Rabu, 27 April 2011

Detroit Metal City

Film ini berjudul Detroit Metal City (DMC). Ayo tebak, film ini dari negara mana? Amerika? Awalnya saya juga berpikir demikian. Ternyata film ini berasal dari negeri taifun, Jepang.

Kisah yang diceritakan dalam film ini dimulai dengan bentangan panorama desa khas Jepang dari balik pohon sakura yang berbunga di pinggiran jalan yang dilalui seorang ibu dan anaknya. Anaknya kan pergi ke Tokyo untuk kuliah. Pria yang diantar ibunya itulah yang nantinya akan menjadi tokoh sentral dalam film berdurasi 1 jam 43 menit 12 detik ini.

Negishi Souichi namanya. Dia punya cita-cita menjadi seorang musisi yang fashionable. Semboyan yang selalu ia anut adalah no music no dream. Suatu hari ia ikut serta dalam sebuah rekrutmen musisi, dan ia lolos, kemudian bermusik di sebuah band metal bernama Detroit Metal City. Meski sudah memiliki banyak penggemar, Negishi tidak menikmati perannya sebagai Johann Krauser The Second, pemain gitar sekaligus vokalis dalam band beranggota tiga orang itu. Konflik yang disajikan dalam film ini kemudian berkutat antara dinamika musikalitas Negishi, rasa sukanya kepada seorang gadis, hingga kehidupan keluarga sang tokoh utama.

Saya tidak akan mengulas kronologi film itu dari awal hingga akhir. Saya akan memaparkan pandangan saya tentang nilai-nilai yang terkandung dalam film ini. Selain DMC, beberapa film lain yang bertema musik diantaranya School of Rock (pemeran utamanya Jack Black), The Rocker (pemeran utamanya Mark Wahlberg, ada Jeniffer Anniston juga), The Rockstar (tentang drummer yang dipecat karena tidak cocok dengan karakter band yang akan dimainstreamkan), dll. Saya menilai DMC sebagai sebuah film yang cakupan pesannya lebih luas, tak hanya topik linier perjalanan sebuah kelompok musik/perjuangan musisi menuju puncak pencapaiannya. Lebih dari itu, DMC menawarkan pembelajaran di berbagai aspek. Poin-poin yang akan saya cermati akan disajikan dalam pemaparan berikut:

1. Sejak awal film, tokoh figuran yang cukup mencolok adalah keberadaan para posser (penggemar buta). Karena menggemari Krauser, maka isi lirik yang bercerita tentang pembunuhan dan perkosaan itu juga turut jadi sebuah hal yang hebat. Aneh, harusnya dua hal itu jadi musuh kita bersama. Nah, Anda para selebritis yang menjadi panutan banyak orang, tolong jangan ajarkan hal-hal negatif. Jangan jadi penyebar nilai negatif, jadilah penyebar mimpi. Ya, di film ini diceritakan bahwa cita-cita Negishi juga ingin menyebarkan mimpi dengan musiknya, meskipun belum jelas mimpi apa yang ia maksud.

2. Negishi adalah seorang pria yang terlihat lemah dan tidak bisa melakukan perlawanan. Saat ia ditindas manajernya, ia pun tak bisa berkutik. Kamarnya dibuat berantakan, baju-bajunya disobek, demi mendapat kesan bahwa begitulah seorang metal harus bertindak. Oya? Di akhir penindasan itu, Negishi merenung. Semula Ia memiliki keyakinan bahwa the strongest energy to produce music isn't love. Setelah kejadian itu, pernyataanya berubah. The strongest energy to produce music is revenge, hate. Menurut saya, sah-sah saja menyatakan apapun itu sebagai energi terbesar untuk memproduksi musik, karena sebenarnya energi terbesar itu ya perasaan si musisi. Secara umum, kekuatan terbesar yang memproduksi sebuah musik sebenarnya adalah penghayatan terhadap hidup.

3. Negishi yang mengenakan kostum Krauser disadarkan oleh gadis pujaannya, Aikawa. Ia merasa bahwa dirinya yang sekarang bukanlah sosok yang ia inginkan. Nama besar Krauser lalu ia tanggalkan, ia menyatakan mengundurkan diri dari DMC dan menghilang. Negishi pulang ke kampung halamannya. Di desanya, ternyata ibunya yang ia temui usai bertani mengenakan kaos bergambar DMC. Negishi lebih terkejut lagi melihat adiknya Toshi yang berambut gondrong, tidak ingin sekolah, memaki ibunya sendiri dan tidak mau lagi membantu ibunya. Negishi sedih karena ternyata musiknya bukan menciptakan impian. Di bawah bulan purnama, Negishi lalu menampakkan diri di hadapan Toshi. Sebagai idola yang mampu mempengaruhi pikiran penggemarnya, Krauser mengajarkan Toshi agar rajin sekolah lagi dan berbakti kepada orang tuanya. Krauser juga menyatakan bahwa dirinya saat di universitas adalah seorang mahasiswa yang baik. Good learner katanya. Toshi pun menuruti perkataan Krauser yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

Kekuatan selalu berpasangan dengan kekurangan. Ya, tak ada yang sempurna, termasuk film ini. Beberapa hal yang mengganjal saya dalam menikmati karya ini adalah:

1. Saat memata-matai Aikawa di taman bermain, keberadaan Negishi diketahui Saji, adik kelasnya yang sudah mapan bermain musik pop. Ia dikejar hingga masuk ke toilet. Saji menunggu hingga Negishi keluar, tapi yang keluar malah Krauser. Setelah itu mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan penggemar-idola. Tentu saja Krauser yang bahkan pesonanya sudah sampai ke negeri Paman Sam itu yang jadi idolanya. Masalahnya adalah, sejak menjadi mata-mata untuk mengamati (akhirnya mengacaukan) kencan Aikawa, Negishi tidak membawa tas. Masa kostum sudah tersedia di toilet, rasanya tidak mungkin. Potongan skena tadi akan lebih impresif lagi jika sejak awal mengintai Aikawa, Negishi membawa tas yang penonton asumsikan berisi kostum. Soal Krauser (Negishi) yang tidak lagi membawa tas, penonton bisa berasumsi bahwa tasnya ditinggalkan di toilet. Kelogisan sebuah cerita kadang bisa jadi boomerang tersendiri. Saya jadi ingat potongan kisah di film Jakarta Maghrib karya Salman Aristo. Cerita yang paling saya gandrungi adalah Menunggu Aki yang menceritakan suasana sore sebuah komplek perumahan di Jakarta. Sebuah ulasan di Tempo menyatakan bahwa hal itu tidak logis, “di Jakarta mana ada kumpulan orang profesional yang sudah bisa bercengkrama dengan tetangga di sore hari,” begitu kira-kira komentarnya mengaitkan kondisi Jakarta yang tidak mudah mengizinkan seorang profesional lolos dari jeratan macet.

2. Ketidaklogisan kedua adalah adegan Krauser yang memotong rumput dengan kecepatan seperti Gundala Putra Petir, lagu rumput yang beterbangan itu ditiup hamburkan ke muka Toshi. Sejak kapan Krauser punya kekuatan super? Bukankah dia hanya seorang gitaris band metal?

3. Saat diberi pencerahan oleh Aikawa, Krauser menyelamatkan gadis pujaannya dari jatuhan patung Power Ranger yang roboh karena angin, lalu Aikawa berbaring di bawah Krauser. Gila ya, sinetron banget. Di sinetron-sinetron biasanya selalu ada adegan pemeran wanita menyeberang jalan di malam hari, efek hujan tentu ditambahkan agar lebih dramatis. Tak lama layar berganti menjadi tampilan close up pemeran pria seraya meneriakan awas kepada lawan mainnya yang menyeberang jalan. Ckiiiit, tiba-tiba ada mobil melintas. Si pria berlari, memeluk wanita, lalu keduanya berbaring diatas aspal, dengan posisi pria menatap mata si gadis sembari diiringi lagu band yang sedang laris. Sudahlah, jangan bahas lagi sinetron.

Terakhir, saya ingin menyampaikan beberapa poin penting yang bisa jadi pelajaran buat kita. Mereka adalah:

1. Music is about giving dreams to the people all around the world, no music no dream (Negishi Souichi). Dream yang dimaksud bisa berupa harapan untuk menjaga lingkungan, harapan agar pendengarnya menjadi tabah, harapan agar pendengarnya menjadi kritis, dll.

2. Setelah kembali semangat mengejar mimpinya, Negishi kembali ke Tokyo dengan kereta. Negishi terburu-buru karena ia ditunggu rekan sebandnya untuk sebuah pertunjukan. Saat hendak memasuki kereta, ia tetap rela mengantri di barisan belakang. Di Indonesia? Budaya antri masih asing. Padahal banyak hal yang kita pelajari dari mengantri: toleransi, keteraturan, efektifitas, keamanan, dll.

3. Saat Negishi pulang ke kampungnya, ibunya dibentak oleh adiknya dan beliau tidak marah. Sejak awal film, sang ibu selalu diceritakan sebagai sosok yang ramah, murah senyum. Saat Negishi dianiaya manajernya, voiceover email yang dilantunkan dari ibu Negishi sarat dengan wejangan dan harapan agar anaknya sukses. Ibunya sebenarnya tahu bahwa Negishi adalah Krauser. Sang ibunda lalu mengajak anaknya ke kuil. Disana Negishi diyakinkan untuk terus berjuang menggapai mimpinya. Negishi lalu melihat catatan doa yang dibuat ibunya di kuil itu. ibunya berdoa untuk kesuksesan anaknya. Topik ini sangat mengena buat saya. Ibu (dan ayah tentunya) selalu rutin menunjukkan kasih sayangnya, tapi saya mengakui masih kurang menunjukan hal serupa. Bagaimana dengan Anda?

Minggu, 17 April 2011

Rahmat's Journey



Film pendek ini berjudul Rahmat's Journey. Rangkaian figur bergerak berdurasi kurang lebih dua menit ini saya buat bersama Agus Surachman. Film ini juga diikutsertakan dalam kompetisi film dokumenter yang digagas Bank Dunia tentang Youth Migration. Saran dan kritik suportif tentu saya dan Agus tunggu agar kami tumbuh menjadi kreator yang lebih baik. Selamat menonton!

Sabtu, 16 April 2011

Naif Tampil di Bogor

Hari sabtu itu harinya musisi. Boleh lah istilah itu kita setujui, hari sabtu kan memang biasa digelar berbagai event apresiasi seni (musik khususnya). Menghadiri sebuah pagelaran musik, tentu menjadi hal yang sangat penting. Apalagi tujuannya kalau bukan mengapresiasi, berekspresi dan terinspirasi buat bikin karya yang lebih kreatif. Untuk menjaga siklus kreatifitas itu terus bergulir, saya cukup aktif memburu berbagai panggung, bahkan untuk beberapa event, saya dan Fan rela bolak-balik Bogor-Bandung. Betul, bolak-balik Bogor-Bandung bukan berarti ga cinta gig lokal, tapi di Bogor setau saya kok jarang ya ada acara beginian, ya jadinya Bandung pun diladeni. Tapi sekarang (bahkan mungkin sejak dulu. cuma gue aja yang baru ngeh :p) Bogor udah punya acara rutinan, diantaranya ada Bogor Rendezvous yang rutin dibuka tiap 2 minggu di O-Lounge, ada juga MKKK yang diadakan di Cafe Kebun Kita, dll.

Sabtu ketiga di bulan April 2011, Bogor kedatangan tamu spesial. Sebuah band legendaris asal ibu kota tampil di kota hujan. Ya, mereka adalah Naif. Kuartet pria yang bermusik sejak 1994 itu tampil dalam event A Mild As You Like It. Saya berkesempatan menyaksikan aksi mereka, bahkan mengikuti sesi check sound-nya, bahkan ngobrol sama David, bahkan makan pecel lele bareng Jarwo. Beneran, Fajar Enda Taruna si gitaris gondrong yang kharismatik itu, makan pecel bersama saya. Ga percaya? Kalau begitu saya ceritakan kronologi kejadiannya yah. Mari simak!












Foto-foto diatas saya ambil saat Naif melakukan check sound. Jadi begini ceritanya. Saya hadir ke Braja Mustika sekitar jam setengah 5, karena saya kira batas akhir penukaran undangan sampai pukul 6 sore. Ternyata di meja registrasi belum ada petugas, tapi musik Naif sudah mengalun dari balik tirai. Saya lalu menuju pintu masuk. Melalui pintu masuk saya lihat Naif memang sedang berada di atas panggung, tapi tidak ada keramaian penonton, hanya bantal-bantal bisu (halah) yang menemani kru dan keluarga para personil yang akan berpentas. Tanpa saya duga, seseorang menyuruh masuk. Mungkin dia kira saya salah satu kru Naif juga. Akhirnya saya masuk, keluarkan kamera, dan tembak. Usai sesi check sound, saya menghampiri David Bayu Danang Jaya, sang biduan yang aduhai saya jujur suaranya bagus dan khas. Di pintu keluar saya mewawancara beliau. Topiknya cukup banyak, mulai dari korelasi lingkungan kampus terhadap bakat musikal mahasiswa, hingga tips untuk para musisi kampus pertanian agar total dalam bermusik. Rekaman pembicaraan kami bisa Kamu cek disini , atau unduh disini.


Setelah David pergi makan, saya juga mau makan. Sejak menuju perjalanan ke arena konser, sebuah kedai pecel saya tandai, "nanti kamulah yang akan jadi tempat saya mengisi amunisi". Saya lalu masuk kesana, duduk di kursi di seberang seorang pria bertopi berbaju hitam. Saya perhatikan wajah sang pria, dia menengok lalu buang muka. Saya terus tatap dia, lalu dia balik melihat saya. "Mas Jarwo?" saya beranikan diri menebak. Pria itu lalu angkat alis. Aha, berarti dia benar-benar Mr. J. Tanpa pikir panjang, saya dekatkan posisi duduk, menjabat tangannya, mengeluarkan ponsel, menekan tombol record. Mulai!

Selalu menyenangkan berdiskusi dengan orang-orang yang ada di luar kotak. Demikianlah alasan saya rajin merekam percakapan dengan mereka. Obrolan dengan Jarwo berlangsung selama sekitar setengah jam, namun hanya sekitar 18 menit yang berhasil direkam. Skripsinya di IKJ, kesannya terhadap IPB, rutinitas hariannya adalah beberapa topik bahasan kami. Saya ceritakan beberapa OK. Jarwo adalah seorang musisi yang total dalam berkarya. Pembicaraan kami diawali dengan pandangan gitaris bernama asli Fajar Enda Taruna itu bahwa bermusik itu modal utamanya adalah berani beda, kreatif dan PD. "Jangan bikin hal yang pernah ada," begitu katanya. Berani menunjukkan karya juga pelajaran yang perlu dicontoh dari abang ini. Saya jadi ingat kisah Van Gogh yang lukisannya ternyata baru menjadi tren setelah dia meninggal. Bayangkan bagaimana jadinya jika saat ia masih ada, lukisannya menjadi ekor aliran yang menjadi kiblat sesaat, tentunya aliran pasca-impresionisme (menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Vincent_van_Gogh ) belum tentu menjadi tenar.

Skripsi Jarwo di IKJ adalah tentang rumah pintar. Meski hidup dalam ceruk musik, gitaris yang kini fokus pada aktifitas sebagai musisi itu ternyata jebolan desain interior. Rumah pintar yang menjadi topik kajiannya saat itu belum banyak yang mengaplikasikan. "Cuma Bill Gates saat itu yang pake (rumah pintar)," tutur bung Fajar. Rumah pintar yang dimaksud adalah rumah yang memiliki set otomatis dalam menjalankan fungsinya. "Baru nyampe beberapa meter, pintu udah kebuka," papar Jarwo meyakinkan. Dari topik teknologi rumah pintar, isu lain juga akhirnya kami senggol, dari pendidikan, lingkungan hingga hukum, kasus Antasari Azhar diantaranya. Seru ngobrol sama Jarwo.

"Apa kesan pertama setelah denger kata IPB?" saya tembak dia tanpa basa-basi. Setelah cukup lama bergeming, mulutnya mulai terbuka. Dia malah balik bertanya, "IPB kampus umum kan?" Dari pemaparannya, saya menyimpulkan bahwa ternyata kampus pertanian itu masih terkesan kampus yang masih banyak memiliki pembatasan. "Padahal harusnya kampus tu dibebasin aja," usul Jarwo. Topik terakhir ini juga relevan dengan isu yang ramai dibahas dalam forum internal mahasiswa IPB, salah satunya tentang jam malam. Muhammad Fikri, seorang musisi yang juga berprofesi sebagai mahasiswa (semoga yang bersangkutan tidak keberatan saya sebut demikian.hehe) berpendapat bahwa intinya pembatasan itu sebenarnya ada dalam diri kita masing-masing. Kalau tidak mau dibatasi, ya bebaskan diri kita dari aturan yang terlalu mengekang.


Kenyang dengan pecel lele dan obrolan, saya dan Budi melaju ke arena pesta. Menurut Jarwo, Naif akan tampil sekitar jam 9. Benar saja, kuartet nabi retro itu baru naik panggung sekitar jam itu. Selama menunggu acara dimulai, saya dan Budi menikmati hidangan gratis yang disediakan. Betul pemirsa, ada berbagai menu nikmat dan semuanya gratis dimakan sepuasnya. "Pecel lele? Sudah lupa tuh, ayo Bud serbu," kira-kira begitulah ajakan saya. Hehe.


Setelah menunggu sekian ratus menit, barulah Naif hadir ditengah pengapresiasinya. Berbagai permainan menarik lalu digelar. Melengkapi gambar, menyanyi diiringi Jarwo, hingga memainkan bass Emil khatam dijalani sebelum akhirnya kami masuk ke bilik berikutnya.



Piknik '72 adalah lagu pertama yang disuguhkan Naif. Rangkaian foto di bawah ini saya susun menurut waktu pengambilan gambar. Bayangkan Kamu ada di shaf kedua, duduk bersila dan ikut menyanyi sekeras-kerasnya.

David sang vokalis

Emil Si Bassis

Jarwo Gitaris

Kaki menyilang: Gaya Pusaka Jarwo

David selalu ekspresif


Pepeng penggebuk drum

Sekali lagi saudaraku, ekspresif


Elvis Presley? Sori ga kenal, saya taunya David Naif :D

@i_frank

Poles jambul

Duet






Pepeng, David dan Emil menyimak celotehan penonton. Atmosfir malam itu benar-benar cair. Konser ini sudah ada di tahap 2.0. Interaktif.

Ini buktinya, David memberi kesempatan kepada seorang penonton untuk berfoto dengan Jarwo, David memotretnya dengan kamera polaroid.

Ready to shot

Saya bahkan lupa berfoto dengan Jarwo di lapak pecel tadi, saking serunya ngobrol :D






























Jarwo siap menghadiahkan sebuah sabuk dengan logo Naif versi jadul.

Seorang penonton pelontos beruntung mendapatkannya. David lalu mencibir Jarwo, "gondrong-gondrong sukanya yang botak" :D




Saya ingatkan, kaki menyilang :p

Di nomor bertajuk Benci Untuk Mencinta, David meminjam seorang penonton untuk jadi model







"Ini namanya ngepet," i-pad maksud David

Dengan memainkan instrumen itu, David mengaku Naif sudah tidak retro lagi

"Begini caranya"

*mulai memainkan intro lagu Posesif

Ada yang menyanyikan reff terlalu awal, David marah

"Sabar". Judul khotbah David untuk penonton yang salah menyanyi itu


Lagu legendaris itu lanjut melantun







Emil dan umatnya


Pepeng menunggu David memilih request dari penonton

Naif diminta bertukar memainkan instrumen

David memegang bass

Pepeng nyanyi

Emil bermain gitar

Jarwo menabuh drum

Dalam formasi itu, Naif memainkan intro lagu Smells Like Teen Spirit milik Nirvana, sayang tidak dilanjutkan

Naif diminta menyanyikan lagu Begadang

David dkk menyetujui

Soal goyangan bukan masalah

Di "Curi-Curi Pandang" penonton dimodali djembe untuk mengiringi Naif.

Angkat tangan

















Terakhir, Naif diminta menyanyikan lagu yang sudah diminta sejak awal, Mobil Balap. Simak rekaman penampilannya di bawah ini



Sekitar jam 11 gelaran itu usai, saya langsung pulang kembali menuju Darmaga. Semoga Bogor makin marak dipadati panggung apresiasi. Mari bersulang bagi kedigjayaan apresiasi dan ekspresi seni di Bogor, di Indonesia!