“Ada anak gue,” ujar Ombat berjinjit meninggalkan gerai penjualan tiket. Pria berkepala pelontos itu menghandari anaknya Sofia yang berumur tiga tahun. Ombat khawatir Sofia tak mengizinkannya tampil. Padahal malam itu ia akan unjung gigi bersama bandnya Tengkorak. “Gue pernah nyanyi sambil gini”, ujar vokalis itu sambil memperagakan pose menggendong si kecil Sofia.
Malam itu saya sedang dalam tugas peliputan untuk program 360 tentang metal satu jari. Metal satu jari adalah sebuah ideologi yang dicetuskan Ombat dan bandnya pada 2010. Metal jenis ini menolak bentuk jamak simbol metal dengan acungan dua jari: telunjuk dan kelingking. Kata Ombat, itu lambang setan, dan acungan satu jari adalah perlawanan budaya. Ombat kemudian lebih dikenal dengan buah pemikiran bernama One Finger Movement.
Sebelum Tengkorak tampil, saya sempat diajak Ombat jalan-jalan ke sejumlah gerai pakaian di festival fesyen. Sebuah merk ia perkenalkan sebagai prakarsanya. Merk lain ia tunjukkan sebagai wahana untuk menebar nilai agamis yang ia yakini. Metal satu jari, juga mewujud dalam rupa busana. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam penyelenggaraan Jakcloth kali ini, One Finger Movement tak menyediakan merchandise khusus. Jakcloth adalah bazaar pakaian yang dilengkapi sejumlah panggung yang menampilkan performa sejumlah band. Ombat adalah otak dibalik gelaran yang mampu mendatangkan ratusan ribu orang dalam lima hari pelaksanaan itu. Selain menjabat dirut perusahaan pengelola festival itu, Ombat juga seorang pengajar. Ia juga sedang menyelesaikan studi S3-nya. Selain itu ayah tiga anak itu juga menjadi guru sebuah bela diri yang mengandalkan olah nafas. Karena kesibukannya yang banyak itu, Ombat juga diliput oleh Yanka, reporter Metro TV yang lain untuk program khusus ramadhan. “Itu cewek gue”, katanya bercanda ketika menceritakan peliputan Yanka. Dan bodohnya, saya sempat percaya. Haha.
Panggung tinggi |
Tengkorak akhirnya dipanggil ke atas panggung. Mereka berdiri di atas sebuah bangunan setinggi sekitar tiga meter. Ya, setinggi itulah panggung yang mereka gunakan. Memang sejatinya itu bukan panggung, tapi bangku penonton. Rupa bangunan itu setengah jadi. Tadinya di arena itu panggungnya akan dibuat selevel dengan penonton, tapi nampaknya itu jadi keunikan tersendiri. Panitia Jakcloth memanfaatkan keterbatasan yang mereka dapat karena tidak lagi menggelar pertunjukan di tempat biasa. Parkir timur (parkit) kawasan gelora bung karno senayan Jakarta tidak diizinkan digunakan untuk Jakcloth. “Buat kantong parkir”, kata Ombat menirukan alasan panitia. Ternyata ketika Jakcloth dihelat, parkit digunakan untuk acara bazaar yang diprakarsai pemda DKI Jakarta. Orang-orang menyebut acara itu Pekan Raya Jakarta (PRJ) tandingan, karena digelar ketika PRJ berlangsung di kemayoran dan mulai berlangsung sejak gubernur Ahok menilai PRJ yang digelar pihak swasta itu kurang merakyat. Oke, jadi di sanalah saya kala itu, parkir barat senayan menonton Tengkorak.
Band bentukan tahun 1993 itu kemudian mulai tampil. Sebenarnya Tengkorak terbentuk tahun 1990. Kala itu namanya Skull. Tapi MC sering salah menyebut itu sehingga terdengar bahwa nama band grindcore itu “School”. Maka tiga tahun kemudian bersalin namalah band beranggota lima orang itu. Saya sempat berniat menyimpan setlist lagu mereka, tapi sayang lupa. Hehe. Jadi ada tiga tempat yang saya jadikan lokasi untuk menikmati penampilan Tengkorak. Pertama menonton dari bangunan di seberang panggung sehingga pandangan saya sejajar dan tak perlu mendongak, kedua nonton dari belakang panggung, dan ketiga dari bawah panggung, di arena moshing atau mosh pit, tempat penonton berdansa pogo liar. Tengkorak tampil brilian. Ombat begitu fasih merajut kata per kata pengantar lagu satu ke lagu lain. Paparannya pun polos dan apa adanya. Maksud saya, ia tak mengesankan diri untuk menjadi seram atau menakutkan sebagaimana imaji musik sangar pada umumnya. Ombat bahkan sangat humoris. Saya sempat terpingkal-pingkal ketika ia menirukan suara Wiranto ketika berpidato tentang netralitas TNI pada transisi masa reformasi. Atau ketika ia bilang tak perlu narkoba agar suara seorang vokalis band cadas segarang yang ia punya. Katanya makan jengkol aja. Kelakar Ombat disambut ledekan gitarisnya yang juga terpancing dengan sindiran komikal si vokalis.
Ketika beranjak dari satu lokasi menonton, saya dengar Ombat merapalkan kalimat hujatan. Ia mengkritik sifat pemimpin yang buruk. Kata yang harusnya disensor pun malah lantang ia muntahkan. Padahal sebelum Tengkorak manggung, Ombat sempat mengaku sedih saat menceritakan terakhir kali ia tampil di sebuah kota di Jawa Timur. Katanya ia iba ketika melihat ada penontonya yang masih anak-anak. Ia merasa tak tega melihat mereka harus mendengar kritikan tajam Ombat yang memang kelas pendengarnya bukan untuk anak-anak. Tapi malam itu, toh Ombat berani mengeluarkan kritikan pedas serupa, meski pun ada anak istrinya di sana. Ketika saya menonton dari atas panggung, istri ombat duduk bersama tiga anaknya. Sesekali tubuh istrinya bergoyang mengikuti hentakan musik band suaminya. Si kecil Sofia juga ada di sana, di pangkuan ibunya. Lagu demi lagu pun tandas dibawakan. Penampilan Tengkorak sekaligus mengakhiri rangkaian penampilan pemusik panggung Heyho di Jakcloth hari itu. Setelah mewawancarai sekelompok pemuda penyuka metal satu jari, saya pun pamit ke Ombat dan menjanjikan mewawancarainya lagi pada kesempatan lain. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar