Jumat, 29 Mei 2015

Rahasia di Balik Penampilan Internasional White Shoes And The Couples Company

Bayangan sari menyanyi #gig #music #tempomusic #kemang #jakarta #wsatcc
Bayangan Sari menyanyi

Kamis lalu, saya memaksakan diri hadir ke diskusi #musiktempo. Bagi saya, nggak gampang buat ikut acara itu, karena jam kerja saya di Kedoya Jakarta Barat nggak seperti kebanyakan orang kantoran. Saya masuk baru pulang kerja jam 21.05. Sementara acara diskusi bulanan ini mulainya jam 19.00 di Kemang Jakarta Selatan. Akhirnya setelah beresin tugas mengisi berita untuk headline news, saya pulang duluan. Maksudnya buat ke diskusi itu.

Malam itu temanya tentang bagaimana membuat musik kita dikenal dunia internasional. Narasumbernya adalah band White Shoes and The Couples Company (WSATCC), lengkap dengan sang manager: Indra Ameng. Dipandu Robin Malau, diskusi berlangsung menarik. Ada beberapa fakta menarik yang saya dapatkan, meskipun nggak semuanya karena saya telat datang satu jam. Ameng memaparkan rahasia di balik band asuhannya yang sukses bermain di berbagai festival luar negeri. Ia kisahkan bagaimana mereka harus ngutang agar bekal tampil di festival luar negeri ada. Mereka juga perlu menyusun siasat agar penampilan mereka mendapat respon maksimal. Misalnya ketika akan tampil, Ameng sebarkan dulu pratinjau musik WSATCC ke berbagai media. Dengan demikian, ketika band kelahiran Jakarta tahun 2002 itu tampil, penontonnya banyak.

Selain diskusi dengan panduan mantan gitaris band indie legendari Puppen itu, tanya jawab dan tanggap-menanggapi dari kursi pemirsa juga ada. Dari barisan audiens, terlihat beberapa tokoh musik indie. Ada David Karto bos demajors yang juga buka lapak penjualan CD, ada Julius manager Bottlesmoker, ada juga David Tarigan, pemilik almarhum Aksara Records yang pertama kali mendistribusikan karya WSATCC. Tarigan juga membagi alasan kenapa ia tertarik untuk menjadi label rekaman band beranggota enam orang itu.

Rio Farabi, yang duduk di panggung bersama Ameng dan Malau, juga unjuk suara. Ia jawab pertanyaan yang berkaitan dengan musik WSATCC. Misalnya ketika seseorang bertanya via Twitter tentang musik apa yang berselera internasional, dan musik jenis apakah yang dimainkan WSATCC. Rio terlihat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia mengaku sering mendapat pertanyaan serupa. Rio menjawab dengan untaian kata yang saya sering dengar dari banyak musisi: "kami juga bingung musik kami ini tergolong apa". Pengakuan itu saya rasa wajar karena memang tiap band punya spesifikasi musikal yang khas dan sangat mungkin sulit dijelaskan dengan sebuah deskripsi. Secara umum, Rio menjawab bahwa musik bandnya itu adalah pop, yang juga dicampuri unsur-unsur jazz dan jenis musik lain. "Ale denger metal, Ricky dengerin musik yang aneh-aneh", demikian kira-kira Rio menggambarkan sumber kekhasan audio WSATCC. Di satu kesempatan tanya jawab, Rio juga menjelaskan tentang apakah ada rasa bosan karena bergaul dengan orang sama selama lebih dari sepuluh tahun sempat singgah. Ia mengakui hal itu, apalagi katanya mereka bersama sejak kuliah. Untungnya masing-masing orang punya pekerjaan lain. Ada yang jadi guru, ada juga ilustrator, "ada yang jadi traveller", ujar Rio sambil melirik Ricky Virgana yang kemudian diiringi tawa dan acungan dua jari tengah si bassis itu.

Diskusi malam itu ditutup dengan penampilan WSATCC yang membawakan sejumlah lagu. Saya lupa tepatnya berapa. Kalo ga salah 5 lagu dari album Menyanyikan Lagu Daerah sampai Vakansi. Usai panggung digulung, saya mencegat Ameng ketika ia melewati tempat saya duduk. Saya tanyakan sejumlah hal spesifik tentang posisinya sebagai manager. Sayangnya, sebelum saya puas bertanya, ia keburu menuju kumpulan kawanannya di bagian lain bar itu. Meskipun singkat, pembicaraan dengan Ameng itu cukup berisi untuk menambah kecakapan saya yang juga sedang belajar jadi manager sebuah band.

Manager Asphoria
Saya jadi manager Asphoria sejak awal 2012. Kala itu Asphoria baru merilis album penuh keduanya yang berjudul Eschatology. Di akhir tahun, saya juga sempat menemani mereka tampil di Kick Fest Bandung. Sayangnya, setelah itu saya tak bisa total mengelola Asphoria karena keterbatasan waktu. Akhirnya pengelolaannya diambil alih Fan. Akhir 2014, Asphoria resmi bekerja sama dengan Warner Music Indonesia. Saya kembali diajak jadi manager sampai sekarang. Asphoria saat ini sedang belajar memonetasi karya kami. Kami sedang membuka pemesanan kaos . Kaos ini didesain oleh Firsha Indhar, seorang ilustrator dari Malang. Ia terinspirasi dari lagu Living In A World Of Atrocity. Kalau kamu mau punya salah satu kaosnya, silakan pesan ke saya. 

Sabtu, 23 Mei 2015

Tentang Wayang Orang

Sabtu itu saya hamper gak bisa liputan. Sesampainya di gedung pertunjukan wayang orang, saya ditagih surat izin liputan. Saya memang belum siapkan itu sebelumnya, karena toh bisa langsung dikirim lewat fax. Ternyata pengelola gedung tak punya faksimili. Negosiasi lewat telepon pun berlanjut. Singkat cerita, saya tak mengalami kisah seorang wartawan yang sudah 3 hari liputan wayang orang bharata lalu diusir dan tidak diizinkan tayang karena syarat administrasi peliputannya belum rampung. Pengelola gedung mengizinkan pengambilan gambar, para personel Wayang Orang Bharata juga berkenan diwawancara. Saatnya beraksi. 

Pertunjukan wayang orang bharata dimulai jam 9 meskipun sejak jam 8 udah ada penari pembuka. Dulu di kuri penonton bagian depan banyak turis, tapi karena penonton lokal datangnya telat dan pementas nunggu mereka, pertunjukan molor. Si turis asing padahal nunggu sejak sore. Dari bangku penonton ini kita juga bisa menikmati wayang sambil makan. Penjual makanan di luar gedung bakal tanya: "duduk di bangku nomor berapa?" Nanti makanannya diantar ke dalam

Ini pak kandar. Saat kami mau ambil gambar, bapak ini cuek. Mungkin memang begitu orangnya atau mungkin aktivitas latihannya terganggu. Tapi pas diajak ngobrol asik juga. Cukup ramah ternyata. Pak kandar pemain musik di wayang orang bharata. Kata pak marsam, dia udah keliling dunia karena keahliannya. Yang paling unik dr beliau adalah: kemana-mana bawa buku teka teki silang. Di dekat kendangnya ada buku TTS. Pas rehat, ngisi. Ini pas yang lain sibuk berias, malah ngisi TTS lagi

Samar denting suara gamelan terdengar sejak saya memasuki gedung di kawasan senen Jakarta pusat itu. Begitu masuk ke ruang pertunjukan, anak-anak sedang bermain gamelan. Mereka dipandu seorang pemusik senior bernama Pak Kandar. Pria sepuh berkacamata itu duduk di bagian kendang. Setelah saya sapa dan mintai izin pengambilan gambar, ia bercerita bahwa latihan yang ia jalani ini adalah aktivitas rutin. Ia melatih anak-anak pemain wayang orang saban sabtu mulai jam 10 pagi. Pak Kandar memperkenalkan seorang perempuan dewasa berambut kuncir di bagian lain set alat musik gamelan itu. Ialah Noni, putri Pak Kandar. Noni juga ikut memandu anak-anak di hadapan set alat musinya. Di satu sisi saron (bagian dari gamelan), ada Salsa, anak Noni, cucu Pak Kandar.

Pelestarian wayang orang secara turun-temurun, memang jadi cara utama kelompok Wayang Orang Bharata menjaga kelangsungan hidup tradisi yang mereka cintai. Berdiri sejak 1962, Wayang Orang Bharata sudah punya 8 generasi atau angkatan. Tiap sabtu malam, mereka menggelar pagelaran rutin dengan lakon yang berbeda-beda. Ada 380 cerita yang mereka punya. Jika harus tampil selama setahun penuh pun, cerita yang dihadirkan jelas tak akan mengulang. Dan memang demikianlah yang terjadi sebelum saat ini. Dalam sebulan, Wayang Orang Bharata bisa tampil 36 kali. Kini, saat pentas dihelat seminggu sekali, tak semua bangku penonton terisi. Seperti diakui ketua Wayang Orang Bharata Marsam Mulyoatmojo, tantangan kelompok wayangnya saat ini adalah perihal menggaet penonton.

Marsam juga berkisah bahwa dulu, turis asing sering ada yang menonton pertunjukan mereka. Tapi, kini jenis penonton itu tak banyak yang datang. Kata Pak Marsam, mereka sudah menunggu sejak sore. Sementara pertunjukan harus menunggu penonton local yang biasanya baru hadir lebih malam. “Jakarta ini kan semakin macet”, ujar Pak Marsam menganalisa. Meski demikian, malam itu saya lihat cukup banyak penonton yang memadati bangku di gedung pertunjukan. Bahkan ada Nunung Srimulat yang berjalan terburu-buru seusainya acara. Kalangan anak muda pun ada yang menyaksikan pertunjukan berbahasa jawa itu. Seorang bernama Wida mengaku senang akhirnya bisa merasakan alternatif aktivitas pelesir baru. “Gua kira cuma sejam atau sejam setengah, ternyata empat jam!” demikian kira-kira Wida berkesan seusainya pertunjukan. Selain Wida, saya juga mewawancarai Irawan dan ayah-ibunya. Irawan yang kira-kira berusia 20an tahun, mengaku yang berinisiatif mengajak orang tuanya menonton wayang. Selain karena memang suka, ternyata ayah Irawan juga punya kedekatan tersendiri dengan seorang pemain wayang orang bharata. Guru menarinya ketika mereka tinggal di Palembang, adalah personel Wayang Orang Bharata.

Layar terbuka, pentas dimulai. Saya nggak sepenuhnya menikmati wayang orang karena saya nggak ngerti bahasa jawa. Apalagi bahasa jawa yang dipakai di wayang orang itu boso jowo kromo inggil. Teguh Ampiranto alias Kenthus, sutradara pertunjukan wayang orang sempat saya wawancara soal itu. Katanya bisa aja dialog wayang orang tidak disampaikan dalam bahasa jawa. Tetapi, nilai adiluhungnya akan berkurang. “Saya pernah nonton opera, di Italia, di Jerman, itu tidak diterjemahkan tapi penontonnya dari seluruh dunia”, Kenthus berkisah dengan nada bicara merendah. 

Malam itu Wayang Orang Bharata menampilkan lakon Gatot Kaca Kembar. Lakon itu berkisah tentang Brajadenta, paman Gatot Kaca yang menyamar menjadi keponakannya dan mengacaukan kerajaan yang dipimpin Gatot Kaca si putra Bima. Ia tak rela tampuk kekuasaan dipegang Gatot Kaca. Kisah itu seakan menyindir realita di kehidupan nyata. Beberapa pekan lalu, raja keraton Ngayogyakarta mengeluarkan sabda raja yang salah satu isinya adalah pergantian nama anak sultan menjadi GKR Mangkubumi. Pergantian nama itu ditafsirkan sebagai persiapan pewarisan tahta. Mangkubumi adalah nama pendiri keratin Ngayogyakarta. Seorang sultan akan berganti nama menjadi Mangkubumi sebelum akhirnya ia dikukuhkan menjadi raja di Yogyakarta. Sementara itu adik Sultan Hamengku Bawono X, mengajukan protes terhadap sabda sultan tersebut. Hingga kini, adik sultan memang tidak terlihat sekejam Brajadenta. Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi juga belum dikukuhkan menjadi raja seperti halnya Gatot Kaca yang mewarisi tahta. Tapi tetap saja kedua kisah itu terasa relevan. Menurut Pak Marsam, kisah itu memang sudah ada dari dulu. Jadi bukan menyindir atau mengait-kaitkan, tapi memang kisahnya begitu. Makanya, lanjut Pak Marsam, wayang itu ibarat gambaran kehidupan manusia sebenarnya. Wayang adalah bayangan kehidupan manusia. Banyak pelajaran budi pekerti di dalamnya. Kita dipaparkan dengan realita bahwa ada yang baik dan buruk. Dan biasanya keburukan menang di awal meski di akhir selalu dapat dimusnahkan kebenaran.

Jika kamu berhalangan menyaksikan tayangan 360 episode Menolak Sirna yang menceritakan Wayang Orang Bharata, tonton saja di sini.

Anak2 personel wayang orang bharata juga mahir menari. Kata pak marsam sang ketua paguyuban itu, mereka bahkan sudah paham karakter2 tokoh wayang. "Sarjana seni saja belum tentu bisa", kata pak marsam. Kalo kata pak kenthus, salah satu sutradara pertunjukan wayang, penghayatan tokoh wayang itu butuh waktu bertahun-tahun

 

"Langgengmu adalah harapanku, lestarimu adalah tanggung jawabku" -wayang orang remaja bharata-

Anak2 personil wayang orang bharata fasih bermain gamelan. Mereka rutin berlatih tiap sabtu pagi-siang.


Rabu, 20 Mei 2015

Kegilaan Mad Max


Mad Max akhirnya rilis di bioskop. Kawan saya di instagram bilang ini film terbaik sepanjang 2015. Masa sih? Teman saya di grup chat band Operasi Plastik bilang film ini rangkingnya di rotten tomatoes tinggi banget. Pas dicek, bener juga. Di IMDB juga film ini kalahkan Interstellar. Penasaran juga saya. Alhasil pada hari libur pekan ini saya sisihkan waktu buat nonton Mad Max: Fury Road. Gak tanggung-tanggung, langsung nonton di IMAX. Biar audio-visualnya lebih memuaskan.



Mad Max: Fury Road adalah sekuel dari film berjudul serupa yang sebelumnya diperankan Mel Gibson. Sekarang yang jadi Max adalah Tom Hardy. Film ini berkisah tentang dunia di masa depan yang sudah rusak. Antar kerajaan/ suku/ bangsa/ geng/ negara saling susun strategi buat bertahan. Ada sebuah kerajaan yang bermarkas di tempat bernama Citadel (dibacanya sitadel yah bukan citadel. Citadel mah atuh belah kencaeun cicaheum belah ditueun cikuluwut. Haha). Kerajaan Citadel dipimpin raja bernama Immorta Joe. Kerajaan ini punya tentara bernama war boys. Dalam yel-yelnya, mereka meneriakkan semangat berani mati demi raja. War boys ini kalau lemas, harus ditransfusi darah manusia non-war boys. Nah seorang war boys bernama Nux sedang menikmati transfusi darah dari tokoh utama kita yang bernama Max. Ketika itu panglima perang Immorta Joe yang bernama Furiosa, ternyata berkhianat. Dia menculik selir-selir Immorta Joe.

Seluruh kekuatan kerajaan itu kemudian dikerahkan untuk mengejar Furiosa. Nux yang setia kepada rajanya, tentu tak mau ketinggalan “mati sahid”. Dia nekat ikut berperang dengan membawa kantong darah transfusinya yang berupa pria bernama Max tadi. Mulailah dari situ keseruan, kehebohan, keberisikan, kewahan, kebombastisan film ini dimulai.

Karena nonton di IMAX, tata gambar dan suara yang saya alami memang menggelegar dan membelalakkan. Gak terlalu memanjakan sih. Maksudnya saya merasa kurang maksimal. Mungkin saya duduk terlalu jauh. Rasanya beda dengan ketika nonton Prometheus dan Gravity di tempat itu. Apa memang karena filmnya? Tapi ada kok beberapa adegan yang membuat saya seperti ikut melayang mengikuti gerakan kamera yang menyapu pandangan dari atas. Jatuhan sesuatu yang mengejutkan dan menghantam ke arah layar juga tak jarang membuat saya berkedip takut ketimpuk. Haha. Suaranya juga mantep. Meski pun ketika perang-perangan ada campuran suara deru mesin, gemuruh padang pasir, hingga sayatan musik metal. Ya, musik metal yang dibawakan langsung sama seorang war boys dari rig atau mobil perangnya. Oh my god epic banget bagian itu. Saya sebelumnya tak pernah merasa ngeri sekaligus berdecak terkesima melihat seseorang memainkan gitar seperti itu. Segan sekali.


Jalinan ceritanya cukup rapi tersusun. Meskipun ini sekuel, kita tak akan terseret dengan beban kisah di film sebelumnya. Saya belum pernah nonton Mad Max yang sebelum ini, tapi ngerti bahwa Max trauma dengan kematian keluarganya di film terdahulu. Saya juga suka dengan simbolisasi di film ini. War boys saya maknai sebagai gambaran fanatisme buta. Sebutlah para war boys itu “pengantin”, yang rela “mati sahid” karena mereka yakin (seperti yang mereka teriakkan sebelum menjemput maut) “I live, I die, I live again”. Jika mengabdi ke Immorta Joe dengan teladan, mereka akan berakhir di sebuah tempat bernama gerbang Valhalla (entah apa itu Valhalla dan seperti apa bentuknya. Mungkin ada di film sebelumnya). Sosok war boys garang badass sialan tapi keren berhasil dimainkan Nicholas Hoult. Saya gak nyangka dia bisa seberingas itu. Di film Warm Bodies yang dia mainkan, dia masih terlihat manis meski berperan sebagai vampir (ya meskipun memang itu yang diminta sutradaranya). Tapi di perannya sebagai Nux kali ini, dia benar-benar gila. Inilah Joker di film Mad Max. Di beberapa bagian dia terlihat seperti Gerard Way di video klip Welcome to Black Parade. Haha. Tapi ada lagi yang lebih bikin pangling. Charlize Theron. Oh god, ini ibu-ibu yang biasanya tampil cantik judes jadi tomboy dingin gitu. Tapi saya baru bisa membayangkan bahwa itu Theron setelah dia berekspresi macam-macam di film. Kalau liat di poster aja, saya gak bisa identifikasi bahwa itu si pemain antagonis di film Prometheus dan Elysium yang berkesan itu.
Intinya, film ini memang seru. Ya meskipun kritik di Koran Kompas Minggu lalu memang menyatakan ganjalan yang juga saya rasakan. Ada rasa bosan dengan kekerasan yang seakan tanpa henti itu. Entahlah kenapa. Beda dengan ketika saya nonton The Raid 2 yang sepanjang film laganya yang intens itu tetap menggairahkan. But still, “what a lovely (holi)day!” []

Minggu, 17 Mei 2015

Pelajaran Dari Kelas Angkatan 92


Saya baru khatam menonton sebuah film dokumenter, judulnya The Class of 92. Film ini berkisah tentang 6 orang pemain bola tim Manchester United yang direkrut divisi pengembangan pemain baru pada tahun 1992. Mereka adalah David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, Gary Neville, Philip Neville dan Nicky Butt. Keenam orang ini, tujuh tahun setelah mereka merumput bersama, meraih gelar treble winner. Gelar itu disematkan bagi tim yang berhasil meraih juara di tiga kompetisi besar.

Saya suka film ini karena ia begitu intim dengan penontonnya. Maksud saya, pembawaannya seperti reuni para bintang lapangan itu setelah mereka lama tak berjumpa dan bahkan lama pula tak duduk di bangku yang biasa mereka gunakan untuk berganti kostum. Yang juga menarik, berbagai hal yang terjadi di lapangan kala mereka aktif bermain, diungkap satu per satu, dan dikomentari juga oleh tokoh lain di luar enam orang itu. Ada Mani basis band Stone Roses yang jadi penegas bahwa kota bandnya dan Manchester United bagaikan senar dan tala, atau gawang dan jala. Simak juga tuturan Zinedine Zidane yang mengomentari kawanan itu sebagai sesama pemain bola dari luar Inggris Raya. Tony Blair pun turut serta. Mantan perdana menteri Inggris itu memperhatikan betul bagaimana dinamika si setan merah saat para punggawa Kelas Angkatan 92 itu sama-sama dewasa.

Selain mengulas laga krusial ketika mereka meraih tiga tropi sekaligus, satu per satu personil kelas itu memperkenalkan diri dan dikenalkan teman-temannya. Tiap pemain punya ciri khasnya sendiri. Scholes yang ulung mengumpan, Giggs yang tak lelah bermain hingga 15 tahun setelah Platini pensiun (si pemilik tendangan kung fu ini juga jadi narasumber), hingga Beckham yang dijuluki si pria cantik (pretty boy).

Khusus tentang Beckham, saya merasa setuju dengan komentar Zidane bahwa suami Victoria eks-biduan di kelompok Spice Girls itu memang sepertinya rendah hati. Zidane bilang bahwa Becks selalu memperlakukan orang setara. Saya bisa merasakan dari suara dan cara bicaranya. Tapi entahlah. Yang jelas Becks ini mengingatkan saya ke buku Pandji Pragiwaksono dan pernyataan petinju Mohamad Ali.

Beberapa hari lalu saya baru baca buku Indipreneur, buku tentang cara hidup insan kreatif yang ingin bertahan dengan karyanya. Buku buatan Pandji Pragiwaksono itu begitu kaya informasi. Dalam bukunya ini ia merumuskan delapan hal penting yang jadi komponen kesuksekan mandiri dari karya sendiri. Yang pertama produk. Agar seorang seniman sintas, tentu ia harus punya produk yang bagus. Agar produk kita bagus, latihan rutin jadi syarat utama. Pandji mencontohkan Kobe Brant yang latihan teknik dasar basket 6 jam selama enam hari, hingga Lil Wayne yang selalu melatih bernyanyi hiphop tanpa lirik. Dalam film The Class of 92, diungkaplah bahwa rahasia dibalik tembakan akurat Beckham, adalah latihan rutin. Saya kemudian teringat ke sebuah poster bergambar petinju Mohamad Ali yang tegak memandangi lawannya yang tumbang. Di bagian kanannya tertulis: i hated every minute of training, but I said, "Don't quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion. []


Kamis, 07 Mei 2015

Mary Jane Veloso dan Film Tentang Hukuman Mati

Kemarahan Jelang Vonis Mati
Tahukah kamu, bahwa dalam proses persidangan di Amerika Serikat, hakim dibantu oleh juri. Sejak tahun 1898, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa dewan juri harus terdiri dari setidaknya 12 orang. Mereka nantinya berdiskusi untuk memberikan masukan putusan kepada hakim sehingga putusan hakim benar-benar tepat. Para anggota juri adalah warga yang tinggal di daerah yurisdiksi pengadilan. Mereka memantau jalannya sidang sejak awal. Semua keterangan saksi, tuntutan jaksa dan pembelaan pengacara juga disimak untuk jadi bekal mereka merumuskan rekomendasi kepada hakim. Sebuah rekomendasi tim juri baru bisa diputuskan jika semua anggota setuju atas sebuah pendapat. Pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa angka 12 orang juri tersebut adalah kecelakaan sejarah, sehingga selanjutnya jumlah juri hanya 6 orang agar pengambilan keputusan lebih efektif dan efisien. Tantangan untuk bersatu suara dalam sebuah tim juri, tergambar menarik di film rilisan tahun 1957 berjudul 12 Angry Men.


Twelve Angry Men berkisah tentang perdebatan tim juri untuk memutuskan apakah mereka akan merekomendasikan ke hakim bahwa seorang pria 18 tahun benar-benar bersalah atas pembunuhan ayahnya. Jika mereka merekomendasikan bahwa anak itu memang bersalah, maka ia lebih rentan berakhir di kursi listrik untuk dihukum mati. Pengambilan keputusan tersebut sangat penting karena selain menentukan hidup atau matinya seseorang, terpidana yang dibincangkan ini usianya masih muda, meski pun memang sudah cukup dewasa. Saya jadi ingat kasus Yusman Telaumbanua, seorang terpidana mati pembunuhan asal Nias, Sumatera Utara. Ada simpang siur tentang usia Yusman. Sebuah dokumen menyatakan bahwa ia divonis mati ketika masih berstatus anak-anak. Sementara data lain justru menunjukkan bahwa usianya sudah 18 tahun ketika divonis, sehingga putusan itu wajar karena Yusman sudah dewasa. Baiklah kita lupakan dulu kisah Yusman.

Di film 12 Angry Men, alkisah sebuah pemungutan suara digelar. Sebelas dari dua belas orang juri sepakat bahwa si anak bersalah. Dasarnya, si anak adalah korban perceraian dan tinggal di daerah kumuh, sehingga stigma negatif atas dirinya kemudian melekat. Selain itu semua keterangan saksi di persidangan juga menguatkan dugaan bahwa si anak itulah yang membunuh ayahnya sendiri. Namun, ada seorang juri yang berbeda pendapat. Ia tak yakin bahwa si anak bersalah atas kematian ayahnya. Selama sekitar satu setengah jam, film ini kemudian bergulir mengisahkan perubahan keputusan bahwa si anak tak bersalah. Dari awalnya cuma satu orang, sampai semua setuju dengan pendapat itu berdasarkan fakta dan analisa yang didiskusikan bersama. Meski hanya berlatar suasana sebuah ruangan berisi meja dan kursi, film ini tetap menarik. Apalagi relevan dengan kondisi kekinian di jagat pemberitaan Indonesia.


Vonis Mati Mary Jane Veloso


Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung RI mengeksekusi mati sejumlah terpidana mati kasus narkoba. Pada menit-menit terakhir, seorang terpidana bebas dari vonis tersebut. Saya jadi membayangkan, jangan-jangan suasana penundaan eksekusi Mary Jane Fiesta Veloso sedemikian sengit juga. Lalu benarkah Mary Jane layak selamat karena dia "cuma" kurier dan korban perdagangan manusia? Saya akan coba paparkan informasi yang sejauh ini saya ketahui.


Mary Jane Fiesta Veloso tertangkap membawa 2,6 kilogram sabu ketika "berlibur" di Yogyakarta. Barang haram yang dibawanya terdeteksi petugas bea cukai bandara Adi Sucipto. Enam bulan kemudian, wanita wanita asal Filipina ini divonis mati. Semua upaya hukum untuk meringankan vonisnya tak mampu membuat putusan itu berubah. Pada menit-menit terakhir ekskusi matinya, Mary Jane selamat. Vonisnya ditangguhkan karena keterangan Mary Jane diperlukan untuk mengungkap kasus perdagangan manusia yang diduga melibatkannya. Anehnya (atau uniknya), pembatalan vonis mati itu terjadi setelah penyerahandirian seorang bernama Maria Kristina Sergio yang mengaku orang di balik nasib sial yang menimpa Mary Jane. Benarkah Mary Jane Veloso korban perdagangan manusia? Betulkah ia "cuma" kurir dalam kasus penyelundupan narkoba itu? Layakkah Mary Jane tak dihukum mati? Mari kita cermati fakta-fakta berikut ini.


Sebelum tertangkap di Yogyakarta, Mary Jane bekerja di Malaysia. Maria Kristina Sergio-lah yang menawari Jane bekerja di Malaysia dan mengantarkan sebuah barang ke Yogyakarta. Setahun sebelumnya, ibu dua anak ini bekerja di Dubai. Di sana, ia jadi korban kekerasan seksual. Sebulan setelah dirawat di rumah sakit di Dubai, ia kembali ke Esguerra, Filipina. Bersama Michael Candelaria, suaminya, Mary Jane membeli becak motor dan menjual perabot rumah tangga. Sayangnya usaha itu cuma bertahan dua bulan. Jane kemudian ditawari tetangganya, Maria Kristina Sergio untuk bekerja di Malaysia. Pada 21 April 2010, mereka pun tiba di Malaysia. Tiga hari setelahnya, Mary diminta pergi ke Yogyakarta untuk memberikan sebuah tas kepada kepada seseorang bernama Ibon. Setibanya di bandara Adi Sucipto itulah, tas yang dibawa Mary Jane ternyata berisi 2,6 kilogram sabu.




Mary Jane kemudian menempuh jalur hukum agar dirinya bebas. Ternyata selama proses persidangan itu, Jane yang hanya bisa berbahasa tagalog (saat diwawancara Metro TV pasca hukuman matinya ditunda, Jane sudah bisa berbahasa Indonesia) didampingi penerjemah bahasa inggris (saya juga heran apa benar ini terjadi?). Dengan demikian, penyesalan Jane di hadapan hakim malah ditafsirkan pengakuan wanita 44 tahun itu atas barang haram yang dibawanya. Pemerintah Filipina pun baru mendampingi Jane saat ia menempuh peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Di bagian lain tempat Mary Jane tertangkap tangan menyelundupkan narkoba, Maria Kristina kembali ke Filipina. Ia berjanji kepada keluarga Veloso untuk mengganti kerugian finansial akibat keterlibatan Jane dalam kasus narkoba yang disulutnya. Namun nyatanya, janji itu tak pernah menjadi nyata. Malah ia melanjutkan perekrutan pekerja migran lain di daerah tinggalnya. Entah apa yang lalu mengubah jalan pikiran di otak Maria Kristina, menjelang eksekusi mati Mary Jane dilaksanakan, ia menyerahkan diri ke polisi di Filipina. Presiden Filipina pun langsung berkomunikasi dengan presiden Indonesia agar eksekusi mati terhadap Jane ditahan karena keterangannya diperlukan untuk mengusut kasus perdagangan manusia.

Kalau kita berpatokan ke kronologi di atas, nampaknya memang sepertinya Jane cuma korban. Tapi kenapa protes hukuman matinya baru dilakukan sekarang? Bukan ketika proses hukum masih berjalan? Itu juga pertanyaan yang diakui ditanyakan Jokowi, bahkan ke presiden Filipina-nya langsung. Tunggu, jangan-jangan Mary Jane cuma mengaku korban. Toh kata Sutarto Tri Antoro, petugas bea cukai yang memeriksa tas Mary Jane saat pertama kali ia tertangkap, ia kooperatif dan terkesan seperti memang tak mengetahui bahwa tasnya berisi sabu. Tapi, menurut orang yang sama, gelagat itu memang prosedur standar para penyelundup narkoba.


Sekarang mari kita simak analisa kepribadian seorang Mary Jane Veloso menurut ilmu grafologi. Grafologi adalah ilmu membaca karatker seseorang berdasarkan tulisan tangannya. Berdasarkan analisa grafolog Deborah Dewi, Mary Jane tak sebaik yang dicitrakan. Bahkan anggota American Handwriting Analysis Foundation ini berani bertaruh pensiun dari profesinya sebagai grafolog. Menurutnya, jika Mary Jane dibebaskan dan selama tulisan tangannya masih sama seperti ketika ia menulis surat permintaan pengampunan hukuman mati, ia bisa 10 kali lebih gila pergerakannya. Kata Debo, Mary Jane adalah seorang dangerous trouble maker. Berdasarkan analisa tulisan tangannya, ia memiliki kemampuan kontrol moral yang rendah. Artinya, ia berpikir yang penting senang dulu, urusan moral belakangan.


Nah, menurut kamu apakah Mary Jane layak mendapat pembebasan? Atau tetap divonis tapi bukan dimatikan? Apa pun itu, semoga keputusan pemerintah Indonesia benar-benar berdasarkan fakta dan analisa yang tepat. Tapi sejauh ini sih, jaksa agung masih bilang bahwa vonis mati Mary Jane bukan dibatalkan, tapi diundur. Kita tunggu kelanjutan kisahnya. []

Menonton Novel Tanpa Huruf R

Saya baru menyaksikan film Novel Tanpa Huruf R. Diarahkan oleh Aria Kusumadewa, film buatan tahun 2004 ini punya identitas khas ala sutradaranya, seperti yang saya juga saksikan di film Kentut buatan orang yang sama. Novel Tanpa Huruf R mengisahkan tentang Drum dan ayahnya yang jadi korban selamat kerusuhan di Ambon pada awal tahun 2000an. Mereka kemudian tumbuh dekat dengan kekerasan, atau brutalitas. Ayah Drum bekerja sebagai tukang jagal sapi. Otomatis ia familiar dengan terpaan darah dan kematian, termasuk dengan kematian ayahnya ketika Drum dewasa. Drum dan Talang, seorang tuna rungu dan tuna wicara yang dikenalnya sejak kecil kemudian tumbuh bersama di kawasan pantai. Drum pun menulis sebuah novel berjudul Kejet-Kejet. Novel itu menarik perhatian seorang mahasiswa bernama Sunyi untuk membahas novel itu dalam sebuah karya tulis. Dari situlah kemudian konflik berkembang. Sunyi kemudian tahu bahwa Drum punya sebuah kebiasaan aneh yang mungkin berkaitan dengan proses kreatif kepenulisannya.

Bagi saya, ini film naratif yang merespon tren kekerasan yang memang marak di periode waktu itu. Dalam sebuah tugas peliputan, saya pernah berjumpa Hary Sudwijanto, yang saat itu menjabat posisi direktur resor kriminal umum polda Kalbar. Pak Hary berkisah tentang riset ilmiahnya pada awal tahun 2000an. Ia meneliti tentang cara media memaparkan kekerasan yang sedemikian vulgar. Ingatkah kamu dengan tayangan Buser? Sergap? Patroli? Atau program lain semacamnya? Kala itu program berita kriminal tayang di siang hari, dengan tampilan gambar yang dramatis: pengejaran penjahat, tampakan mayat dan darah, dll. Ternyata, "gambar bagus" itu memang sengaja dibuat, direkayasa. Misalnya ketika polisi menangkap seorang penjahat, maka ia akan memanggil wartawan. Para mat kodak itu tentu ingin mendapat gambar dramatis agar menarik perhatian penonton. Maka polisi dengan sengaja melepas si penjahat, lalu ditembaklah si penjahat yang lari. The more it bleeds, the more it leads. Demikian mantra layar kala itu yang juga senada dengan figur di film Nightcrawler. Mengerikan bukan? Karenanya, sekarang metode tersebut tak lagi digunakan karena tentu menentang HAM juga. Di film Novel Tanpa Huruf R, fenomena itu disindir dengan caranya tersendiri. 

Tapi ada beberapa hal yang saya pertanyakan dari film yang didominasi lagu Slank berjudul Bulan Bintang itu. Misalnya adegan Drum yang tiba-tiba tertawa setelah memberi sebatang rokok kepada seseorang di jalan. Drum lalu tertawa terbahal setelah itu. Apa maksudnya? Talang yang dikisahkan tak bisa mendengar pun, toh bisa menoleh ketika namanya dipanggil Drum. Sayang sekali detil kecil itu harus muncul. Tapi secara keseluruhan ini film yang tentu penuh makna. Novel Tanpa Huruf R adalah potongan pemberi makna terhadap suatu fenomena.