Senin, 26 April 2010

Rolling Stone Release Party

Hari kesembilan di bulan April bukan hari biasa bagi saya. Minggu malam itu saya dan kawan-kawan MAX!! bertandang ke markas majalah Rolling Stone dalam rangka gelaran Release Party edisi terbaru majalah itu. Tepat pukul lima, kami berangkat dari Darmaga. Para senior MAX!! yang semula mengiyakan undangan, terpaksa membatalkan kehadiran karena berbagai alasan mendesak. Tepat pukul delapan kami tiba di Jalan Ampera Raya nomor 16. Puluhan mobil telah terparkir rapi saat kami tiba. Habisnya lahan parkir memaksa kami memarkir mobil di depan sebuah mesjid. Dengan semangat membara, kami pun melangkah beberapa ratus meter menuju gelanggang pesta.

Setelah membeli tiket berupa majalah edisi terbaru, kami dikejutkan oleh kehadiran sesosok pria berperawakan gempal di pintu gerbang. Dialah Ricky Siahaan, editor Rolling Stone yang bila berdiri di panggung berfungsi sebagai mesin pencetus distorsi band Seringai. Tanpa banyak mulut langsung saja kami ajak diskusi gitaris yang memiliki kakak seorang alumni IPB itu. Setelah memperkenalkan diri dan berdiskusi berbagai hal, Ricky berkenan memberi testimoni untuk MAX!!. “MAX!! saya terus dukung kegiatan kalian, teruskan passion ini, ide tidak bisa dibunuh! MAX!! ASOY!!” demikian tulis salah satu induk serigala militia itu untuk kami. Beberapa menit setelah tiba di bibir panggung, Soleh Solihun mulai angkat mikrofon. MC flamboyan itu tak henti mengundak gelak tawa hadirin malam itu. The Authentics lalu mengambil alih panggung dan memulai prolog pesta malam itu dengan jingle Pink Panther khas musik SKA. Tak lama setelah kor melodius itu berdentum, Imo pamit untuk memarkir mobil ke tempat yang lebih aman. Saya lalu menemaninya. Sesampainya di masjid, seorang bapak yang sepertinya penjaga masjid telah siap memasang muka bengisnya. Benar saja, kami kena semprot gara-gara memarkir tanpa izin. Setelah beralibi dan meminta maaf, kami gulirkan mobil itu menuju tempat lain.

Sesampainya di arena konser, The Authentics telah asyik berkoar di lagu paling buncit. Setelah mereka turun, sementara panggung sibuk mempersiapkan kelengkapan Komunal, kami berdiskusi dengan Jikun dan Ovy /RIF. Tampang sangar dan tato yang melintang sempat menahan langkah kami untuk dekat dan menyapa. Ternyata citra hitam yang semula muncul sirna segera dengan sikap ramah mereka, kami pun larut dalam pembicaraan santai. Jikun sempat berpesan agar jangan menganggap popularitas melalui musik sebagai sesuatu yang instan. Dikenal banyak orang hanyalah imbas dari perjuangan musikal yang idealnya terus dibangun sejak dini, agar tak cepat naik, tak cepat turun pula. Lain halnya dengan Ovy. Kawan beradu pedang Jikun itu ternyata pendiam. Untuk menulis testimoni saja dia harus bertanya pada rekannya. Tapi bukankah sikap itu yang sebaiknya kita contoh, talk less do more.

“Kami memang tak sebesar Koil, kami juga tak sebesar Dewa, tapi kami akan menjadi sebesar Slank,” demikian kata-kata pembuka Dody dengan suara growl rendahnya yang sepintas mirip karakter vokal Arian13. Malam itu Komunal tampil tanpa bassis tetapnya. Tapi bukan berarti tidak memberi impresi. Kor-kor indah sekelas “manusia baja” hingga “pasukan perang dari rawa” dengan fasih mereka lantunkan. Aksi panggung mereka pun cukup unik. Doddy sempat menyalakan rokok diatas panggung, bahkan sesekali menghisap batang sembilan senti itu saat job vokal menemui jeda. Soleh Solihun yang dikenal cepat mentranslasi pikiran menjadi kata-kata bahkan sempat menjuluki drummer Komunal dengan “pasukan perang dari mushola” karena penampakan sang penjaga tempo memang terkesan islami. Selain komentar tentang para pengisi acara, Soleh juga sempat membahas topik feminisme, bahkan mengaitkan dengan kondisi rekannya sang produsen vokal di band Drive. Menurutnya, sebenarnya gerakan feminis itu tak perlu ada, toh wanita sudah berposisi diatas lelaki. Lihat saja para suami yang bekerja, untuk siapa mereka mencari uang? Wanita. Kenapa karir Bjah The Fly terhenti? Wanita. Karena siapa nama baik Anji tercoreng? Wanita. Jadi sebenarnya tak perlu ada gerakan feminis, begitu isi candaan si editor.

Tiap jeda pengisi acara, MC mengadakan kuis berhadiah tiket ke konser Misfits di Ancol esok harinya. Pertanyaan yang menjadi syarat kepemilikan tiket tidak terlalu menguras otak. Siapa Managing Director Rolling Stone? Apa nama akun Twitter Soleh Solihun? Siapa nama personel Seringai yang baru menikah? Demikian varian pertanyaannya. Ternyata Soleh adalah tipikal penyuka nama lengkap. Saat pertanyaan yang terakhir saya sebut diatas diajukan, jawaban Khemod dianggap berlum tepat. Penjawab harus menyebutkan nama lengkap si drummer. Kesempatan saya menyaksikan The Misfits tanpa merogoh kocek tiket akhirnya tiba. Setelah Soleh mengajukan pertanyaan tentang sutradara DVD Generasi Menolak Tua, saya langsung mendekati mic. Sammy adalah satu-satunya kata yang saya jadikan jawaban. Layaknya pertanyaan terdahulu, Soleh selalu menginginkan nama lengkap. Saya jawab lagi, “Sammy,” dia minta nama lengkap. “Sammy,” jawab saya lagi. “Sammy,” jawaban terkahir kali saya sebelum didiskualifikasi. Setelah banyak calon penjawab berkerumun di depan, Soleh menganjurkan untuk menentukan penjawab dengan gambreng. Tentu saya ikut lagi, dan menang. Saya jawab lagi, “Sammy,”, hingga berulang sayang mengucap nama itu, hati Soleh tak luluh juga mengikhlaskan tiketnya untuk saya bawa pulang. Akhirnya tiket itu jatuh ke tangan seseorang yang mengatakan “Sammy Bramantyo” adalah jawabannya. Ia beruntung, tiket itu jatuh ke tangannya, padahal sayalah yang menginspirasi jawaban itu. Sayang sekali.

Pengisi acara ketiga malam itu adalah Project The Fly. Band pop rock ini adalah nama baru dari band yang dulu kita kenal dengan nama The Fly. Perubahan nama itu diputuskan setelah band yang dikomandoi Kin Aulia itu dihuni vokalis baru bersuara falsetto khas sopran, padahal keliatannya dia pria. Secara musikal, The Fly malam itu tak menghadirkan sesuatu yang begitu menggugah, apresiasi penonton pun nampaknya dingin, sedingin botol bir yang banyak digenggam hadirin malam itu. Saya tentu memilih Coca Cola saat ditawari pilihan antara softdrink atau bir. Dengan bangga saya pun mecoret punggung kedua tangan dengan tanda silang. Itulah identitas yang saya bawa dalam sebuah arena plural, “saya adalah straight edge”. Straight edge adalah ideologi anti alkohol dan drugs yang dianut beberapa pegiat musik rock yang biasanya identik dengan alkohol dan self destruction. IPB sebagai institut yang diakui publik terkenal dengan fleksibilitas lulusan dan mahasiswanya, juga memiliki sebuah band straight edge. Asphoria (http://www.myspace.com/asphoria), demikian nama band beranggotakan tiga pejantan itu. Lirik yang mereka angkat pun tak sembarangan. “X Untuk Masa yang Lebih Indah” adalah salah satu cerminan ideologi yang mereka anut.

Pengisi acara terakhir yang banyak ditunggu performanya adalah Seringai. Band yang menawarkan musik rock oktan tinggi itu selain menyanyikan lagu sendiri, juga berkesempatan membawakan cover lagu Hollywood Babylon-nya The Misfits dan Diskotik karya Duo Kribo yang jaya dimasa Ahmad Albar dan Ucok AKA berkuasa. Soleh Solihun lalu menginformasikan bahwa saat itu Jerry Only dan Wendi Putranto sedang menuju Kemang tempat kami berpesta. Selama menunggu kehadiran sang maestro horror punk, Seringai mengisi kekosongan waktu. Seringai memacu amplifier hingga para personelnya bingung untuk menyanyikan lagu apa. Akhirnya hingar bingar instrumen harus berhenti akibat komplain tetangga sekitar panggung. Acara pun ditutup karena Jerry Only yang dijanjikan tak kunjung hadir. Dalam jeda penantian itu, saya berbincang dengan Rudolf Dethu. Insan pulau dewata itulah yang menginspirasi gaya tulisan saya hingga seperti ini.

Akhirnya Jerry datang juga. Dia bersikap ramah dan tampil tanpa busana gelap khasnya jika Misfits beraksi. Setelah puas berfoto, kami pulang. Selama acara itu, saya membagi CD demo Finding Nadia ke Ricky Siahaan, Rudolf Dethu, Gribs, hingga Komunal. Namun sayang sekali Jerry luput dari ingatan saya untuk dibekali CD. Tapi tak mengapa, mungkin Finding Nadia harus dikenal di negeri seberang tanpa melalui Misfits, who knows? Oiya, karena Ricky Siahaan menerima CD itu, maka kemungkinan rubrik Review bulan depan akan dihiasi resensi A Huge Difference Between Zero And The Number After. Semoga minialbum Finding Nadia itu benar-benar hadir disana.


bulan ini panggungnya lebih besar


bapak ini salah satu generasi menolak tua, dia berhenti di 15


ovy /rif tanpa DJ


kang jerry only dan ully


mas jerry only dan budi


jerry "only" ---> dik "doank"


kami yang bersilaturahmi

Jumat, 23 April 2010

nekropsi


di suatu siang yang cerah, mereka sedang melakukan proses kopulasi. cirinya kalo beardy lagi horny, warna dagunya berubah jadi hitam. hayooo, yang dagunya hitam berarti...



inilah ekses dari aktivitas mereka



setelah beberapa lama, mereka terpisah dan lama tak melakukan kontak fisik



akibatnya, salah satu dari mereka mati



untuk mengetahui penyebab kematiannya, dilakukanlah proses nekropsi



nekropsi ini, kalo bahasa manusia namanya otopsi



setelah diamati, ternyata dia mati bukan gara2 ditinggal pasangannya, tapi gara2 keselek. betul sodara, keselek, keselek pasir lebih tepatnya


tapi kakak kelas gw yang menekropsi tadi ga nyerah. mati satu, beli satu lagi. dan sekarang di samping kamar gw masih ada beberapa ekor beardy

Senin, 19 April 2010

Dua Hari Untuk Selamanya

Sabtu itu saya mulai melangkah dari rumah ketika jam menunjuk angka 16.00. Dua jam berlalu, senandung adzan magrib akhirnya menyambut saya di simpang dago. Para pasukan musikal dari kampus pertanian telah menunggu di institut tetangga. Beriring seribu langkah saya melaju ke arah mereka. Delapan belas lima lima, penunjuk waktu di pergelangan tangan ini menunjuk angka. Pelajaran pertama dari kunjungan UKM MAX!! IPB di ITB adalah ketepatan waktu. Sang ketua acara semula menginformasikan lewat SMS bahwa 18.45 acara akan dimulai. Benar saja, 10 menit berlalu, genderang musik stomp mengalun merdu diiringi cetus nada beatbox yang unik, saya pun bergabung bersama serdadu lain yang tiba setelah menempuh jarak berkilo dari kota hujan sejak siang tadi.

Gelaran musikal yang dimeriahkan para musisi dari salah satu institut teknologi di kota kembang itu bertajuk Ganesha Musik Event. Lantunan melodi malam itu tersaji dalam kemasan unik. Tak ada MC sepanjang acara, jeda pengisi acara diisi tampilan solo dari beberapa musisi kampus dengan senjata mereka masing-masing. Dentum bass, raung dostorsi gitar, hingga syahdu irama saxophone mengalun indah diantara band-band yang tampil dengan lagu orisinil mereka. Setelah disuguhi sajian musikal dengan range genre yang tidak terlalu lebar, audiens di lapangan basket CC itu dipuaskan oleh performa Monkey to Millionaire. Trio pejantan itu piawai menghasut penikmatnya untuk bernyanyi bersama. Mereka pun tak lupa menyisipkan prolog sebelum senjata pamungkas mereka bergaung. “Kalian pasti tau musisi yang sekarang ramai dibincangkan infotainment?” demikian Wisnu memulai khotbahnya. “Daripada bangga buntingin anak orang, mending dia benerin musiknya, bener ga?” retorika itu lalu menjelma menjadi sebuah mantra bertajuk “Replika”. “Replika” adalah tembang Monkey to Millionaire yang nampaknya paling banyak dikenal. Setelah sukses mengguyur malam dengan melodi dan ekspresi, mereka menutup pentas dengan aksi yang mengingatkan saya pada yang mulia Kurt Cobain. Polah Agan saat menusukkan pasak tala bassnya hingga drum set itu roboh membuat saya berpikir bahwa bukan tidak mungkin tiga jaka ini adalah titisan Nirvana. Seiring redupnya lampu dan distorsi, himpunan manusia di bibir panggung pun mulai memudar.

UKM APRES! ITB, demikian sang empunya acara menyandang nama, sebenarnya tidak melayangkan undangan ke UKM dari institut pertanian ini. Namun hadirnya acara tanpa syarat biaya masuk dan dilaksanakan organisasi serupa itu, mendorong 18 orang anggota MAX!! untuk hadir dan berdiskusi. Bukan forum formal memang, tapi obrolan santai di tengah acara bersama Yoyok yang menjabat ketua APRES! malam itu cukup memberi inspirasi bagi pergerakan musikal di kampus rakyat kita. Dari obrolan itu, terkuak beberapa fakta bahwa kendala organisasional yang dihadapi kedua UKM dari kampus berbeda itu ternyata serupa. Loyalitas, adalah PR bersama yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Selain itu kesamaan program kerja tahunan MAX!! dan APRES! pun semakin menarik untuk dibahas. Jika di IPB kita akrab dengan kata Music Corner, maka civitas musica ITB lebih nikmat dengan istilah Mustang atau Musik Petang. Selain berbagi cerita tentang kondisi apresiasi di kedua institusi, kami pun berbagi solusi dan saling memberi masukan dalam sektor upaya penggalangan dana, teknis pelaksanaan acara, dll. Di penghujung pertemuan, kami sempat berfoto, dan kawanan serdadu dari kota hujan pun sempat menghaturkan terima kasih melalui pemberian plakat dan bonus 2 keping CD kompilasi. Tunggu dulu, senandung silaturahmi malam itu belum berakhir. Setelah berucap selamat tinggal pada panitia, kami bersua bersama Monkey to Millionaire, bahkan mereka sempat membubuhkan tanda tangan beserta ucapan penyemangat di kaos kebanggan MAX!!. Dari momen itu pula kami tahu bahwa sang manager adalah salah satu editor majalah Rolling Stone yang launching party-nya bulan ini sempat kami hadiri. Bahkan secara personal, Monkey to Millionaire mengundang kami untuk hadir di penampilan mereka berikutnya di Bogor Nirwana Residence dan hadir pula di Rolling Stone Release Party di hari kedua bulan depan. Setelah puas dengan pengalaman sosial-musikal di ITB, giliran perut kami yang merasakan nikmatnya rasa kenyang.

Warung C’Mar di daerah Braga menjadi lahan yang beruntung kami jamah. Santap tengah malam itu riuh dengan canda tawa, lalu berakhir seiring beratnya mata kami untuk terlelap. Kediaman sanak Baga di Cimahi saya doakan agar selalu sejuk dengan berkah. Doa itu saya haturkan atas jasanya menampung kami untuk telentang dan menutup mata. Esok paginya, tepat pukul 7, kami melanjutkan petualangan di ibu kota Jawa Barat itu. Tujuan berikutnya adalah semangkuk menu sarapan di Gasibu. Rute perjalanan yang berbelit sempat menambah waktu tempuh menjadi lebih panjang. Tiga jam setelah keberangkatan dari tempat menginap, kami baru selesai santap pagi. Setelah kenyang dengan sepiring menu khas gasibu, kami lalu menunggu kedatangan Dewa yang semalam menginap di rumah temannya. Lama tak muncul, Dewa akhirnya kami jemput di Jalan Riau, dan dari sana roda mobil kami melaju ke arah Gede Bage. Apa lagi kalau bukan untuk menggelar dompet dan menarik tunai? Waktunya belanja. Beberapa dari kami berhasil menyisihkan rupiah cukup minim untuk barang yang diincarnya, beberapa tak tertarik dengan barang yang dijual, beberapa bahkan memang tak berniat membeli sesuatu. Jam 2 perjalanan pulang kami dimulai.

Di laju kami menuju Bogor ini, ketiga mobil bergerak terpisah dalam jarak yang signifikan. Cerita menarik muncul di mobil yang saya tumpangi. Saat melaju khusyuk diatas aspal tol Luar Jakarta, ditemani rona menyala langit barat, tiba-tiba sebuah KIA hijau menyalip kami. Spontan Dimas yang memegang kemudi menekan klakson. Lalu yang terjadi kemudian adalah klimaks dari petualangan kami. Si KIA hijau itu malah melambatkan laju di depan mobil kami. Xenia kami lalu mendahuluinya. Tiba-tiba mobil yang ditumpangi rombongan keluarga kecil itu melaju kencang di samping kiri kami, jaraknya begitu dekat hingga spion kami hampir saling beradu. Apa maunya? Hanya Tuhan dan sang tempramental itu yang tahu. Di depan kami, mobilnya melaju berkelok-kelok, seakan memang sengaja mengajak kami membuang waktu. Kami kembali menempatkan posisi di depannya. Coba tebak, apa yang ia lakukan saat kami mendahuluinya? Lelaki berumur kira-kira 40 tahunan itu mengacungkan jari tengah. Tak lama setelah stimulus itu dilayangkan, Baga membuka jendelanya dan tak kalah khidmat mengacungkan salam jari tengah balasan, mobil kami lalu melaju menjauh darinya. Si bapak penunggang KIA itu lalu mempercepat laju, mengajar kami dan minta meminggir. Beruntung kami tak larut lebih cair dalam emosi, bahkan saat dia behenti di samping polisi patroli yang sedang sibuk dengan kasus lain di pinggir tol. Si KIA berkeras mengajak kami menyamping. Akhirnya duel itu berakhir dengan laju kami yang sengaja diperlambat agar si hijau pembakar emosi itu segera enyah. Di pintu tol berikutnya, kami bertemu lagi. Beruntung sang KIA hijau berbelok ke kiri, dan kami melaju menuju kanan. Adrenalin perlahan mencair, kami beruntung tak terbakar api emosi. Jika tidak mungkin kami sudah seperti mobil malang yang bagian depannya hancur setelah bannya pecah siang itu.

Malam itu sebenarnya saya ingin berkunjung ke Bogor Nirwana Residence untuk kembali menikmati “banjir serotonin”. Tapi saya pun urung bertolak menyaksikan aksi The Porno, Danial, Black Mustang, dan Monkey to Millionaire (lagi) karena beberapa alasan. Kebersamaan dua hari yang telah berlalu barulah awal dari perjuangan panjang upaya peningkatan kualitas musikal dan apresiasi seni. Semoga Tuhan selalu merestui langkah kita. Viva la musica!


Bersama Monkey to Millionaire



Penyerahan Cinderamata



Di Rest Area



Baga Adi Tiawan, Kapten Perjalanan Kami



Suasana Panggung



Untuk Yang Ikut Tapi Tak Hadir di Foto Ini: Mufff (Dengan Intonasi Pengucapan Khas Denissa)



"APRES! ITB dan MAX!! IPB: untuk apresiasi musik yang maksimal", Demikian tulis seorang anggota APRES! dalam testimoniya