalir dalam alur cerita yang menjadi prekuel sekaligus sekuel film 300 itu. Dikisahkan kerajaan Persia pimpinan raja Xerxes ingin menginvasi Yunani, termasuk Athena dan Sparta. Sparta yang dikenal dengan manusia beringasnya seperti dikisahkan di film pertamanya yang keluar 2007, menyerang penjajah dengan 300 pasukan dan gagal karena pengkhianatan. Beda dengan film pertama yang fokus di para Spartan, kali ini film didominasi pertempuran orang Athena pimpinan Temistokles.

Temistokles adalah jenderal yang berhasil membunuh raja Darius, pimpinan Persia sebelum digantikan Xerxes. Ia memanah dari jarak jauh hingga Darius tewas. Dalam menghadapi invasi kedua Persia ke kotanya, Temistokles berhadapan dengan Artemisia, seorang panglima perang berdarah dingin yang menjadikan dendam pribadi sebagai motifnya menyerang Yunani. Artemisia sebenarnya orang Yunani, tapi keluarganya dibantai tentara sipil. Ia pun tumbuh bersama dendam, setelah seorang Persia menyelamatkan dan melatihnya bertarung. Perang antara pasukan pimpinan Temistokles dan Artemisia inilah inti kisah Rise of an Empire.

Artemisia dan Temistokles banyak bertarung di laut. Pertempuran kedua armada pun menjadi daya tarik tersendiri di film ini. Bagaimana Temistokles berstrategi dengan armadanya, bagaimana kuat dan banyaknya tentara Artemisia, tergambar indah dalam banyak gerak lambat. Kemana para Sparta? Ada. Mereka menolak bergabung dengan Athena karena merasa Sparta adalah wilayah terpisah yang merdeka. Para orang Athena yang rata-rata petani dan pujangga, kemudian harus bertarung tanpa bantuan para manusia brutal dari Sparta. Mampukah mereka menghalau Artemisia dan rajanya Xerxes?
(rhezaardiansyah)

Regenerasi ARTE

Rangkaian acara pameran seni ARTE hadir lagi. Kali ini ia datang dengan tema re:generation. Ada empat interpretasi dari tema ini. Pertama, karya-karya yang ditampilkan mewakili kondisi generasinya saat ini. Kedua, ada juga yang memaparkan kemungkinan yang terjadi di masa depan dengan karyanya. Ketiga, sejumlah karya memperlihatkan adanya jarak antar generasi. Lalu yang terakhir, ada juga yang berupaya mengenang masa lalu. Dari 400 karya yang masuk, telah lolos seleksi 72 diantaranya. Mereka lahir dari 57 orang seniman. Berikut ini akan saya ceritakan beberapa karya yang bisa saya bahas.



Seorang komikus bernama Azer menampilkan karya melalui goresan tinta diatas kertas yang berisi kritikan tentang sejumlah hal. Misalnya, tentang media sosial yang justru membuat seseorang antisosial. Ada juga tentang nostalgia super hero masa kecil yang dikaitkan dengan teknologi terkini. Azer juga menampilkan fenomena sosial yang tak hanya berkaitan dengan media sosial. Goresannya sederhana, minim warna, tapi sarat makna.

The Bomber's Heart. Demikian saya melihat karya The Popo Bertajuk D.O.A. Entah berarti doa entah maknanya dead or alive (you always be in my heart dad). Tahun lalu ayah Ryan "Popo" Riyadi berpulang. Sejumlah karya visual bernafas kenangan bersama ayah pernah ia produksi. Kali ini ia melakukannya lagi di ARTE. Ada lima adegan unik seorang ayah dan anak khas The Popo. Yang juga menyentil hati, di satu bagian Popo menuliskan kutipan kalimat ayahnya, "Tuhan memberikan surga-Nya lebih dulu di dunia kepada saya yaitu anak-anak saya".


Adalah seorang Bali bernama I Made Muliana Bayak, pelukis cum gitaris band Geekssmile. Serupa dengan yang selalu ia suarakan dalam lirik lagunya, Bayak kukuh melaju di tema kapitalisme. Dalam karyanya berjudul Raped Island ini, tampak peta pulau Bali yang ditandai kata SOLD di seluruh bagiannya.


Vokalis Seringai Arian13 juga menghadirkan karyanya. Satu diantaranya adalah cover dari album Taring. Arian tetap menampilkan tengkorak sebagai sidik jari karyanya, dan sindiran terhadap makna damai.
Seorang bernama Bunga Fatia menghadiahkan grafiti untuk ibunya yang berulang tahun. Dengan cat semprot diatas kayu tripleks, karya itu berhasil memudakan sosok ibu. Judul karyanya serupa dengan yang tertulis disana, Happy Birthday Mom.

Jatiwangi Art Factory hadir di ARTE. Pentolannya yang memajang karya adalah Arie Syarifuddin. Ia menampilkan sebuah performance art yang ditampilkan dalam bus di Singapura. Seorang pria masuk bisa dan meminta maaf di hadapan semua penumpang. Lalu dia menyalami semuanya satu persatu. Yang menolak ia minta "take my hand", sementara yang tetap menolak ia biarkan. Saya berharap orang-orang Singapura itu tak tahu kalau yang mohon maaf karena melanggar aturan itu orang Indonesia. Hehe.

Sebuah film lebih dari empat menit menampilkan perjalanan seorang siswa SMK yang berkenalan dengan seni. Penuturannya yang humoris membuat film ini menarik. Judul filmnya The Undifined Artist atau Seniman Bau Kencur. Pembuatnya Zulficzar Arie.

Karya satu ini menurut saya yang paling berkesan. Sebuah film 24 menit menampilkan dialog antara empat orang pendaki gunung di tendanya. Obrolan mereka direkam sekali tembakan kamera. Gaya mereka bertutur juga cair. Dari soal film, kebiasaan seksual pria, hingga kontemplasi keberadaan makhluk ekstra terestrial. Kejutan dari film ini ada di visualisasi bagian akhir. Sayangnya, film berjudul Pangeran Kesepian ini lalai memperhitungkan posisi tiduran para aktor yang aneh. Mereka berbaring diatas satu bantal dengan posisi membentuk tanda plus. Ukuran tenda yang terlihat di bagian akhir rasanya tidak memungkinkan untuk berbaring dengan pose demikian. Tapi toh kalau kita mau maklum, si ending mengejutkan tadi bisa jadi alasan. (Teks dan foto oleh Rheza Ardiansyah)

Selasa, 11 Maret 2014

Pelajaran Dari Bantaeng: Sebuah Kota dan Sejumlah Terobosan

Pantai Marina, salah satu destinasi wisata favorit di Bantaeng.
Awalnya berwisata di pantai ini berkonotasi negatif di mata warga Bantaeng.
Setelah diperbarui, Pantai Marina bahkan ramai oleh wisatawan dari luar Kabupaten Bantaeng
Pemkab Bantaeng punya sebuah kolam renang standar olimpiade dan kolam renang untuk anak.
Biaya masuknya cuma tiga ribu rupiah, sementara anak sekolah bisa bebas bermain di tempat ini tanpa dipungut bayaran.
Adalah Bantaeng. Julukannya Butta Toa, artinya kota tua. Bernama demikian karena kota ini sudah ada sejak 750an tahun lalu. Arsitektur khas era pemerintahan kolonial Belanda di sejumlah tempat, menegaskan impresi kota yang pernah menjadi afdeling atau ibu kota pemerintahan itu. Namun beberapa tahun lalu, pesona kota bersejarah ini sempat terkubur berbagai masalah. Banjir seringkali menyusul hujan yang mengguyur Bantaeng beberapa jam saja. Kala musim kemarau, kekeringan sudah niscaya. Disana dulu juga ada sebuah pantai yang tak terurus. Namun kini pantai itu malah jadi pusat aktivitas warganya. Inilah Bantaeng setelah tahun 2008. Setelah ia dipimpin bupati yang seorang akademisi.

Simak beberapa potongan kisah tentang Bantaeng yang saya temukan sendiri disana. Klik judul berikut untuk membaca reportase hal-hal menarik di Bumi Butta Toa:







Beragam masalah yang semula mengepung Bantaeng, perlahan mulai dihadapkan dengan solusinya masing-masing. Dari daerah langganan banjir, menjadi daerah tingkat dua langganan adipura. Rapor pembangunan yang dilihat dari data Badan Pusat Statistika (BPS) pun nampak membaik. Bantaeng kini bersiap menjadi metropolitan baru di sulatan Sulawesi pada 2018. Lima tahun setelah itu, Bantaeng menargetkan diri menjadi megapolitan. Kita tunggu. []


Pelajaran Dari Bantaeng: Teknologi di Atap Kabupaten

Dari atas perkebunan Kabupaten Bantaeng, garis pantai kabupaten terlihat jelas
                Meskipun luasnya cuma 0,63% provinsi Sulawesi Selatan, Bantaeng punya bentang alam lengkap. Dari gunung sampai pantai ada. Berdasarkan kondisi alam itulah pemerintah kabupaten Bantaeng merumuskan jurus pembangunan—membagi Bantaeng dalam klaster pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Pantai diprioritaskan menjadi kawasan wisata. Dataran rendah untuk pertanian bahan pangan pokok dan sedang disiapkan untuk menjadi area industri smelter atau pengolahan nikel. Sementara dataran tinggi, menjadi arena pertanian berbagai jenis komoditas, salah satunya daikong.

                Daikong adalah sayuran sejenis lobak yang berasal dari Jepang dan biasa digunakan untuk campuran sashimi. Di Bantaeng, daikong tumbuh subur. Umbi-umbian ini nantinya diekspor dan digunakan di restoran khas masakan Jepang. Selain daikong, di dataran tinggi Bantaeng juga tumbuh talas jepang. Talas ini dibiakkan dengan metode kultur jaringan. Laboratoriumnya pun tersedia diatas sana, lengkap dengan sejumlah tenaga profesional. Berbeda dengan talas lain, si talas jepang punya lebih dari satu umbi di bawah tanah. Selain talas dan daikong, perkebunan stroberi dan apel juga ada. Kalau stroberinya sedang berbuah, wisatawan bebas memetiknya dan membeli untuk dibawa pulang.

Tunas talas jepang di laboratorium Kabupaten Bantaeng
Salah satu bagian dari kebun dan laboratorium yang dikelola Pemkab Bantaeng
Bupati dan jajarannya berfoto bersama daikong yang baru dipanen

Pelajaran Dari Bantaeng: Bantaeng Kota Romantis

Anjungan Pantai Seruni
                Ya, Bantaeng juga bisa dibilang kota romantis. Pertama, disana ada sebuah ruang publik unik, namanya Pantai Seruni. Dulu, yang namanya Pantai Seruni adalah pantai yang jorok, bukan lagi kotor. Di sepanjang garis pantai, tiap pagi warga “jongkok” disana. Kala malam, tak ada yang berani melewati tempat itu. Selain berdekatan dengan lapas, ada sebuah pohon besar yang kata seorang warga, dihuni kuntilanak. Kalau kita lewat malam-malam di bawah pohon itu, katanya ada yang menaburkan pasir dari atas. Benarkah? Entah. Yang pasti, kini Pantai Seruni sudah jauh dari kisah kelam tadi.


Bayangkan, ada sebuah alun-alun kabupaten yang berbatasan langsung dengan laut. Di dekatnya ada sebuah anjungan serupa Pantai Losari di Makassar. Berdirilah disana pada sore hari. Maka gradasi warna langit yang terlihat dari sana, baru satu bagian keindahan. Lalu tengok sisi lain alun-alun tadi. Sebuah rumah sakit daerah berstandar internasional sedang dibangun. Tingginya delapan lantai. Bupati dan wakilnya (ketika saya wawancara) kompak menyebut gedung itu rumah sehat, bukan rumah sakit. Di sampingnya sebuah apartemen dibangun pemerintah kabupaten untuk dihuni para dokter yang bertugas disana. Dimana dokternya sekarang? Di Jepang. Mereka disiapkan untuk mengoperasikan peralatan medis berteknologi canggih. Sepulang dari Negeri Sakura yang berbarengan dengan rampungnya pembangunan gedung pada 2015 mendatang, sepuluh dokter tadi siap beraksi. Oh ya, semua gambaran indah tadi adalah visualisasi Pantai Seruni kini.

Keindahan Pantai Seruni belum habis disana. Ada balai atau tribun yang menghadap laut di alun-alun Pantai Seruni. Disana bupati biasa menerima tamu. Kalau tak ada tamu, wargalah yang menempati, karena di dekatnya, 200an kursi plastik berjejer teratur diduduki warga yang bercengkerama sambil menikmati sara’ba—minuman khas Bantaeng yang terbuat dari sari jahe. Kalau kamu ada disana ketika malam, sebuah odong-odong berhias lampu warna warni berkeliling di lintasannya yang beraspal mulus. Nah, jawaban dari kenapa tempat ini romantis, adalah karena setelah Pantai Seruni direnovasi, angka perceraian di Kabupaten Bantaeng terjun bebas. Tahun 2012 angka perceraian disana cuma 17 kasus. Bandingkan dengan angka rata-rata muncul di tahun-tahun sebelumnya yang menembus lebih dari 100 kasus perceraian. Pantai Seruni baru satu dari tiga pantai di Bantaeng yang dirombak total. Pantai Lamalaka disulap menjadi tempat makan yang berbatasan langsung dengan laut. Sementara Pantai Marina, cocok digunakan bermain ombak.

Alasan kedua romantisnya Kabupaten Bantaeng adalah hubungan harmonis rumah tangga para pejabat kabupaten. Bupati Nurdin menghimbau jajarannya untuk memeluk dan cium istri masing-masing sebelum berangkat kerja. Saran itu nampaknya dituruti para pejabat kabupaten, bahkan mungkin dicontoh warganya. Soalnya Sang Bupati sendiri memberi contoh. Di hadapan saya dan seorang kepala dinas, bupati tak segan merayu istrinya. Romantisme Bantaeng akan lebih terasa, jika kita berwisata kesana dengan orang yang cocok diajak beromantis ria. Hehe.

Kanan: Rumah Sakit Daerah Bantaeng yang sedang dibangun
Kios makanan di Pantai Seruni
Odong-odong berhias lampu mengitari alun-alun Pantai Seruni dan melewati lapas
Warga beraktifitas di Pantai Seruni sejak siang hari


Pelajaran Dari Bantaeng: Sepak Terjang Sebuah Brigade

Posko medis BSB kini tak hanya didatangi warga Bantaeng, tapi juga warga kabupaten tetangga.
Meski bukan warga setempat, mereka tetap dilayani.
Ambulans BSB yang di dalamnya terdapat peralatan medis lengkap.
Kejadian ibu melahirkan di dalam mobil ini cukup sering terjadi
Armada mobil pemadam kebakaran BSB Bantaeng.
Mobil terdepan bisa menjangkau titik api di ketinggian lantai 30
Revolusi pelayanan kesehatan bergulir di Bantaeng. Jika lazimnya orang sakit menghampiri balai pengobatan, maka di kaki paling selatan pulau Sulawesi itu, logika demikian dibalik. Warga yang merasa tidak sehat tinggal hubungi nomor 113. Selanjutnya mereka akan didatangi seperangkat alat dan tim medis yang siap melayani. Dokter dan tim medisnya akan menghampiri rumah dan memberi pengobatan. Jika tidak bisa ditangani dalam satu tindakan, si sakit akan dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Tentu dengan ambulans gratis yang ditunggangi tim itu. Ambulans yang ada di Bantaeng bukan ambulans biasa. Armada itu memfasilitasi tindakan medis semacam operasi di dalam kabinnya. Kejadian melahirkan di dalam mobil contohnya, bukan terjadi sekali-dua kali. Makanya, angka kematian ibu dan bayi menurun drastis setelah ada si kelompok siaga tadi. Tim yang selalu siap dengan panggilan warga tersebut menamakan diri Brigade Siaga Bencana.
                
Brigade Siaga Bencana atau BSB, membawahi pelayanan hal-hal darurat yang dialami warga. Tak hanya bidang kesehatan, peristiwa kebakaran pun akan diatasi dengan reaksi cepat oleh BSB melalui kontak telepon yang sama, 113. Ada kisah tentang seorang pemadam kebakaran di Kabupaten Bantaeng, namanya Bobi. Ayah dua anak ini pernah berkesempatan diberangkatkan ke Jepang oleh Bupati Bantaeng untuk belajar tentang profesi yang ia geluti. Sekembalinya ke kampung halaman, Bobi dihadapkan pada sebuah insiden kebakaran. Saatnya ia beraksi. Naas, ketika menjinakkan si jago merah, sebuah kecelakaan menyertai. Bobi tewas di tempat.

Kecelakaan yang dialami Bobi kemudian menjadi pelajaran berharga bagi satuan pemadam kebakaran Bantaeng. Kini, mereka dilengkapi dengan armada yang lebih baik. Salah satunya adalah mobil pemadam kebakaran yang didatangkan dari Jepang dan mampu mencapai titik api di ketinggian lantai ke-30. Padahal, di Bantaeng gedung tertinggi adalah RSUD. Itu pun cuma delapan lantai dan belum rampung dibangun. Rupanya mobil itu berguna ketika pada suatu saat, pasar terbakar dan titik api ada di bagian tengah. Tangga di mobil pemadam kebakaran kemudian dipasang horizontal untuk memadamkan si api.

Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah (kanan) usai memberi makanan untuk Afgan, anak almarhum Bobi.
Saat ditanya cita-cita, Afgan mantap menjawab ingin menjadi pemadam kebakaran.
Pria berbatik hitam adalah Hidekazu Futagami, direktur Ehime Toyota.
Ia dan timnya berada di Bantaeng setelah memberi bantuan mobil ambulans.

Pelajaran Dari Bantaeng: Curhat ke Bupati


                “Jadi bupati itu enaknya cuma 30 persen, sisanya enak sekali,” kelakar Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah menirukan candaan tentang posisi bupati di daerahnya. Nyatanya, ia mengaku kata enak disana tidak ada. Dalam arti, menjadi bupati ternyata tak semudah itu. Profesor kehutanan lulusan Jepang itu harus langsung berhadapan dengan berbagai masalah di Bantaeng. Satu persatu, masalah itu lalu ia carikan solusi.

                Salah satu gaya memimpin Nurdin Abdullah yang ia praktikkan, adalah menemui warganya secara langsung. Bapak tiga anak ini setiap hari menerima kunjungan warga di kediaman pribadinya. Halaman belakang rumahnya ia set menjadi aula penerimaan tamu. Dari jam setengah enam hingga sembilan pagi, warga curhat ke bupati. Diantara mereka ada yang meminta jalan di sekitar rumah diperbaiki, ada yang minta dibantu dana untuk mas kawin, ada juga yang sekadar ingin mengucapkan terima kasih.

                Keterbukaan dengan warganya itu, diakui bupati ampuh membuat masalah warga tuntas. Ia tahu betul bahwa untuk mengetahui kondisi warga sebenarnya adalah dengan mendengar langsung dari mereka. Seorang tokoh masyarakat yang semula menentang kepemimpinan bupati pun akhirnya berbalik arah. Ia kini mengacungi jempol kepemimpinan bupati setelah merasakan sepak terjangnya. “Anak saya buka bengkel ojek. Sekarang sepi. Dulu warga itu naik ojek, sekarang mereka punya mobil sendiri karena jalan sudah bagus”, ujarnya mengulas sebuah fenomena di Bantaeng.


Seorang ibu saya wawancarai setelah ia mengadu ke bupati dan diajak sarapan oleh istri bupati. Si ibu mengadukan penerimaan PNS yang kurang memuaskan. Mendapat penjelasan dari bupati, ia akhirnya lega. Saya lalu bertanya, kenapa ia tidak berdemo. “Malu, kami kan pengajar. Kalau kami demo  nanti ditiru anak-anak”, ulasnya. Jawaban ibu tadi mengingatkan saya ke sindiran bupati yang bilang bahwa orang Indonesia itu gengsinya tinggi malunya sedikit. Nampaknya di Bantaeng tidak demikian.

Pelajaran Dari Bantaeng: Tak Ada Lagi Banjir Kala Hujan, Kering Ketika Kemarau


              Dalam sebuah video bertahun 2008, terlihat luapan air setinggi lutut orang dewasa. Siang itu Area pusat Kabupaten Bantaeng terlihat sepi. Hanya beberapa orang yang nekat menerjang banjir. Kata seorang warga, banjir sudah menjadi langganan di Bantaeng. Itu sebelum dibangunnya bendungan. Pembangunan bendungan atau cek dam adalah program pertama bupati Nurdin Abdullah setelah ia dilantik pada Agustus 2008. Menariknya, bendungan itu adalah realisasi karya ilmiah sang bupati.

            Awalnya ia mendapat resintensi dari warga. Bagaimana tidak? Cek dam itu dibangun di daerah yang tidak dilewati aliran sungai besar. Sepintas orang bisa mengira bupati itu asal tunjuk lokasi saja. Satu lagi, cek dam dibangun ketika Indonesia terharu (dan takut) dengan tragedi Situ Gintung di Ciputat Jawa Barat. Ketika itu lebih dari 100 orang tewas terseret air yang semula dibendung. Warga Bantaeng tentu ogah kejadian itu berulang di rumahnya. Tapi toh bupati tetap melenggang dengan program cek damnya.

               Ternyata benar. Setelah cek dam rampung dibuat, banjir tak lagi akrab dengan Bantaeng. Yang dilakukan bupati dengan cek damnya, adalah membuat sungai buatan. Jika debit air di cekungan cek dam melebihi batas normal, air akan dialirkan ke saluran lain sehingga merata. Dengan cek dam itu, Bantaeng tak lagi kelebihan air saat hujan. Tidak juga kekurangan ketika kemarau.

Pelajaran Dari Bantaeng: Wisata Budaya di Bantaeng

Bantaeng dibekali sebuah warisan budaya berupa istana Kerajaan Gowa.
Istana berupa rumah panggun itu bernama Balla Lompoa. Tahun 1950an Bantaeng terakhir kali mengangkat raja.

Seorang kakek menghuni istana Balla Lompoa Bantaeng.
Ketika ditanya umur, ia mengaku lupa.


Seorang pemandu wisata menceritakan bahwa di dalam Balla Lompoa ada sebuah ruangan yang disakralkan.
Untuk menuju kesana ada sebuah tangga. Ada upacara khusus untuk bisa memasuki ruangan berisi
berbagai peninggalan kerajaan itu

Bung Karno pernah mengunjungi Bantaeng. Fotonya terpampang di dinding salah satu sisi Balla Lompoa

Balla Lompoa pernah dijadikan ruang perkantoran di era pemerintah kolonial Belanda.
Ruangan yang pernah menjadi kantor itu dibiarkan seperti semula.

Sebuah foto memperlihatkan para pejabat pemerintah kolonial Belanda berfoto di hadapan Balla Lompoa
Di Bantaeng juga ada sebuah mesjid yang dibangun sejak tahun 1885.
Hingga kini masih digunakan dan terawat dengan baik.

Menara mesjid tua

Bantaeng juga punya berbagai bangunan bergaya arsitektur kuno. Diantaranya mesjid yang terlihat dari Pantai Seruni ini.
Gedung pusat pemerintahan kabupatennya pun bergaya lama.


Rabu, 05 Maret 2014

Pelajaran Dari Bantaeng: Ketika Profesor Jadi Bupati


        Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang Bantaeng. Sebuah kabupaten si ujung selatan Sulawesi, yang kini terkenal berkat jasa bupatinya. Nama bupati kabupaten berjuluk Butta Toa atau tanah tua itu, mencuat ke publik setelah sejumlah tokoh intelektual menyodorkan 19 nama alternatif bakal calon presiden Indonesia. Diantara deretan nama dalam maklumat berjudul Komunike Bersama Peduli Indonesia itu, ada Nurdin Abdullah, bupati Kabupaten Bantaeng. Profesor bidang kehutanan di Universitas Hasanuddin itu bertengger bersama empat nama pemimpin daerah lain yang dinilai layak mengajukan diri memimpin negeri. Sebenarnya apa yang menarik dari sang profesor, hingga pamornya sedemikian melejit? Saya menyaksikan langsung bagaimana rakyat Bantaeng Sulawesi Selatan memandang bupatinya.


        Sore itu ia duduk di salah satu kursi ruang tamu rumah jabatan bupati Bantaeng. Setelan kemeja batik resmi masih ia kenakan. Padahal menurut seorang warga Bantaeng, sang bupati sering kali berbusana layaknya warga biasa. Rupanya Nurdin Abdullah baru tiba dari Pare-Pare. Disana ia menyerahkan bantuan mobil ambulans dari Ehime Toyota, perusahaan yang juga menyumbang sejumlah armada mobil dinas di Bantaeng. Terlihat tanpa lelah, ia meladeni saya yang bertanya sejumlah hal. 


         “Saya ini seperti bulan madu setiap hari. Kalau tugas luar kota ingin segera pulang, kangen istri,” ujarnya setelah mengenalkan Liestiaty Fachruddin, istrinya yang dinikahi ketika sang bupati berumur 21 tahun. 

Nurdin dibesarkan dalam gemblengan orang tua yang bersikap tegas. Sejak duduk di bangku SMP, Nurdin kecil sudah harus mencari uang sendiri. Ketika SMA bisa hidup dari usaha jual beli mobil bekas. Saat kuliah, ia menikahi anak rektornya dan menolak menikmati fasilitas mewah yang tersedia. Nurdin dan istrinya kemudian berangkat ke Jepang untuk sama-sama melanjutkan studi. Suami belajar ilmu pertanian, istrinya studi perikanan. Duet keilmuan keduanya ternyata cocok dengan kondisi alam Bantaeng, kampung halaman Liestiaty. Dalam sebuah kelakar, Nurdin berujar “saya yang urus darat, istri urus laut.”


Rekam jejak politik Nurdin bermula pada tahun 2008. Meski bukan politisi, namanya telah populer di kalangan warga Bantaeng. Kala itu ia maju sebagai bupati dengan mengantongi restu partai politik kecil nonparlemen. Hasilnya mengejutkan. Perolehan suaranya kala itu mencapai lebih dari 40 persen. Nurdin kemudian dilantik pada Agustus 2008. Kurang dari lima tahun periode kepemimpinan pertamanya, Bantaeng banyak berubah. 


Saat masa bakti pertamanya habis, Nurdin digempur warganya yang mendorong agar ia mencalonkan kembali menjadi bupati. Nurdin rasional, ketika itu ia tak punya “kendaraan“ untuk melenggang lagi menjadi bupati. Spontan seorang tukang becak yang datang menyatakan dukungan menawari becak miliknya untuk Nurdin jadikan “kendaraan”. Maka demikianlah seperti yang kita sama-sama tahu. Masa kepemimpinan Nurdin Abdullah yang kedua bergulir. Jika semula ia hanya dibekingi partai gurem, kini partai-partai besar menyatukan suara mendukung pencalonan Nurdin. Walhasil, lebih dari 80 persen suara ia raup di pemilihan periode kedua.


Keberhasilan Nurdin Abdullah menyulap Bantaeng akhirnya membalikkan hati seorang tokoh kubu oposisi. Seorang mantan kepala humas pemkab Bantaeng terdahulu, mengaku sebagai orang yang paling menentang kepemimpinan Bantaeng di bawah Nurdin Abdullah. Ia ragu dengan kapabilitas seorang pengajar—yang biasanya berhadapan dengan mahasiswa—untuk mengelola sebuah wilayah. Butuh waktu hampir dua tahun bagi sang oposisi untuk kemudian mengakui kebolehan bupatinya kini. Bantaeng berubah lebih baik.


Ketika di Jepang, Nurdin sempat membangun perusahaan pengolahan ikan tuna. Ia juga menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Jepang pada 1991. Bisnis lain yang juga masih ia jalani hingga kini adalah pembuatan butsudan. Melalui PT Maruki International yang didirikannya, Nurdin memproduksi paket produk budaya khas Jepang berupa altar tempat penyimpanan abu hasil kremasi. Dengan bekal pengalaman studi dan wirausahanya di Jepang, Nurdin mengembangkan Bantaeng. Makanya tak heran, jika sejumlah hal berbau Jepang bisa dijumpai di Bantaeng.


Dalam mengelola Bantaeng, Nurdin punya sejumlah hal unik. Dengan kocek pribadinya, ia menghadiahkan staf untuk melakukan perjalanan studi ke Singapura dan Jepang. Disana mereka diperlihatkan langsung kepada tampilan kota idaman yang sesungguhnya. Hasilnya, penataan kota Bantaeng menjadi lebih mudah. Kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan pun tumbuh. Di Bantaeng ada sebuah motor berbak terbuka yang bertugas memungut sampah apapun di jalan. Tempat sampah juga mudah ditemui di Bantaeng. Bagi warga Bantaeng, kebersihan adalah kebutuhan.


Selain pengelolaan sampah, program lain bupati yang dinilai progresif diantaranya adalah pembuatan Brigade Siaga Bencana, pembangunan bendungan, penataan pantai, hingga penerapan teknologi pertanian.  Hal-hal tersebut akan saya bahas dalam tulisan terpisah.