Rabu, 30 Maret 2011

Kill The DJ: Ngoceh Paling Jujur Itu Ketika Menggunakan Bahasa Ibu

Gue bela-belain ke Pasar Minggu dulu sebelum ke Bogor lagi dari Garut, sendirian lagi, ga tau jalan lagi, dimarahin supir metromini lagi, salah turun lagi. Tapi ga apalah, semua harga itu setimpal sama yang gue dapet di Salihara tanggal 18 Maret 2011 itu. Selain nonton film keren Hiphopdiningrat, dapet (beli maksudnya.hehe) CD lagu hiphop berbahasa Jawa yang (meskipun gue ga ngerti liriknya) sangat enakeun, gue juga berhasil mewawancarai produser film tadi sekaligus pendiri Jogja Hiphop Foundation, Juki alias Chebolang alias Kill The DJ alias Muhammad Marzuki. Siang itu teater Salihara yang menayangkan film dokumenter tentang komunitas musisi hiphop berbahasa Jawa itu hanya diisi 4 orang. Ya, gue salah satunya. Nanti deh kapan-kapan dibahas filmnya OK. Di bawah ini gue lampirkan dialog Kill The DJ dengan tentu saja gue sendiri. Dalam percakapan aslinya, kata Koran Kampus jarang disebut. Bahkan pertanyaan terakhir itu sebenarnya pesan buat musisi Bogor gue bilang, tapi demi kepentingan publikasi di Koran Kampus (meskipun ga naik cetak), gue ubah jadi Koran Kampus. hehe. Ga apa-apa lah ya, toh gue bilang ke mas Juki kalo gue wartawan Korpus. OK, mari merapal!






Setelah lahir di New York, musik hip hop/rap kini hadir dengan berbagai variasinya. Salah satu varian hip hop yang menjadi kebanggaan Indonesia adalah Java Hip Hop. Musik jenis ini diperlihatkan dengan penggunaan Bahasa Jawa dalam liriknya. Sejak tahun 90-an, para rapper Yogyakarta sudah aktif menggelar berbagai acara apresiasi musik hip hop secara rutin. Pada tahun 2003, berdirilah sebuah komunitas bernama Jogja Hip Hop Foundation. Lahirnya Jogja Hip Hop Foundation dibidani seorang rapper bernama Marzuki Mohammad yang lebih dikenal dengan nama Kill The DJ. Marzuki yang juga akrab dipanggil Juki, telah memproduksi sebuah film dokumenter berjudul Hiphopdiningrat. Film berdurasi 65 menit itu berisi jejak perjalanan Jogja Hip Hop Foundation setelah menempuh 7 tahun perjuangan berkarya melalui musik hip hop sejak 2003 hingga 2009. Film yang ia garap bersama Chandra Hutagaol itu pernah ditayangkan di Jakarta International Film Festival 2010 (Jiffest 2010) dan disaksikan oleh para undangan festival film bergengsi itu. Hari kedelapan belas di bulan Maret 2011 adalah kali pertama film itu ditayangkan di hadapan umum. Bertempat di Teater Salihara, para rapper jogja yang tergabung dalam Jogja Hip Hop Foundation itu akan melaksanakan pemutaran film sekaligus penampilan karya musikal mereka. Kru Koran Kampus berkesempatan menghadiri perhelatan akbar itu, bahkan sempat mewawancarai pendiri Jogja Hip Hop Foundation. Kepada Koran Kampus, Juki atau Kill The DJ bercerita mengenai banyak hal, mulai dari kepeduliannya terhadap budaya bangsa hingga esensi karya musik yang ia bawakan. Berikut petikan wawancaranya:

Koran kampus : Sejak kapan Anda bermain hip hop?

Kill The DJ : Kalau Jogja Hip Hop Foundation sejak 2003, kalau main hip hop ya dari dulu, dari [tahun] 95.

Koran kampus : Ciri khas musik yang Anda bawakan adalah penggunaan lirik dengan Bahasa Jawa?

Kill The DJ : Iya musiknya juga.

Koran kampus : Apakah orang yang tidak mengerti Bahasa Jawa bisa menikmati musik Anda?

Kill The DJ : Bisa. Bisa lah, masa kita bisa manggung keluar negeri juga, berarti memang bisa [dinikmati]. Mungkin untuk industri musik nasional ada hambatan dan ketat dengan censorship. Tapi buat kita, jangan menyerah.

Koran kampus : Apa kesulitan yang Anda hadapi selama pembuatan film Hiphopdiningrat?

Kill The DJ : Sejak punya Jogja Hip Hop Foundatioin kan [kegiatannya] didokumentasikan terus. Film dokumenter kan kita ngumpulin dari data yang ada, kalau film dokumenter kan real, misalkan lagi jalan gini trus di-shoot, gitu aja. Jalan-jalan kemana, keluar negeri di-shoot, ya gitu-gitulah. Ada lebih dari 300 kaset video yg harus dijadikan satu jam, tentu saja susah. Artinya datanya banyak banget, kesulitannya disitu

Koran kampus : Paket karya yang dibuat Jogja Hip Hop Foundation dikemas dalam bentuk apa?

Kill The DJ : dulu kaset, tapi semenjak Jogja Hip Hop Foundation [berdiri], selalu CD.

Koran kampus : Apakah Anda menggunakan sistem distribusi netlabel (sistem distribusi karya musik unduh gratis legal melalui label rekaman di internet)?

Kill The DJ : Enggak. Kerjasama sama Yesnowave (netlabel di Yogyakarta) yang terakhir ini kita bikin kompilasi culture, kerjasama dengan record label-ku, anarkisari record sama kongsi jahat sindikat, kita kerjasamanya disitu. Tapi kalo penjualan albumnya Jogja Hip Hop Foundation ga pernah diedarkan, cuma disimpen di rumah aja. Maksudnya terus dijual lewat orang pesen atau dijual pas kita manggung. Kalo dititip edar lama, ga cepet jadi duitnya.

Koran kampus : Bagaimana bisa? Apakah cukup efektif? Padahal sepertinya lingkup pemasaran album itu terbatas

Kill The DJ : Ya enggak dong, kita CD 3000 aja cuma 4 bulan toh, 4 bulan habis yo, itupun ga dititipkan di toko-toko, cuman disimpen aja. Enggak terbatas lah, siapa aja bisa pesen, sampe kemana-mana. Banyak orang luar negeri [yg mengapresiasi].

Koran kampus : Dari mana mereka mengetahui karya anda?

Kill The DJ : Dari blog saya (killtheblog.blogspot.com), dari facebook saya

Koran kampus : Apakah ada kesulitan menyanyikan lagu hip hop dengan bahasa daerah?

Kill The DJ : Ya ngga itu kan bagian dari keseharian, maksudnya tradisi itu udah bagian dari keseharian dan hal itu masih sangat kuat dan bagian dari keseharian dan kalau rap hubungannya dengan lirik, rima, freestyle itu deket sekali dan juga [karena Bahasa Jawa adalah] bahasa ibu, jadi hal yang sangat penting dalam hip hop. Karena bukan melulu musiknya, tapi juga teks dan bahasanya artinya ketika ngoceh gitu paling nyaman dan paling jujur itu ketika seseorang menggunakan bahasa ibunya. Ya itu bagian dari keseharian aja.

Koran kampus : Siapa tokoh musik yang menginspirasi anda?

Kill The DJ : Apa ya. banyak mas, sangat banyak. Tapi kan ini juga bagian dari sikap merayakan regenerasi, maksudnya kita adalah orang yang mempunyai akar kebudayaan sekaligus juga bagian dari global culture, generasi global. Ya kita berada diantara itu, antara global culture dan akar tradisi itu sama jauhnya sekaligus sama dekatnya. Artinya apa yang kita suka ya berada diantara itu, misalnya aku bisa seneng Eminem tapi sekaligus aku juga bisa seneng Ki Narto Sabdo, seorang dalang. Jadi terlalu banyak, dan kalo aku sendiri ya Kill The DJ, aku membunuh mitos itu, ga ada sesuatu yang aku rujuk secara absolut.

Koran kampus : Anda percaya dengan adanya organisasi konspiratif seperti Freemason?

Kill The DJ : Apa itu?

Koran kampus : Organisasi rahasia yg ingin membuat dunia ini berada dalam satu pemerintahan tunggal dan satu kebudayaan tunggal sehingga menghilangkan identitas kedaerahan

Kill The DJ : Enggak mungkin. Enggak mungkinlah, setiap orang punya basic sendiri-sendiri, gak mungkin bisa disatukan, sama sekali ga mungkin. Menyatukan bangsa Indonesia aja susah banget, apalagi global.

Koran kampus : Anda puas dengan karya ini?

Kill The DJ : Bisa puas bisa enggak. Puas sebagai proses pendokumentasian, karena itu hal yg biasanya orang ga peduli. Maksudnya aku foto dari pertama kali punya Jogja Hip Hop Foundation sampe sekarang itu ada semuanya, video juga ada semuanya. Tapi sebenarnya dari segi film ada beberapa hal yang perlu dimaksimalkan.

Koran kampus : Anda memiliki basic keilmuan di bidang film?

Kill The DJ : Ga terlalu dalam

Koran kampus : Anda belajar di institusi pendidikan formal perfilman?

Kill The DJ : Enggak, aku ga lulus SMA

Koran kampus : Kenapa?

Kill The DJ : Ada sesuatu yang ingin aku pelajari dan ga perlu lewat [jalur] formal, dan di Jogja hal semacam itu memungkinkan. Maksudnya ya misalnya aku umur 24 udah bisa jalan-jalan keluar negeri dengan karya seni rupa dan musik elektronik, dulu sebelum punya Jogja Hip Hop Foundation. Jogja seperti medan kreatif ketika kita membuka diri dan ada pada habitat yg tepat. Ketika kamu punya karya bagus ya otomastislah kalo mau jalan-jalan ke luar negeri. Dan waktu itu juga belum ada media nasional yg mencover sebelumnya. Buatku sih hal yang mungkin terjadi di Jogja.

Koran kampus : Bagaimana pendapat Anda tentang pendidikan formal?

Kill The DJ : Tergantun. Tergantung apa yang kamu ingini, kalo kamu belajar teknologi nuklir perlu dong. Tapi ketika kamu tinggal di Jogja dan pengen belajar kesenian, sebenarnya pengen jadi seniman yg ngapain, buat apa gitu.

Koran kampus : Jadi apa yg mendorong Anda untuk tidak menyelesaikan sekolah?

Kill The DJ : Ya enggak ngerti apa yang harus dipelajari dari situ. Maksudnya banyak hal yang bisa dipelajari secara langsung, praktek langsung secara efektif di luar bangku sekolah

Koran kampus : Apa pencapaian terbesar Anda selama menjalankan Jogja Hip Hop Foundation?

Kill The DJ : Poinnya bukan disitu, poinnya itu kalo buat aku bagaimana impact ketika kita membikin sesuatu buat temen-temen di Jogja Hip Hop Foundation dulu, impact sosial, impact pemikiran, bagaimana kemudian dia bisa lebih open mind. Maksdunya kan temen-temen kan juga berasal dari jalanan dan ga ngerti apa-apa, ngertinya demen hip hop aja, misalnya kyak gitu dan seperti katak berada dalam tempurung, tapi kemudian tiba-tiba kita ketemu dengan misalnya sastrawan tradisional jawa kemudian mereka bikin liriknya, rapnya terus kita mengelaborasi dan bekerja bareng dengan dunia yang mungkin buat org hip hop sendiri aneh gitu, makanya teman-teman kan terbuka pikirannya, bagi aku impact-impact bagaimana orang ga berpikir melulu hip hop itu, itu prestasi yang paling bagus, bukan tentang CD, bukan tentang filmnya, tapi bagaimana impact itu secara personal ke temen-temen dan komunitas dan lingkungan kita, itu prestasi yang paling bagus. Bukan tentang kita jalan-jalan ke luar negeri, tentu saja menyenangkan dan selalu pengen, tapi bagaimana hal itu membuka pikiran dan wawasan temen-temen di Jogja Hip Hop Foundation secara personal, [itu yg lebih penting]

Koran kampus : Apa yg membuat Jogja menjadi komunitas yang kondusif bagi kesenian?

Kill The DJ : Sebenarnya apa ya? Ga tau. Mungkin dari dulunya juga gitu. Maksudnya aku juga dari lahir udah tau kalo dunia kesenian di Jogja semacam medan kreatif yg ketika kita berada di habitat yang tepat, kesempatan itu akan datang sendirinya. Aku ga ngerti apa yang secara precise membuat Jogja menjadi semacam medan kreatif.

Koran kampus : Impact apa yg ingin dihasilkan dari musik hiphop yg anda sajikan?

Kill The DJ : Yang pertama impact sosial lah, maksudnya impact sosial itu bagaiamana relasi temen-temen dengan lingkungan sekitar, itu yang pertama. Kalo ada anak-anak sepanjang Kali Code hafal semua lagu kita, itu hal yang mengasyikan gitu, dan kebetulan lirik-lirik kita juga sesuatu yang sebenarnya asing. Artinya asing buat generasi [muda], misalnya anak SMP gitu. Padahal rap-rap kita adalah mantra jawa yang sangat kuno dan tiba-tiba itu dikembalikan ke generasi yang saat ini. Itu hal-hal yang pengen selalu kita capai. Atau misalnya kita punya lagu Jogja Istimewa yang kemudian menjadi soundtrack perjuangan dan kehidupan masyarakat di jogja dari yang SD sampe yg paling tua semuanya hafal. Itu bukan sekedar bagaiman kita menjadi dikenal masyarakat, tapi bagaimana lagu itu kemudian benar-benar dipahami dan mewakili mereka.

Koran kampus : Apa pesan Anda untuk generasi muda terkait budaya asli indonesia?

Kill The DJ : Susah juga ya. Maksudnya kan kadang-kadang orang menyalahkan generasi muda, ga peduli dengan trasdisi gitu. Maksdunya itu suatu hal yang ga adil bagi sebuah negara yang tidak punya strategi kebudayaan. Negara kita kan juga ga peduli sama tradisinya, jadi kenapa harus mempertanyakan hal itu kepada generasi muda. Kalo kita bandingin misalnya dengan Jepang yang tetap merawat tradisinya, generasi mudanya bisa sangat liar tapi dia juga sangat paham dengan tradisinya. Okelah pertanyaan sepanjang itu menjadi relevan tapi bagi negara seperti indonesia hal semacam itu tidak layak dipertanyakan dan kalo pesan ya terserah kamu aja kalo kamu ngerti ya dikerjakan aja.

Koran kampus : Berarti orang yang tidak mengerti Bahasa Jawa tidak bisa menangkap pesan dalam lagu Anda?

Kill The DJ : Susah. Kalo ga ngerti Bahasa Jawa susah, paling cuma dapet speed-nya. Maksudnya kalo itu adalah mantra, ya paling akan dapet spiritnya.

Koran kampus : Anda percaya dengan khasiat spiritual mantra itu?

Kill The DJ : Aku kan udah diomongin, aku berada di in between, di antara. Maksudnya bagian dari generasi masa kini sekaligus orang yang berpijak pada akar tradisi, artinya ya bisa sangat memahami spiritnya tapi belum tentu digunakan selalu.

Koran kampus : Apa pesan Anda untuk pembaca Koran Kampus?

Kill The DJ : Jangan ragu sama hal kamu percaya bisa dikerjakan, dan jangan takut dengan keunikan yg kita miliki. Kalo kita konsisten ya pasti jalannya ngikutin sendiri. (KK/rhezaardiansyah)

Sabtu, 26 Maret 2011

Memamerkan-Dipamerkan

Kata dasarnya “pamer”. Tanpa memakai asesoris lain, kata tadi memiliki rasa yang sama dengan kesan yang timbul dari kata “sombong”. Coba si “pamer” tadi ditambah sufiks “-an” menjadi “pameran”. Maknanya tentu sekarang berbeda. “Pamer” dalam pameran sekarang sudah berubah menjadi arena untuk pamer, atau tempat memamerkan, meskipun kesan yang timbul dari kata itu kini tak lagi dekat dengan kesan kata “sombong”. Baiklah, kita tidak akan membahas kaidah-kaidah berbahasa. Yang ingin saya ceritakan kali ini memang ada hubungannya dengan kata itu. Pertama mari kita bahas dulu, MEMAMERKAN.

Komunitas Wahana Telisik Seni dan Sastra menggelar pameran seni rupa dan fotografi di Koridor Tanah Faperta minggu ini. Tema pameran itu adalah “Perdamaian”. Saya ikut serta dalam kegiatan itu, dua karya saya lolos proses kurasi. Karya pertama adalah sebuah foto yang saya ambil dengan kamera ponsel di masjid Salman ITB beberapa bulan lalu. Di foto itu diperlihatkan dua orang pengemis yang sedang membaca satu koran yang sama. Karya kedua adalah sebuah gambar (coretan tepatnya) yang saya buat diatas kertas ukuran A5. Gambar itu saya buat dengan crayon yang dihadiahkan Nadia Naomi sebagai kado perpisahan.

Selama pameran berlangsung, gambar itu dipajang sebingkai bersama mahakarya miliki Widyastuti Utami (Windi), ilustrator senior Koran Kampus yang juga menjabat sebagai (ehm) pasangan saya. Hehe. Pacar maksudnya. Gambar Windi tentu saja tidak usah diragukan lagi nilai artistiknya. Dalam sketsa berjudul “Namanya Juga Ibu-Ibu” itu, Windi memperlihatkan dua orang ibu yang membawa belanjaannya. Ibu yang satu terlihat rapi dengan kantong belanjaan dari kertas. Sementara ibu lainnya bermata sayu dengan busana seadanya dan barang belanjaan dalam kantong plastik hitam. Tema perdamaian mampu menyatu dengan estetika di gambar itu.

Sekarang mari kita tengok gambar saya. Orang pertama yang saya perlihatkan gambar itu adalah Windi. Saat itu ia bingung dengan orientasi arah gambar agar bermakna. Beberapa menit berlalu, akhirnya saya bocorkan rahasia makna gambar itu. Tak berbeda dengan Windi, Pak De juga bingung setelah melihat gambar saya. Dibolak-baliknya kertas itu, hingga akhirnya beliau menyerah, tak mengerti bentuk apa gerangan yang saya gambar itu. Saya pun mengalah. Itu adalah gambar tangan yang mengacungkan jari telunjuk. Kelima jari tangan kanan itu dibuat berwarna-warni. Maknanya, beda warna tapi tetap bersatu. Nah, lalu ada kesalahpahaman. Kak Titis SMS, tanya apa judul gambarnya. Saya kira beliau bertanya judul foto, lalu saya jawab “Berbagi Topik”. Jadilah judul gambar itu “Berbagi Topik”. Hehe.


Sekarang mari kita bahas topik kedua, DIPAMERKAN.


Tanggal 23 Maret ayah saya mengirim SMS bahwa di koran Pikiran Rakyat ada iklan Finding Nadia. Tentu saya tidak langsung percaya, mungkin beliau salah baca. Lalu beliau begitu detil memberi penjelasan tentang titel album Finding Nadia, A huge Difference Between Zero and The Number After, bahkan beliau menyertakan email penulisnya. Penasaran dengan kabar itu, saya lalu meminta Windi yang sedang ada di Bara untuk membeli koran itu. Ternyata benar, band saya bersama Rona, Van, Deni dan Iqbal itu benar-benar diliput media nasional, Harian Umum Pikiran Rakyat. Tapi rasa senang sore itu juga dicampuri rasa sedih. Tepat seminggu sebelumnya, Van menyatakan hengkang dari Finding Nadia. Padahal pencapaian ini tentu akan lebih terasa manis jika Finding Nadia berformat lengkap. Meski demikian, saya yakin Van akan kembali lagi bersama Finding Nadia (ya kan Van? Iya aja deh :D). Wah, mulai melankolis nih. Langsung saja kalau begitu saya perlihatkan penampakannya.

Finding Nadia ada di kiri bawah

Klik gambarnya, baca dalam gambar ukuran lebih besar :)


Tanggal 19-20 Maret saya juga mengikutsertakan dua foto saya ke pameran di daerah Taman Kencana. Sayangnya saya berhalangan hadir kesana. Inilah kedua foto yang saya maksud:

MAX!! Corner































Minggu, 06 Maret 2011

Himaga

Hiji poe, abdi parantos uih ti rapat MAX!!. pas ngalangkung ka kortan, aya rerencangan HIMAGA nuju ngempel, abdi teh disauran we dipiwarang ngiring kempel. Di kempelan eta abdi diemutan ku Kang Abdal, yen abdi tiasa kieu ku lantaran aya HIMAGA, da anu ngenalkeun IPB ka mahasiswa IPB nu ti Garut teh HIMAGA, janten urang teu kenging hilap ka HIMAGA. Tah ti dinya abdi rumaos tos rada tebih ti dulur salembur. Dinten saptu kamari, HIMAGA IPB ngayakeun acara silaturahmi dosen-mahasiswa IPB, mung ngadadak dosen-dosen anu asli Garut teu tariasa dongkap. Sanajan kitu, acara tetep jalan, lancar, tur rame. Mung hanjakal abdi ngan tiasa ngiring dugi ka tabuh opat. Ieu poto-poto di acara anu kamari, mangga ditenjo.

Rizki Eka, ketua panitia acara. Eka teh mantan calon mahasiswa Departemen IKK FEMA :D

M. Seftian, pupuhu Himaga taun ayeuna. Ian kantos ditawisan mingpin Gama Sigma Beta (Himpunan Kapropesian Departemen Statistika IPB), mung teu janten
Emsi acara, Seh jeung Ika
Kang Abdal, salah sahiji jajadug Himaga. Sanajan tos damel, Kang Abdal sok ngahaja nyumpingan acara-acara Himaga
Himaga taun ayeuna mah gaduh jargon. "Der Ah!" kitu cenah jargonna

Saacan tampil, Uul ngabanyol heula
Uul ngagitar, Yane nyanyi
Yane sorana hipu, matak raoseun anu ngadangu
Saur Ian mah Uul teh budak Himaga anu paling gaul :p
Si emsi ngiringan ngibing, soantenna oge sae

Kumargi abdi teh gening tos semester akhir, urang bari sosonoan we yu, ningalian poto-poto Himaga ti jaman abdi masih ngora.hehe. Mangga dihaturan.

Tah ieu teh poto waktos buka saum sasarengan di bumi Pak Asep Saefuddin, dosen Departemen Statistika IPB asli Garut. Rakana Pak Asep ngawulang oge di Departemen Gizi Masyarakat, namina Pak Hidayat Syarief.

Waktos mudik ka Garut babarengan. Poto ieu dicandak pas nuju nuang saur di puncak. Tiap taun Himaga osok ngayakeun acara mudik babarengan.

Waktos ameng sasarengan di kawah kamojang Garut.

Ulin babarengan di kebon raya Bogor

Mung sakitu dulur, anu ku singkuring kapihatur. Babaturan sa-OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) teh dulur urang anu paling deukeut, tong nepikeun ka poho ka dulur (sanajan abdi oge sakapeung tara sumping mun aya kempelan.hehe).