Jumat, 19 Juni 2015

Jalan Kaki ke Tebing Keraton

Target saya tahun ini adalah mendaki 3 gunung di kabupaten garut: Guntur, papandayan dan cikuray. Tapi hingga setengah tahun berlalu, belum satu pun dari trio itu yang saya daki. Akhirnya menjelang bulan puasa, saya mengakali agar setidaknya saya tetap naik gunung. Naik bukit lah. 

Maka sehari sebelum berpuasa, saya mengunjungi tebing keraton di Bandung, Jawa Barat. Agar sensasi naik gunungnya tetap ada, saya menuju ke sana tidak dengan kendaraan. Motor yang saya tumpangi bersama ayah dari simpang dago, diparkir di gerbang masuk taman hutan raya juanda (THR Juanda). Dari sanalah kemudian kami menempuh jalan yang banyak menanjak sejauh lima kilometer dengan lari dan jalan kaki. Mulai meninggalkan gerbang THR jam setengah 6, satu setengah jam kemudian kami baru nyampe lokasi. Hahaha. Padahal kalo naik kendaraan cukup 20 menit saja waktu tempuhnya.

Di tembok ini banyak graffiti. Bandung memang kota seni 

Jalannya sepi. Mungkin karena tengah minggu juga ya. Sesekali ada motor mendahului kami, angkot carteran juga. Ada juga pesepeda dan pejalan lain yang mau ke tebing keraton juga. 

Sepanjang jalan kita akan disuguhi suasana tenteram perkebunan. Ini kebun ada setelah kita melewati warung bandrek. Warung bandrek ada titik penting dalam perjalanan kita ke Tebing Keraton, karena ini tempat peristirahatan yang lokasinya sekitar 1,8 km dari garis finish. Warung ini berupa warung sederhana berbahan dominan kayu. Awalnya saya nggak tahu bahwa nama tempat itu warung bandrek. Saya tahunya pas lagi ngobrol bebas sama seorang penjaga parkir motor pas mau pulang. Padahal saya dan bapak dua kali istirahat di sana, dan sempat nyobain bandreknya yang memang enak. Bandrek yang hangat pedas dan menyegarkan itu diberi serutan kelapa dan kolang kaling.

Motif penanaman di kebun membuat lahan pertanian terlihat seperti kue lapis.

Inilah suasana perkampungan yang saya lewati.

Tanpa masuk ke area berbayar di kawasan hutan lindung, kita pun bisa menikmati pemandangan indah yang juga disajikan dari tebing keraton.

Setelah membayar uang masuk Rp 11.000,- kita bisa masuk kawasan tebing keraton. Harga yang sama juga perlu kamu keluarkan kalau masuk kawsan THR Juanda. Tapi kalau udah bayar di salah satunya, gak perlu keluarkan uang dua kali, karena keduanya ada dalam satu pengelolaan yang sama. Jalan menuju tebing keraton dari pintu masuk ya sebagus ini: ada penunjuk jalannya. Kita paling Cuma jalan kaki sekitar puluhan atau seratusan meter.

Tebing keraton adalah sebuah bagian tebing yang menjorok. Dari sana terlihat pemandangan hutan dan pegunungan, lengkap dengan kabut yang masih melapisi mereka. Ada sebuah papan berisi tulisan isinya bahwa nama asli tebing keraton adalah cadas jontor. Cadas dalam basa sunda berarti tebing, jontor maksudnya menjorok. Ada pagar pembatas di tepian tebing, tapi gak sedikit juga yang nekat melewati pagar itu, dan berfoto di atas batu yang langsung berbatasan dengan jurang dalam. Saya sih sarankan kalian jangan ikuti gaya konyol ala foto di atas. Kan gak lucu kalo ada berita “seorang pengunjung tebing keraton meninggal karena jatuh ke jurang demi sefie”.

Sejauh mata memandang, hamparan pegunungan berbalut kabut terlihat indah *tsah
Ada sebuah tempat di bagian lain tebing keraton yang lebih sepi. Kalau mau ke sana, kamu tinggal ikuti jalur yang belum dipasangi batu pemandu arah. Dari sana kamu bisa lihat pemandangan ke arah cadas jontor. Membaca sambil mandi cahaya matahari dengan bersandar ke sebuah pohon pasti rasanya menenangkan. Tinggalkan dulu lagu-lagu di ponsel yang kamu bawa, biarkan suara burung mengiringi suasana hangat itu.

Ayah saya usianya dua kali usianya saya, maka wajar kalau beliau tak bisa berlari di jalan menanjak. Apalagi beliau masih aktif merokok. Tapi udah bisa jalan jauh begini pun udah luar biasa. Dan ini bukan kali pertama. Kami (bersama adik saya juga, mama lebih gak kuat jalan jauh. Hehe) beberapa kali jalan-jalan ke gunung di sekitar rumah, dan bapak masih kuat.

Ketika melewati perumahan warga, mereka sedang nyekar. Nyekar atau berziarah kubur adalah salah satu tradisi orang sunda sebelum melaksanakan puasa di bulan ramadhan

Di perjalanan kami juga bertemu dua orang anak ini. Mereka bermain badminton di jalan. Ketika kami lewat, seorang di antara mereka menyemangati. 
Pulangnya kami menumpang sebuah truk pasir. Mereka nggak mau menerima ketika bapak saya ngasih uang honor tumpangan.

Bonus: pemandangan asri yang kalau kita lihat dan rasakan langsung berlipat-lipat kali lebih indah



Kamis, 18 Juni 2015

Identitas Metal di Jari Telunjuk (Bagian 3): Senjakala Metal Beragama

Foto ini sebenarnya disiapkan buat dikirim ke Irfan Sembiring vokalis Rotor, pionner band metal di Indonesia. Irfan tadinya mau jadi narasumber saya juga, tapi dia menolak. "Gpp, gak mau aja", katanya ketika saya tanya kenapa. Kisah Irfan dan Rotor menarik dibahas karena ia mengubah haluan musik Rotor jadi agamis. Tapi, di sebuah tweet yang diposting seseorang entah siapa, Irfan tidak mendaklarasikan diri sebagai bagian dari one finger movement.

One Finger Movement bakal bubar! Itu angle yang akhirnya saya bahas di liputan program 360 Metro TV yang tayang tanggal 20 Juni nanti. Angle itu sebenarnya baru saya sadari setelah wawancara Ombat. Di sebuah sesi tanya jawab, dia mengakui bahwa ada opsi bubar buat Tengkorak, band pioneer One Finger Movement. Alasannya, karena music bukan nomor satu. Tengkorak, kata Ombat, nggak mau malah menghambat pengabdian mereka kepada Allah SWT. 

Indikasi melemahnya gerakan yang diinisiasi sejak 2010 itu, juga terlihat dari hengkangnya vokalis Purgatory dari band metal syiar itu. Amor alias Madmor sang vokalis keluar tahun 2011. Bukan hanya keluar dari band yang ia tempati sejak 2003, Amor juga berhenti main music. Ia mengharamkan music. Amor merujuk ke sebuah hadist yang intinya adalah bahwa rasul tidak pernah menggunakan music sebagai media dakwah, apalagi bermain music yang bukan dakwah. Lalu kalau Amor berhenti bermusik dan Tengkorak terancam bubar kemudian event bertajuk utama One Finger Movement jarang banget ada, bagaimana kelanjutan dakwah di kalangan pecinta music metal? Tonton saja hasil liputan saya nanti ya. Hari Sabtu tanggal 20 Juni jam 21.00 WIB di Metro TV.

Rabu, 10 Juni 2015

Identitas Metal di Jari Telunjuk (Bagian 2): Lobi Narasumber



Sekarang saya mau cerita tentang bagaimana akhirnya saya dapat menembus dua narasumber utama di liputan tentang metal islami, terutama Amor. Eh tunggu, saya bahkan akan bercerita sejak lebih awal lagi. Sejak bagaimana ide liputan ini muncul. Jadi awalnya saat itu tanggal 23 April 2015 hari Kamis. Bang Andre, teman kantor saya kasih kabar bahwa ada diskusi berjudul Fundamentalisme Agama Dalam Musik Indonesia. TOR pun disusun agar topic itu bisa jadi garapan saya. Izin liputan akhirnya dikantongi (karena saya sebenarnya sudah tidak bertugas utama liputan, jadi harus minta izin eksekutif produser buat meninggalkan kantor di jam kerja demi liputan). Eksekutif produser saya menilai topic ini cocok untuk program dialog Sudut Pandang atau program documenter 360. Tepat sekali, karena memang sebelumnya saya usulkan liputan ini buat 360. Hehe. Lead producer di program itu malah menyarankan saya datang ke diskusi itu bersama tim liputan, langsung ambil gambar. Padahal niat awalnya diskusi itu saya jadikan bekal dulu buat mematangkan konsep dan memetakan narasumber.

Jumat itu pun kami akhirnya tiba di Ciputat, di ruang diskusi yang ada di sebuah kompleks lapangan futsal. Rupanya diskusi ini dihelat oleh sekelompok warga sekitar Ciputat, Tangerang–Banten. Mereka rutin menggelar diskusi. Keren juga. Malam itu narasumbernya Wendi Putranto. Wendi ternyata membawa seorang temannya yang bernama Yuka. Yuka adalah seorang mahasiswa yang sedang merampungkan studi masternya tentang (mungkin saya salah) gejala sosial merebaknya islam radikal. Di majalah Rolling Stone yang di suatu edisi fokus membahas musik dan agama, Yuka juga menyumbangkan tulisan panjang. Di edisi berikutnya pujian untuk tulisan itu bermunculan dalam rubrik surat pembaca. Saya menyimpulkan tulisan panjang yang rumit itu intinya berisi analisa Yuka bahwa ada kekuatan besar yang menyasar kalangan musisi indie untuk keluar dari bidang yang semula mereka geluti. “Lalu kenapa yang disasar kalangan musisi indie? Karena mereka punya massa”, demikian seingat saya salah satu kalimat di dalamnya tertulis.


Benarkah demikian? Sayangnya semua orang di ruang diskusi malam itu cuma bisa menebak-nebak dan menganalisa (beberapa analisa disampaikan dengan bahasa akademis yang belum tentu semua orang mengerti, termasuk saya. Hehe). Narasumber utama tidak hadir (atau dihadirkan). Paling tidak seorang musisi yang hijrah diundang lah, pasti akan seru. Tapi mungkin memang karena mereka nggak mau datang aja. Soalnya ketika saya melanjutkan pembahasan ini ke dalam rangkaian proses peliputan, kesulitan serupa sempat saya hadapi.

Adalah sebuah majelis taklim bernama The Strangers Al Ghuroba. Isinya musisi-musisi yang berhenti bermusik demi mendalami agama. Ada Fani Innocenti, Amor Purgatory, Alfi The Upstairs, Benny The Upstairs, dan lain-lain. Ketika saya cari di internet, ada pengajian yang digelar dalam waktu dekat. Ketika saya hubungi kontak di e-poster itu, saya baru sadar bahwa itu materi promosi tahun lalu. Hahahahaha. Sebenarnya emang ditulis tahun 2014 sih di sana, tapi kok saya malah baru sadar ini tahun 2015 setelah ngontak nomor HP di sana. Mungkin ini implikasi sifat manusia yang percaya apa yang ingin mereka percaya. We believe what we want to believe. Entahlah (nyari pembenaran padahal jelas-jelas ga teliti. Haha). Intinya, meski batal meliput kajian bertajuk “Semua Suka Musik?” itu (yaiyalah acaranya udah lewat. Hahaha), silaturahmi antara saya dan panitia acara itu, tetap terjalin. 

Nama panggilannya Fani. Kami berbicara lewat telepon setelah saya utarakan maksud untuk membuat kisah tentang musisi-musisi indie yang hijrah. Rupanya usulan saya ditolak. Pasalnya, kerangka peliputan pertama serupa dengan pengemasan kisah yang ditampilkan sebuah majalah music. Alfi dan Benny keberatan dengan tulisan itu karena merasa kurang diberi ruang jawab. Mereka juga sepertinya tidak mau pembahasan tentang pilihannya meninggalkan musik diperpanjang. Tapi, Fani memberi kesempatan untuk saya berikan rencana kedua. Rencana kedua itulah yang kini akhirnya dijalankan, dengan narasumber Amor eks vokalis Purgatory. 

Jadi, apakah benar ada kekuatan besar yang terorganisasi untuk mencabut para musisi indie dari dunia yang mereka besarkan dan membesarkan mereka? Kalau menurut kesimpulan saya sih, sepertinya tidak. Kekuatan besar yang dimaksud ya rahmat tuhan, hidayah. Atau bahasa umumnya inspirasi. Fani yang pernah bergabung di band Innocenti, mengaku sebuah kecelakaan menjadi titik balik kehidupannya. Ia mengaku kepada saya, dulu sempat merasa akan hidup untuk musik. Tapi ya itu tadi, ada suatu hari yang mengubah semuanya. Contoh lain, Amor. Ia mengaku banting setir setelah ia mengetahui bahwa rasul tidak memainkan musik. Sudah, itu saja. Demikian pula dengan Ombat dan bandnya Tengkorak. “Dulu gua bikin tulisan Tengkorak pake air kencing”, kenangnya tentang Tengkorak di masa lalu. Lalu di sebuah bazaar buku, ia berdiskusi dengan sebuah kelompok nasyid. Dari sanalah keputusan Ombat menyisipkan nilai Islam ke dalam Tengkorak bermula. Meski tak secara eksplisit memasukkan nilai agamis dalam lirik, Ombat selalu menyuarakan hal-hal islami dari atas panggung. Lirik-lirik Tengkorak tetap berisi protes. “Kami benci diatur”, katanya meyakinkan. Makanya rilis album pun tak benar-benar mereka atur harus terbit secara berkala. Terakhir kali Tengkorak rilis album tahun 2008. Meski tetap manggung, (terakhir kali di Jakcloth), Ombat tetap membuka kemungkinan untuk Tengkorak membubarkan diri. “Jangan terlalu cinta sekali dengan apa yang kita miliki di dunia ini. Karena yang harus kita cintai itu ya Allah. intinya itu”, katanya menyimpulkan. []

Rabu, 03 Juni 2015

Identitas Metal di Jari Telunjuk (Bagian 1): Nonton Tengkorak



“Ada anak gue,” ujar Ombat berjinjit meninggalkan gerai penjualan tiket. Pria berkepala pelontos itu menghandari anaknya Sofia yang berumur tiga tahun. Ombat khawatir Sofia tak mengizinkannya tampil. Padahal malam itu ia akan unjung gigi bersama bandnya Tengkorak. “Gue pernah nyanyi sambil gini”, ujar vokalis itu sambil memperagakan pose menggendong si kecil Sofia.


Malam itu saya sedang dalam tugas peliputan untuk program 360 tentang metal satu jari. Metal satu jari adalah sebuah ideologi yang dicetuskan Ombat dan bandnya pada 2010. Metal jenis ini menolak bentuk jamak simbol metal dengan acungan dua jari: telunjuk dan kelingking. Kata Ombat, itu lambang setan, dan acungan satu jari adalah perlawanan budaya. Ombat kemudian lebih dikenal dengan buah pemikiran bernama One Finger Movement.


Sebelum Tengkorak tampil, saya sempat diajak Ombat jalan-jalan ke sejumlah gerai pakaian di festival fesyen. Sebuah merk ia perkenalkan sebagai prakarsanya. Merk lain ia tunjukkan sebagai wahana untuk menebar nilai agamis yang ia yakini. Metal satu jari, juga mewujud dalam rupa busana. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam penyelenggaraan Jakcloth kali ini, One Finger Movement tak menyediakan merchandise khusus. Jakcloth adalah bazaar pakaian yang dilengkapi sejumlah panggung yang menampilkan performa sejumlah band. Ombat adalah otak dibalik gelaran yang mampu mendatangkan ratusan ribu orang dalam lima hari pelaksanaan itu. Selain menjabat dirut perusahaan pengelola festival itu, Ombat juga seorang pengajar. Ia juga sedang menyelesaikan studi S3-nya. Selain itu ayah tiga anak itu juga menjadi guru sebuah bela diri yang mengandalkan olah nafas. Karena kesibukannya yang banyak itu, Ombat juga diliput oleh Yanka, reporter Metro TV yang lain untuk program khusus ramadhan. “Itu cewek gue”, katanya bercanda ketika menceritakan peliputan Yanka. Dan bodohnya, saya sempat percaya. Haha.


Panggung tinggi


Tengkorak akhirnya dipanggil ke atas panggung. Mereka berdiri di atas sebuah bangunan setinggi sekitar tiga meter. Ya, setinggi itulah panggung yang mereka gunakan. Memang sejatinya itu bukan panggung, tapi bangku penonton. Rupa bangunan itu setengah jadi. Tadinya di arena itu panggungnya akan dibuat selevel dengan penonton, tapi nampaknya itu jadi keunikan tersendiri. Panitia Jakcloth memanfaatkan keterbatasan yang mereka dapat karena tidak lagi menggelar pertunjukan di tempat biasa. Parkir timur (parkit) kawasan gelora bung karno senayan Jakarta tidak diizinkan digunakan untuk Jakcloth. “Buat kantong parkir”, kata Ombat menirukan alasan panitia. Ternyata ketika Jakcloth dihelat, parkit digunakan untuk acara bazaar yang diprakarsai pemda DKI Jakarta. Orang-orang menyebut acara itu Pekan Raya Jakarta (PRJ) tandingan, karena digelar ketika PRJ berlangsung di kemayoran dan mulai berlangsung sejak gubernur Ahok menilai PRJ yang digelar pihak swasta itu kurang merakyat. Oke, jadi di sanalah saya kala itu, parkir barat senayan menonton Tengkorak.

Band bentukan tahun 1993 itu kemudian mulai tampil. Sebenarnya Tengkorak terbentuk tahun 1990. Kala itu namanya Skull. Tapi MC sering salah menyebut itu sehingga terdengar bahwa nama band grindcore itu “School”. Maka tiga tahun kemudian bersalin namalah band beranggota lima orang itu. Saya sempat berniat menyimpan setlist lagu mereka, tapi sayang lupa. Hehe. Jadi ada tiga tempat yang saya jadikan lokasi untuk menikmati penampilan Tengkorak. Pertama menonton dari bangunan di seberang panggung sehingga pandangan saya sejajar dan tak perlu mendongak, kedua nonton dari belakang panggung, dan ketiga dari bawah panggung, di arena moshing atau mosh pit, tempat penonton berdansa pogo liar. Tengkorak tampil brilian. Ombat begitu fasih merajut kata per kata pengantar lagu satu ke lagu lain. Paparannya pun polos dan apa adanya. Maksud saya, ia tak mengesankan diri untuk menjadi seram atau menakutkan sebagaimana imaji musik sangar pada umumnya. Ombat bahkan sangat humoris. Saya sempat terpingkal-pingkal ketika ia menirukan suara Wiranto ketika berpidato tentang netralitas TNI pada transisi masa reformasi. Atau ketika ia bilang tak perlu narkoba agar suara seorang vokalis band cadas segarang yang ia punya. Katanya makan jengkol aja. Kelakar Ombat disambut ledekan gitarisnya yang juga terpancing dengan sindiran komikal si vokalis. 

Ketika beranjak dari satu lokasi menonton, saya dengar Ombat merapalkan kalimat hujatan. Ia mengkritik sifat pemimpin yang buruk. Kata yang harusnya disensor pun malah lantang ia muntahkan. Padahal sebelum Tengkorak manggung, Ombat sempat mengaku sedih saat menceritakan terakhir kali ia tampil di sebuah kota di Jawa Timur. Katanya ia iba ketika melihat ada penontonya yang masih anak-anak. Ia merasa tak tega melihat mereka harus mendengar kritikan tajam Ombat yang memang kelas pendengarnya bukan untuk anak-anak. Tapi malam itu, toh Ombat berani mengeluarkan kritikan pedas serupa, meski pun ada anak istrinya di sana. Ketika saya menonton dari atas panggung, istri ombat duduk bersama tiga anaknya. Sesekali tubuh istrinya bergoyang mengikuti hentakan musik band suaminya. Si kecil Sofia juga ada di sana, di pangkuan ibunya. Lagu demi lagu pun tandas dibawakan. Penampilan Tengkorak sekaligus mengakhiri rangkaian penampilan pemusik panggung Heyho di Jakcloth hari itu. Setelah mewawancarai sekelompok pemuda penyuka metal satu jari, saya pun pamit ke Ombat dan menjanjikan mewawancarainya lagi pada kesempatan lain. []