Festival Teluk Jailolo punya sebuah panggung yang berdiri diatas laut. Di tahun penyelenggaraannya yang kelima, ada replika rumah adat sasadu diatas panggung itu. Sasadu itu salah satu properti dalam pagelaran drama musikal Sasadu On The Sea. Drama musikal ini disutradarai Eko Supriyanto. Saya pertama kali liat beliau di film Opera Jawa, dia jadi Rahwana. Mas Eko ini koreografer jebolan STSI Solo, dan dapet gelar master dari universitas di Rusia, tentu di bidang seni tari. Dalam karyanya yang satu ini, ia dan konseptor lainnya menghimpun lebih dari 150 putra putri Jailolo buat menampilkan sebuah drama musikal. Drama ini bercerita tentang seorang putra Jailolo yang dibesarkan di tengah kekayaan potensi Jailolo. Dia merantau, tapi tak lupa kembali ke rumah dan mengabdikan diri di tanah kelahiran.
Banyak hal menarik di pagelaran ini. Di awal pementasan, Ani si anak Jailolo dilahirkan. Proses kelahirannya menarik. Sang kreator merasa perlu menggambarkan proses kelahirannya. Tentu melalui sebuah tarian indah. Ani keluar dari bawah kaki ibunya setelah sebelumnya, orang tua Ani menari berdua. Tarian itu menggambarkan proses pembuatan Ani, dan tak ada yang vulgar disana. Lalu tari-tari lain berurutan ditampilkan. Digambarkan dalam drama itu, bahwa Ani dewasa di tengah kekayaan laut dan hutan Jailolo. Waktu laut digambarkan dengan tarian ombak, musiknya benar-benar menghipnotis, saya suka. Sulit buat nahan sunggingan senyum pas lihat bagian itu. Tiba-tiba dari laut, panggung menggambarkan kondisi hutan, diiringi musik yang lebih terasa berat, bulu tengkuk saya merinding.
Bagian yang tak kalah menarik, ketika Simon Godida Tobelo, si pemeran Ani kecil menari diatas papan yang diangkat belasan orang. Meski papan tempat ia berpijak meliuk liar, Simon digjaya diatasnya, menari penuh pesona. Simon ini juga menari di beberapa tarian lain. Eko Supriyanto ketika saya wawancara juga menyematkan kredit tersendiri sama anak Jailolo satu itu. Katanya Simon ini mewakili potensi khas anak Indonesia Timur.
Sejak pertama dengar lagunya di sesi latihan, saya jatuh cinta sama sebuah lagu berjudul Moloku Kie Raha. Indah sekali. Hampir semua orang di tempat itu ikut nyanyi. Saya dan wartawan lain yang duduk di shaf depan cuma bisa tungak-tengok bengong, dan geleng-geleng kepala kagum. Saya ga ngerti tiap penggal liriknya, tapi terdengar kata Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo disebut berulang. Moloku Kie Raha berarti empat kerajaan yang ada di Maluku Utara. Lagu itu saya yakin menggambarkan harmonisnya hubungan keempat imperium tersebut. Tahukah kamu, dari mana nama Raja Ampat di Papua berasal? Ya dari nama Moloku Kie Raha, yang berarti empat kerajaan. Wilayah Papua memang dulunya daerah kekuasaan kerajaan Tidore. Saya pernah singgah di keraton kesultanan Tidore. Disana ada peta yang menunjukkan wilayah kekuasaan kerajaan itu. Waktu Indonesia masih muda, kerajaan Tidore ditawari untuk berdiri atas nama negara sendiri, atau bergabung dengan NKRI. Kita saat ini tahu jawabannya apa. Itu semua salah satunya terjadi atas lobi Bung Karno yang pernah berkunjung kesana. Ah, Indonesia. I'm in love.
Sasadu sebenarnya budaya milik Suku Sahu, salah satu suku di Halmahera Barat. Namun dalam Sasadu on The Sea ini, semua suku di Halmahera Barat diberi ruang ekspresi. Ada tari dana dana yang terpengaruh budaya Arab, ada juga tari sara dabi dabi yang lama tak ditampilkan sebelumnya. Sasadu On The Sea ini memang menggambarkan motto Kabupaten Halmahera Barat, ino fo makati nyinga, bersatu hati memajukan daerah.
* Foto karya Vitalis Yogi Trisna. Dipinjam dari kompas.com
suka sama pemandangan frame-nya <3
BalasHapus