Jumat itu saya dan Yudha akan turut serta ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sesuai dengan yang dijanjikan, kami harus tiba di rumah sebelum jam sembilan pagi. Sayangnya kemacetan membuat kami telat tiba di Patra Kuningan. Beruntung saat tiba disana, Eyang Habibie—demikian ia nyaman disapa—masih melakukan kegiatan rutinnya, berenang. Selang setengah jam kemudian, orang yang kami tunggu kemudian keluar rumah. Mengenakan pakaian serba putih, Eyang Habibie menyempatkan diri menyapa kami sebelum ia masuk mobil sedan yang siaga menunggu dengan pintu terbuka.
“Tadi sama biskuit sama susu”, jawabnya ketika saya bertanya tentang menu sarapan. Eyang lalu bercerita tentang 35 menit yang ia lalui pagi itu untuk berenang.
“Biasanya satu jam. Kemarin satu jam 20 menit”, katanya sebelum bergegas menuju makam kekasih tercintanya.
***
Padatnya lalu lintas Jumat menjelang siang itu pecah oleh barisan voorijder. Dua puluhan menit kemudian, rombongan kami pun tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Cekatan, semua berhambur keluar dari mobil, termasuk Eyang Habibie. Dengan langkah cepat, ia bergegas melangkah ke arah gerbang. Tepat di gapura taman makam, Eyang Habibie menghentikan langkah. Tangan kanannya lalu menempel di dahi memberikan penghormatan.
“Harus dong, mereka disana kan pahlawan semua”, katanya ketika saya tanya di kesempatan lain. Ajudan Eyang Habibie menambahkan, bahwa kebiasaan itu tak pernah alpa ia lakukan. Bahkan suatu ketika saat ia lupa menyampaikan salam pahlawan tadi, presiden ketiga Indonesia itu rela balik kanan dan menghormat di lokasi tempat ia biasa melakukannya.
Derap langkah kami akhirnya terhenti di depan pusara Hasri Ainun Habibie. Sejumlah kursi kecil telah disiapkan disana. Eyang Habibie memimpin dan mendaraskan doa. Hujan pun berderai. Dengan berpayung, para pelayat tetap khusyuk dengan doanya. Eyang Habibie kemudian mengeluarkan selembar kertas. Ia bacakan tulisan di kertas itu. Isinya puisi doa tentang Eyang Ainun. Puisi itu ia buat di hari ke-1000 meninggalnya sang belahan hati. Langit lalu berhenti mengguyur makam. Hujan berganti turun dari mata Eyang Habibie. Sambil sesenggukan, ia terus membacakan puisi spesialnya yang berjudul Seribu.
“Allah, lindungi kami dari godaan, gangguan mencemari cinta kami
Perekat kami Menyatu, Manunggal Jiwa, Roh, Batin dan Nurani kami
Di mana pun, dalam keadaan apa pun kami tetap tak terpisahkan lagi
Seribu Hari, Seribu Tahun, Seribu juta Tahun ………. Sampai Akhirat!”
Empat bait terakhir usai dibacakan. Payung dilipat. Tak ada lagi kata. Langkah pulang kemudian menyusul. Setelah menghormat lagi di hadapan gapura, barulah senyum Eyang Habibie tersungging lagi. Penyebabnya, rombongan guru dan siswa SD yang minta berfoto bersama. “Biasanya gak begini”, kata seorang ajudan menggambarkan langkanya momen itu.
Pada sebuah Jumat itu, senyap lalu kembali menyelimuti Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pusara di blok M nomor 121 baru akan dikunjungi lagi Eyang Habibie sepekan kemudian.
merinding terharu.
BalasHapusdimana ya kak bisa nemu suami kaya habibie gt? atau gw harus menjadi seperti ainun? *mendadak-galau*
lo keren banget kak. bisa main bareng pak habibie :')
harus coba satu-satu sih ci kalo mau nyari yg kayak habibie. mau nyoba gue? :p
BalasHapusberuntung banget gue ci. ketemu eyang intelektual kita :')