Selasa, 29 April 2014

Mengantar Senja Pulang di Candi Ratu Boko

Kalau kamu tanya dimana tempat asik buat melihat sunset di Jogja, salah satu jawabannya adalah di Candi Ratu Boko. Detik-detik ketika matahari pamit terlihat indah dari ketinggian hampir 200 meter diatas permukaan laut ini. Candi Ratu Boko ada di dekat Candi Prambanan. Cukup berkendara 15 menit, kita bisa tiba disana.


Tiba di gerbang masuk kawasan wisata Candi Ratu Boko, kita akan langsung disuguhkan panorama Jogja dari ketinggian. Bahkan, candi prambanan terlihat dari atas sini. Pada sore hari, dari kejauhan kita akan lihat segerombol burung putih terbang melintasi candi hindu itu.

Pintu pertama masuk ke kompleks Candi Ratu Boko
Sebuah arca kepala macan menyambut di kedua sisi pintu pertama
Pintu kedua Candi Ratu Boko
Setelah melintasi kedua pintu, kita disambut hamparan padang rumput luas
Seorang pengunjung sudah siaga menyambut matahari tenggelam

Candi Pembakaran terlihat dari bagian atas kompleks candi. Bagian tengah candi adalah tempat pembakaran jenazah.
Ada sebuah bangunan di bukit teratas kompleks candi. Di dalamnya ada sebuah arca
Sebuah kolam kecil di dekat Candi Pembakaran. Airnya bening. ikan-ikan kecil terlihat di dalamnya. Bagian tengah sumut menghitam, tanda dalamnya dasar kolam.

Rumput di kompleks Candi Ratu Boko tumbuh diatas sebuah batu besar. Batu lain yang juga tertutup rumput (tampak di kanan bawah) berbentuk balok. Bukan tak mungkin, di bawahnya masih ada bagian candi yang belum ditemukan.

Dari tempat ini, bau kayu bakar tercium dari rumah penduduk di dekat lokasi candi.


Untuk berfoto profesional disini, pengunjung harus membayar Rp 500.000,00


Seorang pemandu wisata menjelaskan tentang Candi Ratu Boko





Rangkaian bebatuan yang berjejer rapi di salah satu bagian kompleks candi.   
Terdapat ukiran kuda dan gajah dalam batu-batu ini




Mencari Tuhan di Candi Prambanan

Berwisata di Yogyakarta adalah menikmati budaya khasnya. Objek yang bernuansa lampau ataupun yang kini. Ada sesal sebenarnya setelah akhir pekan lalu saya mengunjungi rumah yang pernah saya tinggali selama 3 bulan itu. Saya gak merekam dengan video. Padahal akhir-akhir ini saya lagi berusaha getol berekspresi dengan media video. Sebagai wartawan televisi, rasanya saya harus membiasakan diri dengan format rekaman gambar bergerak itu. Tapi ya sudahlah, toh saya masih punya fotonya. Dan perjalanan saya masih bisa diceritakan dalam bingkai-bingkai figur berikut ini.


Pertama, saya mengunjungi kompleks Candi Prambanan. Kali pertama kunjungan saya ke Candi Prambanan adalah awal tahun 2013, waktu liputan upacara keagamaan Tawur Kesanga. Kali ini, saya ingin tuntas mengunjungi Prambanan dan tiga candi lain di kompleks candi hindu-buddha ini. Prambanan, saat itu suasananya seperti candi tersohor lain yang masif dijajah manusia. Ada yang tetap santun, ada juga tingkah pengunjung yang menggangu wisatawan lain, misalnya mereka yang duduk-duduk di tangga candi. 

Prambanan ini punya sejumlah candi. Ada candi Siwa, Wisnu, Brahma. Yang terbesar candi Siwa . Diantara mereka ada banyak candi berukuran lebih kecil dengan formasi membentuk peta kosmologi ala kepercayaan Hindu. Di dinding candi, ada kisah ramayana, yang menceritakan romantika Rama-Shinta dan lika-liku perjalanan hidup keduanya.

Dalam terik sorot matahari pukul dua siang, saya melanjutkan perjalanan ke utara. Ratusan meter kemudian, Candi Lumbung menyambut. Jika Prambanan bercorak Hindu, maka Candi Lumbung beridentitas Buddha. Pun demikian dengan dua candi di utaranya, Candi Bubrah dan Candi Sewu. 


 

Bergeser lagi ke arah utara, saya bertemu satu lagi candi, namanya Candi Bubrah. Banyak temuan yang tidak utuh sehingga sulit dibentuk kembali, membuat kepingan batu-batu di candi ini berserakan, makanya disebut bubrah atau berantakan. Perjalanan ke utara saya lanjutkan hingga bertemu Candi Sewu. 


 


Candi Sewu ini suasananya sepi. Saat saya kesana, tak ada wisatawan lain yang sowan. Masuk ke kompleks candinya, saya disambut sepasang arca penjaga. Sejumlah titik saya hampiri disana, hingga kemudian candi terbesar sudah di depan mata. Titian anak tangga saya rengkuh, sebuah lorong pendek seukuran badan saya masuki. Suara angin kemudian hilang, yang ada cuma senyap, dan dingin. Dingin yang bukan biasanya. Angin lembab bertiup dari dalam candi yang gelap. Tepat di depan batas menuju bagian dalam candi saya berhenti. Bulu halus saya lalu meremang. Ada niat mengilatkan cahaya kamera dan mengabadikan sebuah meja persembahan besar berbahan batu di dalamnya. Tubuh saya tiba-tiba tersentak, begitu ponsel mengeluarkan bunyi tanda ada pesan masuk. Bunyi singkat tadi mendadak seperti menggelegar di ruang hampir kedap suara itu. Saya balik kanan dan urung memotret. 




Saya akhirnya melihat-lihat dan merasakan tekstur batu-batu keras serta ukiran relief yang begitu detil menggambarkan figur. Alkisah menurut beberapa sumber sejarah, karya arsitektur hebat berusia ratusan tahun ini dibuat seorang raja yang agung, bahkan cuma satu malam. Pendapat lain (dan tentunya logika kita) menampik gagasan pembangunan candi dalam semalam itu. Bahkan ada analisa bahwa pengirim pesan dari masa lalu, sedang menjilat rajanya dengan mengatakan bahwa ini adalah mahakarya dari penguasa yang agung. Padahal, bukan tak mungkin dalam puluh ratus tahun pembuatan candi ini, ada rakyat jelata yang keringat dan darahnya diperas, bahkan mungkin nyawanya juga jadi modal.
Candi terbesar di kompleks Candi Sewu. Di dalamnya terdapat sebuah meja persembahan besar setinggi sekitar 1,5 meter


Sebuah rumah bertulisan huruf arab di bagian atas gerbang masuknya, bertengger tepat di pinggir jalan Candi Sewu. Saya lihat rumah itu ketika hendak kembali ke pintu keluar di arah selatan. Candi Prambanan yang hindu, tiga candi di utaranya yang Buddha, lalu sayup-sayup suara adzan ashar di sekitar kompleks candi, membuat saya merasakan sensasi tersendiri. Sensasi serupa kontemplasi tentang pencarian Tuhan.


Di dalam kompleks candi juga ada penangkaran rusa.

Senin, 28 April 2014

Me and Windi at Lawang Wangi Art Galery and Cafe Bandung



It was in the end of 2013. Windi and I went to Bandung and visit some place, including Lawang Wangi Art Galery and Cafe. After spent a warm afternoon, we had a dinner. It was an unforgettable moment.

Senin, 14 April 2014

Jalan-Jalan ke Situ Gunung


Akhirnya kesampean juga pergi ke Situ Gunung. Sejak lama saya pengen ke sana, pengen tau seindah apa tempatnya. Sabtu lalu, setelah memaksakan diri pergi sendirian, nyampe juga ke danau di ketinggian sekitar 1050 mdpl itu. Di Situ Gunung pas kebetulan teman-teman anggota Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB lagi ada kegiatan. Sehari sebelumnya saya kabar Bagus, anggota UKF yang ada disana. Berikut ini cerita lengkapnya:
 
Sabtu, 12 April 2014:


13.30-16.00
Perjalanan dari Tebet Jakarta ke Stasiun Bogor. Saya sempat nyasar, malah jalan ke arah Jakarta lagi. Untung tanya sopir angkot. Katanya harus balik lagi, salah arah. Males juga pas denger salah jurusan, udah cukup jauh lagi. Haha. Tapi ya ga apa-apa, demi Situ Gunung.

16.00-17.00
Mampir dulu ke rumah pacar. Hehe. Dia ga nyangka perjalanan ke Situ Gunung bakal seekstrim itu. Kalo siang sih biasa aja kali ya. Ini jalan malam, sendirian, belum pernah kesana sebelumnya, belum tau mau naik apa aja.

17.00-17.30
Bogor darurat pelayanan publik. Gila, dari Tajur ke Stasiun Bogor setengah jam. Itu pun sebenarnya 15 menit doang buat nyampe pertigaan Jalan Kapten Muslihat, setelah lampu merah. Dari situ udah stuck. Untung pake motor jadi bisa selap-selip. Setelah berhasil memutar dan parkir di Stasiun Bogor, saya nyeberang lewat jembatan penyeberangan yang jarang dipake. Orang-orang dari dan menuju stasiun biasanya nyeberang ya lewat jalan aja gitu. Ya jelas lah macet, ditambah angkot yang seenaknya parkir di jalan. Kerjaan wali kota Bogor yang baru gede, selain jalan berlubang yang tersebar di jalanan rame Bogor. Balik lagi ke soal jembatan penyeberangan. Jadi kalau kamu nyeberang lewat sana, tangga naik dan turunnya dipenuhi bocah belasan tahun lagi nongkrong, ngerokok, ngobrol. Pas di atas, ada yang pacaran, ada yang ngumpul bersila membentuk lingkaran, dan semua anak seusia SMP-SMA. Lalu setelah turun di sisi jalan lain, kamu bakal langsung masuk ke dapur kios pecel lele. Fiuh, makin ga kepake aja jembatan itu.

17.30-18.00
Setelah parkirin motor, saya buru-buru ke loket tiket. Ternyata kata petugasnya, tiket kereta ke Sukabumi belinya di Stasiun Paledang, tepat di seberang Stasiun Bogor. Saya jalan cepat ke sana. Seingat saya, kereta terakhir jam 17.30, makanya buru-buru nyeberang dan menemukan kekacauan diatas. Setibanya di Stasiun Paledang, tiket ke Sukabumi habis. Ga lama kemudian petugas ralat bahwa ada satu sisa tiket kelas eksekutif. Langsung saya sikat, meskipun harganya 50.000. Di sebelah Stasiun Paledang, ada tempat penitipan motor 24 jam. Harganya 8.000 semalam. Pada setengah jam inilah saya memindahkan motor dari Stasiun Bogor. Setengah jam parkir di stasiun itu, biaya sewanya 6.000. Men, di mall-mall Jakarta aja 2.000 per jam. Bogor, Bogor.

18.00-20.30
Sebenarnya kereta berangkat 18.30. Tapi setengah jam sebelumnya sudah stand by. Gerbong kelas eksekutif cukup nyaman. Ada TV, colokan listrik, tempat kaki juga luas dan sandaran kursi bisa agak direbahkan. Ongkos mahal tadi senilai lah dengan dua jam perjalanan ke Cisaat Sukabumi.

20.30-21.00
Makan malam di sebuah rumah makan ayam goreng. Setelah makan, saya basa-basi dengan bahasa sunda. Ternyata si teteh-nya baik. Dia mencarikan saya ojek karena ternyata ke Situ Gunung dari sana masih jauh banget, 14 kilometer-an lagi. Tetehnya bilang ke tukang ojek bahwa saya saudaranya, jadi bebas katanya mau bayar berapa.

21.00-21.30
Ternyata memang jauh, dan menanjak. Jalannya jelek lagi. Akang tukang ojek mengantar saya samapai gerbang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Ternyata dari sana saya harus jalan kaki lagi ke danau. Sendirian, malam-malam, gelap. Untung bawa head lamp. Akang tukang ojek ternyata berbaik hati memastikan saya jalan ke tempat tujuan. Mumpung beliau masih ada, saya minta tolong diantar agak ke dalam dengan ojeknya. Saya kasih ongkos 30.000. Di gerbang TNGGP kedua, saya diturunkan. Jalannya curam katanya, motor ga bakal kuat. Ya sudah, dari situ saya benar-benar jalan sendirian di tengah hutan. Haha. Serem sih, makanya di beberapa jalur, saya pilih joging aja, pengen buru-buru nyampe.

21.30-22.00
Setelah tanya pendaki sana-sini, ketemulah wisma tamu yang ditempati anak-anak UKF. Pas kesana, mereka udah tidur. Saya juga ga yakin itu orang UKF, soalnya ga ada Bagus. Saya bangunin salah satu diantara mereka, ga bangun juga. Ada yang kebangun, tapi dia malah ngumpet ke dalam sleeping bag-nya. Mungkin dia kira saya hantu. Hahaha. Akhirnya setelah dijelaskan, mereka mempersilahkan saya istirahat di sana, meskipun ga kenal saya karena mereka angkatan baru. Setengah jam kemudian Bagus datang setelah melakukan pengamatan hewan malam. Dia kaget saya benar-benar datang ke Situ Gunung. Setelah ngobrol sana-sini, kami istirahat dalam wisma seharga 450.000 semalam berkapasitas 10 orang itu.

Minggu, 13 April 2014:

06.00-09.00
Ternyata Situ Gunung gak seperti yang saya bayangkan. Ternyata pendaki bukan berkemah di pinggir danau. Camping ground ada tempatnya sendiri, tempatnya sebelum danau. Yang ada di sekitar danau, penginapan mewah. Tau gitu saya bawa charger kamera. Haha. Tiga jam pagi itu saya habiskan berjalan-jalan sekitar danau. Bagus menyayangkan rencana saya yang harus balik lagi ke Jakarta pagi itu. Padahal dia dan timnya mau pengamatan lagi, tadinya saya mau diajak. Memang ga cukup banget sih menjelajahi Situ Gunung dengan waktu segitu singkat. Saya bahkan ga sempat main ke tengah danau, mengunjungi air terjun, mengamati flora-fauna khas sana lebih lama. Tapi lumayan sempat nyoba permainan high rope.

09.00-09.30
Saat ini saya sarapan dan jalan pulang. Di perjalanan pulang, mampir ke permainan high rope. Set permainan ini ada diantara pohon damar yang tingginya puluhan meter. Sangat menyenangkan dan menegangkan. Arena ini cuma ada hari sabtu dan minggu. Bayar 75.000 kalau mau nyoba. Mahal, tapi setimpal dengan keseruan yang bakal kamu alami.

09.30-10.00
Main high rope. Untuk baca cerita lengkapnya, klik tulisan ini. Setelah main high rope, saya jalan ke kantor pengelola, di gerbang Taman Nasional. Di perjalanan, saya menyaksikan sebuah pohon yang dipenuhi lutung. Ga dipenuhi sih, ada beberapa lutung disana, segerombol gitu lah. Sepertinya mereka berukuran besar, segede anak kecil. Tapi Ima dan Riris yang jalan bareng saya bilang itu ukuran normal. Segini kata Ima, sambil membuat jarak sekitar 50 cm antara kedua tangannya.

10.00-11.00
Untuk turun lagi ke Cisaat, saya memilih pakai angkot. Tentu saja karena lebih murah dibanding ojek yang you know lah harganya. Masalahnya, ga setiap saat angkot ada di gerbang taman nasional. Jadi harus nunggu. Saya ga sabar, akhirnya memilih nyicil turun jalan kaki. Di lapangan Desa Kadudampit, baru saya nemu angkot. Sampe pertigaan Cisaat harganya cuma 3.000. Kalau dari gerbang taman nasional ongkosnya 8.000. Abang angkotnya kocak lagi. Dia bilang kalau butuh jemputan dari atas, hubungi aja dia. Ini saya kasih nomornya biar kamu gampang turun: 085723371144. Oiya, di perjalanan turun ini kamu juga bisa mampir ke sebuah benteng peninggalan Belanda. Ada diantara sawah, benteng itu bagus buat jadi objek foto-foto. Ada menaranya juga.

11.00-14.00
Untuk kembali ke Bogor, setidaknya perlu waktu tiga jam, kalau jalan relatif lancar ya. Supir mobil yang saya tumpangi ketika itu cerita, kemarin dia sore dari Bogor, subuh baru nyampe Sukabumi, saking macetnya. Makanya siang itu dia dengan cerdik ambil jalur alternatif. Jadi ga lewati Ciawi Bogor, tapi tembus langsung ke kawasan Batu Tulis Bogor. Ongkos Sukabumi-Bogor 20.000.


Perjalanan saya ke Situ Gunung pun berakhir. Meskipun belum terjamah total, ya lumayan lah bisa kenalan dulu sama Situ Gunung. Semoga lain kali bisa kesana lagi lebih lama, mengunjungi tempat lain yang lebih asik di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango itu. 
Tampakan danau dari depan wisma

Sebuah bekas dermaga, masih di depan wisma
Panorama Situ Gunung yang fotografis
Permukaan danau seperti cermin
Saya dan Bagus mengelilingi danau. Di belakang sana tampak puncak Gunung Gede
Kita juga bisa berperahu ke tengah danau. Biaya entah berapa. Saya lupa tanya. Hehe.