Sabtu, 30 November 2013

ISAD Festival

Mari, tarik label waktu di benak kita ke seminggu lalu. Malam minggu itu saya sempat bingung cari alamat Rumah Bintang. Sempat khawatir melewatkan momen inti, saya akhirnya tiba disana pas ISAD Festival diresmikan, dan Rumah Bintang boleh dimasuki secara resmi sebagai bagian dari pesta seni visual jalanan itu. Rumah Bintang merujuk pada sebuah rumah tak terurus di Jalan Pasar Minggu Raya Nomor 33 Jakarta Selatan. Rumah itu kemudian menjadi galeri seni berisi grafiti, mural, tempelan wheat paste, dan instalasi lainnya. Mereka dipajang sebagai bagian dari perayaan festival Indonesian Street Art Database atau ISAD. Selain menikmati Rumah Bintang di hari pertamanya bisa dijamah pihak umum, saya juga menyaksikan gelaran pentas musik dengan sajian impresifnya. Foto-foto berikut ini akan bercerita lebih banyak.


Sesaat sebelum Rumah Bintang dimasuki pengunjung ISAD Festival. Karya Robowobo langsung menyambut

Di Lantai dua, karya Hard Thirteen langsung menarik perhatian












Disini juga dipamerkan arsip street art dari berbagai daerah, salah satunya dari Magelang


Tepat di tembok kiri setelah pintu masuk, ada papan curat coret. Yang bawa spidol bisa langsung tag nama disana

Bujangan Urban (bertopi membelakangi kamera) menonton penampilan dou Kojek Rap Betawi

Pintu masuk ke Rumah Bintang. Karya Robowo dan Lykerex menyambut pengunjung

Pembuatan grafiti oleh Artcoholic

Kojek Rap Betawi beraksi

Pak Nur bersama karyanya. Ia memprotes rencana pemerintah DKI Jakarta "membersihkan" tembok Jakarta dari street art



Bertopi dengan tulisan CAGUB DKI 2017, Pak Nur mengingatkan bahwa seniman street art tidak melanggar konstitusi, karenanya rencana pemutihan tembok Jakarta menurut Pak Nur perlu ditentang. Seniman bernama asli Danuri ini memberi tanda khusus di kata "konstitusi", sebagai sentilan tambahan buat mahkamah yang sedang bermasalah itu

Racun Kota tampil begitu impresif. Beberapa aksi stage diving sempat dipraktikkan. Musiknya asik.

Selasa, 05 November 2013

Inspirasi Dari Ahok


Saya baru saja dapat pencerahan. Sumbernya sebuah film berjudul Jadi Jagoan Ala Ahok. Ya, Ahok yang dimaksud di judul itu Ahok gubernur DKI Jakarta sekarang, Basuki Tjahaja Purnama. Di film dokugrafis (dokumenter campur visual grafis) ini Pak Ahok direkam kegiatannya selama berkampanye untuk jadi anggota DPR RI tahun 2009. Bukan cuma aktivitas kampanyenya sih. Jadi ada beberapa bagian film yang membahas Ahok mulai dari filosofi berpolitiknya apa, triknya buat menyampaikan visi-misinya gimana, sampe bagaimana tanggapan orang atas politisi kelahiran Belitung Timur ini. 

Ini adalah salah satu bagian terasik dari film Jadi Jagoan Ala Ahok. Ceritanya dia diundang datang kampanye ke sebuah pulau. Ahok menyanggupi hadir. Pas mau pake kapal speedboat, hujan. Akhirnya dia nunggu hujan reda. Takut pengundang nungguin lama, Ahok memaksakan berangkat. Di tengah jalan, speedboat yang Ahok pake mau dipake seorang pejabat. Dipindahlah Ahok ke sebuah perahu boat kecil di tengah cuaca hujan di tengah laut. Untungnya dia selamat dan sampai di tempat tujuan. Lalu dalam keadaan basah kuyup, ia menemui orang-orang yang ingin mengenal sosoknya.


Jadi Jagoan Ala Ahok merubah sikap saya yang pesimistis soal politik di daerah, terutama daerah asal saya, Garut. Dua kali berturut-turut bupatinya kena kasus korupsi, saya ga yakin tahun ini waktunya buat Garut tampil dibawah asuhan bupatinya yang berprestasi, apalagi setelah melihat kelakuan kurang terpuji si bupati "transisi". Kisah Ahok di Bangka-Belitung mengingatkan saya bahwa politisi hebat kaliber nasional lahir dari daerah, buktinya Ahok muncul bahkan dari kabupaten yang baru lahir tahun 2003, Belitung Timur. Pak Ahok baru aja dapet penghargaan anti korupsi Bung Hatta. Beruntung sekali ibu kota kita. Semoga hasil kerja baiknya cepat dirasakan penghuni Jakarta.


Film Jadi Jagoan Ala Ahok menarik karena selain departemen visual grafiknya yang ciamik (karena lahir dari kreatifitas bos Hello Motion Academy Wahyu Aditya), ada semacam drama dalam alur kisahnya. Ada protagonis, ada antagonis, indah sekali. Tapi yang paling menyentuh sih, film ini menyadarkan saya bahwa kadang harapan itu tak cukup cuma ada, tapi juga butuh kesempatan buat diketahui orang. Setelah nonton film ini, saya ga ogah-ogahan lagi kalau ada calon pemimpin yang mau "jual diri". Tanggal 17 November mendatang, ada pemilihan bupati Garut putaran kedua. Semoga nanti ada Ahok lain lahir dari sana.

Jumat, 01 November 2013

Di Puncak Pulau Jawa

Beberapa hari lalu saya berkesempatan meliput peringatan hari sumpah pemuda di Gunung Semeru bersama Wildan Indrawan. Kami menghabiskan waktu hampir seminggu sejak memulai perjalanan hingga balik lagi ke Jakarta. Kisah ringkas tentang perjalanan saya kesana akan diceritakan melalui foto-foto di bawah ini:

Saya mewawancarai Dimas dari organisasi pemuda Jong Nusantara, salah satu organisasi yang merayakan hari sumpah pemuda ke-85 di atap pulau Jawa. Selain Jong Nusantara, ada juga organisasi Pecinta Alam Senduro (PAS) dari Lumajang
yang sengaja naik untuk merayakan sumpah pemuda. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Saya dan Wildan berbincang dengan Kang Naskim, salah seorang anggota masyarakat adat Losarang Indramayu. Dia naik gunung tertinggi di Jawa ga pake baju, sementara di Ranu Kumbolo ini saja, kalau malam saya pakai dua jaket. Katanya dia perlu waktu setidaknya empat bulan tidur di air, buat melatih diri menyatu di alam. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Sedang membuat LOT, Live On Tape, salah satu jenis berita TV. Kami berdua menyewa tiga porter untuk membantu tugas liputan ini. Dua porter bawa tas carrier, satu porter bawa alat liputan (tripod,B-Gan, dll.). Wildan bawa dua kamera, saya gendong tas yang isinya bekal makanan. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Wildan mengabadikan momen awal peringatan hari sumpah pemuda. Peserta dari Jong Nusantara memulai dengan menggelar upacara adat di Ranu Kumbolo, di ketinggian sekitar 2400 mdpl. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Kang Naskim, saya, Kurniawan Mas'ud, Wildan Indrawan. Kami berfoto pagi hari menyambut matahari yang kalau langit cerah, dia muncul dari lengkungan di belakang itu. Cahayanya lalu dipantulkan cermin air Ranu Kumbolo. Ah, pasti indah sekali. Sayangnya pagi itu udara berkabut. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Kang Naskim tak punya KTP. Dia menolak ada kolom agama di kartu tanda penduduk. Soalnya dia kan menganut sistem kepercayaan, sementara negara mengakui agama, bukan kepercayaan. Oleh karena itu, Kang Naskim ga cerita banyak ketika ditanya soal peran pemuda menjelang tahun politik 2014. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Beda dengan Kang Naskim, Dimas bicara panjang lebar soal relevansi sumpah pemuda di masa kini. Menurutnya, persatuan harus terus digalang pemuda Indonesia. Itu juga yang jadi alasan Dimas dkk. menggagas peringatan sumpah pemuda di ketinggian. Kabarnya tahun depan kegiatan serupa bakal digelar, tapi dengan mendatangkan anggota masyarakat adat lebih lengkap. Dimas menambahkan, ga menutup kemungkinan puncak lain juga jadi arena kegiatan Jong Nusantara. Foto oleh Kurniawan Mas'ud
Gambar ini saya ambil ketika menuruni Gunung Semeru. Jalurnya sangat terjal dan berpasir. Saya diingatkan porter buat ga lari pas turun, tapi kalo turun sambil lari sok prosot-prosotan di pasir itu enak. Hehe. Untuk saya ga seperti orang yang diceritakan porter, hidungnya patah karenya nyungsep gara-gara turun cepet-cepet.
Persiapan upacara peringatan hari sumpah pemuda. Upacara ini dihelat sekitar jam setengah delapan. Sangat siang, terlalu siang. Soalnya beberapa kawan-kawan Jong Nusantara urung sampai di puncak. Sejawat PAS juga upacara di Kalimati.
Saya di ketinggian 3.676 mdpl. Sebenarnya pendaki ga disarankan naik sampe puncak Mahameru, tapi yaaa, pada naik juga, termasuk saya. Hehe. Saran pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) beralasan. Jalur pendakian ke puncak ga mudah dan berbahaya. Jalurnya berpasir dan berbatu. Beberapa kali teriakan "awas batu!" terdengar ketika naik. Untuk mencapai puncak Mahameru, saya harus jalan menanjak selama lima jam. 
Letusan kawah Jonggring Saloko sangat dekat dari puncak Mahameru. Kalau angin mengarah ke puncak,
habislah para pendaki disana. Haha
Saya berpose sok gaul setelah melewati tanjakan cinta. Kalau kamu berhasil menaiki tanjakan ini tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, maka kamu akan berjodoh dengan orang yang kamu suka. Kamu percaya? Saya percaya kalau suatu hari nanti saya memang berjodoh dengan dia. Haha. Di sebelahnya tanjakan cinta ada turunan yang tanamannya rebah,
enak buat dipake prosotan
Tempat ini namanya Oro-Oro Ombo. Hamparan tumbuhan cokelat itu tumbuhan Verbena brasiliensis, tanaman yang dikenal orang dengan lavender, karena saat berbunga memang warnanya ungu. Sebelum kesana saya dengar kabar kalau Verbena ini penyebarannya cepat sekali dan mengancam kelestarian tanaman asli disana. Tapi kata pengelola taman nasional, katanya ga ada masalah, toh ada siklus yang ngatur pertumbuhan tanaman ini. Contohnya ketika saya kesana. Verbena lagi layu semua, bahkan seperti mati, tumbuhannya kering mencokelat. Kalau mau lihat mereka berbunga, datanglah di tengah tahun, sekitar Juni-Juli. Dari Oro-Oro ombo yang ada tepat setelah tanjakan cinta ini, gunung Semeru sudah terlihat. Tuh letusan kawahnya jelas terlihat. Indah sekali menyaksikan wedus gembel bergerak perlahan menghambur lalu menjadi awan.
Saya sudah sampai di dekat papan penanda pos Kalimati. Dari sini Semeru terlihat makin dekat, bahkan jalur pendaki yang cuma segaris itu jelas terlihat. Biasanya di Kalimati inilah pendaki mendirikan tenda. Soalnya dekat sumber mata air. Ga deket juga sih, katanya satu kilometer. Saya ga sempet ke mata air sumber mani. Kalimati relatif lebih nyaman dibanding berkemah di Arcopodo yang udah diatasnya lagi, di batas terakhir vegetasi gunung Semeru
Coretan dinding di posko Ranu Kumbolo. Posko ini sering dijadikan porter bermalam. Tempatnya seperti ga terawat. Emang ga terawat sih, buktinya kotor di dalam. Coba ada petugas yang tinggal disana, pasti setidaknya dirawat dikit.
Ada sejumlah danau/ranu di kawasan TNBTS, salah satunya Ranu Kumbolo ini. Airnya biasa diminum atau dipakai cuci alat berkemah. Hal yang sangat dilarang disini adalah memasukkan sabun ke danau. Jadi kalau mau sikat gigi atau sampoan, sabunan, atau cuci muka dengan busa, lakukan di tanah, jauh dari air danau. Sebenarnya penggunaan sabun total ga boleh sih, ngaruh juga ke kesuburan tanah
Sesampainya di Ranu Kumbolo, pendaki biasanya langsung berfoto. Ada tiga aturan utama dalam aktivitas pendakian. Jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan bunuh apapun kecuali waktu, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak langkah.
Hola, ini di watu rejeng, tebing batu indah sebelum tiba di Ranu Kumbolo
Sebuah burung bertengger di pohon kering sebelum Ranu Kumbolo. Beberapa kali saya menemui burung di jalur pendakian. Di Kalimati juga ada burungnya. Mereka cuek cari makan meskipun ada tenda dan orang di dekat mereka
Ini dia Ranu Kumbolo. Disini pendaki dilarang berenang. Tahun lalu ada yang meninggal karena tenggelam di danau ini. Jadi yang dilakukan kawan-kawan kita di film 5 cm itu jangan dicontoh ya. Selain Ranu Kumbolo, ada juga Ranu Tompe, yang kabarnya baru ditemukan di Desa Burno Kecamatan Senduro Lumajang. Menurut berita di Tempo, danau Ranu Tompe masih virgin, bahkan masih ada macan disana. Jalurnya dirahasiakan dan orang yang boleh kesana cuma peneliti. Tapi menurut pengelola TNBTS di pos Ranu Pani, Ranu Tompe bukan lagi rahasia. Jalurnya jelas, banyak yang udah kesana. Bahkan si pengelola ini siap mengantar saya kesana kalau mau. Katanya tempatnya sekitar empat jam dari Ranu Pani. 
Desa Ranu Pani terlihat dari salah satu jalur pendakian
Dua orang anak bercengkrama di Desa Ranu Pani. Mereka anak petani. Rata-rata warga sini memang bertani. Salah seorang porter saya usianya 18 tahun. Dia putus sekolah waktu kelas 2 SMP. Di Ranu Pani cuma ada SD dan SMP di satu komplek bangunan. Pagi dipakai anak SD, siangnya SMP. Gurunya dari Lumajang harus menempuh perjalanan lama. Kadang sekolah libur kalau gurunya berhalangan hadir. Kasihan kalau gurunya honorer. Gaji sebulan berapa, buat ongkos berapa, sisa berapa. Untungnya pengajar disana sudah guru tetap. Tapi ya gurunya tinggalnya jauh dari desa, jadi baru nyampe jam 10,
jam 12 harus udah gantian sama anak SMP
Danau Ranu Pani dilihat dari atas. Luas danau ini makin kecil. Kalau dia ga bisa nampung air lagi, Kabupaten Lumajang bakal banjir. Pengelola taman nasional meminta pemerintah mengeruk lagi danau ini biar kapasitas tampung airnya lebih besar.
Sebelum tiba di Ranu Pani, kalau melewati jalur Kabupaten Lumajang (bukan jalur Pasar Tumpang di Malang), kita bisa mampir ke pura Mandara Giri Semeru Agung, salah satu pure besar di Indonesia. Seorang pendaki asal Lumajang cerita pengalamannya kalau kenalasan sama orang. Biasanya orang nanya dimana itu Lumajang. Padahal Lumajang ini katanya bisa dibilang semacam kiblatnya orang Hindu. Orang Bali pasti kalau ada hari besar agama perginya ke Lumajang, ke pure ini.