Jumat, 31 Mei 2013

Pantai Galau

Pantai atau Teluk Bobanehena sering disebut pantai galau, soalnya langit sorenya keren. Jejaru atau duta budaya Maluku Utara, Ista, cerita soal sejarah pantai ini. Katanya pantai Bobanehena ini terdiri dari dua kata, bobane dan hena. Bobane artinya pantai, hena artinya pinang. Jadi sebenarnya nama pantai ini ya pantai pinang. Nama lain pantai ini adalah pantai tanjung kenangan. Kenapa disebut demikian, karena dahulu kala di pantai ini ada sepasang kekasih yang menjalin asmara. Nah, disebut pantai galau karena warna langit senjanya yang indah, dan sering dikaitkan dengan nuansa sendu. Ga percaya kalau pemandangan disana memang bagus? Simaklah foto-foto berikut ini.












Yang terakhir ini bukan foto di Pantai Galau. Ini di halaman belakang rumah penduduk teluk jailolo. Bayangkan, halaman belakang rumahnya seluas ini, dan saat kamu mengunjungi Jailolo, bisa menginap disana dengan tarif 100 ribu per malam. Lebih menguntungkan dibanding membayar sewa hotel 250 ribu dengan visualisasi yang itu-itu aja.

Rabu, 22 Mei 2013

Halmahera Barat Pamer Pesona di Festival Teluk Jailolo 2013

Ga ada yang ragu sama kekayaan alam dan budaya Indonesia. Salah satu lumbung destinasi wisata negara kita ada di bagian timur, khususnya di Maluku Utara, spesialnya di Kabupaten Halmahera Barat. Nah, saya berkesempatan hadir di sebuah event yang memamerkan hal tadi, Festival Teluk Jailolo (FTJ) 2013. Di gelaran kelimanya ini, FTJ bikin banyak acara keren. Saking banyaknya, saya ga sempat hadir dan liput semua, padahal selama empat hari disana, dari pagi sampai malam aktivitas saya hampir ga ada jeda.


Saya datang ke Jailolo tanggal 16 pagi, setelah menempuh perjalanan udara ke Ternate dulu dari Jakarta selama empat jam. Dari Ternate, naik speed boat 45 menit ke teluk jailolo di pulau halmahera, kabupaten Halmahera Barat. Tiap tahap perjalanan benar-benar bisa dinikmati. Kalau kamu beruntung duduk di kolom kiri pesawat, tepat di dekat jendela, jangan lewatkan visualisasi gunung gamalama yang megah. Pas pesawat nukik turun, danau tolire jelas keliatan dari atas, ada dua lagi danaunya. Keren banget. Pas roda pesawat gilas runway, di kanan jalan laut, di kiri gunung. Lanjut di speed boat menuju Jailolo, kita bisa lihat pulau-pulau di laut utara Maluku. Ternate, Tidore, Maitara, jelas terlihat berjejer. Tidore sama Maitara itu dua pulau berdampingan yang digambar di uang lembar seribuan.


Nyampe di daratan Jailolo, acara udah rame, meskipun FTJ belum dibuka. Saya menemui tuan rumah dulu, bupati Halbar Pak Namto Hui Roba. Beliau orangnya supel, humoris juga. Mau ngomong pake bahasa jawa bisa, istrinya orang Jogja. Mau ngomong bahasa sunda boleh, beliau pernah kuliah di Bogor. Hobi bupati satu ini nyelam. Bukan nyelam sih. Beliau ngaku hobinya jadi bupati, profesi aslinya geolog. Saking sukanya Pak Namto sama selam, titik-titik selam di Halmahera Barat diberi kode nama NHR, singkatan nama bupati yang sekaligus menemukan titik-titik tadi. Ditanya apa menariknya dunia selam, menurutnya kalau menyelam itu ibarat kita lihat lukisan yang panjangnya berkilo-kilometer. Bikin ngiri pengen nyelam juga ya?


Dari rumah bupati, saya dan tim langsung liput pembukaan festival. Yang paling menarik di pembukaan ini, penampilan kelompok musik tali dua. Musiknya kayak keroncong gitu, tapi kontra bassnya unik. Senarnya cuma dua dan bukan dipetik, tapi dipukul pake kayu.



Sorenya, kami ke Desa Gamtala. Disana ada upacara adat Horom Sasadu. Upacara adat makan di rumah adat yang namanya sasadu. Sekitar jam 11 malam saya pulang ke penginapan. Acara sebenarnya belum selesai, karena berlangsung semalam suntuk.


Selama di Jailolo, emang paling enak itu tinggal di homestay, alih-alih hotel. Di hotel bayar 250 ribuan dapet tidur doang. Di homestay atau numpang di rumah warga, 100 ribu bisa dapet juga ngobrol-ngobrol sama orang sana. Selain itu, di Jailolo juga ada alat transportasi unik, bentor namanya. Bentor ini sebenarnya motor, tapi dimodifikasi jadi becak. Bukan becak sembarang becak. Bentor ini biasanya dilengkapi sound system. Jadi kalau jalan, musik house mix koplo itu justru bumbu yang bikin naik bentor jadi makin berkesan. Di Jailolo, orang-orang juga suka nari poco-poco. Saya aja kebawa suka nari, enak banget nari pake musik sana, meskipun jogetnya ngasal. Hahahaha


Hari kedua kami memburu sunrise di bukit senyum lima ribu. Sayangnya tempat itu ternyata menghadap barat, jadi kami salah alamat, matahari malah terbit dari balik bukit di belakang sana. Haha. Dari bukit itu, perjalanan berlanjut ke Pulau Buabua, saya snorkling disana. Siangnya, setelah jumatan yang kalau disana dimulai jam 1 siang waktu setempat, kami liput persiapan drama musikal Sasado On The Sea. Tadinya sore itu mau jalan-jalan ke hutan bakau, tapi ga jadi. diganti ke pantai galau. Malamnya, lihat gladiresik Sasado On The Sea.


Hari Sabtu, kami mulai dengan ikut parade gerobak sapi. Disini celana saya kena kotoran sapi. Padahal itu celana panjang satu-satunya yang dibawa. Celana satu lagi sobek di bagian selangkangan pas mau naik mobil. Hahahaha. Setelah gerobak sapi, kami mampir ke pesta kuliner. Disana ga bisa lama soalnya ditunggu wartawan lain buat jalan-jalan ke hutan bakau. Hutan bakau ini lokasinya di Desa Wisata Gamtala, desa yang juga jadi tuan rumah ritual horom sasadu. Tempatnya keren banget, airnya jernih dan hangat karena pengaruh gunung tugu aer. Dekat ke muara, air jadi dingin, dan di ujung perjalanan kami tiba di delta lako akelamo. Sebuah delta atau endapan sungai di muara yang ga tiap waktu ada. Iya, kalau musim angin barat tanah itu jadi laut semua. Wartawan lain lanjut renang ke pantai susupu, tim saya balik ke Jailolo, ada janji wawancara narsum soalnya. Katanya sih pantai susupu keren banget. Mereka sampe renang-renang disana, ada yang kena sunburn juga.


Malam minggu, puncak festival jailolo digelar di panggung utama yang diatas laut itu. Ada dua pertunjukan utama, sasado on the sea dan konser band Noah. Dua-duanya keren, terutama yang pertama sih, epik banget, dalem. Penutupan itu pun berakhir sekitar jam 2 dini hari.


Minggu pagi, rencananya saya mau liput danau tolire yang sejak kunjungan pertama ke ternate belum sempat diliput juga. Tapi rupanya kami belum jodoh. Suatu hari saya harus balik lagi kesana. Maluku Utara rasanya udah jadi rumah kedua. Nyaman ditempati, dan orang-orangnya ramah. Sampai jumpa lagi nanti, Moloku Kie Raha.


* Foto karya Vitalis Yogi Trisna berlabel Kompas Images dipinjam dari kompas.com 
** Foto saya berpose sendirian dijepret Narendra Wisnu

Dua Menu Utama Upacara Adat Horom Sasadu


Ada beberapa suku bangsa yang tinggal di Halmahera Barat, salah satunya suku Sahu. Suku ini tinggal di 3 kecamatan, Kecamatan Jailolo, Sahu dan Sahu Timur. Mereka punya tradisi unik yang namanya Horom Sasadu. Tradisi ini dilakukan dengan menggelar makan bersama yang diikuti seluruh penduduk desa. Kalau ada warga yang ga ikut, harus bayar dendan, traktir semeja di upacara berikutnya. Upacara ini langka karena hanya 2 kali digelar selama setahun, pas mau tanam padi sama pas mau panen. Ritual makan bersama ini digelar di rumah adat bernama Sasadu. Biasanya menurut salah satu tokoh adat, lama upacara ini dulu 9 malam, tapi sekarang semalam aja. Sebelum acara dimulai di malam hari, sorenya ada ritual pembangunan atap sasadu yang diwarnai beberapa tarian. Jumlah lapis atap sasadu menggambarkan lamanya upacara. Kalau 9 hari, berarti ada 9 lapis sasadu yang dibangun.


Malamnya, tetabuhan di dalam sasadu dimainkan. Warga berdatangan. Hidangan yang sejak sore sudah dihidangkan baru disikat setelah upacara pembacaan doa dihelat. Ada dua menu utama dalam ritual ini, selain hasil bumi khas desa Gamtala. Yang pertama namanya nasi cala atau nasi kembar. Nasi ini dibuat dengan digulung di daun pisang, lalu dimasukkan bambu dan dibakar. Rasa nasi bakarnya sebenarnya ga terlalu terasa kuat, tapi tetap enak. Bagi suku sahu, nasi itu barang langka. Mereka hanya boleh makan nasi di hari minggu. Sehari-hari mereka makan ubi. Nasi boleh disuguhkan di hari biasa, asal dimakan sama tamu. Mereka memang dikenal sangat memuliakan tamu.


Yang kedua, cap tikus. Iya, namanya cap tikus. Pas ditanya kenapa namanya begitu, rata-rata warga cuma bilang udah dari sananya namanya cap tikus. Padahal ga ada cap gambar tikus atau pembuatannya melibatkan hewan pengerat. Cap tikus bahannya sari gula aren yang disebut sagoer (oe ga dibaca u). Sagoer ini didestilasi dengan alat-alat sederhana. Pipa penyulingannya dari bambu, dihubungkan melingkar sampe uapnya nanti menetes ke botol yang ditanam di tanah. Satu jam kemudian sebotol cairan uap yang disebut cap tikus sudah jadi. Kata pak ketua adat, cap tikus bisa mengobati batuk. Kebetulan sekali, saat itu saya sakit batuk, sampe suara serak. Seteguk cap tikus lalu masuk ke kerongkongan. Rasanya hangat, enak. Semua dahak langsung cair ikut tertelan. Meskipun ga langsung sembuh, tapi rasanya plong. Cap tikus ini rasanya mirip vodka*. Kadar alkoholnya cukup kuat, hati-hati jangan kebanyakan minumnya. Hehe. Cap tikus kalau didestilasi lagi, dicampur sari buah, berubah lagi jadi anggur. Saya ga sempat merasakan anggur disana, tapi sempat beli buat oleh-oleh. Ternyata rasanya ga jauh beda, cuma ada sensasi asam si sari buah. Ada yang anggur rasa jeruk, ada anggur rasa nanas. Dijual murah di Desa Gamtala, lima belas ribu saja. Selain budaya horom sasadu, Desa Gamtala punya harta karun lain, hutan bakau yang asri dan delta lako akelamo. Kalau kesana, wajib mampir ke dua tempat ini.


* Kenapa saya tahu gimana rasa vodka? Karena saya pernah merasakannya, ga sengaja. Waktu tugas di Jogja, saya penasaran sama kopi klutuk yang ada dipromosiin program Jalan-Jalan Men. Kopi Klutuk itu saya kira kopi joss, kopi yang dicelup arang membara. Suatu malam saya menyempatkan diri mampir ke Sego Macan di Selokan Mataram, deket kosan. Disana saya pesan secangkir kopi. Saya kira kan kopi itu memang sudah dicelup arang, makanya rasanya beda. Ga enak. Saya ga habisin kopi itu, dibungkus, dan ga diminum lagi, dibuang. Hahaha. Sepulangnya ke Jakarta beberapa bulan kemudian, saya cerita ke Zaki, teman sekantor yang orang Jogja. Dia baru ngasih tahu kalo kopi disana dicampur miras, jadinya begitu rasanya. Jadi secara tak sengaja saya sudah tidak Straight Edge lagi. Hehe. Di kasus Horom Sasadu, saya ga Straight Edge demi melestraikan budaya. Hahaha.

** Foto karya Vitalis Yogi Trisna dipinjam dari images.kompas.com

Drama Musikal Epik Sasadu On The Sea


Festival Teluk Jailolo punya sebuah panggung yang berdiri diatas laut. Di tahun penyelenggaraannya yang kelima, ada replika rumah adat sasadu diatas panggung itu. Sasadu itu salah satu properti dalam pagelaran drama musikal Sasadu On The Sea. Drama musikal ini disutradarai Eko Supriyanto. Saya pertama kali liat beliau di film Opera Jawa, dia jadi Rahwana. Mas Eko ini koreografer jebolan STSI Solo, dan dapet gelar master dari universitas di Rusia, tentu di bidang seni tari. Dalam karyanya yang satu ini, ia dan konseptor lainnya menghimpun lebih dari 150 putra putri Jailolo buat menampilkan sebuah drama musikal. Drama ini bercerita tentang seorang putra Jailolo yang dibesarkan di tengah kekayaan potensi Jailolo. Dia merantau, tapi tak lupa kembali ke rumah dan mengabdikan diri di tanah kelahiran.


Banyak hal menarik di pagelaran ini. Di awal pementasan, Ani si anak Jailolo dilahirkan. Proses kelahirannya menarik. Sang kreator merasa perlu menggambarkan proses kelahirannya. Tentu melalui sebuah tarian indah. Ani keluar dari bawah kaki ibunya setelah sebelumnya, orang tua Ani menari berdua. Tarian itu menggambarkan proses pembuatan Ani, dan tak ada yang vulgar disana. Lalu tari-tari lain berurutan ditampilkan. Digambarkan dalam drama itu, bahwa Ani dewasa di tengah kekayaan laut dan hutan Jailolo. Waktu laut digambarkan dengan tarian ombak, musiknya benar-benar menghipnotis, saya suka. Sulit buat nahan sunggingan senyum pas lihat bagian itu. Tiba-tiba dari laut, panggung menggambarkan kondisi hutan, diiringi musik yang lebih terasa berat, bulu tengkuk saya merinding.


Bagian yang tak kalah menarik, ketika Simon Godida Tobelo, si pemeran Ani kecil menari diatas papan yang diangkat belasan orang. Meski papan tempat ia berpijak meliuk liar, Simon digjaya diatasnya, menari penuh pesona. Simon ini juga menari di beberapa tarian lain. Eko Supriyanto ketika saya wawancara juga menyematkan kredit tersendiri sama anak Jailolo satu itu. Katanya Simon ini mewakili potensi khas anak Indonesia Timur.


Sejak pertama dengar lagunya di sesi latihan, saya jatuh cinta sama sebuah lagu berjudul Moloku Kie Raha. Indah sekali. Hampir semua orang di tempat itu ikut nyanyi. Saya dan wartawan lain yang duduk di shaf depan cuma bisa tungak-tengok bengong, dan geleng-geleng kepala kagum. Saya ga ngerti tiap penggal liriknya, tapi terdengar kata Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo disebut berulang. Moloku Kie Raha berarti empat kerajaan yang ada di Maluku Utara. Lagu itu saya yakin menggambarkan harmonisnya hubungan keempat imperium tersebut. Tahukah kamu, dari mana nama Raja Ampat di Papua berasal? Ya dari nama Moloku Kie Raha, yang berarti empat kerajaan. Wilayah Papua memang dulunya daerah kekuasaan kerajaan Tidore. Saya pernah singgah di keraton kesultanan Tidore. Disana ada peta yang menunjukkan wilayah kekuasaan kerajaan itu. Waktu Indonesia masih muda, kerajaan Tidore ditawari untuk berdiri atas nama negara sendiri, atau bergabung dengan NKRI. Kita saat ini tahu jawabannya apa. Itu semua salah satunya terjadi atas lobi Bung Karno yang pernah berkunjung kesana. Ah, Indonesia. I'm in love.


Sasadu sebenarnya budaya milik Suku Sahu, salah satu suku di Halmahera Barat. Namun dalam Sasadu on The Sea ini, semua suku di Halmahera Barat diberi ruang ekspresi. Ada tari dana dana yang terpengaruh budaya Arab, ada juga tari sara dabi dabi yang lama tak ditampilkan sebelumnya. Sasadu On The Sea ini memang menggambarkan motto Kabupaten Halmahera Barat, ino fo makati nyinga, bersatu hati memajukan daerah.

* Foto karya Vitalis Yogi Trisna. Dipinjam dari kompas.com

Kuliner Kepulauan Rempah-Rempah

Ga banyak yang bisa saya ceritakan soal kuliner khas pulau rempah-rempah. Ketika pesta kuliner digelar, rombongan wartawan mau diantar ke desa wisata Gamtala, jadi saya benar-benar memanfaatkan waktu singkat untuk sekedar on cam mencicipi salah satu menu dan wawancara juri lomba masak itu.


Meski demikian, saya bisa cerita soal Guraka. Guraka ini terbuat dari gula merah dicampur jahe dan disajikan panas/hangat. Saya pertama kali mencicipi guraka di Ternate. Disana, di dekat masjid apung, tiap sore dibuka kios penjual guraka. Kios tadi buka lapak di pinggir laut, jadi kalau kita minum di tempat, kita bisa menyeruput guraka sambil dibelai angin pantai. Guraka disini disajikan dengan taburan buah kenari. Cemilan bernama pisang paruh bebek sama kacang tanah goreng siap menemani. Pisang paruh bebek ini sebenarnya pisang yang digoreng sampai kering, lalu dicolek sambal terasi. Aneh sih rasanya. Tapi aneh itu pasti karena ga biasa. Buat orang sana, atau menurut kamu mungkin enak. Buat bener-bener tau enak atau enggak kuliner khas Maluku Utara, cuma ada satu cara, cobain sendiri.

Menjelajah Hutan Bakau dan Delta Langka di Jailolo



Desa Gamtala Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, adalah sebuah desa wisata. Selain menyediakan tradisi horom sasadu, desa ini punya potensi alam bagus, hutan bakau dan delta lako akelamo. Hutan bakau ini bisa dijelajahi dengan menelusuri sungai sepanjang sekitar dua kilometer sebelum mencapai ujung. Selama menelusuri sungai, pohon bakau subur tumbuh. Di kawasan ini warga dilarang menebang pohon bakau. Padahal sebelumnya, mereka memanfaatkan pohon bakau untuk kayu bakar. Pohon nipah juga banyak disini. Buah nipah berguna untuk mengobati panas dalam. Di hutan baku ini, hewan khasnya namanya berang. Berang itu bahasa sananya Biawak. Jumlahnya sekarang berkurang karena warga memburu mereka buat dimakan dagingnya. Katanya rasanya mirip daging ayam.



Air di sungai ini hangat, karena terpengaruh aktivitas vulkanik gunung tugu aer. Tapi mendekati muara sungai, airnya jadi dingin. Jadi ada percabangan sungai gitu yang menyatu sebelum muara. Satu sungai airnya dingin, satunya lagi hangat, jadinya air hangat yang semula kita lewati sudah mendingin. Akhirnya kami tiba juga di muara. Disana ada sebuah delta yang cukup luas, sekitar 200 meter lebih panjangnya. Lebarnya kira-kira 20 meter. Delta ini ga bakal ada kalau di wilayah itu lagi musim angin barat. Kebetulan pas kami kesana, angin bertiup dari utara, jadi si delta utuh muncul. Dari delta ini gunung tugu aer dan gunung susupu jelas terlihat menjulang. Sementara kawan-kawan pers lain melanjutkan wisata ke pantai susupu, saya kembali ke Desa Gamtala.

 Berlatar Gunung Susupu

Berlatar Gunung Tugu Aer

Parade Gerobak Sapi Festival Jailolo

Sebenarnya parade ini berangkat dari ide sederhana. Penggunaan gerobak sapi sebagai alat angkut hasil pertanian yang ramah lingkungan sudah berkurang. Untuk mengingatkan lagi peran gerobak sapi, digelarlah parade ini. Pesertanya lebih dari 40 tim. Mereka berasal dari desa di sekitar kecamatan Jailolo. Untuk merebut hadiah jutaan rupiah, mereka all out semua. Di gerobak yang ditarik sapi itu dipajang hasil tani. Yang jadi kusir gerobak juga macem-macem. Ada suami-istri, ada yang bawa anak, ada yang pake helm segala. Macem-macem. Seru.




Rabu, 08 Mei 2013

Kapan Terakhir Kali Kamu Pulang dan Menikmati Waktu Sama Keluarga?


Dua minggu setelah pulang ke rumah, saya balik lagi kesana. Padahal biasanya saya pulang ga sedekat itu jeda waktunya, rata-rata satu sampe dua bulan sekali lah. Kali ini saya pulang demi momen yang pas. Adik saya Rizki pulang juga, dan adik terkecil saya Sofi berulang tahun ke-10.

Di tengah ritual ngobrol kami malam itu, Bapak tanya, apa yang bikin saya perlu atau pengen pulang. Kata saya, salah satunya buat ingetin diri sendiri siapa saya sebenarnya, dari mana saya berasal, biar ga lupa diri. Singkatnya sih itu, dan saya selalu menyesal karena kurang maksimal memanfaatkan waktu sama keluarga. Rasanya malam itu saya harusnya matikan TV dulu, tinggalkan dulu komputer tablet, malah rasanya selama di rumah saya ga mau tidur, sayang kalo waktu disana ga dinikmati.

Balik lagi ke pertanyaan Bapak. Sebenarnya saya punya teori lain yang mendorong buat berusaha tetap intim sama keluarga. Tahun 2012 lalu ada penelitian buat cari tau warga negara mana yang paling bahagia di dunia. Saya lupa negara mana yang juara satu, tapi yang mencengangkan, Singapura dapet posisi bontot. Gimana ga aneh, Singapura kan negara sejahtera. Fasilitas lengkap, masyarakatnya teratur. Apa lagi coba yang kurang? Ternyata, penduduk negara kota itu merasa terbebani karena harus hidup sempurna, harus tertib dan teratur sampai kebutuhan diri sendiri dikorbankan. Saya pikir ada untungnya juga negara kita agak semrawut. Di jalan raya deh contohnya. Berarti kan ada yang "bahagia" dengan melanggar tata tertib karena ego pribadinya terpuaskan, meskipun ada juga yang ga bahagia karena dirugikan. Toh ada yang bahagia, beda sama orang Singapur yang ga bahagia "semua". Hehe. Lumayan, Indonesia ada di urutan 19. Nah posisi papan atas, ditempati negara-negara Amerika Latin. Mereka dapet skor bahagia tinggi karena kebiasaan mereka kumpul sama keluarga. Dengan demikian, jelas sudah posisi keluarga dalam indeks kebahagiaan kita. Maka berkeluargalah. Hehe.


Urgensi menjalin intimasi sama keluarga juga disadari presiden Amerika Barrack Obama. Dalam salah kampanye si pewujud mimpi Marthin Luther King Jr itu, Obama bilang "back to family values". Obama sadar bahwa keluarga punya posisi vital dalam pembentukan individu. Pesan untuk kembali ke keluarga juga dikisahkan Iwan Setiawan melalui novel dan film 9 Autumns 10 Summers. Saya sih belum nonton film dan belum baca bukunya, tapi kan bocorannya udah bocor banget. Iwan meninggalkan tahta empuknya di kota big apple dan kembali ke kota apel demi pulang ke keluarganya. Seperti yang dituturkan Iwan di program 360 Metro TV, dia mengaku menghabiskan dua tahun terbaik dalam hidupnya sebelum sang ayah berpulang. Pemeran Iwan di film itu, Ihsan Tarore, juga berharap dalam wawancaranya dengan Yasir Neneama, bahwa setelah menonton film itu, minimal kita angkat telpon dan tanya apa kabar ke orang rumah. Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali kamu pulang dan menikmati waktu sama keluarga? :)

Minggu, 05 Mei 2013

Gunung Bunder

Tanggal 13 April lalu saya ikut hadir ke kegiatan yang digelar Uni Koservasi Fauna (UKF) IPB di Gunung Bunder Bogor. Mereka menggelar acara pendidikan konservasi ke anak-anak SD. Saya yang awalnya ga berniat ikut, malah pergi kesana juga. Berikut foto-foto selama saya ada di tengah-tengah mereka


Saluran air yang terbuat dari bambu, dan masih tumbuh tunas dari sana


Anak penjual jajanan
Pohon tumbang di salah satu bagian bumi perkemahan
Yanuar, salah satu personil UKF
Arena kegiatan di bumi perkemahan yang ada di kaki Gunung Salak Bogor
Luapan semangat
Persiapan
Seorang nenek mengais rezeki di tengah hutan
Warga pencari kayu
Seorang anak mencatat temuannya selama mengobservasi kawasan hutan
Dialog dua generasi
Seorang anak mencatat temuannya selama mengobservasi kawasan hutan
Anak-anak mencari hewan yang ada di kawasan hutan
Kuis adu wawasan
Mari menggambar
Tanganku kuasku
Kuas alami
Mooi Indie
Para vandalis