Siang di hari kedua belas bulan keempat itu semua peserta seleksi sudah berkumpul di Hotel Bumi Asih Jaya Bandung. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah perkenalan. Kesan pertama tiap kontestan didapat dari sesi acara ini. Di foto terlihat Sugih (selama hari pertama saya mengenal dia dengan nama Teguh. Entah kenapa nama Sugih begitu sulit dihapal) sedang memperkenalkan diri. Pria yang sedang menjalani studi di fakultas olah raga UPI itu terkenal dengan salam pemudanya yang enerjik.
Setelah perkenalan, langsung diadakan tes pertama. Ujian tertulis tentang pengetahuan yang terkait dengan program pertukaran pemuda, negara tujuan, kepemudaan, dan kesundaan. Setelah mengerjakan tes, diadakan berbagai permainan yang dipimpin oleh peserta sendiri. Ada Sugih yang memimpin salam pemuda, Gurit yang mengajarkan tari cupcup, Shinta memoderatori permainan dokter berkata, dll.
Kemudian setelah pikiran kami segar kembali, digelarlah panggung diskusi kelompok yang membahas berbagai topik, dari isu lingkungan hingga tentang lesbian, gay, kaum biseks dan transgender (LGBT). Poin kegiatan ini berlangsung cair, apalagi setelah Aziz mengucap istighfar dengan begitu fasih di tengah pemaparannya.
Setelah berdiskusi, kami rehat sejenak untuk beristirahat dan harus berkumpul lagi untuk mempersiapkan penampilan seni. Ternyata banyak peserta yang telat berkumpul kembali setelah jeda acara. Panitia mengingatkan kami untuk bersikap serius karena nantinya delegasi yang terpilih akan membawa nama baik Indonesia, tidak hanya Jawa Barat. Jika kami telat saat program internasional berjalan, maka nama baik Indonesia-lah yang akan tercoreng. Sebagai hukuman atas kesalahan itu, semua peserta sepakat untuk membuat esai mengenai pentingnya ketepatan waktu. Esai yang saya buat bisa dibaca disini. Setelah kelompok kesenian dibentuk, semua kontestan mempersiapkan diri. Dalam sebuah kesempatan, saya mengikuti latihan kelompok Faisal dkk. saya ikut belajar ngibing. Ternyata menari itu tidak semudah sebagaimana ia terlihat. Ani kerap tersenyum simpul menyaksikan tarian saya yang absurd. :D
Akhirnya, malam kesenian pun tiba. Tiap kelompok menampilkan penampilan khususnya masing-masing. Beberapa penampilan kelompok berhasil saya abadikan dalam bentuk video. Mari simak cuplikannya.
Di hari kedua para kontestan akan disortir berdasarkan nilai yang diperolehnya di hari pertama, kemudian 21 peserta dengan nilai teratas diikutsertakan ke proses seleksi berikutnya. Saya beruntung termasuk ke dalam kelompok 21 itu. Seleksi untuk ke-21 orang peserta itu terdiri dari wawancara personal, penampilan karya seni, wawancara kepemudaan dan wawancara tentang PCMI (Purna Caraka Muda Indonesia). Selama menunggu giliran, peserta seleksi mengisi waktu dengan memainkan berbagai permainan rekreatif. Selain itu, antar peserta pun tidak ragu mengajarkan sebuah karya seni kepada kontestan lainnya. Hal itulah yang memperkuat pernyataan Hasan bahwa suasana kompetisi tidak terasa dalam seleksi itu, karena memang tiap peserta saling berbagi. Testimoni Hasan yang disampaikan saat itu juga benar-benar mewakili apa yang saya rasakan, bahwa tidak menjadi delegasi Jawa Barat untuk program ini bukanlah sebuah kerugian, karena kami telah mengenal banyak teman baru, ilmu baru dan pengalaman baru.
Seleksi pertama yang saya jalani di tahap selanjutnya adalah wawancara. Topik dalam wawancara ini tidak jauh berbeda dengan wawancara yang dilalui di tahap seleksi kedua, namun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih mendalam. Di sesi ini saya sempat bertutur tentang kaitan motto hidup (NADIA) serta band saya (Finding Nadia). Promosi band saya yang lain (Failed Plastic Surgery) pun terselip karena salah satu judul lagunya adalah Gay Anthem, relevan dengan topik LGBT yang pernah dibahas dalam diskusi diatas. Hehe. Setelah melalui wawancara, saya diberi kesempatan menampilkan sajian artistik di hadapan juri yang salah satunya adalah Ibu Indrawati, sang maestro seni tari dari Jawa Barat yang telah menari bahkan sejak era sang putra fajar menjabat sebagai presiden. Dalam ruang audisi bak tahap awal pemilihan Indonesian Idol itu saya mendendangkan lagu Mojang Priangan yang dikawinkan dengan Peuyeum Bandung melalui program Fruity Loops. Selain itu saya juga menyanyikan lagu (yang sepertinya juga layak disebut puisi) Barisan Nisan karya Homicide, kelompok hiphop asal kota kembang yang kini menjadi legenda dan reinkarnasinya sangat ditunggu-tunggu. Saya juga diajak berdiskusi tentang berbagai hal, seperti departemen tempat saya menuntut ilmu di IPB, cita-cita saya membentuk komunitas semacam Jogja Hiphop Foundation, dan lain-lain. Saya juga diminta menari. Tarian yang saya sajikan adalah ngibing, yang baru saja diajarkan Faisal di malam penampilan karya seni kelompok. Di sesi tanya-jawab, saya gagal menyebutkan nama alat musik asal Sumedang yang kini hampir punah, tarawangsa.
Tahap seleksi berikutnya adalah wawancara tentang PCMI. Dalam wawancara ini banyak hal yang dibahas. Saya ditanya tentang apa kontribusi yang akan diberikan untuk PCMI. Saya juga diminta mengajukan usulan program untuk dijalankan di Garut nanti jika saya lolos mengemban tugas di program pertukaran pemuda Indonesia-Kanada. Jawaban saya untuk pertanyaan pertama adalah http://www.reverbnation.com/rhezaardiansyah . Di dalam akun itu bisa ditemui lagu Es Pileuleuyan yang saya gunakan di seleksi kedua sebelum tahap karantina ini. Jika Jogja Hiphop Foundation menjaga esensi bahasa jawa dalam musik hiphop, sementara itu Sundanis melestarikan seni sunda juga dalam balutan hiphop, maka saya ingin memperkenalkan melodi-melodi khas sunda dalam balutan musik elektronik, agar sesuai dengan konteks kekinian dan lebih mudah dinikmati generasi teraktual. Berkat program PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) yang diarsiteki PCMI, komposisi tersebut lahir. Maka kontribusi pertama saya untuk pelestarian budaya lokal melalui program yang diadakan PCMI adalah Es Pileuleuyan.
Saya juga mengusulkan kepada PCMI agar menghimbau semua kontestan seleksi ini untuk tetap memberikan kontribusi nyata meski tidak lolos dalam rangkaian seleksi ini. Saya teringat sebuah adegan di film Ruma Maida yang diadaptasi dari peristiwa sejarah. Dalam sebuah skena diperlihatkan tiga tokoh nasional bangsa sedang berdiskusi tentang mana yang harus didahulukan, apakah kemerdekaan ataukah pendidikan. Ketiga tokoh yang dimaksud adalah Soekarno, Hatta dan Syahrir. Hatta dan Syahrir berpendapat bahwa pendidikan perlu didahulukan agar kemerdekaan bisa tercapai dengan lebih baik. Di lain pihak, Bung Karno menganggap kemerdekaan yang harus didahulukan, setelah itu barulah pendidikan, karena kemerdekaan itu ibarat sebuah jembatan. Sementara peningkatan pendidikan terus diupayakan, cita-cita terbesar saat itu juga terus digenjot. Akhirnya Indonesia merdeka meski kualitas pendidikan belum terlalu maksimal. Saya lalu teringat dengan pertanyaan yang diajukan kepada kelompok saya yang membahas pendidikan kesehatan di sesi diskusi kelompok. Pertanyaan itu berisi tentang aspek mana yang harus menjadi prioritas, apakah kualitas kesehatan ataukah kualitas ekonomi, karena kerap pencapaian kualitas kesehatan secara maksimal dihambat oleh keterbatasan kemampuan ekonomi. Jika diberi kesempatan untuk menjawab, maka tanggapan saya terhadap isu itu adalah, tetaplah perjuangkan kualitas kesehatan meski mutu ekonomi belum maksimal. Sehat tidak harus selalu mahal. Merdeka secara de jure saat itu tidak harus menjadikan seluruh komponen bangsa menjadi kaum terdidik.
Salah satu tujuan menjadi duta Jabar untuk program pertukaran pemuda diantaranya adalah memperkenalkan budaya bangsa, mengabdi terhadap bangsa, dll. Jika dikaitkan dengan konteks seleksi program PPAN, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa untuk memperkenalkan budaya bangsa dan memberikan kontribusi terhadap bangsa tidak harus melalui PPAN, meski memang kualitasnya akan berbeda, namun setidaknya tujuan akhirnya tetap tercapai. Kontribusi yang saya ajukan agar dihimbaukan oleh panitia kepada peserta setidaknya adalah menuliskan esai (yang menjadi tugas karena telat) tentang pentingnya tepat waktu di blog pribadi masing-masing peserta, agar pembaca blog itu terinspirasi, kemudian setiap pergerakan yang dihasilkan peserta pasca proses seleksi hendaknya dilaporkan kepada PCMI agar nantinya terukur peningkatan kualitas peserta pasca berbagai tahap penyaringan, dan proses pemilihan ini tidak hanya berhenti pada titel seleksi, tapi sudah menjadi kontribusi.
Terkait usulan program yang saya ajukan jika lolos, saya memberi usulan berupa pemberian modal berupa sarana penunjang pertanian, seperti domba, sapi, dll. Sehingga hasil usahanya nanti bisa dibagi dua. Selain itu usulan saya untuk pengembangan usaha jangka panjang adalah penanaman tanaman hutan yang nantinya bisa dipanen setelah 5-10 tahun masa tanam. Sistem pertanian terpadu yang menjadikan limbah dari satu sektor pertanian menjadi input untuk sektor lain juga turut menjadi saran saya. Masalah timbul jika masyarakat yang kita ampu tidak mau menerapkan metode yang diusulkan. Saya pun ditantang untuk menemukan solusinya. Jawaban untuk problema itu saya sadur dari sebuah episode program Kick Andy. Di suatu episode, Kick Andy menghadirkan tokoh-tokoh yang mengubah kebiasaan warga sebuah desa yang semula memiliki kualitas sanitasi yang buruk karena mereka tidak membuang limbah metabolisme tubuh pada tempat yang tepat. Metode yang diterapkan untuk mengubah kebiasaan buruk itu adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat untuk berkunjung ke desa itu, sehingga warga segan untuk berlaku jorok, hingga akhirnya sadar bahwa tindakan mereka salah dan kemudian bisa dirubah. Sementara itu saya pun pernah melaksanakan tugas kuliah kerja profesi di sebuah desa di Kalimantan Selatan. Warga disana kooperatif karena kami (mahasiswa) dianggap tokoh anutan. Selain itu seorang pemuda yang memiliki kebiasaan merokok di desa itu melatarbelakangi alasannya merokok dengan kebiasaan Kyai Guru (tokoh panutan masyarakat) yang juga merokok. Maka penggunaan tokoh masyarakat adalah salah satu solusi keberhasilan sebuah program. Solusi ini juga berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan saat kelompok diskusi saya mempresentasikan hasil diskusi. “Bagaimana cara mendidik generasi muda?” begitu bunyi pertanyaan yang kami terima. Jawabannya adalah dengan menggunakan tokoh idola. Jika tak ada tokoh idola yang layak dijadikan teladan, maka kitalah (generasi muda yang telah pantas menjadi teladan) yang harus menjadi idola.
Poin seleksi terakhir adalah wawancara tentang kepemudaan. Tiga orang pewawancara menyuguhi saya dengan tiga pertanyaan yang berbeda pula. Pertanyaan pertama adalah tentang keikutsertaan Christian Gonzales dalam timnas Indonesia, padahal ia terlihat sebagai “bule”, bukan orang Indonesia asli. Bagaimana saya menjelaskan duduk persoalannya jika rekan saya dari Kanada nanti mengajukan pertanyaan demikian? Saya menyatakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar karena Christian Gonzales telah menjadi warga negara Indonesia. Pertanyaan kedua tentang citra Garut yang dikenal sebagai sarang para “jeger”, preman. Jika kita mengunjungi terminal, maka ketua preman di terminal itu biasanya berasal dari Garut. Bagaimana saya menanggapi hal itu? Saya pikir akal dari premanisme adalah ketiadaan pendidikan yang layak serta proses pendidikan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, seperti terjadinya perpeloncoan siswa. Hal yang akan saya lakukan untuk hal tersebut adalah melakukan sosialisasi melalui pendidikan, setidaknya dimulai dari sekolah yang akan saya tempati nanti di Garut jika lolos program yang saya lamar. Jika ada banyak waktu untuk menjelaskan, sebenarnya saya akan merasa lebih lega menganalisis sumber masalah premanisme itu dengan teori motivasi McClelland. McClelland menyatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki tiga kategori motif dalam melakukan sesuatu, need for power, need for affiliation dan need for achievement. Keberadaan premanisme adalah cara seorang preman memenuhi ketiga kebutuhan itu, namun pelaksanaanya merugikan orang lain, inilah poin yang harus dikoreksi, melalui pendidikan diantaranya. Pertanyaan terakhir di sesi ini lebih menantang. Bagaimana jika rekan kita yang berasal dari Kanada itu ternyata seorang atheis? Menurutnya agama hanyalah budaya. Jika kita dilahirkan di sebuah keluarga budist misalnya, maka jadilah kita penganut agama buddha, karenanya agama layak disebut budaya. Selain itu kita tidak perlu agama untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Saya menyatakan menghormati pernyataan itu, saya menghormati pendapatnya. Saya secara pribadi tentu tidak setuju dengan pernyataan itu. Agama hadir dengan aturan-aturan yang diturunkan Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Penolakan terhadap agama biasanya dikaitkan dengan peniadaan Tuhan, meski ada yang percaya Tuhan namun tidak memeluk satu agama tertentu (gnostik). Saya tentu tidak bisa memaksakan pendapat seorang atheis untuk mempercayai adanya Tuhan. Silahkan saja dia berpendapat demikian, saya pribadi tetap percaya bahwa Tuhan itu ada, karena saya mengalami sendiri kehadiran-Nya. Suatu hari saya menginginkan sesuatu, lalu saya memohon kepada Tuhan untuk memiliki hal yang saya inginkan itu, lalu dengan instan saya bisa mendapatkannya. Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi jika saya tadi tidak berdoa. Maka saya percaya bahwa Sang Pengatur itu benar-benar ada. Satu lagi bukti yang saya miliki tentang eksistensi Tuhan. Suatu hari saya menghadiri pertunjukan sebuah band rock yang identik dengan sekularitas. Sang vokalis berkelakar bahwa tak ada hubungan antara moral dan terjadinya bencana. Semula saya menerima pendapat itu, cukup logis saya pikir. Tapi kemudian saya berpikir bahwa penolakan relasi itu berarti penolakan terhadap eksistensi Tuhan. Saya pun pernah melalukan sebuah kesalahan di suatu hari. Di hari itu pula, saya mendapat sebuah musibah. Jika dikaitkan dengan kesalahan yang saya lakukan sebelumnya, maka jelas ada hubungan antara moral (perbuatan yang disebut dosa) dengan eksistensi bencana. Meski demikian selalu ada banyak paradigma untuk menelisik sebuah fenomena. Sebuah momen tidak menyenangkan bisa disebut bencana atau cobaan, tergantung pilihan kita dalam meyakinkan diri sendiri. Meski saya tetap percaya bahwa Tuhan itu ada, dan dia tetap mengingkari keberadaan Sang Mahasegalanya, hendaknya bukan perbedaan itu yang terus ditonjolkan. Berfokus pada persamaan paradigma menuju tujuan yang sama adalah pilihan terbaik yang hendaknya dipilih.
Usai rangkaian wawancara itu, seluruh peserta mempersiapkan penampilan terbaik kami sebagai satu tim tunggal partisipan seleksi pertukaran pemuda antar negara. Sajian seni yang kami tampilkan adalah penampilan tari berlatar lagu I Got A Feeling-nya Black Eyed Peas dan tentu saja Jai Ho yang populer di malam sebelumnya karena tariannya dibawakan dengan begitu piawai oleh skuad penari pimpinan Haryadi. Hujaman apresiasi dan pujian seakan tak berhenti mengalir dari panitia. Tak kalah dengan juniornya, para alumni program pertukaran pemuda itu juga menampilkan tarian yang berasal dari Hokaido. Malam terakhir proses seleksi itu berlanjut ke acara swadaya yang digagas peserta berupa karaoke. Sebelumnya dilakukan permainan Bibo untuk menentukan siapa yang harus tampil. Saya lalu terpilih sebagai salah satu dari tiga penampil. Ismail tampil pertama, membawakan lagu yang entah siapa penyanyi aslinya. Kejutan, saya lalu dirasuki spirit Fred Durst Limp Bizkit dan menyanyikan Breakstuff. Meski akhirnya dipotong sebelum lagu itu usai, ada kepuasan tersendiri selama membawakan lagu itu. Selama acara karaoke itu, saya selalu menari ngibing. Ngibing sepertinya akan menjadi kegemaran saya selanjutnya. Apapun jenis musiknya, asalkan moshpit kondusif ngibing pasti nikmat menjadi pelengkap semua sajian melodik.
Pagi hari di hari terakhir seleksi, Kokok yang tidur di kamar hotel yang sama dengan saya tidak bangun sepagi hari yang lalu. Rupanya semalam ia bercengkrama bersama rekan-rekan peserta lain hingga larut. Menyenangkan katanya, sayang saya melewatkannya. Setelah mempersiapkan diri, semua peserta bergegas menghadiri upacara penutupan sekaligus pengumuman peserta yang berhasil mewakili Jabar untuk tiga program pertukaran pemuda. Dalam pidatonya yang berdurasi 30 menit (saya merekamnya.hehe), Pak Ketut selaku ketua Disorda Jabar juga mengumumkan bahwa ketiga peserta yang lolos itu adalah Anggoro, Bugi dan Dewi. Anggoro mendapat kesempatan mengabdi di Garut dan Kanada, Bugi berkesempatan berlayar diatas kapal Fuji Maru menuju Jepang bersama delegasi negara lain selama 50an hari, sementara Dewi menjadi wakil pemuda Jawa Barat untuk bertandang ke Malaysia dalam misi pertukaran pelajar ini. Pasca pengumuman, tak ada yang menekuk wajah, semua peserta larut dalam euforia komunal. Kemenangan tiga orang itu seakan kemenangan peserta lain juga. Usai saling mengucap selamat, berfoto bersama dan bertukar foto, kami berpisah. Kebersamaan selama tiga hari rasanya seperti setara dengan kebersamaan tiga tahun. Well, agak hiperbolik memang, tapi setidaknya demikianlah gambaran kedekatan kami para peserta dan panitia PPAN. Semoga kami berkumpul lagi di kesempatan lain. Susuuuuuuuu!!!!!!*
*Susu adalah yel penyemangat sekaligus pemersatu kami. Susu (diucapkan sambil mencondongkan bibir dan merapatkan rahang atas dan bawah) berarti semangat dalam bahasa Thailand. Susu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar