Rabu, 10 Juni 2015

Identitas Metal di Jari Telunjuk (Bagian 2): Lobi Narasumber



Sekarang saya mau cerita tentang bagaimana akhirnya saya dapat menembus dua narasumber utama di liputan tentang metal islami, terutama Amor. Eh tunggu, saya bahkan akan bercerita sejak lebih awal lagi. Sejak bagaimana ide liputan ini muncul. Jadi awalnya saat itu tanggal 23 April 2015 hari Kamis. Bang Andre, teman kantor saya kasih kabar bahwa ada diskusi berjudul Fundamentalisme Agama Dalam Musik Indonesia. TOR pun disusun agar topic itu bisa jadi garapan saya. Izin liputan akhirnya dikantongi (karena saya sebenarnya sudah tidak bertugas utama liputan, jadi harus minta izin eksekutif produser buat meninggalkan kantor di jam kerja demi liputan). Eksekutif produser saya menilai topic ini cocok untuk program dialog Sudut Pandang atau program documenter 360. Tepat sekali, karena memang sebelumnya saya usulkan liputan ini buat 360. Hehe. Lead producer di program itu malah menyarankan saya datang ke diskusi itu bersama tim liputan, langsung ambil gambar. Padahal niat awalnya diskusi itu saya jadikan bekal dulu buat mematangkan konsep dan memetakan narasumber.

Jumat itu pun kami akhirnya tiba di Ciputat, di ruang diskusi yang ada di sebuah kompleks lapangan futsal. Rupanya diskusi ini dihelat oleh sekelompok warga sekitar Ciputat, Tangerang–Banten. Mereka rutin menggelar diskusi. Keren juga. Malam itu narasumbernya Wendi Putranto. Wendi ternyata membawa seorang temannya yang bernama Yuka. Yuka adalah seorang mahasiswa yang sedang merampungkan studi masternya tentang (mungkin saya salah) gejala sosial merebaknya islam radikal. Di majalah Rolling Stone yang di suatu edisi fokus membahas musik dan agama, Yuka juga menyumbangkan tulisan panjang. Di edisi berikutnya pujian untuk tulisan itu bermunculan dalam rubrik surat pembaca. Saya menyimpulkan tulisan panjang yang rumit itu intinya berisi analisa Yuka bahwa ada kekuatan besar yang menyasar kalangan musisi indie untuk keluar dari bidang yang semula mereka geluti. “Lalu kenapa yang disasar kalangan musisi indie? Karena mereka punya massa”, demikian seingat saya salah satu kalimat di dalamnya tertulis.


Benarkah demikian? Sayangnya semua orang di ruang diskusi malam itu cuma bisa menebak-nebak dan menganalisa (beberapa analisa disampaikan dengan bahasa akademis yang belum tentu semua orang mengerti, termasuk saya. Hehe). Narasumber utama tidak hadir (atau dihadirkan). Paling tidak seorang musisi yang hijrah diundang lah, pasti akan seru. Tapi mungkin memang karena mereka nggak mau datang aja. Soalnya ketika saya melanjutkan pembahasan ini ke dalam rangkaian proses peliputan, kesulitan serupa sempat saya hadapi.

Adalah sebuah majelis taklim bernama The Strangers Al Ghuroba. Isinya musisi-musisi yang berhenti bermusik demi mendalami agama. Ada Fani Innocenti, Amor Purgatory, Alfi The Upstairs, Benny The Upstairs, dan lain-lain. Ketika saya cari di internet, ada pengajian yang digelar dalam waktu dekat. Ketika saya hubungi kontak di e-poster itu, saya baru sadar bahwa itu materi promosi tahun lalu. Hahahahaha. Sebenarnya emang ditulis tahun 2014 sih di sana, tapi kok saya malah baru sadar ini tahun 2015 setelah ngontak nomor HP di sana. Mungkin ini implikasi sifat manusia yang percaya apa yang ingin mereka percaya. We believe what we want to believe. Entahlah (nyari pembenaran padahal jelas-jelas ga teliti. Haha). Intinya, meski batal meliput kajian bertajuk “Semua Suka Musik?” itu (yaiyalah acaranya udah lewat. Hahaha), silaturahmi antara saya dan panitia acara itu, tetap terjalin. 

Nama panggilannya Fani. Kami berbicara lewat telepon setelah saya utarakan maksud untuk membuat kisah tentang musisi-musisi indie yang hijrah. Rupanya usulan saya ditolak. Pasalnya, kerangka peliputan pertama serupa dengan pengemasan kisah yang ditampilkan sebuah majalah music. Alfi dan Benny keberatan dengan tulisan itu karena merasa kurang diberi ruang jawab. Mereka juga sepertinya tidak mau pembahasan tentang pilihannya meninggalkan musik diperpanjang. Tapi, Fani memberi kesempatan untuk saya berikan rencana kedua. Rencana kedua itulah yang kini akhirnya dijalankan, dengan narasumber Amor eks vokalis Purgatory. 

Jadi, apakah benar ada kekuatan besar yang terorganisasi untuk mencabut para musisi indie dari dunia yang mereka besarkan dan membesarkan mereka? Kalau menurut kesimpulan saya sih, sepertinya tidak. Kekuatan besar yang dimaksud ya rahmat tuhan, hidayah. Atau bahasa umumnya inspirasi. Fani yang pernah bergabung di band Innocenti, mengaku sebuah kecelakaan menjadi titik balik kehidupannya. Ia mengaku kepada saya, dulu sempat merasa akan hidup untuk musik. Tapi ya itu tadi, ada suatu hari yang mengubah semuanya. Contoh lain, Amor. Ia mengaku banting setir setelah ia mengetahui bahwa rasul tidak memainkan musik. Sudah, itu saja. Demikian pula dengan Ombat dan bandnya Tengkorak. “Dulu gua bikin tulisan Tengkorak pake air kencing”, kenangnya tentang Tengkorak di masa lalu. Lalu di sebuah bazaar buku, ia berdiskusi dengan sebuah kelompok nasyid. Dari sanalah keputusan Ombat menyisipkan nilai Islam ke dalam Tengkorak bermula. Meski tak secara eksplisit memasukkan nilai agamis dalam lirik, Ombat selalu menyuarakan hal-hal islami dari atas panggung. Lirik-lirik Tengkorak tetap berisi protes. “Kami benci diatur”, katanya meyakinkan. Makanya rilis album pun tak benar-benar mereka atur harus terbit secara berkala. Terakhir kali Tengkorak rilis album tahun 2008. Meski tetap manggung, (terakhir kali di Jakcloth), Ombat tetap membuka kemungkinan untuk Tengkorak membubarkan diri. “Jangan terlalu cinta sekali dengan apa yang kita miliki di dunia ini. Karena yang harus kita cintai itu ya Allah. intinya itu”, katanya menyimpulkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar