Jumat, 24 April 2015

Tentang Passion, Gairah, Ketertarikan, atau Sesuatu yang Sejenis Dengannya

Kisah Tukang Cukur

Hari ini saya bercukur di tempat yang baru. Baru dua kali saya potong rambut di sana. Saya puas dengan karya tukang cukurnya. Sebenarnya saya tak terlalu mengerti mode dan muka saya entah sebaiknya dipasangkan dengan potongan rambut seperti apa. Tapi yang jelas, berpangkas di tempat itu membuat saya percaya diri. Bukan hanya soal potongan rambutnya, tapi juga penjelasan tukang cukur yang meyakinkan. Si tukang cukur yang saya maksud mulutnya besar. Dia banyak bicara. Bicaranya hiperbolik, sekaligus sinikal. Bukan sekali-dua kali dia menjelek-jelekkan barber shop sebelah. Tapi memang penjelasannya meyakinkan. Saya akan kisahkan buat kamu sebuah potongan pembicaraan kami.

Suatu hari dia menangani seorang klien yang ingin potongan rambutnya bagus. Mereka bertaruh. Kalau potongannya bagus, si pelanggan harus bayar 10 kali lipat, kalau jelek gratis. Singkat kisah dibilang baguslah gaya si pelanggan itu. Lalu dia memaksa agar si akang pencukur menerima uang itu. Sok-sok menolak, akhirnya dia mengaku terima juga. “Padahal bercanda”, ujarnya berkilah.
Si Aa ini orang Cibatu. Semua orang tahu lah biasanya tukang cukur itu orang Garut. Haha. Saya tanya, kenapa ya kira-kira? Si Aa bilang gak ada rahasia khusus. Cuma memang dia tertarik aja di sana, dan merasa berbakat dan dilahirkan untuk profesi itu. Menurutnya, ia mengerjakan karya seni. Siapa nama dia? Saya lupa. Haha. Tempat cukurnya namanya apa? Saya gak mau sebut entar dikira ngiklan. Tapi dia bilang rambut saya bisa lurus setelah empat kali cukur. Ini baru dua kali. Hahaha.
Jadi pembicaraan kami nyambung karena permintaan saya saat pertama cukur pas dengan apa yang ia harapkan. Dia merasa dipercaya ketika saya bertanya. Saya tanya, kalau rambut keriting begini baiknya diapakan. Dia jawab diluruskan. Saya tanya dong, emang bisa? Nah kalau ternyata bisa baru saya sebut nama barber shop-nya. Haha.

Filosofi Kopi


Ketertarikan Si Aa tadi dengan profesinya, mengingatkan saya ke film Filosofi Kopi. Film itu berkisah tentang nyawa yang sama: passion, gairah, atau hal semacam itu. Alkisah Ben adalah seorang barista. Ia bersahabat dengan Jodi, pemilik cafĂ© tempat Ben meracik kopi. Mereka sedang butuh suntikan dana. Kemudian sebuah kesempatan datang. Mereka ditantang untuk membuat kopi terenak, lalu tercipatalah racikan kopi bernama Ben’s Perfecto. Ternyata si perfecto itu bukan yang terenak. Seorang food blogger bernama El mengabarkan bahwa masih ada kopi tiwus, yang lebih enak. Ternyata, jenis-jenis kopi tersebut berkaitan dengan masa lalu tokoh-tokoh di film itu.

Menarik sekali menyaksikan film ini. Jalinan kisahnya indah. Akting para pemainnya brilian. Tokoh Ben ini gila juga sih kalo memang ada. Haha. Dia adalah anak seorang petani kopi di Lampung. Lalu pasca kematian ibunya, ia tiba-tiba diharamkan berhubungan dengan kopi, seperti putri tidur yang dilarang memintal benang. Ben lalu kabur dari rumah dan tidak pulang selama 18 tahun. Bayangkan saudara, 18 tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu Ben hidup bersama keluarga Jodi. Saya sih berharap kisah Ben kecil yang akhirnya diasuh ayah Jodi bisa dibuat film pendeknya, untuk melengkapi potongan tanggung itu.

Yang juga mengesankan adalah , scoring musiknya. Aduhai indah sekali. Jika suatu hari nanti Glenn Fredly berkolaborasi lagi bersama Angga Sasongko, maka hasilnya berstatus wajib dinikmati. Kolaborasi keduanya bermula sejak film Beta Maluku yang juara FFI itu. Kalau kamu sudah nonton Beta Maluku, pasti tahu dong sama Salembe. Nah di film Filosofi Kopi, dia tampil secara cameo. Entah memang demikian yang terjadi di dunia nyata atau itu sindiran. Salembe yang anggota skuad timnas U19 itu, menggandeng seorang wanita cantik di warung kopi Filosofi Kopi. Cihuy.

Buku Rene Suhardono


Hari ini petualangan saya juga nyangkut di sebuah toko buku. Saya tertahan di sebuah judul buku karangan Rene Suhardono dan timnya. Ia menulis sesuatu tentang karir dan gairah terhadap sebuah topic. Judul bukunya #passion2performance. Isinya tentang survey terhadap perusahaan-perusahaan yang pimpinannya sempat mengalami dinamika ketertarikan terhadap topic yang mereka geluti hari ini. Menarik sih isinya. Intinya yang saya ingat, passion itu ibarat biji. Nah biji itu akan berbuah dalam wujud karya. Jadi marilah kita berkarya sesuai ketertarikan kita. Rene dan timnya menarik topic itu dalam konteks perusahaan. Jadi ada juga pembahasan tentang perusahaan-perusahaan yang kebijakannya bisa dicontoh agar performanya maksimal. Kamu tertarik dengan pembahasan detil tentang itu? Segeralah cari buku terbaru buatan Rene dan tim Impact Factory itu.

Selasa, 07 April 2015

Multatuli Abadi di Lebak

Seorang anak bermain di depan Taman Baca Multatuli. Saat kami berkunjung
ke sana, lagi musim durian. Harga per buah cuma sepuluh ribuan. Duriannya enak.

“Kang Ubai kami sedang dalam perjalanan ke sana. Acara klub bacanya dimulai jam berapa?”


Pesan singkat itu pun terkirim, namun tak berbalas. Rupanya kiriman pesan itu tak tiba ke ponsel orang yang saya maksud. Maklum, saat itu dia sudah ada di Kampung Ciseel, sebuah dusun di Kabupaten Lebak, Banten. Kita harus maklum dengan sulitnya koneksi tadi, karena memang daerah Ciseel tak mudah dijangkau. Selain sinyal ponsel, akses jalan ke sana juga belum tentu mampu dan mau dilalui semua orang. Gara-gara kesulitan akses itulah, saya deg-degan, takut telat dan melepas satu momen langka yang cuma ada sekali dalam dua minggu.





Kunjungan ke Ciseel, saya lakukan dalam rangka meliput aktivitas di Taman Baca Multatuli. Itu adalah lanjutan liputan dari Jerman yang membahas topik kesadaran literasi atau minat baca. Judul hasil liputannya: Ayo baca! Kampung Ciseel relevan dengan tema tersebut karena di sana, ada sebuah rangkaian ikhtiar unik yang digagas Ubaidilah Muchtar, seorang guru di SMPN Satu Atap 3 Ciseel. Di pedalaman Kabupaten Lebak itu, Ubai mengajar ngaji. Pengajian yang diampu Ubai bukan pengajian biasa. Lazimnya, yang dibaca dalam pengajian adalah kitab suci. Tapi yang ini, bacaannya novel Max Havelaar karangan Multatuli.
Anak-anak Ciseel sedang mengikuti permainan
yang dipandu Ubai
Taman Baca Multatuli lahir pada 2009. Kala itu Ubai mendapat tugas mengajar sebagai PNS di Kampung Ciseel, Lebak, Banten. Kepindahannya ke dusun berisi 75 kepala keluarga ini, diiringi dengan hijrah pulanya koleksi bacaan sang guru. Anak-anak Ciseel saat itu dibebaskan untuk mengacak-acak rak bukunya yang menumpang bertengger di rumah ketua RT setempat. Pada tanggal 23 Maret 2010, Ubai pun memulai aktivitas lain di taman baca itu: membentuk reading group atau kelompok baca.


Kelompok baca yang digelar Ubai, berisi ia dan anak-anak kampung Ciseel dan sekitarnya. Secara rutin, mereka mengaji novel Max Havelaar. Ketika saya datang ke Ciseel, kelompok baca itu tepat berusia lima tahun. Tak ada perayaan khusus selain aktivitas yang memang sudah biasanya demikian. Pembacaan novel dimulai sekitar jam 4 sore hingga maghrib tiba. Pada satu jam jelang kelas berakhir itulah saya akhirnya tiba, setelah resah kehilangan momen langka itu.





Jalan beraspal terakhir di kampung Cangkeuteuk, sebelum
melalui jalan berbatu menuju Dusun Ciseel
Dari Jakarta, perjalanan ke Kampung Ciseel bisa ditempuh selama sekitar enam jam. Jam 11 siang itu tim liputan saya baru benar-benar menempuh jalan menuju Ciseel. Di persimpangan menuju Pasar Ciminyak, kami beristirahat sekitar selama satu jam. Setelah bertanya ke sana-sini, dan secara tak sengaja bertemu Hendra Adi, mantan kru mobil satelit Metro TV. Ia baru saja berhenti dari pekerjaan itu, dan memulai usaha lain di kampung halamannya, Ciminyak. Dipandu Adi, kami pun tiba di Kampung Coo. Tangis dan teriakan histeris menyambut kedatangan kami. Rupanya di saat yang sama, warga digegerkan dengan kematian seorang petani di saung sawahnya. Ia ditemukan tewas tergantung. Di dusun Coo itulah mobil kami berhenti. Mobil sebenarnya bisa masuk hingga dusun Cangkeuteuk. Tapi menitipkan mobil di rumah lurah di Coo sudah tepat, sesuai rekomendasi Kang Adi. Perjalanan kami pun berlanjut menggunakan ojek selama sekitar 45 menit. Jalan menuju Ciseel memang rusak. Batu semua dan sempit. Kasihan sekali motor matic yang dipakai tukang ojek itu. Bahkan, ban motor yang ditunggangi Wildan sempat kempes. Jalur yang dilewati menuju Ciseel adalah tepian lereng yang berbatasan langsung dengan jurang dalam menganga dan tepian sungai. Tapi pemandangan dari sana, luar biasa indah. Kalau senggang, saya pasti menyempatkan meraup bening air di sungai. Tapi itu tadi, saya harus segera tiba di Ciseel, sebelum aktivitas kelompok baca berakhir.


Sungai di Kampung Cangkeuteuk digunakan warga
untuk berbagai keperluan.
Kelompok baca Multatuli yang awalnya digelar saban sore, kini jadi tiap senin atau selasa sore. Itu pun sekali dalam dua minggu. Maklum, Ubai menjalaninya sambil menempuh pendidikan magister di Universitas Pendidikan Indonesia. Meski demikian, taman baca yang kini tak lagi menumpang di rumah Pak RT, tetap bisa dimasuki anak-anak Ciseel untuk mereka membaca. Minat baca anak-anak Ciseel memang terlihat mencengangkan. Bahkan anak-anak yang belum bisa baca saja ikut hadir di pengajian Max Havelaar. Mereka ikut mengucap ulang kalimat-kalimat yang dibacakan Ubai.

“Itu apa tidak terlalu berat anak-anak baca buku seperti itu?” saya bertanya kepada Ubai.

“Saya kira berat atau tidak, itu tergantung konteks kita orang dewasa. Ini membaca pelan-pelan, super lelet, maka tidak terlalu berat karena dijelaskan. Satu pertemuan dua jam paling hanya tiga halaman.”

“Satu kali tamat buku berapa lama?”


“Tahun pertama tamat 37 pertemuan (selama) 11 bulan, kemudian tahun kedua dua tahun lima bulan. Jadi pembacaan pertama 11 bulan kemudian baca lagi dari awal, dua tahun lima bulan kemudian baru tamat. Jadi pembacaan pertama maret 2010 sampai februari 2011, pembacaan kedua mei 2011 sampai agustus 2013.”


Wildan dan Yansa harus turun dari motor karena
tanjakan yang terlalu curam dan jalur berbatu
sulit dilalui motor yang ditumpangi berboncengan
Saat itu, pembacaan Max Havelaar di Taman Baca Multatuli sudah mencapai repetisi ketiga, sekitar halaman seratus sekian. Sekilas saya turut serta dalam proses pembacaannya. Saya juga mengamati aktivitas tambahan lain selain membaca Max Havelaar. Anak-anak Ciseel diajarkan Ubai berbahasa Inggris. Mereka sudah bisa memperkenalkan diri dalam bahasa internasional itu. Mereka pun diperkenalkan ke berbagai kosakata baru. Selain itu, mereka juga diajarkan untuk menulis. Anak-anak dibekali buku tulis yang nantinya mereka isi dengan kegiatan harian dan pemikiran mereka masing-masing.


“Bahkan ada yang lucu. Ketika orang tua mereka berselisih paham, mereka menuliskannya. Jadi mereka tidak perlu marah juga ketika ada pertengkaran, tapi bisa melalui tulisan. “ Maghrib tiba, kelas bubar, anak-anak lanjut mengaji Al Quran di masjid.


Malam tiba di Kampung Ciseel. Tapi gelap, bukan lagi deskripsi tunggal untuk malam di dusun itu. Sejak dua tahun terakhir, Ciseel mengenal listrik. Sejak itu pula, warga Ciseel akrab dengan televisi dan berbagai tontonannya. Bagi perkembangan minat baca anak, tontonan tak cocok di televisi, bisa jadi boomerang tersendiri. Ditemui ketika hadir di gelaran Leipzig Book Fair, sastrawan Goenawan Mohamad menganalisa musuh utama minat baca.

Jurang, sungai, sawah, gunung, mengiringi perjalanan menuju Ciseel

“Ya waktunya tidak ada untuk membaca. Boleh nonton televisi kalau berita. Tapi kalau 6 jam di depan televisi nonton sinetron, menurut saya itu tidak mencerdaskan bangsa.” Ujar pendiri Majalah Tempo itu.


Kami tiba di Kampung Ciseel. Jika kita terus
menempuh jalan ini, dilanjutkan berjalan kaki. kita akan
tiba di perkampungan Baduy Dalam.
Beruntung, anak-anak Ciseel tak sekencanduan itu dengan televisi. May, seorang anak Ciseel yang saya tanya, mengaku paling menghabiskan cuma setengah jam sehari di depan TV. Begitu juga dengan Cecep, yang cuma menonton sebelum tidur. Cecep juga rajin menyimak tayangan berita. “Dana APBD Ahok,” jawabnya ketika saya tanya berita terbaru apa yang dia ingat. Pengakuan anak-anak Ciseel diamini salah satu ketua RT di Ciseel, Uding Somantri. “Kalau sudah ada listrik banyak tontonan, tapi tidak mengganggu aktivitas baca di multatuli,” ujarnya meyakinkan. Uding juga mengaku bersyukur dengan adanya Taman Baca Multatuli, meskipun asupan bantuan tenaga untuknya bertani di hutan dan ladang, berkurang. Ubai sendiri punya analisa tentang televisi yang menandingi buku di hati anak-anak Ciseel. “Yang dirasakan tidak terlalu berat karena fondasi anak-anak sudah ada sejak 2009. Jadi mereka basic-nya kuat. Enam bulan ada TV mereka senang sekali, tapi taman baca tetap ramai.” Ubai dan tokoh dusun Ciseel juga punya sebuah cara untuk mengarahkan anak-anak ke tontonan yang baik. Mereka menggelar layar tancap.


Kain putih polos dibentangkan melintangi jalan. Pengendara motor yang melintasi jalan dusun pun harus merunduk agar jalannya tetap lancer. Tapi mereka seakan maklum dan paham. Senyuman yang dibarengi anggukan jadi pertanda bahwa ini biasa. Sebelum penayangan film dimulai, saya ikut berhimpun di kerumunan anak-anak yang bertengger di batu-batu pinggir jalan. Seorang anak bernama Jujun bangga memperlihatkan bekas luka di pelipisnya. Katanya ia jatuh di masjid ketika kecil. Padahal saat bicara, ia juga masih begitu kecil. Umurnya mungkin lima atau enam tahun. Atau malah mungkin empat. Jujun sendiri tak yakin dengan usianya. Haha. Jika ketika mengunjungi baduy dalam, Asda jadi anak favorit saya, kali ini Jujun-lah idola saya. Dia berani. Anak lain yang lebih tua masih membentengi diri dengan gelagat malu saat ditanya orang asing, atau berekspresi di depan umum. Si kecil Jujun ini, melontarkan celetuk kocak ketika anak-anak terkesima dengan heli cam yang dioperasikan Wildan. “Itu meuli?” katanya jujur, bertanya apakah benda terbang itu hasil membeli di suatu tempat. Jujun pun tak takut ditertawakan teman-temannya. Ketika belajar bahasa Inggris, ia merelakan diri berdiri di hadapan anak-anak lain. Dengan penuturan yang samar, ia tetap berani berucap “My name is Jujun”. Perhatian saya juga tertuju ke jawaban anak-anak yang siap menonton itu. Saya bertanya tentang cita-cita mereka. Ada yang ingin jadi guru, presiden, pilot kapal terbang, bahkan ada yang mau jadi jaro (pemimpin adat).


Malam itu film Lima Elang tayang. Tak hanya anak-anak, orang tua mereka pun ikut menonton dari teras depan rumah. Gelak tawa pecah ketika adegan kocak tampil. Komentar-komentar singkat juga terlontar setelah liukan kisah dimunculkan. Perlahan-lahan, jumlah penonton berkurang. Giliran Ciseel beristirahat.


Wildan saat mengoperasikan heli cam miliknya. Suara
baling-baling sempat membuat anak-anak di Taman Baca
kehilangan konsentrasi membaca Max Havelaar
Tim liputan kami ikut menginap di ruang perpustakaan Taman Baca Multatuli. Di situlah Ubai menginap saat ia mengunjungi Ciseel. Rumahnya sebenarnya di Depok. Di sana ia tinggal bersama teman kuliah ketika menempuh pendidikan sarjana yang kini jadi istrinya. Sebelum tidur, kami berbincang banyak hal. Saya ceritakan bahwa terakhir kali saya baca Max Havelaar, adalah tahun 2011. Itu pun tak tamat. Hehe. Entahlah kala itu mood saya belum kondusif untuk Max Havelaar, sampai sekarang. Haha. Ubai pun secara singkat menjelaskan tentang isi novel legendaris itu. Dia sampai hafal di bab berapa kisah ini ditulis, di halaman mana penjelasan tentang itu dipaparkan.


Max Havelaar berkisah tentang seorang pria bernama Batavus Droogstoppel, atau Batavus si gersang hati. Ia adalah seorang saudagar kopi di era kolonial. Ia ingin dibuatkan buku tentang pelelangan kopi oleh perusahaan dagang Belanda. Maka ia meminta Ludwig Stern untuk menuliskannya. Dalam proses pembuatan buku itu, Stern malah menulis tentang hal lain. Mulai Bab 5 novel tersebut, Stern mengisahkan tentang seorang asisten residen atau bupati Lebak bernama Max Havelaar. Max Havelaar ini sebenarnya adalah Multatuli alias Eduard Douwes Dekker sendiri. Kala itu, masyarakat Lebak ditindas dua kekuatan sekaligus. Selain diwajibkan aturan tanam paksa atau cultuur stelsel oleh pemerintah kolonial Belanda, warga Lebak juga menderita karena sistem sosial yang membelit mereka sendiri. Adalah Adipati Karta Nata Nagara, regen atau bupati Lebak yang juga menguasai wilayah itu. Di akhir abad ke-19 itu, sistem pemerintahan Lebak memang dikuasai (dan ditekan) dua penguasa secara bersamaan. Stern mengisahkan sebuah contoh, bahwa jika sang adipati tertarik dengan sebuah kerbau milik rakyat yang dilihatnya, maka mau tak mau kerbau itu harus direbut dari pemilik aslinya. Max Havelaar, meski berasal dari pihak kolonial, menentang penindasan semacam itu. Stern (yang diminta menulis oleh Batavus) juga menyisipkan kisah romantik-tragis Saijah – Adinda dalam buku karangannya. Cerita Saijah-Adinda disebut-sebut sebagai Laila-Majnun-nya Lebak tempo dulu, Romeo-Juliet-nya era kolonial. Di akhir bab novel Max Havelaar itu, Multatuli yang dalam bahasa latin berarti “saya telah banyak menderita”, membuka identitas aslinya. Dengan demikian, dalam novel Max Havelaar, seakan-akan ada tiga narator: Batavus, Stern, dan Douwes Dekker sendiri si penulis asli. Indah bukan?


Akmal damai tertidur di pangkuan kakaknya.
Kemana pun sang kakak pergi, pasti Akmal
mengikuti. Termasuk ketika ia menghadiri
pembacaan Max Havelaar. Meskipun belum
bisa baca, Akmal dan anak-anak lain yang
juga belum mengenal literasi, tetap hadir
dan menyimak.
Selain berbicara tentang Max Havelaar, saya pun baru tahu tentang jaringan kelompok baca yang diikutinya. Kelompok Baca Multatuli, ternyata bukan satu-satunya. Setidaknya, ada sembilan kelompok baca yang saya catat berdasarkan paparan Ubai:


  1. Di Kendal Jawa Tengah, komunitas Pondok Maos Guyub membaca Old Man And The Sea (Ernest Hemmingway) dan Ronggeng Dukuh Raruk (Ahmad Tohari). 
  2. Di Jember Jawa Timur, komunitas Tikungan membaca Gadis Jeruk (Jostein Garner)
  3. Di Kediri Jawa Timur, komunitas Jambu membaca Jalan Raya Pos Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)
  4. Di Serang - Banten, komunitas Rumah Katak membaca Laskar Pelangi (Andrea Hirata)
  5. Di Jogja, komunitas Indonesia Buku membaca Kitab Primbon Jogja (Beta Lejemur Adamakna)
  6. Di Victoria Park - Hong Kong, komunitas Teater Angin membaca Animal Farm (George Orwell)
  7. Di Bandung, komunitas Ultimus membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
  8. Di Cikarang – Bekasi, solidaritas.net membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
  9. Di Facebook komunitas reading group yang dimoderatori Tanzil Hernadi, membaca Ibunda (Maxim Gorky)


Anak-anak Ciseel bebas memilih bacaan yang mereka suka
Pembentukan kelompok baca di Ciseel, Ubai yakini bukan hanya sebuah upaya meningkatkan minat baca. Lebih dari itu, ada sesuatu yang ingin ia tanamkan di dalam benak anak-anak Ciseel. “Minimal mereka mencontoh tiga sifat khas Multatuli: pertama peka dengan ketidakadilan. Kedua mereka tahu jika ketidakadilan terjadi mereka harus berbuat apa, dan yang ketika dia pandai menulis. Nah anak-anak di sini tentu tidak harus seperti Multatuli. Tapi minimal nilai-nilai itu bisa menjiwai kehidupan mereka. Tidak mengambil hak orang lain, berkuasa tidak disalahgunaakn, amanat harus disampaikan, dan tidak boleh korpusi. Di (novel) Multatuli ada kata ‘korupsi’.”



Sementara persoalan minat baca di Kampung Ciseel menemui solusinya, hadangan lain siap menghampiri. Mimik muka Uding Somantri berubah ketika ia mengingat anaknya. Ia khawatir membuncahnya minat baca dan belajar anak Ciseel, tak diiringi kemampuannya membiayai sang anak untuk sekolah setinggi mungkin. []

Saya berfoto bersama Ubai dan anak-anak Ciseel sebelum kami berpisah.
Suatu hari nanti, saya ingin ke sana lagi


Saya dihadiahi oleh-oleh novelet Saija. Isinya kisah Saijah-Adinda yang ada di novel Max Havelaar.
Buku versi bahasa sunda ini dicetak pertama kali tahun 1932. Kang Ubai mendapatkan novelet ini dari Cornell University

Kamis, 02 April 2015

Dari Leipzig ke Berlin


Sehari jelang pulang lagi ke Indonesia, saya dan Mas Ilham wartawan Kompas, menyempatkan diri berkunjung ke Berlin. Sore itu kami berangkat sekitar jam 3. Wawancara Antje dan keluarga Fickert didapat ketika kami dalam perjalanan ke Berlin itu. 

Persinggahan pertama kami menuju Berlin, adalah Leipzig Hauptbahnhof, stasiun pusat. Di dalam pesawat, ketika perjalanan menuju Jerman, saya sempat nonton video dokumenter tentang kota Leipzig. Stasiun Pusat Promenaden ini dibahas sebagai stasiun yang usianya ratusan tahun dan tetap lestari. Selain stasiun ini, yang menurut liputan itu wajib dikunjungi di Leipzig, adalah makam, gereja, dan patung Johann Sebastian Bach. Sayang, saya gak sempat ke sana. Coba tiga jam ketersesatan hari jumat itu saya pakai buat ke sana aja, pasti angle liputan saya makin kaya. Yah mungkin lain kali, semoga. Hehe
saya dan Mas Ilham menumpangi kereta yang langsung melaju dari Leipzig ke Berlin. Lama perjalanannya satu jam. Nyaman sekali keretanya. Pemandangan di luar jendela bagus banget. Begitu nyampe di Berlin rasanya terlalu cepat masih pengen naik kereta itu soalnya enak. Hahahaha. Ketika foto ini diambil, seorang ibu di kursi seberang ngeliatin. Saya senyum ramah, dia lempar senyum yang dikombinasikan dengan gelengan kepala. Hehe. Ibu itu mengisi Sudoku selama perjalanan. Saya sempat ambil videonya. Lalu seseorang berdandanan punk di depan si ibu kasih tanda ke saya dengan menggariskan lehernya pakai telunjuk. Katanya itu melanggar privasi. Jangan. Saya langsung bungkus lagi si kamera. Untung si ibunya gak tau. Hehe.
padahal segala hal spesifik yang berkaitan dengan Bach ada di depan sana, di sebelah kanan dari monument di kiri foto. Masuk jalan kecil di sana. Meskipun dekat, tetap saya gak bisa mampir karena waktunya terbatas.
akhirnya kami tiba di stasiun Berlin. Ada pameran foto juga di sana, kami sempat lihat-lihat dulu.

begitu keluar dari stasiun besar itu, gerombolan anak punk menyebar acak. Botol minuman beralkohol tergeletak gitu aja. Di satu sudut pintu masuk stasiun, seorang wanita bertindik di mana-mana, joget diiringi music yang sepertinya lagu Atari Teenage Riot. Di bagian lain tiga orang berdandanan serupa, ngobrol dengan loud speaker portable yang kencang putar music digital hardcore yang sama. Selamat datang di Berlin. Eh coba deh lihat di bagian pundak kanan saya. Kelihatan kan kubah sebuah gedung. Nah itulah tujuan pertama saya: gedung parlemen Jerman.
di perjalanan menuju gedung parlemen, saya melewati jembatan dan sungai Spree. Indah sekali pantulan cahaya di sungai itu. Dari sini juga terlihat menara Alexanderplatz. Menara itu juga sempat kami singgahi. Nggak ke dalem menaranya sih. Hehe.
itulah gedung parlemen Jerman. Kubahnya dibuat transparan, sebagai symbol keterbukaan. Gedung parlemen ini selain jadi kantor pemerintahan, juga tempat wisata. Malam minggu itu, sejumlah pengunjung mengantri masuk.
kami pun melanjutkan perjalanan ke patung yang menyembul dari taman di samping gedung parlemen. Rupanya itu benteng Brandenburg, monument warisan kekaisaran Prusia yang dibangun pada abad ke-18. Di tempat saya berdiri ini, dulunya ada tembok berlin, tembok yang memisahkan Jerman Timur yang berpaham komunis dan Jerman Barat yang liberal. Saya kemudian menuju bagian bawah monument itu. Ramai sekali, ada lomba balap karung. Iya, balap karung. Lalu ada banci yang dikerjain orang-orang mabuk atau mungkin orang yang terlalu ekspresif. Di sisi lain monument ada sebuah bus wisata. Tadinya kami mau naik bus itu tapi keburu pergi dia. Kami pun jalan entah ke mana. Eh saya kok dengar ada kata “dingin banget”. Saya samperin lah orang-orang yang berfoto itu. Sok-sokan saya tanya dalam bahasa Inggris, rupanya salah satu dari mereka orang Ciledug, sedaerah sama Mas Ilham. Hahaha. Mereka mahasiswa Swiss Germany University yang lagi magang. Saya dan Mas Ilham sih inginnya bisa ke sisa tembok berlin, atau museum yahudi. Tapi ternyata malam itu tutup dan lokasinya jauh. Mereka pun sarankan kami ke Alexanderplatz aja. Kami pun ke sana menggunakan bus. 
Alexanderplatz ini sebenarnya menara pemancar televisi atau semacamnya. Kami cuma berfoto gini aja di sini. Abis itu pulang. Haha. Soalnya bentar lagi jadwal keberangkatan kereta kami, jam 10 malam. 
Saya berfoto di depan stasiun. Ada tiang tempat nempel stiker toh. Saya baru sadar. Haha.
Tau gitu stiker windielf ditempel di sana aja
ini kereta yang berasal dari rusia. Di dalamnya ada ranjang bertingkat. Sepertinya seru kalau keliling Eropa pakai kereta. Selama menunggu jadwal keberangkatan kereta kami, ada seorang Turki yang bertanya, tapi dia gak bisa berbahasa inggris. Mas Ilham yang jago bahasa arab, ngajak dia ngobrol. Dia ceritakan ke si Turki bahwa kami dari Indonesia. Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, dan dia baru tau. Haha. Kami terpisah karena berbeda gerbong. Jenis kereta pulang yang kami naiki beda sama yang pertama. Kali ini kami harus transit dulu di stasiun lain sebelum pindah ke kereta yang menuju Leipzig. Di kereta yang menuju tempat transit, kami tanya ke petugas, harus berhenti di stasiun apa. Kata si petugas, lihat aja jam kedatangannya. Pokoknya jam segitu, turunlah di stasiun itu. Saya dan Mas Ilham saling pandang. Gitu ya? Jadi patokannya waktu kalo di sini? Emang bakal on time? Hahaha. Ternyata emang bener. Meskipun begitu nyampe di stasiun transit, mepet banget waktunya. Kami harus jalan cepat biar gak telat masuk kereta berikutnya. Jam 12 kami sampai di Hauptbahnhof Promenaden dan langsung nyambung naik tram ke hotel. Tram di Leipzig beroperasi 24 jam loh. Jam 1 dini hari, kami pun tiba di hotel.
Perjalanan di Berlin, akan saya kemas dalam sebuah paket berita tentang bagaimana Jerman menjaga masa lalunya, sepahit apa pun itu. Di sebuah toko cendera mata, saya lihat ada bongkahan kecil puing tembok berlin yang dijual. Kartu pos pun banyak yang bergambar kisah getir itu. Sementara itu di sisi lain, Indonesia punya pengalaman serupa. Malah topik itu laris diminati publik Jerman. Peristiwa G30S selalu jadi hal yang menarik sekaligus kontroversial di Indonesia. Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh Paruk—yang berkisah tentang kesengsaraan seorang penari di tengah gegar peristiwa 1965—menyarankan agar gedung CC PKI seharusnya dilestarikan, agar bangsa kita belajar. Monument kesaktian pancasila menurutnya kurang cukup. Tapi yang jauh lebih penting dari itu, menurut penulis yang sehari-hari tinggal di Purwokerto itu, pemerintah harus memberitahukan kejadian sebenarnya kepada generasi muda. Bukan untuk menyalahkan yang memang bersalah, tapi agar kejadian serupa tak terulang. []

Tersesat di Leipzig


Kala itu hari Jumat. Sejak pagi, sebenarnya sudah ada pemberitahuan di grup whatsapp delegasi Indonesia ke Leipzig Book Fair, untuk berkumpul jam 12 di booth Indonesien. Nantinya kami akan bersama-sama ke mesjid untuk solat Jumat. Saat itu saya sedang meliput keikutsertaan Indonesia di festival buku terbesar di Jerman, Leipzig Book Fair. Sebelum berangkat dari hotel, saya bertemu Laksmi Pamuntjak, salah seorang calon narasumber saya. Kami pun janjian untuk bertemu jam 2 siang. Namun ternyata saya lupa bahwa itu hari Jumat, sementara saya merasa tetap perlu menghadiri solat Jumat, yang di Jerman dilaksanakan jam 2 siang. Di sisi lain saya telanjur mengiyakan untuk mewawancarai Laksmi di jam yang sebelumnya dijanjikan. Sementara saya belum bulat memutuskan, teman-teman yang akan ikut rombongan solat Jumat kira, saya akan tetap mewawancarai Laksmi. Mereka pun berangkat. Saya lalu titip pesan ke Mas Andy agar disampaikan ke Mbak Laksmi bahwa saya harus Jumatan dulu. Saya berinisiatif untuk berangkat sendiri, dengan bekal informasi jalan tempat masjid itu berada, dan halte tempat turun dari tram.


Saya sedang menunggu jadwal keberangkatan tram. Papan iklan itu nampaknya
menampilkan sebuah album music. Di halte lain, papan iklan itu mengeluarkan
suara music dari si album yang dijual.

Sepanjang jalan, saya tak berhenti kagum dengan mural dan graffiti di Leipzig. 

Saya pun tiba di halte tujuan. Ada sebuah toilet di halte itu. Saya jadi ingat halte busway di Jakarta. Pasti akan lebih bagus kalau fasilitas ini juga ada. Tentu dengan perawatan dan penggunaan yang tepat. Soal yang terakhir itu saya ragu sama penghuni Jakarta. Hehe.

Papan penunjuk jalan Roscherstaβe yang saya cari tak langsung tampak dari halte. Saya pun mencari petunjuk. Ada sebuah peta. Tapi sayang, nama jalan Roscherstaβe gak ada di sana. Padahal petanya mudah dibaca. Ada keterangan huruf untuk jalan dip eta, dan di bawahnya daftar nama jalan juga berurutan alfabetis. Ya sudah, saya cari sendiri saja. Saya tanya ke dua orang wanita yang baru turun dari sepeda mereka. Baik dan ramah sekali mereka. Saya jadi bepikir bahwa kesan “ramah” yang dilekatkan ke budaya bangsa Indonesia, kurang tepat. Kurang spesifik maksud saya. Rasanya keramahan itu sesuatu yang memang seharusnya ada di setiap orang dan wajar. Bukan hal special, apalagi kalo jadi identitas jualan (dalam konteks pariwisata Indonesia). Satu wanita lainnya mengeluarkan peta yang ia bawa, bantu saya cari masjid yang dituju. Sayangnya dipeta itu cuma ada tanda gereja dan sinagog. Saya pun lanjut mencari secara buta.

saya pun bertanya ke seorang berciri asia. Ia tunjukkan sebuah jalan menuju masjid tempat jumatan. Sepanjang jalan pencarian itu, graffiti semacam inilah yang saya nikmati

bahkan ada juga goresan graffiti berhuruf hijaiyah

saya melewati sebuah toko ganja. Sepertinya ganja legal di sana. Asalkan dikonsumsi di tempat itu. Mungkin. Hehe.

ini suasana stasiun dan tram yang akan saya tumpangi
Akhir kisah, saya gagal solat jumat. Haha. Jam 2 udah lewat, masjid belum juga ketemu. Yasudah saya balik lagi ke Messe, arena pameran. Jam 3 saya langsung menuju tempat wawancara. Sayang, narasumber saya sudah berpindah tempat entah di mana. Esoknya barulah saya tahu bahwa hari itu Laksmi Pamuntjak mengaku mau pingsan saking padatnya jadwal wawancara. Haha. Ia memang disebut-sebut bakal jadi bintang di gelaran itu, dan juga di Frankfurt Book Fair Oktober mendatang. Demikian kata Christine Heinrich, perwakilan pihak penerbit Ullstein Verlag yang akan menerbitkan novel Laksmi dalam bahasa Jerman. [] 

Festival Buku + Membaca = Leipzig

Tugas liputan saya ke Jerman dilakukan sendiri. Biasanya untuk pengambilan gambar, ada camera person tersendiri. Tapi bagaimana pun itu tetap pengalaman menyenangkan 
Enam hari di pertengahan Maret itu saya bertugas liputan ke kota Leipzig Jerman. Sebelum tiba di kota tujuan, saya transit di bandara kota Frankfurt. Seraya menunggu jadwal penerbangan berikutnya, saya cicil beberapa stock shot. Di ruang tunggu itu ada seorang wanita sedang membaca buku tebal. Suasana itu kontras dengan yang dilakukan calon penumpang lain: ada yang main handphone, duduk-duduk aja, ngobrol, dll. Tak yakin dengan etika pengambilan di negeri panser itu, saya iseng nanya ke petugas di meja resepsionis: bolehkah saya mengambil gambar orang membaca di ruangan ini? Dia jawab, boleh ambil suasana ruang tunggu, tapi jangan orangnya. Hehe. 

Saya jadi ingat cerita seorang kawan ketika liputan di Papua. Orang Papua pegunungan yang ia liput, minta bayaran tiap kali dirinya direkam. Biar gak kena tagihan, dia berkilah bahwa yang ia rekam dengan videonya adalah gunung dan pemandangan di sekitar si orang Papua itu, padahal tentu saja bukan hanya itu. Apa hubungannya sama orang Jerman? Saya jadi kepikir kalau orang yang lagi baca itu marah karena saya rekam, saya tinggal bilang kalau bukan dia kok yang diambil gambarnya. Muehehehe. Tapi saya telat. Begitu kamera keluar dari tas, panggilan naik pesawat sudah datang. Jadilah saya harus cari momen orang membaca lain. Kenapa harus orang membaca? Karena tugas liputan saya ke Leipzig berkaitan dengan itu: Indonesia, buku, kebiasaan baca, festival, dan hal lain di sekitar ketiganya.


Saya, Seno (RCTI) dan Mbak Lian (PIH Kemendikbud) mewawancarai Pak Ahmad Tohari setelah ia mengisi acara diskusi tentang buku Ronggeng Dukuh Paruk
Setiap tahun pada bulan Maret, di kota Leipzig dihelat festival buku yang dihadiri puluhan negara. Indonesia salah satu di dalamnya. Keikutsertaan Indonesia adalah rangkaian dari promosi dunia kepenulisan Indonesia yang sedang naik daun. Pada bulan Oktober mendatang, Indonesia akan hadir di Frankfurt Book Fair, festival buku terbesar di dunia. Kehadiran Indonesia bukan keikutsertaan biasa. Negara kita akan berstatus tamu kehormatan. Dengan predikat itu, Indonesia akan menempati sebuah gerai luas sehingga promosi literasi (dan identitas keindonesiaan lain) akan sangat masif dipaparkan ke hadapan masyarakat penyuka buku dari berbagai Negara. Oke, sekarang kita balik lagi ke Leipzig, kota tempat digelarnya Leipzig Buchmesse atau Leipzig Book Fair. Festival buku di Leipzig, disebut-sebut sebagai yang terbesar di Jerman, sementara Frankfurt Book Fair terbesar di dunia. Kehadiran saya di kota kelahiran komposer masyhur Johann Sebastian Bach ini, adalah untuk meliput Leipzig Book Fair. Dalam tugas peliputan itu, saya mendapat kesan tentang kuatnya kebiasaan baca orang Jerman. Berikut ini buktinya.


Sore itu saya menumpangi tram menuju stasiun pusat kota Leipzig. Seorang remaja wanita kemudian masuk di sebuah stasiun. Rambut kuningnya terlihat serasi dengan jaket ungu yang ia kenakan. Ia kemudian duduk di sebuah sudut tram, lalu pandangannya merunduk. Sebuah buku jadi pusat perhatiannya selama melaju membelah kota. Dari jauh, saya melihat sampul buku itu berwajah seseorang: Frankenstein. Kali lain saya hendak menuju stasiun pusat menggunakan kereta. Di kursi tempat calon penumpang menunggu, pemandangan serupa terlihat. Seorang wanita tekun membaca seakan dunia adalah ia dan bukunya. Maka kesimpulan saya hampir bulat, bahwa membaca adalah kata sifat yang melekat di orang jerman.


***


Aula depan Leipzigger Messe lebih terang dibanding balai lainnya. Saya kagum sekali dengan kemegahan produk arsitektur itu. Ketika menuruni tangga, perhatian saya dicuri seorang remaja wanita yang berkumpul bersama teman-temannya. Ia berbeda. Sementara yang lain asik bercengkerama, yang satu ini merunduk menghadap buku tebalnya. Dalam kamera posisi merekam, saya berbincang dengan dia. Antje Wiedersich namanya.

What are you reading?
I'm reading city of heavenly fire.
What is it about?
It is the end of the book series. It's called xxxxx (ngomong Bahasa Jerman gak ngerti. Haha). And they are shadow hunters, hunt demons to make the world safety.
It's a thick book
Yes. It is.
How many pages?
It is 892. Wow
How long you finish this book?
Three days
Eight hundred pages for three days. So, it's about two books in a weeks?
Sometimes, if I have time yes
What's your favourite book?
Monetary. Yes. And I also read Sherlock Holmes
You read a lot.
Yea
What the world would like if there is no book?
It wouldn't be a good world.


***


Langkah saya kemudian tiba di bagian depan gedung. Seorang anak terlihat berdiri menunggu seseorang. Sebuah buku berwarna pink tampak erat ia genggam. Orang yang ditunggunya kemudian datang. Rupanya anak itu datang bersama keluarga besarnya: ayah, ibu, kakak, kakek dan nenek. Mereka sengaja datang ke Leipzig Book Fair dari Bavaria, kota di selatan Jerman. Tanpa banyak babibu, saya langsung todongkan kamera dan rekam sebuah pembicaraan dengan ayah si anak.

Does your kids love reading?
Yes of course, she's not in school yet but she loves reading already. And he is in first class. He loves reading too. He write some stories too. 
Do you insist them to read or they like it by themselves?
Nonono, by themselves
What's the book are you reading? (saya nanya ke anak perempuan, lalu ayahnya menerjemahkan)
It's called mia and me
How old are you? (saya nanya ke anak perempuan, lalu ayahnya menerjemahkan)
Six
What's the book you love the most? (saya nanya ke anak perempuan, lalu ayahnya menerjemahkan)
The stories about little horses
What about you? (saya nanya ke anak laki-laki)
Star wars
Wooo give me hi five
*tosss
See youuu
See youuu


Kami akhirnya terpisah. Tapi itu sementara. Karena secara tak sengaja, kami jumpa lagi di tram. Di sanalah terjadi perbincangan lebih panjang. Dari sana tahulah saya bahwa nama bapak yang diwawancara tadi adalah Sebastian Fickert. Ia bercerita bahwa pernah menempuh sejumlah perjalanan internasional, belum termasuk Indonesia. Kecintaannya pada Jepang, negara yang pernah ia kunjungi, diekspresikan dengan memberikan nama Naomi untuk si bungsu yang sedari tadi tak melepas buku berwarna merah mudanya. 


Jan, kakak Naomi, adalah anak yang tampak selalu ingin tahu. Tiap kali saya berbicara dengan ayahnya dalam bahasa inggris, ia selalu minta diterjemahkan. Ditanya soal sepak bola, Jan mengaku menggandrungi Bayern Muenchen. Pemain favoritnya, Mueller. Saya kemudian singgung gol Mueller sewaktu piala dunia 2014 lalu, ketika ia membawa timnya menjadi juara dunia. Jan girang membicarakan idolanya, sementara sang ayah tampak heran. Ia lalu bertanya, bagaimana kita biasa berkomunikasi setiap hari? Saya jelaskan bahwa orang Indonesia berbahasa Indonesia, bahasa khas negara kita sendiri. Dia kemudian bertanya lagi, kok saya bisa berbahasa inggris? Saya jawab singkat, karena saya wartawan. 


“Dan ini adalah palu saya.” Canda saya memperlihatkan kamera sambil melirik Jan.

Anak itu bercita-cita jadi hakim. Saya juga beri Jan kesempatan untuk ambil foto saya dengan kamera itu. Bahkan kami sempat berfoto selfie. Tapi sayang, SD Card yang menyimpan foto itu kadung saya kembalikan ke kantor, dan sudah hilang datanya. 


Saya penasaran dengan buku-buku Fickert. Ia kemudian memberi tahu saya dimana bukunya bisa didapat selama Leipzig Book Fair berlangsung. Ia pun memperlihatkan sebuah buku dari tas yang ia jinjing. Judulnya Ararat. Sebastian mengaku menyesal hanya membawa satu buku yang ia pakai untuk disunting ulang. Istri Fickert kemudian berbicara sesuatu dalam bahasa jerman. Saya gak ngerti. Tapi kemudian saya “dipaksa” untuk menerima buku satu-satunya yang ia punya. Saya nyatakan bahwa saya merasa terhormat menerimanya. Setelah membubuhkan tanda tangan, buku bercoret koreksi di sembarang halaman dan berpenanda di halaman tertentu itu jadi milik saya. Tram yang kami tumpangi kemudian tiba di hauptbahnhof, stasiun pusat kota. Kami pun turun bersamaan. Mereka pulang ke rumah di Bavaria, saya ke Berlin. []

Suasana tangga ikonik simbol Leipzig Book Fair


Buku tentang Habibie terpampang di sebuah gerai penerbit buku Jerman.
Seno membantu saya mengambil gambar untuk kisah tentang transportasi Leipzig yang teratur. Saya sedang menunjuk papan penunjuk kedatangan tram yang akurat. Di sana tertulis waktu kedatangan tiap rute tram

Saya difotokan Mas Ilham (Kompas) di aula Leipzigger Messe

Perjalanan dan Perkenalan dengan Leipzig



Akhirnya, kesempatan itu tiba juga. Saya diberi tugas liputan ke luar negeri. Tak tanggung-tanggung, langsung saya dikirim ke Jerman, liput Leipzig Book Fair yang juga diikuti tokoh-tokoh di bidang kepenulisan tanah air. Berikut ini hasil liputan saya di sana:
  1. metrotvnews.com: Topik Komunisme Indonesia Masih Disukai Penerbit di Jerman
  2. metrotvnews.com: Penulis Ronggeng Dukuh Paruk akan Berhenti Menulis?
  3. Metro Bisnis: Komik Garudayana Jadi Primadona di Leipzig Book Fair
  4. Belajar dari cara Bangsa Jerman merawat ingatan (belum tayang)
  5. 360: Ayo Baca!

Secara sekilas, saya akan ceritakan kisah di balik perjalanan dan pembuatan hasil liputan yang dilaksanakan selama enam hari tersebut (termasuk dua hari perjalanan). Selasa malam itu, saya menumpangi pesawat Lufthansa. Di ruang tunggu keberangkatan, saya dan rombongan wartawan kemudian berjumpa dengan Pak Ahmad Tohari dan Pak Sapardi Joko Damono. Kami berangkat bersama sementara anggota delegasi lain ada yang sudah ke Jerman duluan dan berangkat belakangan.



Buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin
mendapat tanda tangan penulisnya sendiri
“Wartawan sekarang muda-muda ya,” celetuk Pak Tohari. “Ini mungkin seusia cucu saya,” ujarnya mengira-ngira setelah saya memperkenalkan diri. Rupanya nantinya di Jerman, saya dan Pak Tohari berbagi ruang istirahat. Di Kuala Lumpur, ketika transit ke penerbangan berikutnya, saya kemudian sodorkan kumpulan cerpen Senyum Karyamin untuk ditandatangani penulisnya. Dua belas jam kemudian, tibalah kami di Jerman.

Berfoto di Bandara Kota Leipzig
Kala itu rabu siang, atau rabu pagi di Jakarta ketika saya tiba setelah tiba di Leipzig. Dari Kuala Lumpur tadi, sebenarnya kami singgah dulu di Frankfurt. Dari Frankfurt, kami naik pesawat lagi ke Leipzig sekitar satu jam. Saya gak yakin musim apa itu ketika saya tiba di Leipzig. Yang jelas, dingin dan kering, tapi menyegarkan. Sejuk. Suasana itu terasa ketika kami menjajal perjalanan ke pusat kota Leipzig dengan naik tram. Kami pun mulai mencicil pengambilan stok gambar.

Tanpa diduga, kami berpapasan dan berkenalan dengan seorang Indonesia yang sedang belajar di Jerman. Namanya Rina. Ia mengikuti sebuah program pertukaran pemuda. Selama di Jerman, Rina belajar tentang bahasa dan kehidupan di sana. Wanita bergelar sarjana itu tinggal bersama keluarga penyanyi di kotanya. Rina cerita banyak soal Jerman dan penghuninya. Dari soal anak kecil yang selalu mengingatkan untuk hemat energy, anak-anak yang selalu haus penjelasan, hingga kehidupan studi mahasiswa Indonesia di Leipzig. 

Rina mengajarkan kami cara menumpangi tram
Saya dan Seno (RCTI) ambil gambar suasana di sekitar stasiun pusat kota atau Hauptbahnhof

Rina juga mengajarkan kami cara naik tram. Haha. Jadi selama perjalanan ke Hauptbanhauf itu, kami mereka-reka caranya membeli tiket. Rupanya kami baru jalani separuh cara lengkap. Setelah membeli karcis, harusnya kami masukkan karcis itu ke sebuah kotak kecil untuk secara otomatis diberi stempel. Karcis itulah yang nantinya diperlihatkan ke petugas pemeriksaan. Kalau ketauan naik tanpa tiket atau salah tiket, denda puluhan euro menanti. Tapi jarang ada pemeriksaan. Petugas yang saya maksud bukan seperti bapak-bapak yang berdiri di pintu bis transjakarta. Mereka tak ada di tram yang kita tumpangi. Sesekali mereka akan masuk ke sebuah tram dan memeriksa secara acak karcis tram penumpang. Jadi, sebenarnya mau gratis pun bisa, asal kita beruntung naik pas gak ada petugas pemeriksa tiket. Hehe. Oiya, kalau kamu mahasiswa di Jerman, maka gratislah biaya transportasi ini. Enak yah. Kisah lengkap hari pertama saya di Leipzig, akan lebih tergambar dalam figur-figur di bawah ini.

Suasana pagi di bandara Frankfurt
Bandara Frankfurt ini semacam markasnya maskapai Lufthansa. Keliatannya sih begitu. Hehe
Pesawat jenis ini yang bawa kami dari Frankfurt ke Leipzig
Frankfurt dilihat dari jendela pesawat. Tiang-tiang kincir pembangkit listrik tak jarang terlihat. 

Menjelang pendaratan di Bandara Leipzig, gumpalan awan terlihat indah menghampar
Rupanya karena awan di ataslah, suasana di Leipzig menjadi teduh, cenderung bersuasana sendu. Hehe
Di sebuah lapangan sekitar stasiun tram Augustusplatz, kami berfoto. Saya mencoba pose jump shot
Jump Shot!
Menjelang matahari tenggelam, suasana kota terasa lebih ramai. Selain pertunjukan gelembung udara ini, di pinggirannya ada seorang pengamen memainkan akordeon
Dulu nama Leibniz saya dengar di pelajaran fisika sewaktu SMA.
Sekarang bisa mengunjungi patungnya dan sekolahnya dulu, universität leipzig.