Kala itu hari Jumat. Sejak pagi, sebenarnya sudah ada pemberitahuan di grup whatsapp delegasi Indonesia ke Leipzig Book Fair, untuk berkumpul jam 12 di booth Indonesien. Nantinya kami akan bersama-sama ke mesjid untuk solat Jumat. Saat itu saya sedang meliput keikutsertaan Indonesia di festival buku terbesar di Jerman, Leipzig Book Fair. Sebelum berangkat dari hotel, saya bertemu Laksmi Pamuntjak, salah seorang calon narasumber saya. Kami pun janjian untuk bertemu jam 2 siang. Namun ternyata saya lupa bahwa itu hari Jumat, sementara saya merasa tetap perlu menghadiri solat Jumat, yang di Jerman dilaksanakan jam 2 siang. Di sisi lain saya telanjur mengiyakan untuk mewawancarai Laksmi di jam yang sebelumnya dijanjikan. Sementara saya belum bulat memutuskan, teman-teman yang akan ikut rombongan solat Jumat kira, saya akan tetap mewawancarai Laksmi. Mereka pun berangkat. Saya lalu titip pesan ke Mas Andy agar disampaikan ke Mbak Laksmi bahwa saya harus Jumatan dulu. Saya berinisiatif untuk berangkat sendiri, dengan bekal informasi jalan tempat masjid itu berada, dan halte tempat turun dari tram.
|
Saya sedang menunggu jadwal keberangkatan tram. Papan iklan itu nampaknya menampilkan sebuah album music. Di halte lain, papan iklan itu mengeluarkan suara music dari si album yang dijual. |
|
Sepanjang jalan, saya tak berhenti kagum dengan mural dan graffiti di Leipzig. |
|
Saya pun tiba di halte tujuan. Ada sebuah toilet di halte itu. Saya jadi ingat halte busway di Jakarta. Pasti akan lebih bagus kalau fasilitas ini juga ada. Tentu dengan perawatan dan penggunaan yang tepat. Soal yang terakhir itu saya ragu sama penghuni Jakarta. Hehe. |
|
Papan penunjuk jalan Roscherstaβe yang saya cari tak langsung tampak dari halte. Saya pun mencari petunjuk. Ada sebuah peta. Tapi sayang, nama jalan Roscherstaβe gak ada di sana. Padahal petanya mudah dibaca. Ada keterangan huruf untuk jalan dip eta, dan di bawahnya daftar nama jalan juga berurutan alfabetis. Ya sudah, saya cari sendiri saja. Saya tanya ke dua orang wanita yang baru turun dari sepeda mereka. Baik dan ramah sekali mereka. Saya jadi bepikir bahwa kesan “ramah” yang dilekatkan ke budaya bangsa Indonesia, kurang tepat. Kurang spesifik maksud saya. Rasanya keramahan itu sesuatu yang memang seharusnya ada di setiap orang dan wajar. Bukan hal special, apalagi kalo jadi identitas jualan (dalam konteks pariwisata Indonesia). Satu wanita lainnya mengeluarkan peta yang ia bawa, bantu saya cari masjid yang dituju. Sayangnya dipeta itu cuma ada tanda gereja dan sinagog. Saya pun lanjut mencari secara buta. |
|
saya pun bertanya ke seorang berciri asia. Ia tunjukkan sebuah jalan menuju masjid tempat jumatan. Sepanjang jalan pencarian itu, graffiti semacam inilah yang saya nikmati |
|
bahkan ada juga goresan graffiti berhuruf hijaiyah |
|
saya melewati sebuah toko ganja. Sepertinya ganja legal di sana. Asalkan dikonsumsi di tempat itu. Mungkin. Hehe. |
|
ini suasana stasiun dan tram yang akan saya tumpangi |
Akhir kisah, saya gagal solat jumat. Haha. Jam 2 udah lewat, masjid belum juga ketemu. Yasudah saya balik lagi ke Messe, arena pameran. Jam 3 saya langsung menuju tempat wawancara. Sayang, narasumber saya sudah berpindah tempat entah di mana. Esoknya barulah saya tahu bahwa hari itu Laksmi Pamuntjak mengaku mau pingsan saking padatnya jadwal wawancara. Haha. Ia memang disebut-sebut bakal jadi bintang di gelaran itu, dan juga di Frankfurt Book Fair Oktober mendatang. Demikian kata Christine Heinrich, perwakilan pihak penerbit Ullstein Verlag yang akan menerbitkan novel Laksmi dalam bahasa Jerman. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar