Hari kesembilan di bulan April bukan hari biasa bagi saya. Minggu malam itu saya dan kawan-kawan MAX!! bertandang ke markas majalah Rolling Stone dalam rangka gelaran Release Party edisi terbaru majalah itu. Tepat pukul lima, kami berangkat dari Darmaga. Para senior MAX!! yang semula mengiyakan undangan, terpaksa membatalkan kehadiran karena berbagai alasan mendesak. Tepat pukul delapan kami tiba di Jalan Ampera Raya nomor 16. Puluhan mobil telah terparkir rapi saat kami tiba. Habisnya lahan parkir memaksa kami memarkir mobil di depan sebuah mesjid. Dengan semangat membara, kami pun melangkah beberapa ratus meter menuju gelanggang pesta.
Setelah membeli tiket berupa majalah edisi terbaru, kami dikejutkan oleh kehadiran sesosok pria berperawakan gempal di pintu gerbang. Dialah Ricky Siahaan, editor Rolling Stone yang bila berdiri di panggung berfungsi sebagai mesin pencetus distorsi band Seringai. Tanpa banyak mulut langsung saja kami ajak diskusi gitaris yang memiliki kakak seorang alumni IPB itu. Setelah memperkenalkan diri dan berdiskusi berbagai hal, Ricky berkenan memberi testimoni untuk MAX!!. “MAX!! saya terus dukung kegiatan kalian, teruskan passion ini, ide tidak bisa dibunuh! MAX!! ASOY!!” demikian tulis salah satu induk serigala militia itu untuk kami. Beberapa menit setelah tiba di bibir panggung, Soleh Solihun mulai angkat mikrofon. MC flamboyan itu tak henti mengundak gelak tawa hadirin malam itu. The Authentics lalu mengambil alih panggung dan memulai prolog pesta malam itu dengan jingle Pink Panther khas musik SKA. Tak lama setelah kor melodius itu berdentum, Imo pamit untuk memarkir mobil ke tempat yang lebih aman. Saya lalu menemaninya. Sesampainya di masjid, seorang bapak yang sepertinya penjaga masjid telah siap memasang muka bengisnya. Benar saja, kami kena semprot gara-gara memarkir tanpa izin. Setelah beralibi dan meminta maaf, kami gulirkan mobil itu menuju tempat lain.
Sesampainya di arena konser, The Authentics telah asyik berkoar di lagu paling buncit. Setelah mereka turun, sementara panggung sibuk mempersiapkan kelengkapan Komunal, kami berdiskusi dengan Jikun dan Ovy /RIF. Tampang sangar dan tato yang melintang sempat menahan langkah kami untuk dekat dan menyapa. Ternyata citra hitam yang semula muncul sirna segera dengan sikap ramah mereka, kami pun larut dalam pembicaraan santai. Jikun sempat berpesan agar jangan menganggap popularitas melalui musik sebagai sesuatu yang instan. Dikenal banyak orang hanyalah imbas dari perjuangan musikal yang idealnya terus dibangun sejak dini, agar tak cepat naik, tak cepat turun pula. Lain halnya dengan Ovy. Kawan beradu pedang Jikun itu ternyata pendiam. Untuk menulis testimoni saja dia harus bertanya pada rekannya. Tapi bukankah sikap itu yang sebaiknya kita contoh, talk less do more.
“Kami memang tak sebesar Koil, kami juga tak sebesar Dewa, tapi kami akan menjadi sebesar Slank,” demikian kata-kata pembuka Dody dengan suara growl rendahnya yang sepintas mirip karakter vokal Arian13. Malam itu Komunal tampil tanpa bassis tetapnya. Tapi bukan berarti tidak memberi impresi. Kor-kor indah sekelas “manusia baja” hingga “pasukan perang dari rawa” dengan fasih mereka lantunkan. Aksi panggung mereka pun cukup unik. Doddy sempat menyalakan rokok diatas panggung, bahkan sesekali menghisap batang sembilan senti itu saat job vokal menemui jeda. Soleh Solihun yang dikenal cepat mentranslasi pikiran menjadi kata-kata bahkan sempat menjuluki drummer Komunal dengan “pasukan perang dari mushola” karena penampakan sang penjaga tempo memang terkesan islami. Selain komentar tentang para pengisi acara, Soleh juga sempat membahas topik feminisme, bahkan mengaitkan dengan kondisi rekannya sang produsen vokal di band Drive. Menurutnya, sebenarnya gerakan feminis itu tak perlu ada, toh wanita sudah berposisi diatas lelaki. Lihat saja para suami yang bekerja, untuk siapa mereka mencari uang? Wanita. Kenapa karir Bjah The Fly terhenti? Wanita. Karena siapa nama baik Anji tercoreng? Wanita. Jadi sebenarnya tak perlu ada gerakan feminis, begitu isi candaan si editor.
Tiap jeda pengisi acara, MC mengadakan kuis berhadiah tiket ke konser Misfits di Ancol esok harinya. Pertanyaan yang menjadi syarat kepemilikan tiket tidak terlalu menguras otak. Siapa Managing Director Rolling Stone? Apa nama akun Twitter Soleh Solihun? Siapa nama personel Seringai yang baru menikah? Demikian varian pertanyaannya. Ternyata Soleh adalah tipikal penyuka nama lengkap. Saat pertanyaan yang terakhir saya sebut diatas diajukan, jawaban Khemod dianggap berlum tepat. Penjawab harus menyebutkan nama lengkap si drummer. Kesempatan saya menyaksikan The Misfits tanpa merogoh kocek tiket akhirnya tiba. Setelah Soleh mengajukan pertanyaan tentang sutradara DVD Generasi Menolak Tua, saya langsung mendekati mic. Sammy adalah satu-satunya kata yang saya jadikan jawaban. Layaknya pertanyaan terdahulu, Soleh selalu menginginkan nama lengkap. Saya jawab lagi, “Sammy,” dia minta nama lengkap. “Sammy,” jawab saya lagi. “Sammy,” jawaban terkahir kali saya sebelum didiskualifikasi. Setelah banyak calon penjawab berkerumun di depan, Soleh menganjurkan untuk menentukan penjawab dengan gambreng. Tentu saya ikut lagi, dan menang. Saya jawab lagi, “Sammy,”, hingga berulang sayang mengucap nama itu, hati Soleh tak luluh juga mengikhlaskan tiketnya untuk saya bawa pulang. Akhirnya tiket itu jatuh ke tangan seseorang yang mengatakan “Sammy Bramantyo” adalah jawabannya. Ia beruntung, tiket itu jatuh ke tangannya, padahal sayalah yang menginspirasi jawaban itu. Sayang sekali.
Pengisi acara ketiga malam itu adalah Project The Fly. Band pop rock ini adalah nama baru dari band yang dulu kita kenal dengan nama The Fly. Perubahan nama itu diputuskan setelah band yang dikomandoi Kin Aulia itu dihuni vokalis baru bersuara falsetto khas sopran, padahal keliatannya dia pria. Secara musikal, The Fly malam itu tak menghadirkan sesuatu yang begitu menggugah, apresiasi penonton pun nampaknya dingin, sedingin botol bir yang banyak digenggam hadirin malam itu. Saya tentu memilih Coca Cola saat ditawari pilihan antara softdrink atau bir. Dengan bangga saya pun mecoret punggung kedua tangan dengan tanda silang. Itulah identitas yang saya bawa dalam sebuah arena plural, “saya adalah straight edge”. Straight edge adalah ideologi anti alkohol dan drugs yang dianut beberapa pegiat musik rock yang biasanya identik dengan alkohol dan self destruction. IPB sebagai institut yang diakui publik terkenal dengan fleksibilitas lulusan dan mahasiswanya, juga memiliki sebuah band straight edge. Asphoria (http://www.myspace.com/asphoria), demikian nama band beranggotakan tiga pejantan itu. Lirik yang mereka angkat pun tak sembarangan. “X Untuk Masa yang Lebih Indah” adalah salah satu cerminan ideologi yang mereka anut.
Pengisi acara terakhir yang banyak ditunggu performanya adalah Seringai. Band yang menawarkan musik rock oktan tinggi itu selain menyanyikan lagu sendiri, juga berkesempatan membawakan cover lagu Hollywood Babylon-nya The Misfits dan Diskotik karya Duo Kribo yang jaya dimasa Ahmad Albar dan Ucok AKA berkuasa. Soleh Solihun lalu menginformasikan bahwa saat itu Jerry Only dan Wendi Putranto sedang menuju Kemang tempat kami berpesta. Selama menunggu kehadiran sang maestro horror punk, Seringai mengisi kekosongan waktu. Seringai memacu amplifier hingga para personelnya bingung untuk menyanyikan lagu apa. Akhirnya hingar bingar instrumen harus berhenti akibat komplain tetangga sekitar panggung. Acara pun ditutup karena Jerry Only yang dijanjikan tak kunjung hadir. Dalam jeda penantian itu, saya berbincang dengan Rudolf Dethu. Insan pulau dewata itulah yang menginspirasi gaya tulisan saya hingga seperti ini.
Akhirnya Jerry datang juga. Dia bersikap ramah dan tampil tanpa busana gelap khasnya jika Misfits beraksi. Setelah puas berfoto, kami pulang. Selama acara itu, saya membagi CD demo Finding Nadia ke Ricky Siahaan, Rudolf Dethu, Gribs, hingga Komunal. Namun sayang sekali Jerry luput dari ingatan saya untuk dibekali CD. Tapi tak mengapa, mungkin Finding Nadia harus dikenal di negeri seberang tanpa melalui Misfits, who knows? Oiya, karena Ricky Siahaan menerima CD itu, maka kemungkinan rubrik Review bulan depan akan dihiasi resensi A Huge Difference Between Zero And The Number After. Semoga minialbum Finding Nadia itu benar-benar hadir disana.
bulan ini panggungnya lebih besar
bapak ini salah satu generasi menolak tua, dia berhenti di 15
ovy /rif tanpa DJ
kang jerry only dan ully
mas jerry only dan budi
jerry "only" ---> dik "doank"
kami yang bersilaturahmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar