Senin, 15 Juli 2013

Journey To The West Conquering The Demons


Kisah tentang perjalanan biksu Tong Sam Chong ke barat untuk mencari kitab suci, selalu menarik untuk diikuti. Tak hanya romantika perjalanannya yang seru untuk disimak, cerita asal China ini menyimpan pesan moral mendalam. Biksu Tong dikisahkan menempuh perjalanan bersama empat orang muridnya; Sun Go Kong si kera, Wu Nang sang siluman air, Ti Pat Kai si babi, dan kuda putih yang merupakan jelmaan naga. Biksu Tong adalah personifikasi jiwa manusia yang bersih. Selama menempuh hidup, seorang manusia diiringi berbagai nafsu duniawi yang digambarkan melalui empat murid si biksu. Go Kong simbol arogansi dan keserakahan, Pat Kai gambaran nafsu manusia, Wu Nang analogi ketidaktahuan / kebodohan, dan si kuda representasi raga yang selalu ditunggangi jiwa. 






Saya mengikuti kisah epik ini sejak serialnya ditayangkan salah satu televisi swasta bertahun-tahun silam. Disana tergambar dramatik latar belakang tiap tokoh. Go Kong yang lahir dari batu, Wu Nang yang ditemui di sebuah sungai, hingga Pat Kai yang tak lepas dari lingkar reinkarnasi dan selalu hidup bersama kisah cinta pilu. Cerita perjalanan ke barat juga menginspirasi lahirnya kisah lain. Sebut saja Saiyuki yang menampilkan kawanan pencari kitab dalam wujud yang sinis, serius, sekaligus modern. Atau yang paling populer, Dragon Ball gubahan Akira Toriyama, meski seperti sosok Go Kong saja yang dicomot. Selain dalam versi serial, kisah perjalanan ke barat pernah saya saksikan juga dalam wujud kartun. Sementara golongan terakhir yang baru saya tonton, berupa sebuah film berdurasi hampir dua jam dengan judul Journey To The West Conquering The Demons.



Saya kira, film Journey To The West Conquering The Demons akan merangkum perjalanan kawanan Biksu Tong. Nyatanya, film ini justru membedah apa yang terjadi di linimasa hidup para tokoh, sebelum mereka diperintahkan merengkuh langkah ke barat. Berbeda dengan versi serial televisi, disini biksu Tong dikisahkan bernama Chen Xuan Zhang, seorang pemburu siluman yang kikuk. Di awal kisah, Chen berusaha menaklukkan siluman ikan. Setelah si siluman kembali berwujud manusia, Chen justru menyanyikan semacam lagu nina bobo, bukannya mantra. Sang siluman menyerang balik, namun beruntung seorang pemburu siluman wanita menyelamatkannya. Wanita inilah yang nantinya punya peran besar di kehidupan Chen Xuan Zhang. Selain menaklukkan siluman ikan, siluman babi dan sang kera sakti juga menjadi rival si biksu sebelum seperti yang kita sama-sama ketahui, para siluman itu jadi murid biksu. Yang paling menarik dari film ini, para siluman digambarkan dalam sosok yang benar-benar siluman; menyeramkan. Jika Pat Kai di serial Kera Sakti bisa genit dan jenaka, maka di film Journey To The West Concuering The Demons, ia adalah babi bergigi runcing dengan ukuran raksasa. Pun demikian dengan Sun Go Kong yang kecil, pendek, tapi buas. Selain itu, plot kisah dalam film ini juga cukup seru. Kalau mau tau siapa sebenarnya si biksu pemimpin perjalanan ke barat, film ini bisa jadi alternatif sumber informasi. 


Dalam film Journey To The West Conquering The Demons arahan Stephen Chow ini, Chen diingatkan gurunya bahwa ia masih kekurangan sedikit 'sesuatu' agar bisa menaklukkan para siluman. Sesuatu yang dimaksud, nyata saat Chen mencapai nirwana, punya kekuatan budha dan menjinakkan lagi raja kera. Legenda perjalanan ke barat memang selalu punya makna filosofis, dalam wujud apapun kisah itu dituturkan.

Jumat, 05 Juli 2013

Bottlesmoker - Inconsolable Rooftop Club (Unofficial Video)


Kalau film Modus Anomali terinspirasi dari lagu Bogor Biru yang dinyanyikan Sore, video diatas terinspirasi dari lagu yang ada di video itu, Inconsolable Rooftop Club buatan Bottlesmoker. Tiap suka sebuah lagu, saya selalu terpikir bikinin semacam versi lain dari lagu itu. Kali ini saya terpikir menggambarkan ide Ridwan Kamil tentang satu kampung yang harus punya satu lapangan bermain. Di kampung saya di Kudang, Kecamatan Limbangan - Garut, sebuah lapangan di depan kantor kepala desa masih digunakan anak-anak bermain bola. Saya dulu juga main bola disana waktu kecil.

Dalam video tanpa skrip ini, saya juga tempelkan rekaman aktivitas anak kampung ketika mengaji. Dulu tempat mengaji saya gak sebesar ini, tapi kira-kira aktivitasnya sama, bada ashar mengaji, habis itu main bola. Setidaknya video ini bisa jadi semacam dokumentasi, sebelum semuanya berubah. Bapak saya pernah cerita tentang sungai yang sering ia gunakan berenang waktu kecil. Ketika saya tumbuh, sungai itu sudah tak bisa lagi digunakan berenang. Suatu hari nanti mungkin ada yang hilang dari lingkungan tempat saya dibesarkan. Biar bisa "kembali" ke masa lalu, inilah mesin waktu saya.

Mendaki Gunung Gede Bersama JAVEC

Akhir Juni lalu saya mendaki puncak Gunung Gede bersama kawan-kawan Javec. Javec atau Journalist Adventure Club adalah kumpulan wartawan penyuka petualangan dari berbagai media. Pendakian ke Gunung Gede ini sudah direncanakan sejak lama. Awalnya dijadwalkan tanggal 22 Juni. Saking semangatnya saya ikut kesana, cuti sudah diajukan sejak jauh hari. Ternyata jadwal pendakian diundur ke Tanggal 28 Juni. Saya sempat terancam gagal ikut, meski akhirnya berangkat juga. Selain berhasil memijakkan kaki di Gunung Gede, banyak hal lain yang saya dapat, diantaranya mengetahui tentang hulu aliran sungai dan menyadari kondisi taman nasional yang padat pendaki.



Jumat malam kami mulai bertolak dari stasiun Bogor. Rencananya kami akan masuk melalui jalur pendakian Cibodas. Untuk menuju puncak Gede-Pangrango, kita bisa masuk melalui tiga jalur yang tersebar di Cibodas Bogor, Gunung Putri Bogor, dan Salabintana Sukabumi. Jalur Gunung Putri dikenal dengan trek yang berat tapi jarak tempuh ke puncak Gede lebih dekat. Kabarnya kalau kita lewat sini, selama pendakian lutut sampe menyentuh dada. Gunung Gede dan Pangrango letaknya berdampingan, jadi dengan memasuki satu pintu jalur pendakian, kita bisa melahap dua gunung sekaligus. Kalau lewat jalur Cibodas dan Salabintana, nanti di pos Kandang Badak kita tinggal pilih puncak mana yang mau dilibas. Untuk menuju kesana, Tim Javec tiba di posko Montana yang ada di jalur Cibodas sekitar jam 4 pagi. Kami rehat sejenak buat isi tenaga, sarapan. Jam setengah 6 kami mulai mencicil langkah menuju puncak Gede.


Ada beberapa jenis trek yang saya lalui di jalur pendakian Cibodas. Pertama kita akan menyusuri jalan seperti tangga yang disusun dari batu. Rasanya nyaman melangkah disana, meski tetap harus menanjak. Di jalur ini kita bisa mampir di beberapa pos, diantaranya pos pengamatan burung dan pos Telaga Biru. Di pos Telaga Biru, kita bisa lihat sebuah danau kecil yang asri. Saat saya mengunjungi Telaga Biru, airnya sedang surut. Di musim hujan, telaga ini terisi penuh, bahkan ketika Jakarta dilanda banjir besar awal tahun lalu, air di telaga ini juga meluap. Air dari Telaga Biru nantinya akan tersalur ke Bendung Katulampa di Bogor, pintu air yang membagi air ke sungai-sungai di ibu kota. Karena itu, status Telaga Biru akan sangat menentukan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di hilir.


Di awal-awal jalur pendakian ini, kita juga akan melintasi jalur berupa jembatan. Indah sekali pemandangan disana. Beberapa pendaki mendirikan tenda disana, atau sekedar beristirahat sebelum kembali melanjutkan pendakian. Dari jalur ini, puncak Gede pun terlihat. Tapi bukan berarti garis finish kita sudah dekat. Jalan masih panjang



Bada trek berbatu tadi, di pos pertigaan antara air terjun Cibeureum dan jalur pendakian ke Gunung Gede-Pangrango, posisi batu mulai tak beraturan. Kita juga harus hari-hati saat berpijak di batu yang tak terpaut mantap di tanah. Selanjutnya, jalur konstan menanjak yang diselingi bonus jalur mendatar dan sedikit turunan kecil akan kita lewati.


Ada kejutan dalam pendakian saya kali ini. Saya berjumpa dengan Khristya, kawan semasa SMA di garut. Dia mendaki bersama teman kuliahnya dulu di ITB.




Kejutan lain dari jalur pendakian Cibodas adalah adanya air terjun air panas. Kita harus hati-hati saat melewati jalur ini. Selain batu pijakan kita basah, pandangan kita juga dibatasi uap air. Disini kita jangan main-main, karena selain luncuran air panas di satu sisi, di sisi lain jurang menganga menyapa halo.



Setelah melewati air terjun air panas, kita bisa mampir di pos air panas. Selain ada kolam air hangat untuk sekadar cuci muka, di samping kolam itu juga ada sebuah area kecil yang menjorok ke arah jurang. Dari sini jika udara sedang bersih, kita bisa melihat lanskap kota Bogor dari atas.


Perjalanan dari pos air panas akan berlanjut ke jalur menanjak berikutnya. Keindahan jalur pendakian Cibodas belum habis. Kita akan menjumpai sebuah air terjun kecil yang indah. Air disini sudah mendingin. Kalau bekal minuman kita habis, air ini bisa diteguk.



Sudah dekatkah kita ke puncak? Belum. Meski demikian santai saja di jalan sana, nikmati kicauan burung dan sunyinya hutan. Sesekali kita bisa rebahkan badan di kelokan jalur yang menyisakan ruang untuk beristirahat. Atau kalau mau cepat sampai, di jalur ini banyak sodetan jalan, sehingga tak perlu melingkar untuk menuju bagian atas jalan, cukup memotong jalur dengan konsekuensi jalan yang lebih terjal.

Tim Javec merencanakan membangun tenda di pos Kandang Badak. Ini adalah pos terakhir sebelum kita memilih puncak mana yang akan dipijak. Ada beberapa versi tentang asal nama pos ini. Ada yang bilang dulu ada badak putih besar di kawasan ini. Ada juga yang bilang kata "badak" itu berasal dari "badag", artinya besar dalam bahasa sunda. Pos ini memang lebih luas di banding pos lain. Ketika saya tiba disana jam 12 siang, pos sudah ramai. Beberapa pendaki juga sudah membangun tenda.

Rupanya keramaian di gunung ini sudah tak lazim. Idealnya, tiap jalur pendakian dimasuki 50 pendaki saja. Nyatanya, Jumat itu kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP) dijamah 600 orang. Padatnya kunjungan ke TNGP, selain mengurangi kenyamanan pendaki, juga berisiko merusak kawasan taman nasional. Para relawan sering melakukan aksi bersih. Hasilnya, berton-ton sampah diturunkan dari atas. Tanda cemarnya kawasan ini juga terlihat di sumber air pos kandang badak. Di tempat itu ada sebuah tumpukan makanan bekas para pendaki. Salah satu relawan TNGP, Boy, menyatakan bahwa harusnya daerah itu steril. Meski demikian, kondisi airnya tetap bagus. Dingin dan menyegarkan.


Sebenarnya ada jalur yang bisa mengantarkan kita tepat ke bibir kawah, ke tempat yang lebih dekat dengan asap di foto diatas. Tapi yang boleh kesana cuma peneliti, yang tahu jadwal asap beracun muncul. Kalau kamu di persimpangan pendakian puncak Gede dan Pangrango, jalan ke sebelah kiri tidak diberi keterangan arah. Nah lewat situlah jalur untuk ke kawah.


Dua jam berselang, anggota tim Javec lain tiba di kandang badak, tenda pun didirikan. Saya sendiri sudah tak sabar ingin segera ada di puncak Gede. Akhirnya saya dan Ihin melanjutkan pendakian. Kami berdua menempuh trek kandang badak-puncak selama dua jam. Di percabangan tanjakan setan, kami menempuh jalur kiri, jalur yang lebih landai. Jam empat sore, tibalah kami di puncak. Kawah Gede mengepul di bawah sana. Perlahan kabut menutupi pandangan ke bawah, meski sesekali angin mengempaskannya lagi hingga luasnya area kawah dengan jelas terlihat.

Sejam setelahnya, kami turun lagi ke kandang badak. Di puncak sebenarnya gerimis sudah jatuh, sehingga kostum basah-basahan sudah kami kenakan. Ternyata hujan makin deras. Kami menuruni puncak beriring hujan dan petir. Jalur pijakan kami pun jadi seperti parit kecil. Beberapa kali saya terpeleset, tapi rasanya tetap menyenangkan. Saya terus berjalan cepat menggapai batang pohon dan berayun menuju batang pegangan berikutnya. Tak lebih dari satu jam, kami sudah sampai di kandang badak lagi.


Gunung Pangrango menyembul dari balik kabut


Mendaki Tanjakan Setan


Hari berganti di kandang badak. Kami memilih beristirahat dan melewatkan momen matahari terbit diatas sana. Setelah sarapan, jam delapan barulah kami kembali menuju puncak. Kali ini enam orang anggota javec yang menjangkau puncak Gede. Jika kemarin sorenya saya memilih jalur kiri, pagi itu tanjakan setan saya jajal. Rasanya menyenangkan, menantang. Kita harus benar-benar merayap di jalur dengan kemiringan hampir curam itu. Sementara mendaki, di belakang kita akan tampak puncak Pangrango. Indah.


Kami pun tiba di ketinggian 2985 meter puncak Gunung Gede. Keenam anggota Javec lalu berfoto bersama. Kami pun menghabiskan waktu menikmati pemandangan disana.


Barang-barang disimpan di tenda Kandang Badak, ke puncak hanya bawa barang secukupnya pakai tas belanja.


Ngemil di bibir jurang. Dari tempat ini kita bisa melihat hamparan alun-alun Suryakencana.


Baca-baca di bibir kawah


Sebenarnya, di dekat puncak ada lapangan luas yang dikenal dengan alun-alun suryakencana. Disana ada kumpulan pohon edelweiss. Pendaki juga sering mendirikan tenda disana. Berhubung waktu kami yang tak banyak, Alun-alun Suryakencana urung dipijak.

Minggu sore kami tiba kembali di pos Montana setelah tiga hingga empat menempuh perjalanan turun. Disana kami berbincang dengan Boy, salah satu relawan TNGP. Ia berkisah tentang betapa rentannya kawasan taman nasional terhadap perusakan, salah satunya karena pendakian massal. Boy mengkritisi pendakian yang dilakukan banyak orang, namun nihil kontribusi terhadap pelestarian kawasan yang mereka kunjungi. Pria gondrong ini menyarankan agar kegiatan pendakian disertai aktivitas konservasi, misalnya menanam pohon. Sambil menunjuk pohon tinggi di depan pondok Montana, Boy mengingatkan bahwa dengan menanam pohon, kita akan sadar bahwa untuk menumbuhkan satu pohon saja perlu waktu lama, sementara butuh beberapa menit untuk menebangnya. Benar kata Boy, harusnya aktivitas pendakian selalu membuahkan kesadaran melakukan konservasi alam.