Rabu, 25 Desember 2013

Mengenang Finding Nadia

Motor yang saya dan Fan tunggangi melamban di hadapan sebuah toko grosiran. "Udah ga ada lagi. Sempet jadi sengketa, akhirnya dirubah jadi toko", demikian kira-kira penjelasan Fan tentang tempat pertama kami berdiri sepanggung, Cibinong Billiard. Menjelang Agustus 2008 berakhir, Finding Nadia pertama kali menyatakan diri ada. Penampilan pertama Finding Nadia malam itu sempat saya abadikan dalam sebuah tulisan. Lima tahun berselang, jalan Cibinong kembali saya gilas bersama Fan. Jika dulu kami ke Cibinong untuk membuka eksistensi Finding Nadia, kini kami menutupnya.

Lahirnya "April is Our December"


Segmen pamungkas kisah Finding Nadia bermula dari tercukupinya tabungan karya untuk dibungkus dalam sebuah album. Sejak menelurkan "A Huge Diffenrence Between Zero And The Number After" pada 2010, band bentukan 2008 ini jarang mempresentasikan karya. Sesekali satu dua lagu tercipta, lalu rilis berupa single. Pertengahan September 2013, bulatlah rencana rilis album terakhir. Saat itu penyelesaian album juga mulai dicicil.
Vokalisasi lima materi album April is Our December

Dua hari menjelang rilis, saat finalisasi album terakhir Finad, Rona berhalangan hadir. Akhirnya sesi vokal di tiga track diisi tiga orang lain. Seperti ketika Hollow Lines direkam, ada momen konyol yang terekam dan rasanya sayang kalau dibuang. 
Suara batuk Cet masuk di lagu Run Something New
Pas hari natal, semua materi album sudah siap dipublikasikan setelah melalui tahap mixing dan mastering oleh Fan. Akhirnya tepat jam 12 siang April is Our December rilis dan Finding Nadia bubar. 
Cover album dibuat Windi berdasarkan interpretasi dia tentang pengalaman yang telah dijalani empat orang personil Finad
Finding Nadia: Awalnya Cuma Band


Sejak jadi anak SMA, saya selalu memimpikan punya sebuah band yang menyanyikan lagu sendiri, band yang jadi cerminan tentang musik apa yang saya suka. Baru ketika jadi mahasiswa, cita-cita itu jadi nyata. Awalnya dari pertemuan saya dan Fan di ospek kampus. Kami sama-sama suka Nirvana. Ternyata, kami juga seselera saat menyukai jenis musik lain. Sepakatlah kami merencanakan sebuah band emo, meneruskan proyek band yang Fan bangun sejak dia SMA, Second Story. 

Di asrama, saya kenal teman depan kamar yang juga suka musik, dan dia vokalis band Freshmilk, namanya Rona. Rona mengajak saya mengisi sebuah acara bentukan organisasi musik kampus. Akhir 2007 itu, kami nyanyiin lagu The Ataris dan New Found Glory. Di bagian scream lagu Catalyst, Fan tiba-tiba naik panggung dan tarik mikrofon, ikutan scream. Dari situlah kemudian saya, Fan dan Rona merancang pembentukan band baru. Belum punya satu personil lain, Cet kemudian diusulkan diajak. Lalu berkumpullah kami berempat di lobi asrama putra C1 IPB.


Siang 2008 itu di lobi asrama kami mencari sebuah nama band. Semua sepakat nama yang dipilih bernuansa feminin, padahal image band yang bakal dibangun jauh dari kesan itu, mirip band emo macam Alesana, Aiden, Emery, dll. Lalu muncullah nama Nadia, seorang mahasiswi yang kami kenal di event musik kampus. Dibubuhkan kata tambahan, jadilah Finding Nadia nama band baru kami. Lima bulan kemudian pengalaman panggung pertama kami jajal.

Poster event "Kota yang Hilang" di Cibinong Billiard 30 Agustus 2008. Waktu itu Cet berhalangan hadir. Bass diisi Roy
Kami tak jarang teriak-teriak nyanyi di asrama. Sering juga kumpul di rumah Rona. After Farewell jadi lagu pertama yang kami gubah. Di album pertama, lagu itu ada di urutan paling bontot. Album pertama berjudul "A Huge Difference Between Zero And The Number After" rilis Februari 2010. Pertama kali kami mendistribusikan kepingan CD-nya di gelaran Ruang Apresiasi Seni dan Sastra (RASSA) bentukan sebuah komunitas seni. Dari situ kemudian pengalaman panggung kami bertambah. Dari panggung kecil sekelas kampus, pensi anak SMK, sampai manggung di luar kota, sudah kami coba. Sayangnya, kesibukan masing-masing personil jadi kendala. Finding Nadia lalu jadi empat orang setelah Deni pindah domisili ke Palembang. Sementara Finding Nadia vakum, saya ikut band Clumsy Little Boy dan Operasi Plastik, Fan bentuk Asphoria dan Various Flames, Rona rancang Nanoblast, dan Cet makin fokus di aktivitas penyelaman.


Meski jarang kumpul sebagai sebuah band yang aktivitas utamanya bermusik, kadang kami nonton bareng, nginep di rumah Rona, atau sekedar renang sama-sama. Itulah yang membuat Finding Nadia bagi saya akhirnya bukan cuma nama band. Meski bandnya sekarang bubar, aktivitas barengan kayak tadi bukan ga mungkin terus dilakukan.

Selasa, 24 Desember 2013

New Album: Finding Nadia - April Is Our December (2013)


Selamat hari natal, hari kelahiran Sang Juru Selamat. Momen kelahiran Kristus hari ini juga menjadi selebrasi kelahiran album baru Finding Nadia. Paket karya Finding Nadia kali ini bertajuk April Is Our December. Ada sembilan lagu yang dipasang di album pamungkas ini. Ya, setelah rilisan ini, Finding Nadia membubarkan diri.

April 2008, empat orang mahasiswa baru sebuah universitas di Bogor sepakat dengan sebuah nama band, Finding Nadia. Nama itu berawal dari inspirasi yang hadir dari sejumlah band emo/screamo yang hanya berkesan feminin di nama. Keempatnya lalu setuju meminjam nama seorang mahasiswi yang mereka kenal di sebuah kegiatan kampus. Jadilah Finding Nadia setelah awalan kata kerja ditambahkan sebagai pelengkap. Finding Nadia kemudian menjadi lima, setelah seorang drummer masuk. Empat bulan kemudian, mereka menjajal panggung pertama di sebuah gig bertajuk "Kota yang Hilang".

Dalam menjalankan Finding Nadia, para personilnya seringkali kesulitan menemukan irisan waktu di sela aktivitas primer mereka. Buntutnya, baru dua tahun setelah ada, album perdana Finding Nadia tercipta dengan judul "A Huge Difference Between Zero and The Number After". Kendala serupa tetap bersama mereka, meski sejumlah panggung sempat menjadi ajang presentasi karya Finding Nadia. Sejak 2012, Finding Nadia yang saat itu hingga kini kembali berempat, berkumpul lagi dan mengolah tabungan karya mereka. Mengenang April sebagai bulan kelahiran, album "April Is Our December" akhirnya dirilis.

Pencapaian progresif seorang kreator, terjadi ketika mereka menggubah karya yang berbeda dengan kreasi sebelumnya, namun tetap terhubung benang merah yang sama. Ikhtiar itu dilakukan Finding Nadia di album keduanya ini. Sembilan lagu dihimpun dari rentang masa tiga tahun proses kreatif. "Pagi Ini di Semester Akhir" sempat dirilis sebagai single. Pun demikian dengan "Tak Kan Pernah Sama" yang sempat muncul dalam wujud akustik. Sementara "Sejak Dekade Terakhir" berasal dari rilisan lama proyek Various Flames, "Tell You Something" ditarik dari album pertama dengan menghadirkan Rizka Zahra Tamira sebagai modifikator sektor vokal. Sisa lima lagu lain tercipta spesial untuk album penutup ini. Mereka adalah "Anthem of Birth", "Hollow Lines", "It Ain't Over 'Till It's Over", "Don't Climb the Wall, Walk Through It!" dan "Run Something New". Seluruh materi album direkam secara swadaya di sebuah ruang rekaman yang juga seadanya. Rekaman momen-momen selama proses vokalisasi sengaja dimasukkan di ujung dua lagu, sebagai perwakilan serupanya gambaran suasana saat Finding Nadia terbentuk, hingga kini terpisah. Semoga rilisan terakhir Finding Nadia ini menjadi hadiah natal yang berkesan.

track list:

1. Anthem of Birth
2. Pagi ini di Semester Akhir
3. Hollow Lines
4. It ain't Over 'till It's Over
5. Tak Kan Pernah Sama
6. Don't Climb the Wall, Walk Through It!
7. Sejak Dekade Terakhir
8. Tell You Something
9. Run Something New

Download link:
APRIL IS OUR DECEMBER (26 MB)

Finding Nadia:

Rona Jutama Yonanda
Rheza Ardiansyah
Raden Achmad Fauzan Alfansuri Rahili
Mohamad Iqbal Panggarbesi

Release date: December 25th, 2013

Copyright: FINAD 2013

http://soundcloud.com/findingnadia

http://twitter.com/finding_nadia

https://www.facebook.com/FindingNadiaMusic

Sabtu, 07 Desember 2013

Penampilan Terakhir Yas bersama Alone At Last

Foto dipinjam tanpa izin dari wadezig.com
Vokalis band Alone At Last, Yas Budaya, hengkang dari band tempatnya berkarya selama sebelas tahun. Sore tadi ia menghelat pertunjukan terakhir dengan band asal Bandung itu. Berarena di gelaran Jakcloth 2013, penampilan terakhir Alone At Last (AAL) bersama Yas saya saksikan sejak pertengahan sesi. Sejumlah hal menarik membuat saya tak sabar untuk mendokumentasikannya disini.


Saya merangsek ke hadapan panggung saat Muak Untuk Memuja dimainkan. Ada yang berbeda dari departemen gitar di kiri panggung. Tak ada Indra Papap disana. Yang terlihat justru seorang gitaris lain yang sepertinya berstatus additional karena dosen Hubungan Internasional di Unpad Bandung itu mungkin sedang berhalangan gabung. Rupanya itu gitaris band ALICE. Saya tahu setelah Yas mengenal dan mempromosikan band itu. 

Seorang pria entah siapa juga naik panggung. Mengaku tahu AAL sejak mereka baru band studio-an, orang itu disambut hangat para personil AAL. Dia lanjut curhat bahwa dirinya berhutang inspirasi. Di belakangnya, Yas duduk menunduk sambil sesenggukan. Dia juga cerita soal Papap yang sudah tidak lagi bersama AAL. Disitulah saya baru sadar bahwa ternyata Yas bukan yang pertama meninggalkan band emo-punkrock itu.

Di akhir pertunjukan, Takkan Berakhir Disini dialunkan. Lagu ini sekaligus jadi pernyataan sikap bahwa meski Yas keluar, AAL masih ada dengan tiga personil lain yang masih tersisa. Penampilan Yas sore tadi masih sama dengan aksi yang biasa ia tampilkan, diantaranya membagikan stiker (kali ini bersama uang kertas sepuluh dan dua puluh ribu), sampai berpantomim dengan mukanya yang ekspresif. Tanpa mikrofon, dia lalu minta maaf jika selama sepuluh atau sebelas tahun ini ada ucapannya yang salah. Terakhir, dia bilang "gue biasanya paling ga suka difoto-foto di panggung, tapi buat kali ini, boleh lah". Kelimanya berangkulan, menunduk hormat ke arah penonton, lalu usailah era Alone At Last bersama juru vokal Yas Budaya.

Saya dan Alone At Last


Di satu sesi pertunjukan terakhirnya bersama Alone At Last, Yas mengundang seorang remaja dengan kaos bertulisan pesan Positif Mental Atittude atau PMA. Dia ditanya-tanya soal band hardcore favoritnya. Ditanya soal AAL, dia mengaku ga ngefans banget. Saya tersenyum tipis dengan komentar dia. Saya juga begitu, ga ngefans banget tapi lumayan ngikutin karya Alone At Last, meskipun baru nonton live nya beberapa tahun setelah tahu lagunya.

Sebenarnya aksi panggung AAL yang fenomenal sudah saya dengar sejak SMA. Katanya bassisnya suka muter-muter instumen dia, terus loncat-loncatan. Penasaran dengan cerita itu, baru tahun 2011 saya kesampaian nonton AAL, di Java Rockingland. Saat itu saya mengalami pengalaman absurd. AAL manggung di Segara Stage yang tinggi panggunya sekitar 50 cm, dan tak ada pembatas antara penonton dan penampil. Di sebuah lagu, Yas berisyarat ke arah saya. Kira-kira maknanya "ayo naik sini, nyanyi bareng gue". Saya tentu salah tingkah ketika itu. "Serius saya boleh naik dan nyanyi bareng disana?" batin saya bertanya-tanya. Untungnya sebelum melompat naik, saya sempatkan tengok ke belakang. Rupanya Yas ngajak Ucay Rocket Rockers yang ada di belakang saya. Silahkan tertawakan saya (kalau kisah itu lucu. Hehe). Tapi di hari itu saya dapet sebuah stiker yang dilempar dari atas panggung, lumayan. Sampai sekarang stikernya masih melekat di gitar pusaka saya. 

Pertama kali saya tahu band ini, dari sebuah kaset yang dipinjamkan teman kakak kelas ketika SMA yang merupakan anak gaul Bandung. Saya sendiri saat itu tinggal di Garut. Di kaset tanpa kotak itu tertulis Alone At Least. Iya Least, bukan Last seperti seharusnya. Di sebuah kesempatan saya tanyakan hal ini ke Indra Papap. Katanya ga pernah AAL berkepanjangan Least di huruf L. "Salah tulis kali", kata dia saat itu. 


Lalu terpukaulah saya dengan lagu Amarah, Senyum dan Air Mata, tentu bersama Mainstream of Love, Valentine Love Song dan lagu lainnya. Berbagai rilis karya AAL saya ikuti dari lagu mereka yang masih sangat punk berjudul I Have No Feeling sampai single Takkan Berakhir Disini. Informasi nonmusik soal mereka juga saya ikuti. Dari berita rehatnya Indra karena harus studi ke Australia (ketika itu sekitar 2008, myspace masih sering dipakai), sampai ada kutipan pernyataan bahwa AAL bukan band emo, mereka menyerahkan penjenisan musik ke pendengar, meski kemudian mereka mengakui ke-emo-annya. Bahkan di sebuah konser besar mereka menyatakan "We Are Emo". Saya juga sisipkan kutipan kalimat AAL di blog ini, di bagian komentar tiap posting. Kalimat "Don't feel bad if people talk shit about you. Everybody has an opinion. Be true in your heart" itu berasal dari sebuah majalah indie berukuran A5 yang namanya sudah saya lupa. Selain itu, saking sukanya ke lagu mereka, bahkan di kelas saat SMA, saya tak jarang putar lagu mereka melalui DVD player, sampai teman sekelas saya bilang kalau giliran saya yang kuasai pemutar cakram itu, dia tutup kuping. Hehe. Saat itu memang tak banyak yang seselera musik sama saya.


Di bangku kuliah, tahun 2007, saya bertemu teman yang "berkuping" setipe. Saya dan mereka membentuk band emo-punk bernama Finding Nadia. Saat itu musik emo memang sedang bermekaran, meski di penghujung dekade pertama abad ke-21 itu kilaunya meredup. Finding Nadia cenderung sulit berproduksi karya, karena sulit menyempatkan diri dari aktivitas kuliah saat itu. Dalam empat tahun baru satu minialbum dirilis, judulnya A Huge Difference Between Zero And The Number After. Ketika AAL ditinggal vokalisnya di ujung 2013, Finding Nadia juga merencanakan bubar sebelum 2014 datang. Pembubaran dilakukan dengan merilis album terakhir yang judulnya April Is Our December. Meski nanti ga ngeband lagi atas nama Finding Nadia, saya sudah punya mainan baru, namanya Operasi Plastik. Sudah siap satu album, judulnya Tes. Band ini menggabungkan emo , punk, metal di sejumlah lagu. Meski tak merinci mau kemana dia setelah keluar dari AAL, saya yakin Yas masih punya proyek musikal lain. Dan karena aksi Yas di AAL sangat khas dan memberi warna cukup tebal di band itu, maka kiprahnya di aksi artisitik lain sangat layak untuk ditunggu. Jangan Berhenti Yas!

Selasa, 03 Desember 2013

Wisata Gunung Haruman

Seorang petani menghentikan aktivitasnya. Ia tampak heran melihat empat orang asing menyusuri tepian jalur tanam kebunnya. Satu dari empat orang tadi bertanya tentang jalur menuju puncak gunung tempat kebun si petani terhampar. Sang petani mengiyakan bahwa keempatnya tinggal lurus terus untuk mencapai puncak. Kalau turun melalui jalur di depannya, mereka bisa tiba di kebun binatang Cikembulan Kecamatan Kadungora Garut. Empat orang ayah-anak itu lalu melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Haruman. Rangkuman petualangan empat pendaki Haruman itu terangkum dalam deretan foto berikut.


Gunung Haruman berdiri setinggi 1300 meter. Berlokasi di antara Kecamatan Cibiuk dan Kadungora Kabupaten Garut, puncak gunung ini digunakan sebagai landasaan paralayang. Di puncak sana kabarnya juga ada sebuah batu mirip kuda yang dipercaya berasal dari masa prasejarah
Di bawah rimbun pepohonan itu terdapat makam Syeh Jafar Sidiq, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Cibiuk dan Limbangan. Tokoh yang juga dikenal dengan nama Sunan Haruman ini juga berhubungan dengan asal mula nama sebuah daerah di selatan pulau Sumatera. Baca kisah lengkapnya disini
Rumah miring di perkampungan kaki Gunung Haruman
Beristirahat di saung petani
Bermain undur-undur di saung
Undur-undur dipercaya sebagai obat diabetes. Menurut penelitian yang diberitakan di situs ini,
konsumsi hewan ini memang berkhasiat menurunkan kadar gula darah tikus percobaan.
Tapi menurut dokter di berita itu juga, pengobatan diabetes dengan undur-undur tidak dianjurkan
Melewati perkebunan untuk menuju puncak
Pandangan dari ketinggian
Meski belum mencapai puncak, pemandangan dari atas sini sudah memanjakan mata
Jalur pendakian menuju puncak tertutup. 
Mungkin karena jarang yang mendaki lewat jalur Cibiuk
Memutuskan untuk kembali turun
Di perjalanan pulang, kembali bertemu dengan visual indah kaki Gunung Haruman
Jalan menuju Desa Cipareuan. Pinggiran jalan ini dipenuhi tumbuhan berbunga kecil. Kupu-kupu sayap hijau banyak beterbangan disana. Beberapa diantara mereka terbang berpasangan
Melewati warga yang sedang bertani dan menikmati kebersamaan di ladang
Kupu-kupu sayap hijau di jalur menuju Desa Cipareuan
Sebelum pulang, menyempatkan diri mampir ke rumah makan diatas kolam berbunga teratai. Menu utama disini Sambal Cibiuk, yang disantap bersama iringan kecipak ikan nila dari kolam di bawah saung tempat makan
Inilah Sambal Cibiuk. Campuran tomat muda, daun kemangi, sedikit terasi dan cabe menghasilkan sensasi rasa yang khas. Rumus campuran sambal ini diciptakan oleh Raden Ajeng Fatimah, salah satu istri Syeh Jafar Sidiq
Kenyang bersantap siang, belaian angin dari sawah di sekitar rumah makan membuat mata berat
Mereka pun kembali ke rumahnya di Limbangan, dengan menumpangi andong, 
kereta kuda yang disebut sado oleh warga sana