Bayangan Sari menyanyi |
Kamis lalu, saya memaksakan diri hadir ke diskusi #musiktempo. Bagi saya, nggak gampang buat ikut acara itu, karena jam kerja saya di Kedoya Jakarta Barat nggak seperti kebanyakan orang kantoran. Saya masuk baru pulang kerja jam 21.05. Sementara acara diskusi bulanan ini mulainya jam 19.00 di Kemang Jakarta Selatan. Akhirnya setelah beresin tugas mengisi berita untuk headline news, saya pulang duluan. Maksudnya buat ke diskusi itu.
Malam itu temanya tentang bagaimana membuat musik kita dikenal dunia internasional. Narasumbernya adalah band White Shoes and The Couples Company (WSATCC), lengkap dengan sang manager: Indra Ameng. Dipandu Robin Malau, diskusi berlangsung menarik. Ada beberapa fakta menarik yang saya dapatkan, meskipun nggak semuanya karena saya telat datang satu jam. Ameng memaparkan rahasia di balik band asuhannya yang sukses bermain di berbagai festival luar negeri. Ia kisahkan bagaimana mereka harus ngutang agar bekal tampil di festival luar negeri ada. Mereka juga perlu menyusun siasat agar penampilan mereka mendapat respon maksimal. Misalnya ketika akan tampil, Ameng sebarkan dulu pratinjau musik WSATCC ke berbagai media. Dengan demikian, ketika band kelahiran Jakarta tahun 2002 itu tampil, penontonnya banyak.
Selain diskusi dengan panduan mantan gitaris band indie legendari Puppen itu, tanya jawab dan tanggap-menanggapi dari kursi pemirsa juga ada. Dari barisan audiens, terlihat beberapa tokoh musik indie. Ada David Karto bos demajors yang juga buka lapak penjualan CD, ada Julius manager Bottlesmoker, ada juga David Tarigan, pemilik almarhum Aksara Records yang pertama kali mendistribusikan karya WSATCC. Tarigan juga membagi alasan kenapa ia tertarik untuk menjadi label rekaman band beranggota enam orang itu.
Rio Farabi, yang duduk di panggung bersama Ameng dan Malau, juga unjuk suara. Ia jawab pertanyaan yang berkaitan dengan musik WSATCC. Misalnya ketika seseorang bertanya via Twitter tentang musik apa yang berselera internasional, dan musik jenis apakah yang dimainkan WSATCC. Rio terlihat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia mengaku sering mendapat pertanyaan serupa. Rio menjawab dengan untaian kata yang saya sering dengar dari banyak musisi: "kami juga bingung musik kami ini tergolong apa". Pengakuan itu saya rasa wajar karena memang tiap band punya spesifikasi musikal yang khas dan sangat mungkin sulit dijelaskan dengan sebuah deskripsi. Secara umum, Rio menjawab bahwa musik bandnya itu adalah pop, yang juga dicampuri unsur-unsur jazz dan jenis musik lain. "Ale denger metal, Ricky dengerin musik yang aneh-aneh", demikian kira-kira Rio menggambarkan sumber kekhasan audio WSATCC. Di satu kesempatan tanya jawab, Rio juga menjelaskan tentang apakah ada rasa bosan karena bergaul dengan orang sama selama lebih dari sepuluh tahun sempat singgah. Ia mengakui hal itu, apalagi katanya mereka bersama sejak kuliah. Untungnya masing-masing orang punya pekerjaan lain. Ada yang jadi guru, ada juga ilustrator, "ada yang jadi traveller", ujar Rio sambil melirik Ricky Virgana yang kemudian diiringi tawa dan acungan dua jari tengah si bassis itu.
Diskusi malam itu ditutup dengan penampilan WSATCC yang membawakan sejumlah lagu. Saya lupa tepatnya berapa. Kalo ga salah 5 lagu dari album Menyanyikan Lagu Daerah sampai Vakansi. Usai panggung digulung, saya mencegat Ameng ketika ia melewati tempat saya duduk. Saya tanyakan sejumlah hal spesifik tentang posisinya sebagai manager. Sayangnya, sebelum saya puas bertanya, ia keburu menuju kumpulan kawanannya di bagian lain bar itu. Meskipun singkat, pembicaraan dengan Ameng itu cukup berisi untuk menambah kecakapan saya yang juga sedang belajar jadi manager sebuah band.
Manager Asphoria
Saya jadi manager Asphoria sejak awal 2012. Kala itu Asphoria baru merilis album penuh keduanya yang berjudul Eschatology. Di akhir tahun, saya juga sempat menemani mereka tampil di Kick Fest Bandung. Sayangnya, setelah itu saya tak bisa total mengelola Asphoria karena keterbatasan waktu. Akhirnya pengelolaannya diambil alih Fan. Akhir 2014, Asphoria resmi bekerja sama dengan Warner Music Indonesia. Saya kembali diajak jadi manager sampai sekarang. Asphoria saat ini sedang belajar memonetasi karya kami. Kami sedang membuka pemesanan kaos . Kaos ini didesain oleh Firsha Indhar, seorang ilustrator dari Malang. Ia terinspirasi dari lagu Living In A World Of Atrocity. Kalau kamu mau punya salah satu kaosnya, silakan pesan ke saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar