Rabu, 28 Maret 2012

Indra Azwan


The Raid

Kemarin saya baru nonton The Raid. Sebelum nonton film itu saya lihat blognya Mabu membahas film itu di posting terbarunya. Karena ada indikasi spoiler, saya ga buka dulu sampe nonton filmnya beres. Lalu setelah beres nonton film, barulah saya baca blog mabu yang lengkap ngebahas kerennya The Raid ini. Di blog itu saya meninggalkan komentar, yang sepertinya seru juga buat dijadiin posting tersendiri di blog saya ini. Berikut komentar saya soal film The Raid:



ga ada satupun kekaguman lu sama film ini yang gue tolak. the raid emang gokil. gw sebenernya liat post lu ini sebelum nonton the raid, ga gw buka soalnya ada spoiler.haha.baru setelah nonton gw baca dan nonton videonya.gw coba review pake gaya lu ya.hehe
1. ternyata emosi film itu juga dipengaruhi sama dimana kita nonton dan sama siapa kita nonton lalu gimana tanggapan penonton lain tentang sebuah adegan. Pas liat si mad dog kayak Ki Joko Bodo, itu gw sama orang2 d sekitar seat gw emang ngeliat dia mirip banget sama ki joko bodo,bukan gara2 dia susah matinya. haha. terus pas pertarungan pertama si mad dog sama sersan jaka, yang si jaka ditodong masuk kamar. itu sekitar gw malah ketawa. kalo gw nonton sendiri di laptop misalnya, pasti gw bakal nonton film ini serius, ga ada unsur humornya. tapi beda pas gw nonton di 21 boker kemarin malam. itu malah jadi adegan humor. jadinya kayak si mad dog ngajakin ke kamar berdua, trus pintunya ditutup, itu kocak banget, apalagi beberapa kali ekspos ke mukanya yang mirip ki joko bodo, apalagi ea-ea an penonton lain. haha. baru pas mereka berantem, serius tuh. dan tiap abis berantem, pasti ada yang tepuk tangan. epic banget itu fighting scene nya,gokill. oya satu lagi,pas mad dog bawa buruan ke tama juga itu kocak,pas dia keukeuh bawa buruan yang bener, apalagi pas bilang yang penting gue bawa hasil.haha.kayak anak kecil yang main ejek-ejekan :D
2. termasuk pas si ambon manise. itu juga jadi korban penonton sekitar gw yang terlalu humoris. pas ngomong pake logat daerah itu justru jadi lucu,apalagi matanya yang melotot-melotot gitu. haha.
3. terus pas si rama megang pedang yang ngiris pipinya inget kan. dia kan megang tu pedang,pas dicabut pedangnya dipegang kan, nah si rama mau ngilangin noda darah di pedangnya. itu juga dipuji sama penonton, pinter juga.
4. kalo yang terakhir itu yang shocking banget tu pas letnan wahyu malah nembak anak buahnya, gila. trus pas di tangga pas si tama bilang soal reza yang dibayar lebih gede. itu mematahkan asumsi awal gw yang sempat meremehkan sisi alur film ini. prediksi gw, film ini cuma kuat di adegan silat-silatan, itu kesimpulan setelah resensi yang gw baca, termasuk soal opening yang to the point. ternyata gw salah setelah ekspresi andi beda pas liat rama, sama pas tama bilang soal reza, intriknya ternyata kuat. gw ngebandingin film ini sama film new police storynya jackie chan, yang ada adegan penyerangan penjahatnya juga ke gedung, tapi gagal. tapi film jackie chan itu dinamis, soalnya ada keluar gedungnya, penjahatnya ternyata anak kapolrinya cina, seru jadinya. makanya awalnya gw agak ngeremehin alur film ini. tapi setelah nonton filmnya, gw ngaku salah. the raid itu salah satu film terbaik yang pernah gw tonton. bangga lah gw sebagai orang indonesia punya film yang dibikin sama kebanyakan krunya orang indonesia.
5. coba inget2 pas mobil yang mereka pake ke gedung dibantai sama berondongan peluru. angel kamera awalnya nyorot dari dalem mobil kan, pas supir lagi baca koran, lalu dari atas juga, terus dari belakang penembak. dan di belakang mobil itu ada jalan raya yang rame lalu lintasnya. gw jadi mikir, masa suara peluru itu ga nyampe ke jalan raya sehingga jadi heboh dan ketauan orang banyak. masa ga ada peluru nyasar atau tembus dari mobil ke jalan yang bikin orang sadar disana ada pembantaian. gw bakal lebih puas kalo visualisasi lalu lintas yang rame itu diilangin. tapi itu nol koma sekian persen lah pengaruhnya sama nilai film ini. the raid tetep film yang wajar dinanti-nanti dan dipuji.

The Number

Demo Buruh

 

Langit Makin Mendung

Manis Getir Skripsi: Versi Komik

Kisah ini sebenarnya terjadi setahun lalu, ketika saya yang sekarang telah lulus kuliah, masih ada dalam tahap pengumpulan data penelitian. Saat akhirnya komik karya Windi ini terbit, giliran si pembuat komik yang sedang ada di level pengumpulan data penelitian. Tokoh di komik itu saya dan Windi. Astri yang dimaksud di komik di bawah ini adalah Asrama Putri TPB IPB. Ini adalah seri manis getir skripsi versi komik yang pertama. Manis Getir Skripsi versi buku tidak disebar bebas, versi blog bisa sesukanya kamu baca disini, dan versi komik selanjutnya mungkin akan muncul di blog Nona Windi yang sekarang sedang melalui fase duet rasa penyelesaian skripsi itu.

Sebelum kamu baca komiknya, saya kasih tahu dulu sebuah fakta tentang manis getir skripsi melalui kutipan tweet berikut:


 

Rabu, 21 Maret 2012

Childhood

Katanya masa kecil itu masa yang paling indah. Saat itu tugas kita cuma main, main dan main. Saya pulang ke rumah, dan menyadari beberapa hal berubah dari tempat bermain saya dulu.




Kalau lapangan bola ini, sampe sekarang masih suka dipake, kurang lebih suasananya ga jauh beda.



Di teras ini, saya dan teman-teman suka main benteng-bentengan. Kami menyebut permainan itu "pris-prisan". Saya ga yakin anak-anak jaman sekarang masih memainkan permainan tradisional itu. Tempat ini juga suka jadi base kalau main petak umpet. Kadang latihan bola juga suka disana, makanya kami juga suka dimarahin sama Bapak yang bertugas di balai desa ini, takut kacanya pecah. Dan emang pernah kejadian kacanya pecah gara-gara dipake anak-anak main bola. Haha.



Pohon lengkeng ini dulu batangnya masih bisa digenggam, sekarang udah gede, yaiyalah. Haha.

Di sini dulu ada pohon beringin kecil. Disana banyak ulat dan banyak kepompong. Ulatnya ga berbulu. Kepompongnya juga mengkilat kuning gitu, suka saya main-mainin, kadang dipecah.

Di lapangan ini dulu rumputnya hijau dan tajam, tapi nyaman dipakai latihan nangkep bola buat kiper.

Di beberapa kesempatan, ayah saya pernah cerita tentang sungai kecil yang dulu dipake renang sama teman-temannya yang sekarang sungai itu udah kotor. Beliau juga pernah cerita tentang jalan yang dulu saking lengangnya bisa dijadiin lapangan sepak bola. Sekarang? Mana bisa. Rupa perubahan itu pasti bakal ada, seiring muncul sama pengenangan. 

Ada yang lebih penting dari mengenang tempat sebenarnya, mengenang orang dan jasanya, lalu meneruskan siklus kebaikan yang dia tanamkan. Semoga kita jadi kenangan indah buat orang lain.

Rabu, 07 Maret 2012

Kamera Windi

Windi adalah seorang pelukis/ penggambar/ ilustrator handal. Berbagai penghargaan sudah dia raih dari keahliannya itu. Karyanya pun sedah muncul di berbagai media. Saya mengenal dia pertama kali di Koran Kampus IPB, ketika itu ia menjabat kartunis. Jika selama ini Windi menggores bentuk dengan cat air/ pensil, kini ia mulai merambah karya dengan media baru. Windi melukis dengan cahaya, dia memotret.

Kamera yang jadi senjatanya punya banyak kemahiran unik. Yang paling saya suka adalah efek fish eye. Saya menggemari gambar yang bergaya fish eye. Demi produksi foto fish eye, saya membeli sebuah peep hole untuk menjadi lensa artifisial di kamera saya. Malangnya, peep hole yang saya beli terlalu kecil buat prosumer yang saya pegang, akhirnya figur fish eye belum bisa saya produksi. Nah di bawah ini saya perlihatkan foto-foto dengan efek fish eye yang saya ambil dengan kamera milik Windi. (Saya bilang ke Windi bahwa foto ini hak ciptanya atas nama saya. hehe)



Jumat, 02 Maret 2012

Evolusi Kera, Revolusi Kita


Film Rise of The Planet of The Apes mengingatkan saya ke politik etis. Intinya film ini bercerita tentang primata cerdas yang ingin merdeka, mirip politik balas budi yang pernah terjadi di bumi Indonesia. Pribumi dikasih ilmu oleh penjajah, lantas mereka berontak hingga akhirnya merdeka. Di film ini, seekor primata dijadikan objek percobaan sebuah obat untuk menyembuhkan panyakit alzheimer. Ternyata efek sampingnya, si primata jadi lebih cerdas. Tokoh utama di film ini adalah Caesar. Kalau di indonesia, Si Caesar ini ibarat Bung Karno. Ah, pintar sekali "monyet-monyet" pembuat film ini.

Di sebuah adegan perjalanan menuju tanah kemerdekaan, mereka dihadang polisi. Caesar lalu ngelarang si gorila melukai polisi, karena bukan itu misinya. Monyet Caesar ternyata juga menerapkan prinsip ahimsa, mirip Gandhi. Di film Gandhi, dikisahkan orang Inggris pernah bantai orang India, tapi Gandhi nolak balas dendam. Meski kera-kera kerabat Caesar dipukul, dia ngelarang balas. Tapi ada juga kera bandel yang malah mengajarkan "hutang satu dibayar satu". Ada 1 kera yang ditembak, ada juga 1 manusia yang dibuang ke bawah jembatan sama kera temannya, fair.

Selain mengajarkan kita untuk tidak berbuat berlebihan sama binatang percobaan, Rise Of The Planet Apes juga mengingatkan kita untuk tidak eksploitatif sama binatang. Saya jadi inget tentang kekejaman pada hewan yang infonya ada di poskamling.com. Jangan sampe bebek tau soal foie gras, entar kalo misalnya percobaan ransum anak INTP Fakultas Peternakan IPB bikin efek samping bebek makin cerdas, mereka bisa balas dendam :D

Saya beruntung nonton film ini di DVD, soalnya bisa nonton credit title. Disana ada penjelasan tentang nasib wabah virus itu. Kalo di bioskop biasanya orang udah bubar pas credit title, lampu juga udah dinyalain. Ada sejumlah fakta menarik kalau kamu simak kisah dibalik layar film ini. tokoh Rocket misalnya. Nama itu diambil dari nama seorang kru film. Nama formulanya diambil dari durasi total film ini, 112 menit. Kamu juga bisa lihat beberapa adegan yang diambil dari film Planet Of The Apes tahun 1968 yang dimodifikasi ulang di seri ini.

Tanda Tanya



Setelah sempat didera isu pelarangan distribusi, film ? akhirnya muncul juga di peredaran apresiator karya audio visual. Di masa awal kemunculan film itu, komentar suportif hingga destruktif banyak bermunculan, meski sifat komentar terakhir sepertinya lebih terasa tajam hingga film ini dicap kontroversial, tidak layak tonton, penuh pesan tidak baik, sesat. Tentu itu menurut mereka yang memang tertarik dengan sisi gelap si film. Saya sendiri menilai, film ? adalah sebuah pelajaran berharga. Intinya film ini mengajarkan tentang toleransi antar umat beragama. Tapi ternyata ada hikmah lain selain kehidupan beragama. Misalnya tentang mendidik anak. Simak dialog Ping Hen dan ayahnya tentang cita-cita tokoh yang diperankan Rio Dewanto itu. Tan Kat Sun, si ayah Ping Hen tidak pernah bertanya tentang apa peran yang ingin dijalani anaknya, hingga Ping Hen atau Hendra berontak, meski ujung-ujungnya dia tetap menjalankan pesan ayahnya.

Film ini beberapa hari lalu ditayangkan di SCTV, jam setengah 11 malam. Saya tunggu lama, malah baru mulai jam 11. Itu pun setelah dimutilasi sana-sini. Saya stop nonton, mending liat lewat DVD aja. Kabarnya ada yang larang film itu tayang. Saya pernah baca sebuah ulasan (atau tepatnya hujatan) yang diutujukan ke Hanung di sebuah situs yang berlabel agama. Kok isi ulasan itu malah sampai mengarah ke ngorek kehidupan pribadinya si sutradara. Ironis aja, film ? menurut saya sudah mengarah ke satu agama tertentu (agamanya hanung). Contohnya ketika sejarah santa klaus/sinterklas diceritakan, atau kisah Ping Hen yang pindah agama. Tapi kok malah para aktivis agama itu yang resisten sama film ini.

Film ini juga pesan yang sama dengan film Cin(t)a. Coba cek dialog tentang semua orang jalan di jalan kecilnya sendiri. Saya jadi ingat diskusi di sini tentang topik yang sama. Ini pendapat saya.

Film ini juga sudah dilampiri data-data (baca: ayat-ayat) yang mendukung ide keberagaman dan saling menghormati. Di film Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya saya gemes, menyayangkan absennya Surat Al Ahzab Ayat 35 tentang kesetaraan gender (Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.). Jadinya film itu masih mengesankan ada ketimpangan peran gender di agama yang dibahas di film itu.

Anyway, film ? mengingatkan saya ke sebuah pelatihan kepemimpinan di IPB yang saya ikuti di tahun 2009. Ketika itu kami perwakilan dari seluruh organisasi di IPB diundang untuk ikut pelatihan manajemen organisasi. Kami diinapkan di tempat yang sama, lalu di dalam ruangan itu di waktu maghrib, mahasiswa muslim solat di tengah ruangan, mahasiswa hindu sembahyang di pojok ruangan, seorang bernama depan Muhammad bersahabat dengan dia yang bernama Samuel. Beautiful.

Oke, sebagai bonus buat kamu yang menyempatkan baca ulasan ini, saya ceritakan blunder di film ?. Coba lihat cuplikan film di bawah ini. Cek interval waktu 00:28:50 - 00:30:13. Ada perbedaan posisi gambar lukisan Abi di pintu kamarnya. Awalnya kan di tengah, kok tiba-tiba ada di kiri. Haha. Lumayan lah ya, buat lucu-lucuan. Hey abang-abang resistor film ?, kapan-kapan coba ejek bagian yang ini. :p




Gading-Gading Itu Ada


Padahal ekspektasi saya tinggi sama film ini. Novel Gading-Gading Ganesha sudah terlebih dulu dikenal. Pertama saya tahu soal buku itu dari adik saya yang memang kuliah di kampus ITB. Katanya novel 3G itu dibuat film juga. Ketika saya menemukan film Bahwa Cinta Itu Ada, yang ditambahi embel-embel adaptasi dari 3G, saya antusias, terlebih ada nama-nama besar dibalik produksi film itu.


 Ternyata, sejak durasi awal film saya harus menurunkan standar kepuasan menikmati karya ini. Ada beberapa adegan absurd, dialognya yang seakan tidak wajar, dan beberapa blunder kecil yang menurut saya cukup fatal. Film ini berlatar tahun 1980an, masa udah ada the used (yang baru berdiri tahun 2001) di kaos Rizki Hanggono pas dia ngapel? masa udah ada bukunya robert kiyosaki (yang terbit tahun 2007) di masa perjuangan di Rizki Hanggono (berarti itu masih 90an awal/80an akhir kali ya). Ada juga adegan yg menunjukkan seorang mahasiswa pakai kaos silverchair (band yang berdiri sejak 1992). Gaul sekali.




Yang saya suka dari film ini adalah pesan dari tiap tokoh yang mengajarkan kebanggaan identitas lokal. Biasanya, seorang anak daerah justru malu memiliki logat daerah asalnya, lantas bangga ber-"gue-elo".

Kalau dibandingkan sama film lain berlatar kehidupan kampus (jomblo misalnya), film ini sebenarnya masih kalah. Tapi setidaknya dengan menonton ini, kita bisa tau film hasil kolaborasi nama besar semacam dalang serba bisa sudjiwo tedjo (director), musisi vicky sianipar (penata musik), politisi hatta radjasa (produser eksekutif), dll.