Jumat, 14 Februari 2014

Tokoh Idola Habibie


Kisah dari pertemuan saya dengan B.J. Habibie belum semua dibeberkan. Saya masih menyimpan satu tuturan cukup panjang yang nantinya akan dirilis dalam Can I Say Magazine Edisi 14. Saat ini tulisannya sudah rampung, tinggal tunggu pengumpulan materi lain. 

Sebagai pemanasan, berikut saya cuplikkan potongan obrolan saya dan Habibie tentang tokoh idola Sang Presiden Ketiga. Percakapan ini tidak akan dimuat di Can I Say. Yang bakal muncul di Can I Say tentu saja hanya yang berhubungan dengan seni, seniman dan karya seni. Habibie bicara soal seni? Ya, lihat saja Can I Say 14 nanti. Hehe. Sebagai kisi-kisi, berikut saya tampilkan foto yang menggambarkan seni yang dibahas Habibie. Oiya, kalau belum baca edisi sebelumnya, unduh melalui tautan ini.




R: Eyang sudah kenal Pak Harto sejak umur 13?

H: Sejak umur 13 ya benar. Ceritanya waktu itu tahun 50, kita tahun 49 (bulan) desember menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda bahwa mereka akui Republik Indonesia Serikat. Diakui kecuali wilayah Irian Jaya. Irian Jaya nanti akan dibicarakan kelak. Tapi entah kita ga percaya karena pengalaman kita dengan Belanda ternyata sudah mendirikan negara Indonesia Timur, negara Pasundan, negara Kalimantan, di Sumatera, semua dibuat begitu. Dan bisa diperkirakan bahwa langkah selanjutnya diadu domba, sehingga terjadi negara tersendiri. Untuk mencegah itu, konsep RIS harus dikembalikan ke UUD. Untuk hal itu, pahlawan kita yang melawan belanda dan sekutunya itu bulan januari 50 bergerak ke luar jawa. Kita belum punya angkatan udara. Jadi mereka saya tidak tahu bagaimana caranya, pakai perahu atau bagaimana. Mereka pergi ke Indonesia bagian timur karena disitu bahaya terbesar karena ada militer, Andi Azis yang bergerak dari Sulawesi Selatan, ada Soumokil dari Maluku, yang mau memproklamirkan RMS. Untuk mencegah itu, mereka datang dari Jawa. Ada dari Siliwangi, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kosasih. Tapi mereka temunya itu di rumah bapak saya. (Kodam) diponegoro belum ada, tapi (adanya) Brigade Mataram. Nah komandannya, Letkol Soeharto, umur 28 tahun. Jadi Letkol Soeharto, Letkol Kosasih, yang koordinir itu Kolonel Kawilarang. Itu mereka berkumpul di rumah ayah saya. Disitu saya melihat mereka bagi saya pahlawan. Pak Harto itu sudah saya kagumi dari kecil. Dia ganteng dan pendiam dan pinter orangnya. Saya tidak sangka kelak saya mendapat kesempatan untuk bekerja dan dibina oleh beliau untuk mengerti bagaimana memimpin bangsa ini. Akhirnya saya juga harus mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa indonesia, sesuai dengan UUD45. 

R: Sayangnya Eyang bertemu dengan Pak Harto saat pengunduran diri itu ya?

H: Ya, karena dia sampaikan. Saya tanya dia juga melalui telepon saya tulis di buku Detik-Detik yang Menentukan. Pak saya mau ketemu dengan bapak. Tidak boleh karena itu tidak menguntungkan bagi kita semua. Sudah, saya laksanakan saja. Saya selesaikan masalah dengan baik. Dan dia bilang saya solat lima kali tapi tiap kali dia solat, setelah itu dia doa untuk saya. Kita secara batin berhubungan. Begitu disampaikan. Bagi saya, dia itu bukan saja kakak tertua, tapi yang terpenting manusia yang banyak jasanya sampai saya jadi ya saya ini. Disamping tentu yang membina saya ini adalah dua ibu. Ibu yang melahirkan dan mendampingi saya. Tapi Pak Harto dan Pak Panggabean, Pak Adam Malik, mereka banyak pengaruhnya sama Habibie. Juga Pak Sumitro, dia itu idola saya yang pertama. Eh, pertama Bung Karno, karena saya dapat nasionalisme dari Bung Karno. Idola kedua saya Soeharto, karena saya dapat pembinaan kesempatan untuk mengerti bagaimana memimpin bangsa Indonesia. Ketiga, idola saya Sumitro Djojohadikusumo. Kenapa dia? Karena di berani, dia konsisten. Dia konfrontasi dengan presiden. Dia keluar negeri tapi tetap setia pada cita-citanya dan tetap cinta sama Indonesia, bangsanya sendiri. Dan yang keempat, idola saya adalah Widjojo Nitisastro. Dia sepuluh tahun lebih tua dari saya tapi sangat pintar tapi rendah hati. Kebetulan keempatnya orang jawa. Hahaha. Bukan karena orang jawa tapi.

R: Dan sekarang eyang yang jadi idola setiap orang.

H: Saya ga tau, tapi kalaupun demikian saya bersyukur. Insya Allah anak dan cucu intelektual saya bisa lebih baik dari saya. Karena saya adalah produk dari empat idola. Hahaha. Jadi, saya rasa mereka juga dipengaruhi ayah, ibunya, dan ibu yang mendampinginya. []

Minggu, 09 Februari 2014

Killers: Film Tentang Serigala Dalam Manusia

Pertengahan 2013 saya hadir ke gelaran Pop Con Asia. Disana ada meet and greet sama krator dan aktor-aktris film Killers. Selain bisa bertanya-jawab, hadirin disana juga menyaksikan potongan film Killers, film yang diproduseri duet produser Indonesia dan Jepang yang akan dirilis setahun kemudian. Tahun kemudian yang dimaksud kini tiba. Dan film yang saya tunggu sejak lama itu lengkap sudah saya susuri tiap menit durasinya. 

Killers berkisah tentang seorang pembunuh di Tokyo yang hobi mengunggah video kematian korbannya ke internet. Namanya Shuhei Nomura. Dia diperankan dengan apik oleh Kazuki Kitamura. Di Jakarta, seorang wartawan ambisius bernama Bayu Adhitya frustasi karena upayanya membongkar kasus korupsi seorang pejabat selalu menemui kendala. Oka Antara pintar sekali memainkan peran Bayu ini. Dia terlihat total menjadi sosok berprestasi tapi selalu merasa dipecundangi. Pada suatu ketika, Bayu melihat video kematian yang diunggah Nomura. Pengalamannya melihat proses kematian di layar laptop beriring dengan pembunuhan yang tak sengaja ia lakukan. Adegan pembunuhan di taksi inilah yang saya saksikan di event Pop Con Asia tahun lalu. Kala itu hadirin masih buta dengan jalannya cerita dan kualitas tayangan si film, jadi ya pertanyaan mereka ke pembuat film masih terlalu dangkal. Tapi Mo Bros memberi tanda tebal di pernyataan bahwa film ini berkisah tentang sisi gelap di dalam diri manusia yang dibangkitkan situasi.

Balik lagi ke cerita Killers. Jadi setelah tak sengaja membunuh, Bayu merekam kematian di depan matanya, lalu seperti Nomura, mengunggahnya ke internet. Dari situlah mereka mulai terhubung dan liukan jalan cerita pun mengalir indah. Ya, indah. Meskipun kasar, jorok dan menjijikan. Haha. Bingung ga? Secara garis besar, film ini sangat mengekspos darah dan adegan kekerasan. Nampaknya itu memang sudah jadi sidik jari film-film Mo Brothers. Lihat saja Macabre atau film Rumah Dara itu. Film Killers ini juga mengingatkan saya ke film mereka yang lain di omnibus VHS 2. Fahri Albar disitu sampe ingusnya menggantung-gantung. Haha. Sama kayak Killers ini. Oka Antara juga di beberapa scene ekspresi frustasinya terlihat sedemikian "rusak". Ya intinya film-film Mo Bros itu sadis, kotor, jorok dan gila. Nah untuk urusan gila ini bisa berarti gila yang berarti "kalo yang beginian emang ada di dunia nyata, serem juga". Gila versi ini selain di film Killers, juga ada di film "L is for Libido" di omnibus ABCs of Death. Film ini juga dibuat duo Kimo-Timo. Masa di film itu ada kompetisi onani, yang kalah dibunuh. Sakit. Nah gila selanjutnya berarti keren. Visualisasi sama twist alurnya oke banget. Saya nonton Killers beriring umpatan dan senyuman di saat yang sama. Haha. Beneran. Bagian Bayu nodong pistol pas masuk ke rumah pengacara politikus korup berkesan. Juga pas gerakan slow motion di akhir. Sayangnya poster film ini terlalu sederhana. Coba posternya berupa ruang penyiksaan Nomura. Terus menampilkan Nomura disana dengan topeng kainnya. Atau visualisasi ruang edit video Nomura. Atau tampilan komunikasi webcam Nomura-Bayu. Poster yang menampilkan dua wajah kurang serem.



Sebagai salah satu film Indonesia yang ditayangkan dalam festival film Sundance yang terkenal itu, Killers saya sarankan ga boleh dilewatkan. Meskipun seperti yang diwanti-wanti Luna Maya di acara Pop Con Asia, yang boleh nonton ini cuma orang yang 17 tahun keatas. Saya tambahkan, penonton film juga harus orang yang waras. Di mata penonton yang salah, Killers ini seperti video Nomura yang ditontonkan ke hadapan Bayu. Kata Kimo Stamboel ketika diwawancarai VOA sih, kita musti melihat hal lain di balik kekerasan di film ini. Pernyataan Kimo sepertinya ada kaitan dengan kuotasi latin homo homini lupus, seorang manusia adalah serigala bagi manusia lain.


Kamis, 06 Februari 2014

Obrolan Habibie di Meja Makan



Bubur Manado

          Bubur manado dan empat jenis masakan ikan sudah tersaji di meja makan. Dengan malu-malu, saya dan Yudha duduk bersebelahan di hadapan Eyang Habibie.
“Ini tempatnya Eyang Ainun”, ujar Eyang Habibie menepuk kursi di sebelahnya. “Selalu kosong, jadi saya disini. Yang duduk disini paling banter cucu saya”.
     "Jarang-jarang kan Yang bisa kayak gini?” kata saya yang masih takjub dengan kesempatan semeja makan dengan B.J. Habibie.
“Oh enggak, enggak pernah”, timpal Eyang Habibie membuat kami merasa spesial.
“Berarti kita pertama ni Za?” Yudha menanggapi.
“Iya pertama, pertama”, Eyang Habibie meyakinkan lalu menyeruput cappucino decafe-nya.
“Yang datang sini, dulu makan dengan saya Jimly”, lanjutnya merujuk pada Jimly Asshiddiqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sekitar satu jam kami asyik berbincang di meja makan itu. Kami bicara banyak tentang berbagai hal. Semuanya tentu berawal dari apa yang tersaji di hadapan kami. Jumat, menu makan siangnya bubur manado. Entah menu jenis apa lagi yang tersaji di hari lain. Tapi yang pasti, ada ikan tiap hari. Eyang Habibie mengaku sangat jarang makan daging merah. Hanya sekali-kali katanya.
“Tapi saya seneng loh. Rupanya enak juga ya? Hehehehe. Tambah ininya nanti ga enak. Ini kalau habis paling baik. Dan ini tidak jadi gemuk. Seratnya banyak.” Eyang Habibie menyarankan saya menambahkan lagi bubur ke piring.

Kolam Renang
 
“Meja ini sejak lama Eyang?” Saya cari topik lain.
“Oooh udah lama. Bawa dari eropa. Itu meja ini dulu kan saya punya rumah dinas di Hamburg, rumah pribadi di luar. Seperti rumah dinas di Kuningan, rumah pribadi di Cibubur, atau Cikeas. Saya punya rumah dinas di Kuningan-nya Hamburg. Nah ini dulu di rumah dinas, tapi dulu rumahnya kosong, jadi beli sendiri. Sedangkan rumah saya sendiri, rumah dinas ga ada swimming pool.”
“Tetep nomor satu swimming pool ya. Hahahaha.” Yudha menimpali diiringi tawa kami.
Kolam renang di rumah, bagi Eyang Habibie mungkin sama pentingnya seperti kamar mandi. Setiap pagi, ia menghabiskan waktu rata-rata satu jam untuk berenang. Saya dan Yudha dalam kesempatan lain pernah diajak melihat kolam renangnya.
“Coba pegang!” suruh Eyang Habibie agar saya menyentuh air di kolam. Airnya hangat. Kolam renang di rumah Habibie juga dilengkapi speaker di bagian dalam airnya.
“Enrique Iglesias!” saya lempar sebuah nama. Eyang Habibie terperangah lalu pecah tawanya. Tiap kali berenang, ia memang selalu mendengar lagu-lagu penyanyi asal Spanyol itu.


 Calon Presiden

Selain hal-hal seputar kehidupannya, obrolan kami di meja makan juga tak lepas dari topik politik. Keesokan hari setelah makan siang itu, Eyang Habibie akan memberi ceramah untuk kader Golkar. Eyang Habibie mengkritisi sistem politik masa kini yang tidak menguntungkan. Menurutnya sistem money politics kebangetan. Seorang politisi perlu bermodal beberapa milyar untuk mendapat sebuah posisi.
“Dari mana duitnya?” pungkas Eyang Habibie.
“Tapi yang saya enggak ngerti, kok kenapa raja dangdut dimasukkan. Ya toh? Terus ada yang mengatakan, yang bisa tandingi raja dangdut hanya itu, si itu. Tukil apa itu? Tukul. Hahahahaha. Kan bukan begitu, karena itu saya bilang, untuk presiden jangan kita pilih dari kalangan selebriti. Kita pilih orang yang problem solver.”
         “Kalau dari sekian orang yang sudah mendaklarasikan, kira-kira siapa yang memikat?” tanya Yudha.
            “Saya lebih mau yang muda-muda.” Timpal Eyang Habibie.
            “Dan yang dari kalangan akademisi? Eyang suka?” saya lanjut bertanya.
            “Enggak. Saya enggak peduli apa dia S1, S2, S3 atau es lilin.” ujarnya beriring tawa.
        
 Kisah Kereta

Suapan terakhir di makan siang itu tandas. Seorang asisten Eyang Habibie mengantarkan segelas air dan piring kecil berisi obat.
“Saya tiap hari tadinya 22 obat. Terus direduce, dikurangi jadi 16. Sekarang makan 16, siang dan malam. Ini vitamin C, yang ini E. Yang obat hanya ini,” ia pisahkan sebutir pil kecil, obat untuk jantungnya.
            “Tapi saya cerita sesuatu ya.” Eyang Habibie memulai sejudul topik baru.
“Dulu, masih ada wartawan-wartawan. Saya kan pernah mendapat pena mas dari PWI. Terus saya tanya. Eh, kalian masih ingat ga itu, mengenai kereta api di taman mini? Yang diatas, digerakkannya dengan angin kan?”
“Tahu Pak kami tidak boleh perlihatkan.” Eyang Habibie menirukan wartawan yang dulu diajaknya berbincang.
“Jadi dulu, ada satu tim dari Eropa dari Brazil, dibawa supaya dimasukkan proyek kereta api underground. Terus Pak Harto bilang ya kalau Habibie setuju silahkan. Saya tidak setuju. Karena teknologinya menurut saya kalah. Bisa terjadi, kalau kapal terbang kalau landing begini bisa sreeeet gitu. Stop gitu kan.” Tangan Eyang Habibie memperagakan diatas meja
“Ini juga dia main angin. Kalau pada kecepatan tertentu dia bisa bocor. Debat debat debat, saya tanya sama orang ini. Kamu di Brazil beli ini dari Jerman? Iya. Kamu sudah pake ga? Belum. Kenapa tidak dipake? Tapi bapak kan suka hi tech. yaaa, tapi harus proven. Kamu punya tempat percobaan? kalau menurut analisa saya, pada cekungan tertentu dan alphanya begini itu akan terjadi reverse. Dan itu seakan-akan nabrak dengan satu dinding.“
“Dia bingung kan. Yasudah kamu punya kereta punya? Bagaimana pemecahannya? Garis lurus. Kamu gila saya bilang. Tidak ada garis lurus. Udah akhirnya saya dipanggil Pak Harto, saya jelaskan. Jadi kalau dia buktikan bahwa itu bisa melalui sebuah tes, kamu mau? Ya, kalau dia memenuhi syarat dan harganya oke, no problem.”
“Terus mereka buat suatu tempat tes di taman mini. Yang buat ininya kakaknya ainun. Itu kan guru besar kan. Profesor dekan di ITB. Dia ahli dari bagian sipil, Mas Harry, Mas Harry Besari. Terus saya ditanya sama dia. Rudy Katanya kamu against ya? Saya against. Tapi bagaimana Mas, saya kan pernah bikin kereta api juga. Itu ga bener itu. Tapi kamu ga marah? Silahkan kamu buat. Kamu kan cari duit. Halal kan. Dia buat.” Tuturnya sambil menirukan ucapan sang kakak ipar.
“Terus dapat undangan. Satu tahun kemudian selesai dan diundang, hari Sabtu, semua kabinet. Tempat saya dan Ibu Ainun kosong. Saya ga mau dateng. Karena saya yakin akan terjadi sesuatu. Itu kereta api. Pada kecepatan tertentu jadi apa yang saya prediksi. Duaaarrrrr, sampe kondenya Ibu Tin lepas. Iya. Dan itu menteri perhubungan itu Azwar Anas itu kaget. Giiila.” Paparan Habibie sampai di klimaks.
“Jadi sebelumnya mereka kan bukan ahli-ahlinya. Kan sebagian besar orang tahu Pak Habibie itu ahli konstruksi pesawat terbang. Tapi saya pernah buat kapal selam, saya pokoknya semua yang kaitannya dengan konstruksi. Waktu ketemu di Manado, wartawan bilang Pak kami hadir. Hahaha.” Kami kemudian menghela nafas. Hahaha. Seru sekali cerita beliau.

Habibie & Ainun
 
         Sepotong melon tersaji di hadapan kami. Topik pembicaraan lain datang, membuat kami enggan segera beranjak.
“Minimal sehari baca buku atau gimana Eyang?” tanya Yudha.
“Saya hanya baca buku yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang saya laksanakan. Orang kan hanya 24 jam. Saya tidak akan baca buku yang tidak ada kaitannya dengan saya punya yang sedang saya nulis, sebuah research. Karena dalam pendidikannya gitu. Kan kalau Anda buat research, kan sebelumnya baca dulu”, pungkas Eyang Habibie.

Bicara soal buku, Eyang Habibie membocorkan kisah terbitnya buku Habibie dan Ainun. Awalnya Eyang Habibie mengirimkan tulisannya kepada seorang sahabat, Wardiman Joyonegoro. Menteri pendidikan era akhir orde baru itu mengomentari bahwa buku yang dibuat Eyang Habibie belum bagus. Eyang Habibie menjelaskannya dalam tawa. Setelah melalui sejumlah revisi, dicetaklah buku itu. Kini Habibie dan Ainun juga diterjemahkan dalam bahasa Jerman, Jepang, dan Cina.
Eyang Habibie pernah bertanya kepada seorang pembaca bukunya dari Cina. Kenapa suka buku Habibie dan Ainun? Katanya karena kisah Habibie Ainun seperti versi nyata dari kisah Laila-Majnun, atau Romeo and Juliet, tapi tentu dengan ending yang tak serupa.
“A true story of a young couple; Starting from nothing to get everything done. Becoming the President and the First Lady of a country. Not even death could separate them, because of the power of love”, Eyang Habibie membunyikan sebuah ulasan tentang Habibie dan Ainun dalam Bahasa Inggris.
“Well, kalian harus berkarya lagi”, ucapnya di penghujung pertemuan. Sore itu sudah ada tamu lain yang antri ingin bertemu Eyang Habibie. Di usianya yang ke-77, Eyang Habibie tidak memilih berleha-leha. Jadwalnya selalu padat, dan saya sangat beruntung bisa menyusup diantara jadwal itu. []

Rabu, 05 Februari 2014

Cerita Dari Ruang Kerja Habibie

        Target utama hari itu sebenarnya mengumpulkan materi pendukung berupa foto dan video untuk tayangan Mata Najwa yang akan menghadirkan B.J. Habibie—selanjutnya kita panggil Eyang Habibie. Setelah mengikuti beliau ke makam Eyang Ainun, saya bermaksud mengambil mikrofon clip on di baju Eyang dan mohon izin untuk minta file-file dokumentasi. Namun rupanya waktu Eyang Habibie senggang. Saya dan Yudha diajak masuk ke ruang kerjanya. Ruang yang baru kali itu dimasuki wartawan.


Gambaran ruang kerja seorang jenius tak jauh berbeda dengan suasana yang tergambar di angan saya. Buku dimana-mana. Dan karena orang jenius yang saya maksud adalah Habibie, maka replika pesawat juga menghiasi meja kerja. Juga tentu saja foto-foto keluarga Habibie dan Ainun. Tepat di seberang ruang kerja itu, sebuah pintu tertutup. Disanalah ruang kerja Eyang Ainun. Seringkali sang istri mengingatkan Eyang Habibie untuk tidur ketika malam sudah terlalu larut. Tak jarang pula Eyang Ainun menemani suaminya bekerja dengan mengaji, ketika ajakan untuk istirahat ditolak.

“Saya terima imil, dan saya nangis bacanya”, ujar Eyang Habibie merujuk sebuah tulisan di internet tentangnya. Setelah diminta sang tuan, seorang asisten Habibie kemudian memberi kami beberapa lembar tulisan berjudul “Tamparan Habibie untukBangsa Indonesia”.


 Kami kemudian berbincang tentang berbagai hal. Ketika melayat makam Eyang Ainun, sebuah puisi selalu dibacakan. Eyang Habibie ceritakan bahwa puisi itu berjudul “Seribu”, dibuat ketika seribu hari istri tercintanya berpulang. Sebenarnya puisi itu tercantum sebagai bonus dalam buku Habibie & Ainun edisi khusus yang dicetak Februari 2013. Ketika ditanya apa sudah memiliki bukunya, saya dan Yudha kompak jujur bilang belum punya. Dua Habibie & Ainun edisi khusus pun jadi hadiah kejutan buat kami berdua, plus tanda tangan langsung penulisnya.


Hingga kini Eyang Habibie produktif menulis. Seperti yang juga tertulis di buku Habibie & Ainun, menulis adalah terapi buat Habibie. Setelah kepergian Eyang Ainun, Sang Mr. Crack benar-benar retak. Maka menulis dan curhat adalah solusinya terbebas dari rasa kehilangan. Tulisan yang sedang digarapnya masih tentang Ainun. Kali ini ia berusaha menguak misteri tentang keterkaitan antara dirinya dan sang istri, meski sang pujaan hati telah tiada.

“Saya dan Ainun itu manunggal”, kenang Eyang Habibie. Ia juga mengaku bisa bertelepati dengan Ainun. Pada suatu ketika, mereka pernah bertelekomunikasi tanpa teknologi. Dalam buku terbarunya nanti, Eyang Habibie akan membahas sebuah entitas bernama super inteligent software. Ia menganalogikan tubuh manusia sebagai komputer. Badan hardware, ruh yang jadi software. Kematian bermakna tak ter-install-nya lagi software dalam sebuah hardware. Software yang dimaksud Eyang Habibie digambarkan sebagai sesuatu yang bisa terbuka dan tertutup.

“Yang membuat super software inteligent tadi terbuka adalah doa”, ujarnya sambil melepas-tempelkan jari dan jempol tangan kanan. Eyang Habibie mengaku terhubung dengan super inteligent software Eyang Ainun. Ketika ia merasa sepi dan rindu istri, Eyang Habibie pejamkan mata. Kemudian yang terbayang adalah senyum di wajah Eyang Ainun dan sederet kalimat bahwa ia tak boleh sedih karena istrinya selalu mendampingi meski telah berlainan alam. Eyang Habibie menyunggingkan senyum setelah menceritakan pengalaman tadi. Ia kemudian membacakan halaman pertama dari 2000 halaman yang telah ia tulis.


Saya sebenarnya khawatir jika berlama-lama mengobrol disana. Takutnya Eyang Habibie malah menunda makan siang dan sakit sehingga urung hadir di Studio Mata Najwa. Ketika kami pamit, Eyang Habibie malah mengajak makan siang bersama. Saya dan Yudha saling pandang, kira-kira maknanya “mimpi apa kita semalam, sampe bisa diajak makan sama mantan presiden begini”.

Senin, 03 Februari 2014

Sebuah Jumat Untuk Ainun


Jumat itu saya dan Yudha akan turut serta ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sesuai dengan yang dijanjikan, kami harus tiba di rumah sebelum jam sembilan pagi. Sayangnya kemacetan membuat kami telat tiba di Patra Kuningan. Beruntung saat tiba disana, Eyang Habibiedemikian ia nyaman disapamasih melakukan kegiatan rutinnya, berenang. Selang setengah jam kemudian, orang yang kami tunggu kemudian keluar rumah. Mengenakan pakaian serba putih, Eyang Habibie menyempatkan diri menyapa kami sebelum ia masuk mobil sedan yang siaga menunggu dengan pintu terbuka.
“Tadi sama biskuit sama susu”, jawabnya ketika saya bertanya tentang menu sarapan. Eyang lalu bercerita tentang 35 menit yang ia lalui pagi itu untuk berenang.
“Biasanya satu jam. Kemarin satu jam 20 menit”, katanya sebelum bergegas menuju makam kekasih tercintanya.
***
Padatnya lalu lintas Jumat menjelang siang itu pecah oleh barisan voorijder. Dua puluhan menit kemudian, rombongan kami pun tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Cekatan, semua berhambur keluar dari mobil, termasuk Eyang Habibie. Dengan langkah cepat, ia bergegas melangkah ke arah gerbang. Tepat di gapura taman makam, Eyang Habibie menghentikan langkah. Tangan kanannya lalu menempel di dahi memberikan penghormatan.
“Harus dong, mereka disana kan pahlawan semua”, katanya ketika saya tanya di kesempatan lain. Ajudan Eyang Habibie menambahkan, bahwa kebiasaan itu tak pernah alpa ia lakukan. Bahkan suatu ketika saat ia lupa menyampaikan salam pahlawan tadi, presiden ketiga Indonesia itu rela balik kanan dan menghormat di lokasi tempat ia biasa melakukannya.
Derap langkah kami akhirnya terhenti di depan pusara Hasri Ainun Habibie. Sejumlah kursi kecil telah disiapkan disana. Eyang Habibie memimpin dan mendaraskan doa. Hujan pun berderai. Dengan berpayung, para pelayat tetap khusyuk dengan doanya. Eyang Habibie kemudian mengeluarkan selembar kertas. Ia bacakan tulisan di kertas itu. Isinya puisi doa tentang Eyang Ainun. Puisi itu ia buat di hari ke-1000 meninggalnya sang belahan hati. Langit lalu berhenti mengguyur makam. Hujan berganti turun dari mata Eyang Habibie. Sambil sesenggukan, ia terus membacakan puisi spesialnya yang berjudul Seribu.

“Allah, lindungi kami dari godaan, gangguan mencemari cinta kami
Perekat kami Menyatu, Manunggal Jiwa, Roh, Batin dan Nurani kami
Di mana pun, dalam keadaan apa pun kami tetap tak terpisahkan lagi
Seribu Hari, Seribu Tahun, Seribu juta Tahun ………. Sampai Akhirat!”

Empat bait terakhir usai dibacakan. Payung dilipat. Tak ada lagi kata. Langkah pulang kemudian menyusul. Setelah menghormat lagi di hadapan gapura, barulah senyum Eyang Habibie tersungging lagi. Penyebabnya, rombongan guru dan siswa SD yang minta berfoto bersama. “Biasanya gak begini”, kata seorang ajudan menggambarkan langkanya momen itu.
Pada sebuah Jumat itu, senyap lalu kembali menyelimuti Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pusara di blok M nomor 121 baru akan dikunjungi lagi Eyang Habibie sepekan kemudian.