Rabu, 24 Agustus 2011

FIM and Punk

Forum Indonesia Muda (FIM) adalah kumpulan mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia yang bergerak di berbagai bidang, tentu untuk kemaslahatan bangsa. Tiap tahun forum ini menyelenggarakan kegiatan dengan tema tertentu dan merekrut anggota baru. Anggota FIM di daerah asalnya masing-masing terus berlomba untuk selalu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada daerah yang mereka tempati. FIM Bogor tentu tak mau kalah untuk itu. Setelah diinisiasi empat hari sebelum eksekusi, akhirnya kegiatan santunan dalam balutan acara sahur bersama itu terlaksana juga, meski dengan objek berbeda. Semula kegiatan sahur bersama FIM Bogor akan dilaksanakan di sebuah panti asuhan, namun ternyata jadwal kegiatan di panti itu telah padat. Kami akhirnya banting setir, mengalihkan objek yang semula para anak penghuni panti asuhan menjadi para skuad penghuni buasnya rimba raya jalanan, anggota komunitas punk bogor.



Panitia sudah berkumpul di kediaman Najmi sejak semalam sebelum kegiatan. Rencana dan jadwal kegiatan telah disusun sedemikian rupa, lalu beranjaklah kami menuju Terminal Bubulak. Disana, belasan pemuda berbusana unik telah menyambut kami. Kesantunan dan sikap hangat yang mereka tampilkan spontan menghapus stereotip kasar yang biasa melekat pada mereka. Diskusi hangat pun segera digelar. Para anak punk tak ragu berbagi cita dan mimpi yang ingin mereka gapai. Paradigma mereka yang selalu ada di posisi seberang pemerintah dan nilai-nilai mainstream juga turut dipaparkan. Mereka terlihat senang dan berterima kasih karena ternyata ada orang-orang yang peduli dengan keberadaan mereka. Saya teringat dengan diskusi film Alangkah Lucunya Negeri Ini yang ulasannya dibahas di majalah Can I Say edisi bulan ini. Disana dipelajari bahwa justru kalangan yang lebih memerlukan perhatian, luput dari pandangan mereka yang ingin berbagi keberuntungan. FIM Bogor patut bersyukur karena relung lain kegiatan sosial telah sukses mereka olah.









































Iwan Fals Punya Tempat Khusus di IPB

Makin beragam saja modus pergerakan para mahasiswa. Keberadaan Pojok Bang Iwan ini salah satu indikasinya. Digelar di balairung Fakultas Kehutanan IPB, prosesi diskusi yang didasarkan dari lagu-lagu gubahan Virgiawan Listanto itu berlangsung khidmat.



Zepanya sepertinya adalah inisiator sekaligus jenderal lapang yang mengeksekusi diskusi itu. Kekagumannya atas esensi dalam karya Iwan Fals mendorongnya membuka forum perbincangan dengan tema Canda Dalam Nada. Di dalamnya, dinyanyikan dan dibahas tiga lagu Bang Iwan, Bangunlah Putra-Putri Pertiwi, Generasi Frustasi dan satu lagu lain yang saya lupakan judulnya dan lewatkan pembahasannya.



Saya hadir ketika Bangunlah Putra-Putri Pertiwi sedang ada di meja pembahasan. Ketika itu para hadirin dari berbagai departemen dan angkatan di IPB sedang menggunjingkan tentang peran mahasiswa. Banyak pendapat inspiratif dan konstruktif. Yang akan saya ulas dalam tulisan ini hanya pendapat yang sempat saya lontarkan malam itu, karena memang pendapat saya sendirilah yang paling saya ingat. hehe.



Tentang peran mahasiswa, saya berdalih bahwa tiap orang bisa diposisikan dalam berbagai peran. Tiap orang yang hadir dalam lingkaran kecil malam itu bisa saja diposisikan sebagai warga negara, seorang anak, seorang seniman, seorang mahasiswa. Jika peran terakhir dijadikan topik untuk menelusuri apa perannya, maka jawaban saya adalah peran mahasiswa ada tiga. Mahasiswa adalah derivasi dari eksistensi sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berasas pada tridarma perguruan tinggi. Karenanya, tugas mahasiswa menurut saya adalah melakukan kegiatan yang berasaskan pendidikan, pengabdian masyarakat dan penelitian, seperti yang tercantum dalam tridarma perguruan tinggi.



"Tugas kita adalah belajar dengan giat". Pernyataan itu rasanya terlalu luas cakupannya. Tentu dalam tiap sendi pergerakan tercantum pelajaran-pelajaran berharga, namun kalimat tentang tugas itu harus dijabarkan dalam penjelasan teknis. Tridarma perguruan tinggi yang diemban seluruh komponen universitas rasanya sudah bisa dijabarkan secara teknis eksekusinya, dan tiap orang tentu punya penafsiran tersendiri. Kegiatan pendidikan yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa diantaranya adalah menjadi pengajar, di kelas ataupun di luar kelas. Pengabdian masyarakat misalnya bisa dilakukan dengan menggelar kegiatan-kegiatan sosial. Jangan salah, membaca dan menyarikan hasil bacaan bisa juga loh digolongkan ke dalam cluster penelitian. Pertanyaannya, sudah sejauh mana kita sebagai mahasiswa telah menjalankan tugas? Pantaskah kita berdemonstrasi menuntut banyak hal ke pemerintah untuk memenuhi tugas mereka dengan baik, sementara pemerintah belum pernah menuntut kita untuk mengetatkan pergerakan untuk memenuhi tugas tadi? Intinya, mari kita resapi dan implementasi lagi salah satu penggalan lirik dalam hymne IPB yang sudah kita nyanyikan sejak masa pengenalan kampus itu, "tridarma nan mulia".



Bangkitlah Putra-Putri Pertiwi ditutup dan Zepanya melantunkan lagu kedua, Generasi Frustasi. Lagu ini bercerita tentang curahan perasaan seorang anak yang menjadi korban keretakan keluarganya. Saya memaparkan bahwa pembagian peran lelaki-perempuan di ranah publik dan domestik itu sebenarnya adalah konstruksi sosial belaka. Itu menurut para filsuf macam Marx, Sartre, Simone de Bouvier, dll yang saya baca di novel filsafat Dunia Sophie. Di lain pihak, pasangan Alan dan Barbara Pease dalam bukunya Why Men Don't Listen, Women Can't Read Map, menuturkan bahwa peran wanita di sektor domestik sementara pria di ranah publik adalah kaidah natural yang sudah terbentuk sejak era prasejarah--pejantan berburu, betina menjaga sarang (gua). Saya juga mengaitkan implementasi teori pengasuhan Baumrind dengan interaksi rakyat/mahasiswa dan pemerintah. Penjelasan detil tentang hal itu saya paparkan disini. Keluarga adalah unit organisasi sosial terkecil di masyarakat. Kualitas sebuah masyarakat tentu akan bergantung pada kualitas keluarga yang menyusunnya. Kesuraman dalam Generasi Frustasi adalah buah dari ketidakbecusan sebuah keluarga mencetak generasi barunya. Dewasa ini isu tentang keluarga memang sedang punya perhatian khusus. Perdebatan tentang pernikahan antar sesama jenis kelamin, sikap trhrow away generation (yang pernah saya bahas disini) sebagai latar belakang pemicu perceraian juga melatari timbulnya Generasi Frustasi. Karenanya tak heran jika saat kampanye, Presiden Amerika terpilih Barack Obama mengangkat jargon 'back to family value', karena dia sadar, urusan keluarga tak bisa dianggap remeh.



Di tengah perbincangan di lagu kedua itu, saya undur diri karena harus menghadiri persiapan sahur bersama komunitas punk Bogor bersama rekan-rekan Forum Indonesia Muda (FIM) Bogor. Semoga Pojok Bang Iwan selalu ada dan rutin mengisi ruang kosong pemaknaan kita terhadap sebuah karya seni.







Jumat, 12 Agustus 2011

Birthday Gift

Hari kamis tanggal 11 agustus 2011, provocative proactive menayangkan edisi ulang tahunnya yang pertama. Provocative Proactive adalah sebuah program televisi tentang politik untuk anak muda yang ditayangkan di Metro TV setiap hari kamis jam setengah sepuluh malam. Program ini salah satunya digagas dan dipandu oleh Pandji Pragiwaksono. Selain menjadi produser program TV, rapper, penyiar radio, aktivis nasionalisme, Pandji juga seorang penulis. Salah satu buku yang pernah ditulisnya adalah sebuah buku-e berjudul "menghargai gratisan". Dalam buku itu, Pandji menceritakan tentang koleksi DVD yang ia punya. Salah satu DVD yang ia bahas adalah sebuah film berjudul Gandhi. Sesuai dengan judulnya, film ini menceritakan kisah hidup seorang tokoh kemanusiaan asal India. Setelah menyaksikan film inspiratif itu, saya membahasnya dalam sebuah tulisan khusus di blog ini. Disana saya menulis bahwa ada salah satu dialog dalam film Gandhi yang menyatakan bahwa resistensi pergerakan kaum yang dipimpin Gandhi harus aktif dan provokatif. Munculnya dua kata dalam film itu mengundang kecurigaan saya tentang sumber inspirasi program Provocative Proactive. Jangan-jangan dari dua kata di film itulah program itu mengadopsi nama. Saya lalu melakukan konfirmasi melalui akun Twitter Pandji tentang hal itu. Menurut Pandji, ia merasa kaget mendapati hal itu. Provocative Proactive ternyata tidak memiliki hubungan langsung dengan petikan dialog tadi.

Dalam ulasan tentang film itu, saya tidak menyantumkan bukti visual bahwa benar adanya kedua kata itu muncul di film garapan Richard Attenborough itu. Di momen dirgahayunya yang pertama, saya menghadiahkan Provocative Proactive salah satu adegan di film Gandhi yang memperlihatkan Sang Mahatma yang sedang menuturkan sifat pergerakan yang ia pimpin.

Melalui blog sederhana ini, saya menghaturkan selamat berulang tahun kepada Provocatice Proactive. Semoga bisa terus memotivasi, menginformasi dan menginspirasi para pemuda bangsa ini.

Minggu, 07 Agustus 2011

Clumsy Little Boy

Clumsy Little Boy (Clib) adalah kelompok musik yang beranggotakan 4 orang, Ikiw, Yogi, Yandi dan Rheza (saya ini). Band ini terbentuk pada tahun 2009, tepatnya entahlah kapan. Saya sendiri baru bergabung sekitar bulan Juli-Agustus 2009. Saat itu saya dan Ikiw berada dalam satu kelas untuk mata kuliah yang sama. Pembicaraan kami tentang musik berlanjut dengan pertemuan di studio, lalu resmilah saya bergabung dengan empat orang lainnya. Ya, saat itu Clib dihuni juga oleh Chicko. Di akhir tahun 2009, Chicko mundur karena beberapa alasan.



Sebuah event bernama We're All The Same adalah panggung pertama band ini. Saat itu gedung Kemuning Gading menjadi saksi eksistensi Clib. Selanjutnya Clib juga tampil di rumahnya sendiri, kampus IPB Darmaga, di acara Musik Untuk Bumi yang digelar Komunitas Ladang Seni. Event terakhir Clib sebelum akhirnya vakum hampir setahun lamanya, adalah Launching Album Kompilasi MAX!! Vol 3 yang dihelat di penghujung 2010. Album kompilasi itu sekaligus juga menjadi dokumentasi karya pertama Clumsy Little Boy yang bertajuk I Don't Want To Be Alone. Vakumnya band ini dilatarbelakangi kesibukan sebagian besar personilnya yang sudah meraih gelar sarjana peternakan dan sibuk dengan aktivitas pasca universitasnya, sehingga pencarian meeting spot menjadi hal yang sulit.

Hari keenam di bulan kedelapan, Clib melaksanakan reuni. Eksekusi pertemuan di malam ketujuh bulan ramadan itu terlaksana dengan sangat cepat. Ikiw mengontak semua personil lain satu jam sebelum jam 10 malam, waktu yang kami sepakati untuk diisi dengan aktivitas studio. Dokumentasi berupa foto dan video band ini saat bertemu lagi setelah hampir setahun terpisah, bisa dilihat di bawah ini.











Rabu, 03 Agustus 2011

Selasa, 02 Agustus 2011

Gandhi

Film ini saya tonton setelah beres baca buku karya Pandji Pragiwaksono yang berjudul Menghargai Gratisan. Buku itu berisi pandangan penulis tentang fenomena produk bajakan yang marak muncul. Pandji juga memberi ulasan tentang DVD apa saja yang ia koleksi, salah satunya DVD film Gandhi ini. Karena mendapat cap bagus dari penonton sebelumnya, saya berani berinvestasi waktu di film keluaran 1982 ini.
Gandhi mengisahkan cerita tentang tokoh kemanusiaan asal India, Mohandas K. Gandhi. Sebutan Mahatma yang familiar dengan Gandhi adalah julukan yang diberikan simpatisannya. Biografi audio-visual ini dimulai dari akhir, dari kematian Gandhi. Setelah insiden mengejutkan di akhir hayat si tokoh utama, alur diputar balik ke pangkal mula karir tokoh yang teguh dengan prinsip anti kekerasannya itu.

Gandhi mengawali kariernya sebagai pengacara. Dia hijrah ke Afrika Selatan dengan menjalani profesi itu. Perlakuan diskriminatif sempat ia rasakan di negeri Mandela itu. Perlawanan terhadap kultur itu pula yang menjadikannya dikenal hingga ke India, tanah kelahirannya. Setelah pulang ke India, Gandhi memperjuangkan kemerdekaan dari tangan Inggris bersama tokoh-tokoh kenamaan lainnya seperti Pandit jawaharlal Nehru, Muhammad Ali Jinnah, dll.

Polemik kebangsaan di India juga tergambar di film ini, mulai dari konflik antar agama hingga upaya genosida yang dilakukan Inggris, pihak penjajah India. Cara yang diajarkan Gandhi serta sudut pandangnya dalam menyikapi masalah-masalah diatas adalah pelajaran penting yang dipetik dari film berdurasi lebih dari tiga jam itu. Beberapa dialog sakti yang saya kenang diantaranya adalah saat Gandhi mempertanyakan landasan utama melakukan perlawanan, apakah perlawanan itu berorientasi sebuah perubahan ataukah vonis belaka.
Gandhi juga memperlihatkan teladan bersikap seorang mediator yang baik. Saat massa berdemonstrasi menuntut kematian sang muslim Jinnah yang menghendaki pemisahan diri dari India hingga menjadi pakistan, Sang Guru menyatakan bahwa dirinya juga Islam, dirinya juga Hindu, dirinya jew, dia juga mengaku sikh. Gandhi tidak menghendaki latar belakang agama dijadikan motif konfrontasi.

Dalam dialog lainnya, Sang Mahatma menyatakan bahwa pergerakan yang dilakukannya harus aktif dan provokatif. Karena film ini direkomendasikan oleh tokoh pergerakan Indonesia Pandji Pragiwaksono yang aktif dalam salah satu senjatanya bernama Provocative Proactive, saya curiga nama Provocative Proactive tadi terinspirasi dari dialog ini. Setelah melakukan klarifikasi ke akun Twitter @pandji , ternyata bukan itu yang melatari nama Provocative Proactive, namun Pandji mengaku terkejut mendapati hal demikian.
Sikap sederhana Gandhi juga memunculkan ironi tersendiri bagi saya yang tinggal di negeri ini. Di negeri yang dihuni beberapa pemimpin yang enggan 'duduk di lantai' dalam arti merakyat, meski tak duduk di lantai seperti yang dilakukan Gandhi dalam konteks yang sebenarnya di film itu. Di negeri yang ada salah satu pemimpinnya yang malah dipenjara setelah memimpin, tidak seperti Gandhi (dan Bung Karno serta sejawatnya dulu tentunya) yang dipenjara dulu baru memimpin. Tapi tentu saja bukan berarti tiap pemimpin harus dipenjara dulu. hehe.
Romantika persahabatan sang guru dengan Nehru juga tersaji begitu dramatis. Saat seseorang berteriak 'death to Ghandiji' di hadapannya, perdana menteri pertama negeri hisdustan itu naik pitam dan menantang untuk melangkahi mayatnya dulu kepada pengecut yang menyembunyikan diri dan menghendaki kematian Bapu (panggilan lain Gandhi) itu. Romantisme Gandhi-Nehru itu mengingatkan kita bahwa Indonesia juga punya duo teladan yang tetap rukun meski tak sependapat, Soekarno-Hatta.

Pelajaran lain dari film ini adalah sikap Gandhi yang memilih jalan hidup mandiri, membuat baju untuk dirinya sendiri. Berdikari namanya kalau kita pakai istilah Bung karno, berdiri di atas kaki sendiri.

Mohandas juga punya keyakinan bahwa pola pikir 'eye for an eye' hanya bisa menjadikan dunia buta. Prinsip mulia itu teraplikasi saat seorang hindu ingin membalas dendam kepada muslim yang membuatnya kehilangan anak. Gandhi menyarankan agar pria itu mencari anak yang tidak memiliki ayah dan keluarga, lalu angkat anak itu sebagai anak sendiri. Si hindu lalu tersungkur dalam tangisan, malu akan sikap barbarnya yang ditimpali solusi bijak dari Bapu.

Adegan pembunuhan di awal film adalah penanda bahwa film itu dibuat manusia, tidak sempurna. Bayangkan jika seandainya penonton baru tahu bahwa hidup si tokoh teladan itu di akhirnya kandas karena terjangan beberapa butir peluru di akhir film, pasti akan sangat mengejutkan.

Durasi yang memakan waktu tidak sedikit juga menjadi atribut lain yang perlu diantisipasi dengan kesabaran. Tiga jam lebih bukanlah waktu yang singkat bagi penonton untuk tetap berada di depan layar. Karenanya di film itu juga disisipi intermission yang menyajikan karya musikal khas India.

Overall, Gandhi adalah rangkaian kisah yang sayang dilewatkan. Sangat menginspirasi dan sikapnya patut diteladani.