Kamis, 27 Oktober 2011

Tentang Subjektivitas dan Objektivitas

Soal subjektivitas dan objektivitas bagi seorang jurnalis bukan urusan remeh. Wendi Putranto, sang editor eksekutif majalah Rolling Stone Indonesia memaparkan pandangannya (berdasarkan pemaparan J. B. Wahyudi, dosennya) tentang kedua mantra sakti jurnalistik tadi. Mari simak! :)


Kesan Wendi di IPB

Ketika itu IPB kedatangan tamu istimewa. Kontingen yang bernaung di bawah panji Rolling Stone Indonesia dan BNI menggelar seminar Music Biz on Campus. IPB menjadi kampus ketiga yang disinggahi rangkaian event itu. Dalam video di bawah ini, Wendi Putranto, moderator acara itu memaparkan kesannya setelah merampungkan Music Biz on Campus di IPB. Katanya Music Biz di IPB itu sangat berkesan. :)



Sabtu, 22 Oktober 2011

Tentang Tempel-Menempel Part 3

Di eksekusi Tentang Tempel-Menempel bagian pertama, saya tidak menemukan sesuatu spesial. Malam itu saya lewat shelter bis Faperta, cabut sana cabut sini, buang ke tempat sampah terdekat, beres. Di eksekusi Tentang Tempel-Menempel kedua ada kejadian unik. Malam itu setelah posting tulisan diatas, saya langsung menuju TKP, tentu buat nyabut publikasi yang saya anggap liar dan bukan pada tempatnya. Pas lagi nyabutin, ada orang yang liatin. Saya samperin dia, perkenalkan diri, dan kasih penjelasan bahwa kalau PEMIRA begini caranya, ga ada perubahan dong dari bangsa kita. Saya langsung ngeloyor pergi setelah bilang "kalau ada yang nanya siapa yang nyabut, bilang gue". Setelah berjalan beberapa langkah, orang yang tadi saya ajak berbincang berujar agak lantang, "gue juga setuju sama lo, PEMIRA ga ngerubah apa-apa!"

Sebenarnya bukan itu maksud saya. PEMIRA mungkin aja merubah sesuatu, tentu setelah perubahannya terencana dan dieksekusi ideal.

Dibalik Layar Wayang Bambu

Video di bawah ini menampilkan sebagian kecil proses pembuatan film dokumenter yang berjudul Wayang Bambu. Saya membuat film itu bersama Aisyah dan Syifa. Untuk departemen musik, kami mohon izin ke Freeplay untuk menggunakan karyanya. Tentu pihak musisi mengizinkan, meski hingga saat ini mereka belum tahu bentuk filmnya seperti apa. Hehe. Film itu bercerita tentang eksistensi seorang seniman asal Bogor yang dikenal dengan wayang berbahan dasar bambu yang ia kreasikan. Popularitas Wayang Bambu mungkin masih belum tinggi di daerah asalnya, tapi tidak demikian di luar Indonesia. Buktinya beberapa turis asing sempat sengaja menyempatkan diri mengunjungi sanggar Gerbang Kreasi, workshop milik Kang Jajat si empunya Wayang Bambu tadi. Keunikan lain dari wayang bambu adalah bahwa sang dalang ternyata adalah mantan drummer di sebuah band Grindcore bernama Biosucker. Bagaimana bisa ia berbelok menjadi dalang? Simak wawancara dengan peraih gelar pemuda pelopor Bogor dua tahun berurutan itu di tautan berikut.

Tak Seberuntung Dulu

Hari minggu pagi itu beberapa mahasiswa tingkat pertama di IPB tidak menikmati hari libur. Mereka malah duduk manis di sebuah ruangan Fakultas Pertanian untuk mengikuti uji coba ujian matrikulasi Pengantar Matematika. Saya adalah salah satu dari mereka. Rentetan soal habis disikat, tinggal jeda menunggu pembahasan per butir pertanyaan. Jeda berhadiah itu diisi dengan permainan angka donat (entahlah apa nama permainan itu sebenarnya). Jadi tiap ada lubang di satu angka, itu artinya ada satu donat. Misal, 2 x 4 berapa? 8. Artinya ada 2 donat. 11 x 8 berapa? 88. Artinya ada 4 donat. Oke, semua sudah paham. mari kita mulai kompetisi. Rentetan angka puluh ratus dikalikan dengan angka beratus puluh pula. Berapa jumlah donatnya? Hampir tak ada jeda pasca pengajuan pertanyaan, seorang pria berkemeja biru mengangkat tangan, empat katanya. Seisi ruangan hening, semua mata tertuju ke pojok kiri belakang ruangan. Jawabannya benar. Atas jawaban itu, si pria diganjar sebuah kotak pensil yang disimpannya bahkan hingga 4 tahun kejadian itu berlalu. Semua tentu masih takjub dengan kecepatan menjawab mahasiswa yang baru seumur jagung itu. Rahasianya, dia tidak menghitung, dia hanya menebak, dan untungnya, jawabannya benar. Pria itu bernama Rheza Ardiansyah, saya sendiri.


***

Sekitar empat tahun berikutnya, saya mencoba metode yang pernah berhasil itu, di sebuah acara bernama Rolling Stone Music Biz on Campus. Malangnya, tebakannya terlalu imajiner. Haha. Coba tengok kronologi kejadian yang berhasil diabadikan Suci di bawah ini.

Mulai dari memperebutkan mikrofon 


Diberi kesempatan menjawab 

Salah jawab dan diusir dari panggung. Haha

Senin, 17 Oktober 2011

Tentang Tempel-Menempel Part 2


Adil adalah menampatkan sesuatu pada tempatnya. kriteria ini tentunya jadi salah satu sifat yang idealnya dimiliki pemimpin kita, calon pemimpin kita, dalam hal ini calon presiden mahasiswa. to the point ya, foto yg saya lampirkan menunjukkan ketidakadilan mahasiswa sama lingkungannya. mahasiswa yang dimaksud bisa jadi panitia pemira atau tim sukses. emang tembok itu buat ditempelin begituan? saya yakin bukan. tapi sudahlah, mari fokus ke solusi. kalo saya yang jadi capresma, saya bakal menginisiasi pembuatan alas tempelan di dinding itu, tentunya setelah izin ke pemilik tembok. biar jelas, disitu ada semcam mading, isinya kampanye capresma.atau kalau mau ngga keliatan oportunis, saya instruksikan tim sukses cabutin itu tempelan liar, terus tempel di tempat yang seharusnya. "tapi itu kan panitia pemira yang nempel, capresma ga salah dong". oke,berarti yang tanggung jawab presma yang lagi aktif menjabat buat beresin soal ini. presma kan bertanggung jawab secara moral atas kondisi kampus/kegiatan mahasiswa yang dia pimpin. yoi ga? intinya dengan ini, saya nantang cepresma buat bikin perubahan, dari hal kecil aja dulu, macem urusan tempel-menempel gini. presma yang aktif tentu saja saya singgung langsung disini,atau umumnya siapapun pihak yang punya kapital buat benerin masalah ini. saya sendiri paling bisa nyabutin kalo nempelnya sembarangan. kalo missalnya ga ada capresma yg berani gerak, buat apa kita repot2 meluangkan waktu ke TPS, ngotorin kelingking kita buat milih orang yang belum tentu menguntungkan mahasiswa, memajukan IPB, memperbaiki atittude bangsa? saya pernah nulis protes tentang topik serupa disini

Jumat, 14 Oktober 2011

Sudah Tahu

Salah satu aspek kehidupan manusia yang menarik ditinjau adalah keberadaan misteri, sesuatu yang belum bisa dijelaskan secara pasti. Salah satu misteri yang lekat dengan kehidupan sehari-hari adalah misteri tentang keberadaan makhluk nonfisik pengganggu yang dikenal sebagai hantu. Di kampus saya, IPB, ada beberapa mitos yang memaparkan keberadaan hal-hal mistis di lingkungan sekitarnya. Salah satunya cerita yang saya baca pertama kali dari blognya Kak Irvan di bawah ini. Cerita itu diakui penulis sebenarnya kisah turunan, jadi tiap tahun ada yang nyeritain cerita yang sama dengan bumbu dramatisasi yang berbeda-beda. Oke, baca dulu deh kalo gitu. :D

Beberapa tahun yg lalu ada mahasiswa FMIPA yg lagi ngerjain skripsi sampai malam di lantai 2 perpustakaan (FYI: lantai 2 itu berisi skripsi2 dari angkatan terdahulu yg mana pasti memberikan ilham tersendiri buat mahasiswa anggota HIMACOPED *baca: Himpunan Mahasiswa Copy Paste Edit* yg lagi pengen bikin skripsi juga)

Suasana sunyi dan sepi karena waktu itu udah cukup malam, kurang lebih selepas isya lah. Nah, pada saat sendirian itu si mahasiswa didatangi seorang wanita cantik yang duduk di dekatnya. Wanita cantik itu ngga melakukan apa2 selain duduk diam sambil memperhatikan si mahasiswa. Merasa grogi diperhatikan wanita cantik, si mahasiswa salah tingkah sampai manjatuhkan pulpennya. Dan saat dia membungkuk untuk mengambil pulpennya itulah dia lihat bahwa wanita cantik itu...

...KAKINYA NGGA ADA AJA GITU LOH!!!

Melawan keinginan untuk ngibrit saat itu juga, si mahasiswa berusaha tampak cool dan tenang sambil buru2 membereskan barang2nya, walaupun pastinya takut, panik dan hasrat buat pipis di celana udah sampai ke ubun2. Saat itulah si wanita cantik menyapa,

"Udah selesai... atau udah tau?" Sambil tersenyum misterius.


Cerita diatas kemudian dikonversi oleh saya, Agus Surachman dan Metha Djuwita ke dalam bentuk sajian audio visual berupa film. Proses pengambilan gambar dilakukan tanggal 27 Mei 2011, dan baru dipublikasikan tanggal 23 September 2011 oleh agusurachman melalui akun Youtube-nya. Meski diadaptasi dari desas-desus kampus IPB, di film itu tak ada penjelasan eksplisit bahwa kejadian itu berlangsung di kampus pertanian, jadi anggap saja latar di film itu di sebuah perpustakaan, titik. Selama proses syuting, sebenarnya ada beberapa kendala. Pas kamera lagi posisi Record, eh ada yang lewat, pas mau ngambil gambar lagi, petugas perpustakaannya udah ngusir, tapi seru dan alhamdulillah beres juga. Hehe. Langsung aja ya, berikut foto-foto dibalik layar, "poster film" dan Film Sudah Tahu.


Jumat, 07 Oktober 2011