Selasa, 13 Mei 2014

Menikmati Eropa Melalui Europe On Screen


Gelaran Europe On Screen telah usai. Ada tiga film yang sempat saya saksikan dalam pekan penayangan film-film buatan sineas Eropa ini. Berikut ini ketiganya:
  
The Punk Syndrome

Siapa sangka, empat orang penderita keterbelakangan mental di Finlandia, mampu bersatu dalam sebuah band dan memainkan musik punk. Band bernama Pertti Kurika's Name Day (Pertti Kurikan Nimipäivät) ini bahkan tampil di luar negeri. Mereka juga berkesempatan diundang presiden Finlandia yang baru terpilih dalam sebuah acara pesta. Yang paling menarik dari film ini, tingkah polos keempat personilnya. Mereka punya ciri khas masing-masing. 

Pertti si gitaris temperamental punya kebiasaan menuliskan perasaannya dalam sebuah buku harian. Disana ia menulis rasa kesal yang kemudian dijadikan sebuah lagu. Kari Aalto tampil dengan gaya khasnya yang selalu memaju-mundurkan pangkal paha. Soal aksi panggung, Kari ini gak mati gaya. Dia bernyanyi sambil berguling diatas panggung ketika tampil di sebuah pentas. Lalu ada Toni Välitalo, drummer yang sangat polos dan lebih banyak diam. Ekspresinya datar ketika seorang metalhead berteriak semangat ke arah mobil yang bandnya tumpangi, dan itu lucu. Terakhir si bassis Sami Helle. Yang paling menarik dari dia misalnya ketika berolah raga dan celananya melorot.

Tingkah cuek yang natural diatas benar-benar mencerminkan esensi musik punk yang mereka mainkan. Yang juga saya kagumi dari film ini, selain ketekunan sang sutradara, juga kesabaran manager band yang perlu diacungi jempol. Pasti bukan hal mudah mengelola band yang berisi orang-orang yang susah diatur. 


Mussels In Love

Film dokumenter ini berkisah tentang kerang. Di Belgia sana, makanan olahan kerang jadi favorit. Perjalanan kerang dari laut sampai meja makan direkam dalam film ini. Gambar-gambar indah yang disajikan dalam film ini didukung musik yang juga nyaman di telinga. Dalam sebuah skena misalnya, si kerang ditampilkan melalui lensa makro diiringi nyanyin setengah berbisik seorang wanita yang berbahasa Perancis. Adem sih, tapi saya malah sempat tertidur di tengah film ini. Haha. Mungkin karena padat data, dan banyak wawancara, jadi ya sedikit membosankan. 







Kon Tiki

Yang memotivasi saya memaksakan diri menonton film ini adalah ulasan film ini. Kon Tiki adalah film yang berdasarkan kisah nyata. Tahun 1947, Thor Heyerdahl membangun rakit dan menyeberangi Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke kepulauan Polynesia. Dalam perjalanan, mereka harus menghadapi berbagai rintangan, dari keluar jalur pelayaran, hingga kawanan hiu. Tapi mereka juga menemukan hal-hal indah dalam perjalanan itu. Misi mereka melintasi 8000 mil itu untuk mengulangi apa yang dilakukan leluhurnya. Makanya bagi saya, film ini seperti gabungan film Prometheus dan Life Of Pi. 

Saya ketinggalan sekitar 15 menit pertama sih, jadi ga ngikutin banget latar belakangnya. Hehe. Sepertinya saya cukup rugi karena gak ngikutin transformasi si tokoh utama seperti yang diulas di blog Zerosumo. Tapi saya bakal lebih rugi lagi kalau gak nonton film itu sama sekali. Udah nyampe Erasmus Huis aja udah untung sih. Soalnya pas hari Kamis mau nonton Final Cut disana gagal karena nyasar. Haha. Alamat Erasmus Huis di Google Maps menyesatkan sih. Lihat aja peta di bawah. Well, semoga tahun depan makin banyak film bagus yang saya saksikan dalam Europe On Screen.



Realita Dalam Bayangan Cermin The Amazing Spiderman 2



Adalah seorang pria, namanya Mark David Chapman. Hobinya bermusik, dan menggemari benda-benda seni. Di kamarnya terpampang poster seorang pria, setia mengiringi hobinya menikmati obat bius dan ganja. Kegemaran tadi serupa dengan yang juga sering dilakukan pria di poster kamarnya, John Lennon.

Chapman adalah seorang impostor John Lennon. Ia asosiasikan dirinya bak juru vokal band The Beatles itu. Lalu tibalah suatu hari. Chapman menjadi religius, bahkan fanatis terhadap kristianitas. Ia lalu marah dengan opini bahwa The Beatles mengalahkan popularitas tuhannya. Chapman kemudian memutuskan satu pilihan tindakan: menyarangkan empat peluru ke tubuh John Lennon, setelah meminta tanda tangan sang idola.

Saya kembali duduk di depan layar raksasa. Pertarungan Electro dan Spiderman membelokkan alur pikiran saya tentang kisah tragis John Lennon. Melihat kisah Max Dillon dalam film The Amazing Spiderman 2, mengingatkan saya ke sosok Chapman di atas. Meski tak se-Chapman itu, Max dikisahkan awalnya menggandrungi si muka jaring, bahkan ia pernah diselamatkan Peter Parker bertopeng. Arah dukungan berubah ketika kemarahan Electro ke Spiderman pecah akibat kesalahan seorang polisi yang ia kira melukai atas perintah Spidey.

Itu cuplikan kisah satu musuh Spiderman di seri kedua reboot manusia laba-laba itu. Musuhnya yang lain, Green Goblin. Beda dengan Spiderman versi Sam Raimi yang dibintangi Tobey Maguire, Goblin yang ini adalah mutasi yang dialami Harry Osborne. Norman Osborne yang di versi Spiderman terdahulu jadi seteru Spidey, tewas duluan.

Yang ketiga, tokoh antagonis pengacau kota New York yang harus dihadapi pahlawan kita adalah Rhyno. Si badak, raksasa hijau dan manusia listrik tersebut, berkaitan dengan sebuah perusahaan, Oscorp. Perusahaan yang dikisahkan jadi jantung kota New York ini juga menyimpan jawaban di balik hidup Peter Parker.

Selain menemukan asosiasi kenyataan dalam kisah fiksi Spiderman, yang juga menarik dari menonton film itu adalah mengikuti drama kehidupan Peter Parker yang kini sudah jadi pahlawan. Spiderman kini diakui sebagai penyelamat New York. Sayangnya, saya merasa kehilangan dengan Peter yang dulu dikenal sebagai perwakilan kaum tertindas. Tak tampak lagi Peter yang menanggung perasaan banyak anak yang di-bully lalu berontak membuktikan bahwa dirinya tak lemah. Meski demikian Spiderman yang ini lebih komikal. Tampilan dan tingkah Parker yang diwakili Andrew Garfield terasa lebih mirip dengan Peter di komik.

The Amazing Spiderman: Rise of Electro, sebenarnya juga menyimpan sejumlah sisipan mencengangkan. Siapa sangka, serum yang diselamatkan Spiderman dari pembajakan adalah serum yang akan melahirkan kuartet Teenage Mutant Ninja Turtle. Informasi itu saya dapat dari sini. Dalam sumber tersebut, juga dijabarkan kritik atas berbagai adegan yang klise dan irasional. Salah satunya ketika Gwen akan berangkat keluar negeri. Setelah dipikir, masuk akal juga ketidakmasukakalan itu. Tapi hati-hati ketika buka link tadi, penulis membocorkan spoiler gak kenal kata tega.

Akhirul kalam, The Amazing Spiderman yang sudah seminggu lebih tayang di bioskop ini tetap layak dibayar dengan waktu dan uang tiket bioskop kita. Kapan lagi lihat jagoan yang dulu kita nikmati di komik berlaga dengan rasa lebih nyata. Kalau mau kesan yang lebih nampol, coba tonton film ini di 4DX Blitz Megaplex. Kata teman saya, 130 ribu rupiah setimpal dengan jasa duduk di kursi yang ikut bergerak ketika Spidey berayun. Juga sepadan dengan pijatan di kursi kala Spiderman bertarung.

(Anggap ini credit scene.hehe) Jangan dulu beranjak dari tempat duduk ketika dua jam lebih durasi film berlalu. Tunggu beberapa menit sampai sebuah adegan khas film super hero Marvel. Ada yang aneh disana. Dalam The Amazing Spiderman pertama, credit scene menampilkan Lizard yang dipenjara lalu dihampiri bisikan. Nah di seri kedua ini, credit scene menampilkan serangan anak buah Magneto pimpinan Mistique di sebuah barak tentara. Ya, ada X-Men di film The Amazing Spiderman 2. Kilasan kisah X-Men juga muncul di film Captain America: The Winter Soldier. Disana yang dimunculkan adalah kembar Quick Silver dan Scarlet Witch. Mereka adalah anak Magneto. Apa maksudnya X-Men menyusup di film X-Men lain? Akankah nanti mereka akan bergabung di satu layar? Kita tunggu perkembangan berikutnya. []

Rabu, 07 Mei 2014

Menuju Bukit Pabeasan

Setiap kali pulang ke rumah, akhir-akhir ini yang saya lakukan adalah berjalan-jalan, menjelajahi daerah sekitar rumah pagi-pagi bersama ayah, ibu dan adik(-adik). Terakhir kali pulangsekitar dua pekan lalu—kami berencana mendaki Bukit Pabeasan. Meski tak sampai puncak, perjalanan selama menyentuh kaki bukitnya sudah menghadiahkan kisah-kisah menarik.

Bukit Pabeasan becermin di permukaan sebuah sawah. Ayah saya berkisah, bahwa nama pabeasan berasal dari mitos tentang sebuah periuk yang konon ada di puncaknya. Dahulu kala, ada kepercayaan bahwa arah periuk menghadap akan menunjukkan suatu wilayah/desa yang akan menyambut masa panen. Kata Pabeasan berasal dari kata dasar beas atau beras dalam Bahasa Indonesia.
Sebuah saung bertengger berlatar Bukit Pabeasan. Saung itu bergaya arsitektur badak heuay. Badak heuay (dalam Bahasa Indonesia artinya badak menguap) merupakan salah satu gaya arsitektur atap bangunan khas sunda. Jenis atap bangunan sunda lain bisa kamu baca disini
Sungai ini bernama Leuwi Bolang. Ayah saya mengaku bahwa inilah arena bermainnya sewaktu kecil. Saya sempat merasakan bermain di sungai. Suatu sore kakak sepupu saya meninggal karena tenggelam. Saya dan teman-teman kemudian berpindah tempat bermain