Jumat, 26 Februari 2010

musik di ipb

Gw mulai uraian pendapat ini dari sebuah fakta di tahun 60-an. Waktu itu, di Amerika Serikat diterapkan sebuah sistem pendidikan yang disebut free flowering child (Ratna Megawangi -Pendidikan Karakter, 2004). Para pakar pendidikan negeri paman sam saat itu, menganut paham Roseau (filsuf Perancis) yang menyatakan bahwa manusia tidak perlu belajar dari apa yang ada di luar dirinya. Pada era itu pula, paradigma pendidikan yang banyak diterapkan di dunia, berlandaskan prinsip headstart, atau sistem pendidikan yang hanya mengedepankan keunggulan akademis dan pengembangan kecerdasan intelegensi belaka. Hasilnya, orang2 cerdas dengan berbagai inovasi telah terlahir, namun apa yang terjadi dengan temuannya? Ya, penyalahgunaan. Leó Szilárd (1898-1964), seorang ilmuwan yang berperan dalam gagasan reaksi berantai nuklir, proses yang membuat bom atom untuk dikembangkan. Dia juga orang yang memprakarsai Proyek Manhattan, yaitu dengan menulis kepada Presiden Roosevelt untuk mendesaknya mengembangkan senjata-senjata ini, karena ia percaya orang Jerman meneliti sesuatu yang serupa. Beberapa dekade sebelum penyalahgunaan teknologi nuklir itu, sistem pendidikan yang hanya menekankan satu aspek kecerdasan juga berbuah petaka. Fritz Haber, seorang kimiawan Jerman yang mencatatkan namanya pada industri sintesis amonia, komponen penting pupuk dalam pertanian modern. Hal ini telah membantu dalam produksi pangan intensif yang telah menjadi ciri dunia modern, dan pada gilirannya memungkinkan pertumbuhan penduduk yang besar dari abad ke-20. Ia sangat terlibat dalam pengembangan senjata kimia seperti gas klorin untuk Jerman di Perang Dunia I, dan ia diberi julukan oleh beberapa orang sebagai bapak dari perang kimia. Karya Haber membantu pengembangan gas sianida, yang digunakan oleh Nazi untuk melakukan beberapa kekejaman terburuk dalam sejarah manusia. (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3032244)
Ceritanya sekarang udah tahun 90-an. Setelah liat para ilmuwan yang malah mengkhianati hakikat penggunaan teknologi, maka para pakar nyari penyebab sama solusinya. Lalu muncullah seorang Daniel Goleman dengan buku pusakanya yang berjudul Emotional Intelligence. Dengan terbitnya buku itu, diketahuilah bahwa kualitas seorang manusia tidak hanya ada di aspek intelegensi aja, tapi juga sisi emosionalnya. Setelah penemuan fenomenal tersebut, muncul banyak temuan lain yg ga kalah penting. Howard Gardner menyatakan bahwa manusia memiliki 8 jenis kecerdasan (multiple intelligence), ada linguistic intelligence (kecerdasan verbal), logical-mathematic intelligence (kecerdasan matematis), spatial intelligence (kecerdasan ruang), bodily kinesthetic intelligence (kecerdasan olah fisik), musical intelligence (kecerdasan musikal), interpersonal intelligence (kecerdasan kemunikasi eksternal), intrapersonal intelligence (kecerdasan analisa diri) dan naturalist intelligence (kecerdasan mengenal alam). Nah, setelah berbagai konsep itu ditemukan, sistem pendidikan yang tadinya headstart, berubah jadi heartstart. Paradigma heartstart ini ga Cuma fokus di pengembangan intelegensi, tapi juga kecerdasan lain yang dimiliki manusia, kemudian lahirlah sebuah konsep pendidikan yang banyak diterapkan saat ini, namanya pendidikan holistik, artinya pendidikan yang bertujuan membentuk manusia secara holistik (menyeluruh). Menurut Bobi dePorter, dalam bukunya Quantum Learning, salah satu cara agar proses pembelajaran berkualitas dan efektif, adalah penggunaan musik. Jadi kawan2 semua, boleh dong gw simpulkan bahwa siapa yang mencegah perkembangan musik berarti menghambat pengembangan salah satu fitrah manusia, kecerdasan musikal.
Lalu, ada seorang ahli yang namanya Fitjrof Capra, yang menyatakan bahwa cara pandang terhadap suatu masalah hendaklah tidak terkotak-kotak, tapi holistik, menyeluruh atau liat dari banyak sisi (Ratna Megawangi-Pendidikan Holistik, 2008). Gw jadi inget sebuah dongeng tentang dua ekor tikus yang liat ada keju yang besar di depan pintu sarangnya. Mereka nggak langsung sikat tu keju, soalnya lagi mikir2 dulu, jangan2 ini perangkap. Setelah yakin dengan keputusannya, kedua tikus itu melangkah maju, selangkah lagi menuju keju yang disajikan gratis di depan matanya. Namun tiba2, ayahnya berteriak dan melarang kedua anaknya mendekati keju itu. Sang ayah lalu mengajak kedua anaknya menaiki meja. Dari sana mereka melihat sebuah keju yang disajikan di depan sarangnya dan diletakkan di atas sebuah perangkap tikus. Ya, pandangan yang tidak menyeluruh bahkan bisa berbahaya. Yang menarik di forum ipb 45, ada seorang “oknum” yang ngingetin gw sama lagunya netral yang judulnya terompet iblis. Orang yang bikin klaim subjektif bahwa di ipb ini Cuma ada satu jenis musik, lalu di akhir pernyataannya ia menyisipkan semboyan bahwa kebenaran akan selalu menang, mengesankan bahwa musik yang ia sebut sebelumnya adalah satu2nya kebenaran, sungguh menyedihkan. Lalu dia bilang kalo salah satu organisasi musik di ipb Cuma nge-band foya2. Sangat tepat kalo gw analogikan dua ekor tikus tadi sama orang ini. Dia ga liat satu fenomena secara menyeluruh. Apa jadinya kalo bangsa kita hidup sama konsep begitu, bakalan makin banyak orang baik yang dipenjara, malah koruptor ngipas2 pake duit, gara2 ga teliti ngolah kasus, ga menyeluruh.
Sekilas orang ini mirip aktivis agama, soalnya bawa kata puasa, band islami, nasyid, bahkan kata pesantren dibawa di nama kampus kita tercinta ini. Tapi hati2 kawan, jangan cepat2 ngambil kesimpulan kalo org ini dari alhur ato organisasi keagamaan manapun, mungkin aja ini adu domba, devide et impera. Mungkin orang kayak gini ga sedikit di kampus kita, tapi kebetulan yang nongol di forum ini ada satu nih. Mister, saya mau berkomentar nih, soal pernyataan ente yang bunyinya gini:
"IPB tuh musiknya hanya lagi nasyid, ga ada musik yang lain, hebat yah,.... INSTITUT PESANTREN BOGOR... Kebaikan itu selalu menang..."
Semoga setelah mengetahui konsep berpandangan holistik, anda berubah pikiran. Musik di IPB ga Cuma nasyid kok, gw berani jamin. Dari rock sampe dangdut, ada di IPB, jadi mau diakui atau tidak, kenyataannya begitu. Gw sebenarnya bangga, ipb banyak singkatannya, institut pertanian bogor, institut pesantren bogor, institut perbankan bogor, institut publisistik bogor, institut perteknologian bogor, institut punkrock bogor, institut pleksibel banget, dll. Itu artinya, manusia2 jebolan ipb memang makhluk2 unggul agen pengubah bangsa, mereka (semoga kita juga) manusia2 paripurna yang multiple intelligencenya seimbang. Semoga kita bener2 berguna, ga Cuma ngomong kosong, tapi juga berkarya dan berkontribusi.
"AYO MAXX !!! bikin organisasi musik ga cuma nge-band foya-foya... bikin ajang band islami menjelang Puasa, bikin ajang band lagu nasional menjelang kemerdekaan, kalo cuma nge-band yang niru lagu orang lain, mendingan gw liat band di tivi."
Suatu hari, gw liat sebuah spanduk terpampang gagah di fem, deket rektorat. Isinya butir2 gol yang harus dicapai pemerintahan SBY-Budiono dalam 100 hari. Di bawah list itu, ada tulisan yang kurang lebih bunyinya begini “mari kita tagih bersama”. Gw jadi mikir, kenapa redaksinya harus berupa tuntutan yang mengesankan kalo penulis dan pembaca tulisan itu bukan bagian dari sistem. Tulisan itu seolah memposisikan pembaca sebagai orang seperti penulisnya yang menonton dan menuntut pelayanan pemerintah tanpa ngasih sumbangsih, kesannya kayak pemerintah itu babu, nah si pembaca tulisan majikannya yang ga puas dan pengen nuntut kinerja si babu. Kenapa kata2nya ga gini: “Mari kita bantu mewujudkannya”, ato “mari bung kita upayakan bersama”?
Sekarang kita tengok sebuah teori pengasuhan yang dikemukakan oleh Baumrind (1975). Menurutnya, dua komponen penting dalam proses pengasuhan adalah demandingness (tingkat tuntutan) dan responsiveness (kehangatan). Idealnya, kedua komponen itu kadarnya berimbang, tinggi dua2nya gitu (authoritative atau demokratis), biar nanti sosok yang terbentuk adalah pribadi yang disiplin dan mudah bersosialisasi. Nah kalo kita terlalu banyak nuntut, tanpa dibantu dan sedikit pemberian dukungan, kita menerapkan gaya authoritarian atau otoriter. Pribadi yang bakal terbentuk adalah seorang rebel, pemberontak yang cuman bisa ngacau tanpa ngasih solusi. Nah kalo responsiveness terlalu tinggi, tanpa diimbangi demandingness yang cukup, itu malah akhirnya bakal ngelunjak, kalo salah bakal susah diatur+dibenerin. Kalo responsiveness sama demandingness sama2 rendah, atau istilahnya uninvolved, itu malah lebih parah. Individu bentukan nanti bakal hilang arah, ga ada tujuan + ga jelas.
Balik lagi ke masalah perlakuan kita sama pemerintah. Coba analogikan responsiveness diatas sama dukungan kita terhadap perwujudan program pemerintah. Trus demandingness coba diasosiasi jadi tuntutan kita sama situasi pemerintahan. Mana coba yang lebih gede saat ini? Ya, keliatannya demandingness lebih tinggi, simbol tertinggi negara bahkan sampe dianalogikan jadi kebo. Segitu kerasnya kita membimbing sebuah orde yang sebenernya berjuang buat rakyat. Coba kita gantian posisi, apa segitu gampang ngubah bangsa tanpa dukungan? Gw bukan memihak salah satu kubu, ini kita coba berpikir husnudzon, okeh. Nah, oleh karena itu, marilah kita imbangi kritikan2 terhadap pemerintah dengan sikap yang dewasa, tanpa anarki, tanpa perusakan, dan dengan cara yang cerdas.
Waduh kok gw jadi ngomongin politik ya. Balik lagi ke kutipan diatas, jadi pernyataan om tadi kesannya kayak dia pengen musik di ipb hidup, dan dia punya ide, tapi ga mau gerak. Maunya nyuruh aja gitu, pas dia ga puas, nuduh foya2, nuduh Cuma nyanyi lagu orang, hanuh. Tapi teman2, mari kita sikapi kritikan ini dengan positif, mari buktikan bahwa karya kita original, segera publish karya2 kita segila2nya. Oiya, ngomong2 soal nasyid, gw jadi inget sebuah band nasyid (kalo nasyid diartikan musik yang mengutip kata2 kitab suci dan menyampaikan nilai2 kebenarannya). Pernah denger purgatory?
Ternyata ya teman2, band yang personilnya pada pake topeng ini, beberapa lirik lagunya diambil dari alquran. Contohnya, di lagu pathetic, pugatory nyeritain salah satu peristiwa pengakuan tuhan manusia yang ada di quran surat Al-Araf ayat 172. Di video clip lagu itu, diceritain ada seorang pengguna narkoba yang liat dirinya sendiri nulis angka 7:172 di tembok, dan refleksi dirinya itu ngomong terjemahan ayat itu, bisa dibaca di subtitlenya. Menurut gw, dakwah yang sebenarnya, merubah orang yang belum insap jadi sadar, bukan hanya ada di mesjid. Orang yang dateng ke mesjid mah emang udah insap, niatnya juga udah bagus, ningkatin keimanan. Nah justru orang2 yang perlu disadarkan itu ada di luar mesjid. Kalo diliat dari kacamata husnudzon, porgatory ini udah berdakwah, melalui musik mereka, di komunitas mereka.
Terus-terus, gimana caranya bakat-bakat musikal anak2 ipb muncul dan tersalur? Ipb kita ini hampir tiap tahun selalu jadi universitas penyumbang proposal pkm terbanyak. Apa rahasianya? Motivasi, sama penyediaan akses yang mendukung pencapaian prestasi itu. Tiap akhir tahun, di ipb ini pasi rame, dosen2 pasti pada dicari buat dijadiin dosen pembimbing. Mahasiswa, karena terpengaruh sama kondisi kampus yang wara-wiri soal pkm, jadi ikutan termotivasi. Itulah keajaiban strange attractor, salah satu hukum alam yang berlaku di jagad raya ini. Melalui ilmu fisika, kita tau kalo setiap benda punya daya gravitasinya sendiri, hal itu juga berlaku sama pola perilaku kita. Seorang ahli bernama Ully Bronfenbrener, mencetuskan sebuah teori yang menyatakan bahwa seorang individu adalah inti dari sebuah sistem yang disusun dari beberapa subsistem (mikrosistem, mesosistem, eksosistem, kronosistem, makrosistem). Interaksi sistem dan individu itu menunjukkan pola hubungan timbal balik, jadi kondisi sistem bakal mempengaruhi pola laku individu, begitupun sebaliknya, sikap yang ditunjukkan individu akan berpengaruh terhadap status sistem. Hubungan teori ini dengan konsep strange attractor, bisa dilihat dari fenomena PKM diatas. Orang yang semangat, pasti bakal ngajak temennya buat gabung, lalu temen dari temennya itu termotivasi bikin kelompok sendiri, terus dia ngajakin temennya yang lain, temen dari temen temennya yang lain tadi juga ikut termotivasi, begitulah seterusnya sampe tindakan yang semula dilakukan dalam skala individu bisa berpengaruh sistemik. Lalu bayangkan kalo ipb (sistem) ga mendukung pembuatan PKM tadi, ga ngasih informasi, ga bikin pelatihan, ga ngasih motivasi, dll. Gelar membanggakan sebagai penyumbang proposal terbanyak tadi ga mungkin dicapai. Saat ada dua perbedaan, misalnya A dan B, maka beberapa kemungkinan yang bisa terjadi adalah A berubah jadi B atau sebaliknya, atau A dan B tetep berbeda dan saling menerima, atau A dan B membentuk sebuah format baru. Temen2 yang yakin atas sesuatu yang ia perjuangkan, tetaplah berdiri tegak disana, jangan goyah, pertahankan idealisme & ideologi yang kalian anggap benar. Jangan takut diserang, teruslah bergerak, perbanyak membaca, biar kita lawan mereka sama senjata yang benar2 tepat. Toh kalau kita bisa liatin dasar yang kuat dan benar, pihak oposisi yang fair akan mengakuinya, dan tindakan yang semula berskala individu, cepat atau lambat bisa berubah jadi identitas sebuah sistem.
Akhirnya, gw menyimpulkan bahwa dalam mengupayakan sesuatu, marilah kita berasas pada prinsip talk less do more. Mohon maaf kalo kata2 gw banyak salahnya, saran+kritik sangat gw terima dengan tangan dan hati terbuka. jangan lupa teman2 ya, jangan terpancing emosi, kita disini belajar diskusi cerdas dan nawarin solusi. Jangan sampe pendapat kita malah saling jatuhin, kalo sampe begitu, apa bedanya kita sama ilmuwan yang bikin teknologi penghancur, ga maju2 dong kalo gitu. Mari bersulang bagi kedigjayaan ekspresi dan apresiasi seni di ipb, demi kualitas bangsa yang maksimal di semua bidang. Cheers!!!
Hak manusia ingin bicara, hak manusia ingin bernyanyi
Kalau sumbang janganlah didengarkan, kalu merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina
(slank-tong kosong)

Rabu, 10 Februari 2010

MENDAKI LANGIT (edited version)

Sore itu langit menguning cerah. Sang raja hari tersenyum riang bersama sinarnya yang menghangatkan. Rabu itu Wanaraja siap menjadi saksi petualangan kami. Setelah semua berkumpul, kami beranjak menjemput salah satu memori indah pudarnya masa putih-abu yang tak lama lagi segera sirna. Pukul lima sore kami mulai berangkat menuju Talaga Bodas, sebuah danau vulkanik di kecamatan Wanaraja kabupaten Garut.

Sejak awal perjalanan, jalur yang kami lewati adalah jalan yang menanjak seakan tanpa puncak. Selain pegal di kaki, akupun menahan rasa sakit di pundak yang menahan bobot ransel. Baru beberapa ratus meter berjalan, langkah kami terhenti sejenak. Seorang ibu tampak senang setelah berhasil menyusul kami dengan ojek. Beliau adalah ibunda Luthfi yang turut bersama kami. Dengan tuturnya yang ramah, beliau mengajak kami berpikir kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Talaga Bodas. Beliau khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika kami memaksakan pergi, karena daerah yang kami tuju adalah hutan alami yang masih dihuni hewan buas. Sebenarnya kami menyadari hal itu, tapi itulah kenyataannya, makin berharga sesuatu, makin besar pula biaya imbangan yang harus direlakan. Akhirnya beriring restu dan doa dari beliau, kami melanjutkan perjalanan.

Tabir petang semakin menutup benderang langit, butiran terang mulai bertaburan di hamparan hitam atap bumi, senandung kemenangan pun mulai bersahutan. Kami berhenti sejenak di sebuah istana kedamaian untuk shalat sembari membasuh lelah. Dalam temaram cahaya maghrib, Budpi yang pernah berkunjung ke Talaga Bodas menunjuk sebuah bukit nun jauh disana, di seberang hamparan sawah, di bawah teduhnya langit yang teduh, di belakang sanalah garis finish kami. Sambil berpapasan dengan beberapa anak kecil yang berangkat mengaji, kami terus meniti jalan desa yang tetap menanjak, hingga kami memilih berjalan di pematang perkebunan jagung untuk memperpendek lintasan tempuh. Di tengah titian kami di tengah perkebunan, terdengar suara desis yang diiringi taburan gerimis. Kami kaget sekaligus bingung karena hujan akan menghambat perjalanan, dan kami tak mungkin mendirikan tenda di bawah hujan. Beberapa langkah berikutnya, butiran kecil yang semula membasahi kepala mulai berhenti menghujam. Alhamdulillah, ternyata suara desis dan gerimis itu adalah pipa irigasi yang bocor dan menyemburkan titik-titik air. Akhirnya sekitar pukul 8 malam kami tiba di perkampungan terakhir sebelum kami menembus hutan. Seorang warga mengajak kami untuk bermalam di rumahnya, karena talaga memang masih jauh. Setelah demikian panjang jalan yang kami susur, ternyata tak setengah perjalanan pun telah kami tempuh. Indahnya panorama malam pegunungan memaksa kami menolak ajakan itu. Di bawah hamburan pesona dewi malam, kami kembali meniti jalan berbatu menuju bukit di seberang sana.

Derai canda tawa terasa menghangatkan dinginnya malam. Setelah tiba di sebuah jalur lurus, komando Budpi mengarah kami belok ke kiri, menembus semak yang menutupi sebuah parit kering. Ega yang semula berjalan di depan, mundur dan mempersilahkan yang lebih berani untuk berjalan di depan, Budpi pun harus bertanggung jawab atas usulannya, ia berjalan menuntun kami menerobos sebuah perkebunan. Tubuh kami mulai menabrak lebat belukar. Wajahku terus menunduk, selain untuk menghindari ranting, akupun tak mau mataku menangkap figur yang bisa memacu adrenalin. Nikmatnya bumbu petualangan kami tak berhenti sampai di situ. Setelah lolos dari jeratan semak belukar, kami berjalan di sebuah daerah menurun yang diapit tebing dan jurang. Di tengah segarnya udara malam yang mengembun, aku mencium semerbak wangi bunga kenanga yang menonjok ulu hati. Aku tak berkomentar, yang lain pun tak ada yang buka mulut. Aku berusaha menghibur diri bahwa di samping kami memang tumbuh bunga itu, tapi fantasiku berkata lain, tampak sesosok wanita yang tidak kukenal, bersama gaun putih dan rambut yang terurai hingga menutupi wajah, dengan semerbak parfumnya yang menyengat sedang mengikutiku, tepat di belakangku, dan wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari pundakku, hingga hembus nafasnya membuat otot rambutku berkontraksi beriringan dari pundak sampai pipi. Aku menunduk dan mempercepat langkah, tak ada suara lain selain derap langkah. Aku yakin temanku yang lain juga merasakan yang kurasakan. Setelah beberapa langkah, semilir itu pun pudar dan menghilang bersama hembus angin. Saat kembali nanti, akan kupastikan bahwa disana memang mekar bunga kenanga.

Langkahku semakin terasa berat. Setelah melewati turunan yang harum, kami kembali meniti jalan meninggi yang seakan tak berpuncak. Di kiri kami, di bawah sana terhampar peta cahaya yang anggun. Di belakang kami, di hadapan tangga menuju langit, berdiri megah sebuah bukit. Bukit itulah yang telah kami lewati. Otot betisku seakan ditarik ke arah berlawanan, rasanya aku tak mampu menyertai teman-temanku lagi. Aku pun ambruk setelah kakiku kram. Emen memijit kakiku hingga ototnya tak tegang kembali. Aku tak percaya tindakanku bisa senekat ini, pikirku ingin kami mendirikan tenda di sana saja, tapi aku tak boleh menyerah pada godaan rasa lelah. Kesempatan beristirahat adalah salah satu kemudahan yang kami dapat dalam kesulitan menjangkau kebersamaan yang indah di garis finish.

Ujung jalan mendaki mulai terlihat, namun kami terkejut setelah sadar bahwa dibalik puncak pendakian, di bawah kanopi pohon-pohon raksasa, tepat di jalur lurus yang harus kami lewati, melintang sebuah batang raksasa berdiameter tak kurang dari 3 meter yang menutupi jalan. Tak mungkin kami kembali untuk mendirikan tenda di jalan, tak mungkin pula kami bermalam di hutan gelap yang rawan hewan buas itu. Kami beranjak mendekat ke arah pohon itu. Syukurlah, ternyata tak sepenuhnya jalan tertutup. Batang pohon itu menyisakan ruang dibawahnya sehingga kami bisa lewat melalui terowongan beratap pohon tumbang. Terowongan itu seakan gerbang menuju kegelapan. Setelah melewatinya, euforia langit malam tertutup atap hutan. Dengan bermodal senter, kami terus melaju menembus hitam. Masih di tengah belantara, kami beristirahat sambil melepas dahaga. Dari arah depan, kulihat dua titik cahaya hijau berjarak beberapa sentimeter bergerak ke arah kami. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika itu adalah kilau sepasang mata macan kumbang yang lapar. Beberapa saat kemudian kedua sinar itu menjauh satu sama lain. Ternyata itu kunang-kunang. Rasa takut yang semula mampir berubah menjadi takjub. Maka aku sadar betapa cerobohnya orang yang terlalu dini menilai sesuatu yang ia rasa buruk akan selamanya buruk.

Langkah demi langkah terus berlalu, tepat di hadapan jalan lurus yang kami injak terlihat hamburan biru cahaya rembulan. Sang penjaga malam terlihat senang dapat kembali melihat kami dari atas sana, akhirnya kami tiba di sebuah lapangan luas. Di depan kami, di bawah hujan cahaya langit malam, tampak hamparan luas genangan tenang. Hembus angin malam turut berbisik lirih, selamat datang di Talaga Bodas.

Setelah merebah di atas kerikil kecil tepi danau, kami beranjak menuju tempat lain untuk mendirikan tenda. Kami pun tiba di sisi lain tepi danau, di samping sebuah kolam yang airnya terlihat mengepul, di bawah sebuah pohon, kami menancapkan pancuh-pancuh tenda. Di batang pohon yang menempel ke tebing itu terdapat papan bertuliskan larangan untuk mendirikan tenda di bawahnya. Di bawah pohon itu, di dinding tebing, tampak menganga sebuah lubang berdiameter sekitar satu meter. Kami langgar larangan itu karena daerah itu nyaman dan strategis. Kami pun membagi tugas, sementara sebagian mendirikan tenda, yang lain memasak mie. Setelah tenda berdiri dan perut terisi, kami beranjak tidur. Sebelum kami terlelap, aku mengusulkan agar esok pagi kami langsung pulang saja, aku takut kekhawatiran yang ibu Luthfi rasakan, yang juga ibuku rasakan akan terjadi.

Semburat rona fajar mulai mengembang di tepi timur. Dingin pagi mengiringi segarnya udara yang kuhirup. Hamparan putih yang mengepul di depan tenda kami memaksaku menelan ludah sendiri. Kucabut pernyataanku untuk pulang Kamis itu, Talaga Bodas terlalu indah untuk segera ditinggalkan. Setelah larut dalam kontemplasi ibadah subuh, kami memanjakan diri dalam kesegaran berlatar alam dengan merendam diri di kolam air panas tepat di samping tenda kami. Setelah menemukan sumber mata air, kami menyantap sarapan pagi. Awan yang beriring berlatar biru cerah menggoda kami menyusuri tepian danau. Bagian utara danau dihiasi daerah berbatu. Di sana kami menjumpai air berwarna cokelat keruh yang meletup-letup. Jejak langkah kami membekas di pasir pinggir danau, berdampingan dengan jejak kaki babi hutan. Danau itu memang layak bernama Talaga Bodas, air di bagian tengah berwarna putih mengepul. Ternyata kepulan itu bukan berarti airnya panas. Saat kusentuh ternyata air danau itu sedingin embun. Perhatian kami kemudian tertuju pada suara aneh dari arah barat yang akan kami tuju. Itu suara babi hutan. Langkah kami sempat terasa berat, kami khawatir saat melewati suara itu, ada babi hutan yang marah. Akhirnya kami memberanikan diri melintasi sumber suara. Tak ada apa-apa, langkah kami kemudian menuntun ke sebuah sungai kecil di samping titik awal kedatangan kami tadi malam. Dari sana terlihat tenda kami yang dijaga Alferz, Andris dan Ega. Setelah puas memanjakan mata, kami kembali ke tenda.

Sebentar lagi waktu dzuhur tiba, Emen mengajakku mengambil air wudhu untuk kemudian mengaji bersama. Setelah shalat, kami menyantap makan siang bersama yang lain. Sambil menemani matahari, kami bernyanyi diselingi canda tawa. Tak terasa sang bola api raksasa mulai berpamitan. Dari kejauhan terdengar suara raungan mesin motor yang mendekat. Rombongan beranggota belasan orang itu kemudian mendirikan tenda beberapa meter di samping tenda kami. Ternyata mereka adalah tetangga Dinar, dengan mudah komunikasi antara kami pun langsung terjalin. Sambil membantu membuat api unggun, salah satu dari mereka mengingatkan kami untuk tidak terlalu gaduh, karena di atas sana ada sebuah kuburan. Kami tersentak, tak percaya pada kenyataan bahwa di tempat dengan akses sesulit itu masih bisa ditemui kuburan. Dia juga berkata bahwa daerah berbatu di pinggir danau adalah daerah pusat magnet, maka wajar jika tak ada sedikitpun sinyal yang menyentuh daerah itu.

Malam kembali memainkan gilirannya, rombongan tetangga Dinar sudah berangkat ke kuburan untuk berziarah. Malam Jumat itu api unggun malu berpijar terang. Setelah menyantap makan malam dan mengaji bersama, kami menanti kantuk dengan mengobrol di dalam tenda. Setelah cukup lelap tertidur, aku terbangunkan suara shalawat dari tenda tetangga kami, kelopak mataku masih terasa berat, alam mimpi masih butuh kehadiranku. Setelah beberapa saat terlelap kembali, aku kembali terjaga oleh gaduh di sekitar tenda kami. Rombongan peziarah itu terdengar sedang mandi di tengah dinginnya selimut malam, aku tak peduli dan tidur kembali.

Pagi itu warna langit masih biru suram. Rombongan pengendara motor pamitan untuk pulang lebih awal. Kami pun segera berkemas untuk segera menyusun bab akhir perjalanan itu. Sebelum pulang, aku dan Budpi merekomendasikan untuk melewati tepi danau yang kemarin kami susur. Entah apa alasan mereka, ternyata yang setuju untuk melalui jalur itu hanya kami berdua, akhirnya kami ikut suara terbanyak. Setelah berucap doa, kami meninggalkan Talaga Bodas. Mentari mengamati langkah kami dari balik rindangnya pohon hutan. Sebuah pesona menggoda kami dari atas tebing sana. Saat itu memang bukan musim berbunga, tapi disana kami menemukan bunga edelweiss. Bunga itu masih putih dan segar, sayang jumlahnya tak banyak. Dinar memberanikan diri menaiki tebing dan memetiknya. Rencananya bunga itu akan ia berikan pada Astika, hanya untuk Astika, teman sekelas kami yang sangat ia sukai.

Langkah kami lebih ringan dibanding saat perjalanan menuju Talaga. Selain jalan yang menurun, saat pulang mata kami pun dihibur oleh luasnya langit yang sebenarnya kecil di hadapan Sang Mahabesar. Budpi kembali membelokkan kami ke arah hutan, katanya itu jalan pintas. Budpi memang lebih tahu tentang hutan daripada yang lain. Selain pernah beberapa kali mengunjungi Talaga Bodas, ia juga salah satu anggota PASKA 91, organisasi pecinta alam di sekolah kami. Kami menembus semak belukar hutan pinus. Alferz terus mengingatkan bahaya lubang yang tidak terlihat, meski sebenarnya dialah yang harus sering diingatkan, karena justru Nasution muda itulah yang lebih sering terperosok. Di tengah perjalanan dalam hutan pinus itu Budpi menginstruksikan untuk berbalik arah. Kami mulai merasakan ada yang tidak beres dengan Budpi. Akhirnya ia mengaku sedang menjadikan kami tikus percobaan untuk mencari jalan pintas. Suasana sempat menegang, ia memperingatkan kami untuk tak banyak bicara. Hutan memang misterius, sekali kita mengatakan bahwa kita tersesat, maka kita akan benar-benar tersesat, dan kakak Budpi yang juga anggota PASKA sempat mengalaminya. Saat itu anggota PASKA menyusuri rimba diiringi yel yang biasa mereka nyanyikan. Dalam yel itu ada kata yang mereka ganti dengan kata “bagong” (babi hutan). Akhirnya mereka sempat tersesat, terus berjalan tanpa tentu arah tujuan, layaknya babi hutan yang lari tak tentu arah. Syukurlah akhirnya mereka selamat. Tanpa banyak mulut, kami terus menuruni hutan, berharap segera kembali ke jalan besar. Budpi meyakinkan bahwa kami pasti tak akan tersesat dan kami tak boleh panik. Kami pun menghibur diri dengan berfoto dan bercanda-canda. “Take it easy and everything will be OK”, pepatah itu memang tak perlu disangsikan lagi keampuhannya. Kami kembali ke jalan utama tanpa kurang sehelai mahkota edelweiss pun. Aku kembali teringat wangi bunga yang tercium saat kami berangkat. Saat kutanyakan pada yang lain, ternyata mereka pun menciumnya. Kami sepakat akan memastikan bersama bahwa disana memang ada bunga.

Selang beberapa meter setelah keluar dari jalan pintas, di belakang kami melaju sebuah truk pasir ke arah yang kami tuju. Tanpa pikir panjang tangan kami melambai, truk pun berhenti mempersilahkan kami naik. Di situlah salah satu momen yang indah, kami bergoyang kesana-kemari di dalam bak truk dengan diiringi tawa, layaknya balerina yang sedang beraksi. Bukan, bukan musik yang menuntun gerakan kami, tapi jalan yang dilalui truk itu memang berbatu, kami pun terombang-ambing di dalamnya. Tak lama lagi daerah tempat kami mencium wangi bunga akan terlewati. Kami bersiap untuk mencari bunga yang biasa dipakai di acara pemakaman itu dari atas truk. Aku masih ingat, bau itu tercium sebelum kami berbelok di hadapan sebuah tebing yang diatasnya tertancap papan bertuliskan bahwa daerah itu adalah hutan lindung. Ya, disinilah tempatnya. Hasil pengamatan kami ternyata tak begitu mengecewakan, tapi menyedihkan. Tak ada satupun bunga kenanga di sana, kami hanya melihat belukar homogen yang berjejer bisu. Berarti, wangi itu berasal dari... sudahlah, lupakan masalah parfum.

Kami mulai menjumpai petani yang sedang menghadapkan punggungnya ke langit, mereka tampak loyal menjalankan tugasnya sebagai khalifah muka bumi. Dengan lantang kami melontarkan salam ke arah mereka. Mendengarnya, kening basah itu mengerut menghadap sumber suara. Tentu saja kami tak mengenali mereka, tapi kegilaan itu cukup membantu mengobati rasa kecewa kami karena tak berhasil menemukan bunga kenanga. Beriring deru mesin diesel, kami menikmati bukit hijau terjal di jalan yang tidak kami lalui. Di malam keberangkatan, jalan itu tidak kami lalui karena kami menerobos kebun. Kami tertegun menyaksikan satu lagi kejutan perjalanan kami. Di sana kami melihat sekuntum mawar yang mekar klimaks. Ia tampak setia bertengger di samping sebuah kuburan. Sebuah pusara yang ditemani satu mawar merah yang merekah megah, sebuah kombinasi absurd di tempat seperti itu. Aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika malam itu kami melintasi jalan itu. Jalan desa semakin ramai, kami memasuki perkampungan yang sedang sibuk mengisi hari. Sekitar pukul 10 kami tiba di depan di depan mesjid agung Wanaraja. Setelah berterima kasih pada pak supir, kami berjalan menuju rumah Dinar untuk mempersiapkan diri menghadiri majelis Jumat.

***

Pagi itu ruang kelas XII IPA 5 hangat dengan topik pembicaraan seputar petualangan ke Talaga Bodas. Budpi sudah menceritakan detil perjalanan kami pada Deni yang juga anggota PASKA. Deni yang lebih berpengalaman dari Budpi mengatakan bahwa ia sendiri tidak berani menyusuri tepi barat danau, apalagi mendekati sarang babi hutan, meskipun ia dibekali senjata. Mulutku menganga mengetahui bahayanya daerah yang telah kami tempuh dengan hanya berbekal sebotol air minum. Berita dari Dinar tak kalah mengejutkan. Tetangga Dinar, salah satu anggota rombongan peziarah yang di malam kedua itu belum terlelap, bersaksi bahwa ia melihat beberapa ekor babi hutan di sekitar tenda kami. Mulutku terbuka lebih lebar, ternyata larangan mendirikan tenda itu bukan tanpa alasan. Mungkin lubang di bawah pohon itu adalah pintu rumah keluarga babi hutan. Meski tak kecil resiko yang harus kami hadapi, inginku sesekali kembali mencicipi megahnya romantika bahaya alam bersama mereka, teman sekelasku selama 3 tahun di SMA. (rz)









film horor itu ibarat sambal


Saintis agri, gimana ya rasanya kalo tiap hari, menu dan rasa makanan kita sama, itu2 aja. Pastinya bosen dan ga enak kan. Makanya manusia, secara naluriah selalu mencari variasi dalam banyak hal, biar seimbang, salah satunya di urusan makanan tadi. Yang unik, ada (bahkan banyak) orang yang demen rasa pedas. Pedas kan bikin panas lidah, tapi kan rasanya gimana gitu kalo makan lalap tanpa sambel, ato pecel tanpa rasa pedes2.

Nah, sekarang gimana rasanya kalo tiap kali nonton film, jenis film yang kita tonton, itu2 aja, kan bosen juga. Maka dari itu, sebagai manusia normal, gw cari variasi jenis tontonan buat hobi gw yg satu ini, nonton. Dan variasi yg gw maksud adalah, nonton film horor. Jumat siang, gw nonton sebuah film Thailand. Anjrit emang Thailand jago banget bikin film horor. Beberapa saat sebelum nonton film ini, film paling serem yang pernah gw tonton adalah The Shutter, tentu saja Shutter yg gw maksud itu yg versi asli (bikinan Thailand), soalnya film itu ada dua versi, versi barat sama versi Asia Tenggara, dan gw udah nonton dua2nya, dan tentu saja versi original lebih najong, mangstab gan. The Shutter, meskipun gw tonton rame2 (waktu itu SMA, gw + temen2 sekelas nonton di rumah Cheetonk) denyut2 horornya kurang lebih setara sama nonton sendiri.

Ternyata film yg gw tonton siang tadi adalah film yg juga diotaki pembuat The Shutter, judulnya 4BIA. Di dalam film itu ada 4 kisah berbeda. Cerita pertama, tentang SMS-an. Menurut gw, cerita ini paling serem dari yang lainnya. Hikmahnya, hati2 sama temen SMS-an kita, pastikan dia masih hidup yah. Cerita kedua, tentang kenakalan remaja. Lumayan bagus, cerita ini dapet nilai paling kecil dari tiga lainnya, tapi bukan berarti jelek. Tetep serem, tapi cerita ini terlalu memaksakan diri sama visual efek yang belum terlalu canggih, jadi beda rasa. Dari cerita ini, gw dapet pelajaran bahwa kita ga boleh jahat sama yang lemah, sungai dangkal bukan berarti ga berbuaya yah, waspadalah, waspadalah! Cerita ketiga ini juga bagus, ada bumbu komedinya. Di subfilm yang satu ini, dikisahkan ada 4 orang remaja yang pergi camping buat maen arung jeram, intinya mereka gugur di medan jeram. Gw jadi inget pengalaman unforgetable camping waktu SMA, dokumentasinya ada di posting yang judulnya Mendaki Langit. Bumbu komedi yang gw maksud tadi contohnya pas mereka ngobrol tentang film, joke-nya bagus, film The Shutter juga sempet dibahas. Trus gw ngakak pas mereka kabur dari tenda, riweuh. Setelah nonton kisah ini, gw jadi pengen nonton film Sixth Sense sama The Others (bukti bahwa film horor itu bagaikan sambal). Pelajaran yang gw ambil dari cerita ini adalah (maaf teman2 ikk) jangan dulu pergi camping kalo masih kebayang film ini.haha, padahal gw+temen2 sekelas sebentar lagi mau pergi camping, tapi setelah nonton yang ini, gw jadi mikir2 lagi.haha, tapi pasti jadi kok, insya Allah, masalah kapan, nanti kita atur yah, setelah gw agak lupa sama film ini.

Dan pemirsa, inilah cerita terseram nomor 2 di film ini, tapi efeknya ke kondisi psikis pasca nonton layak jadi nomer 1. Ceritanya, ada seorang pramugari yg bertugas khusus di pesawat pribadi seorang putri kerajaan dari republik lain. Dia terpaksa harus bertugas sendiri soalnya partnernya buat tugas itu adenya meninggal pas lagi camping (di cerita 3). Selama penerbangan itu, si putri manja+jutek bgt. Pas disodorin makanan, dia malah nolak, pengen makan jatah si pramugari. Akhirnya dikasihlah tu makanan, tapi disana ada udang, padahal si putri alergi udang. Sama tu pramugari, udangnya dibuang dulu, trus dikasihlah ke putri. Pas putri makan, ternyata dia muntah2. Sementara si putri ke WC, pramugari malah liatin foto si putri yg lagi selingkuh yang ada di bangku putri. Ternyata, putri itu ada di belakangnya. Si putri marah doang, makin jutek. Setelah turun dari pesawat, beberapa jam kemudian, putri itu dilaporkan meninggal, tapi penyebabnya belum ada yang tau. Jenazah sang putri, mau dikirim lagi ke negaranya pake pesawat. Karena dia putri, dan ga boleh disimpen di cargo, jadi tu mayat disimpen di bangku penumpang. Dan karena ga ada pramugari lain, pramugari yang tadi, ditugaskan jagain mayat putri, sendirian. Nah, disitulah teror dimulai. Awalnya gw pesimis, cerita ini kayaknya garing, tapi setelah putri jadi mayat, rasa sambal yang sebenarnya mulai kerasa. Bahkan, bayang2 kengeriannya kebayang sampe malem pas gw mau tidur,hiiii. Endingnya, pas nyampe di bandara, mayat yang ada di pesawat jadi ada 2. Si pramugari ditemukan tak bernyawa dengan posisi bersujud di hadapan mayat putri dan kepala tu pramugari terputar 1800, damn. Hikmah dari cerita itu adalah, gw ga mau jadi pramugari, mau dibayar berapapun, di pesawat apapun, pilotnya siapapun, makanannya apapun, minumnya apapun, tetep gw ga mau (dan tentu saja ga akan) jadi pramugari.titik.

Film horor itu, kalo ibaratnya makanan, kayak sambel. Pengen nonton, tapi pas ada yang serem2 malah tutup mata, kalo gitu mending ga usah nonton sekalian, ya ga. Sambel juga begitu, meskipun udah keringatan, kepedesan, kadang tetep aja sambelnya dicolek lagi.ckckck. sebenernya gw jadi pengen nonton lagi film “alone”, masih horor, tentang kembar siam yang dipisah, 1 hidup, satu mati. Nah yg mati ternyata ngikutin yg hidup terus, sebagai hantu tentunya, kan udah mati. Tapi gw ga mau nonton sendirian lagi. Hey, gw bukan penakut ya, emang gw cowo apaan, gw Cuma lebih antisipatif sama berbagai kemungkinan yg ada, itu aja. (halah, sieun mah sieun we, ngomong.haha)

Waktu Maghrib adalah Titik Kulminasi Aktivitas Setan (Deden Abdurrahman, 2006)

Dulu, waktu masih muda, gw ngekos soalnya jarak rumah-SMA kurang lebih 1 jam naek angkot. Di kosan gw itu, gw dibimbing oleh seorang pemipin laskar mujahid, beliau adalah sekjen MM (Majelis Mujahidin, bukan Marilyn Manson). Pak Deden, demikian lelaki berjanggut mirip Serj Tankian (vokalis System of a Down) itu biasa dipanggil. Beliaulah yang membekali berbagai pemahaman agama selama gw melalui masa akhir remaja itu. Saat ini ustadz yang bersikeras dengan ideologi enterpreneurshipnya itu telah berpulang menghadap Sang Penguasa Hidup-Mati, semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik di sana. Kutipan diatas adalah salah satu pelajaran yang sampai detik ini masih gw ingat.

We’re All The Same
Hari minggu di akhir januari, gw berkesempatan tampil di sebuah hajatan besar apresiasi musik di gedung Kemuning Gading Bogor, bukan bersama Finding Nadia, tapi Clumsy Little Boy (myspace.com/clumsylittleboy). Hal menarik yang memaksa gw buat nulis disini adalah sebuah fenomena yang gw amati saat jam tangan gw menunjukkan pukul 18.40, setelah solat maghrib. Gigs yang menghadirkan Sweet As Revenge sebagai tamu pamungkas itu memang tidak dilengkapi waktu khusus break shalat. Jadi setelah nonton performa From Nothing yang aduhai itu, gw permisi dulu buat solat, udah lama ga solat soalnya. Haha, lama semenjak waktu ashar maksudnya. Di masjid sebelah utara gedung itu, gw solat diantara kakek2 dan nenek2 yang sedang mengadakan pengajian, tentu saja dengan lagu latar gemuruh scream dan riuh sorak dari selatan masjid. Ironis man, di utara ada kakek-nenek yang ngaji, di selatan, aa2, teteh2, teman2 dan ade2 malah terlena tingginya ceria. But show must go on, ngaji juga must go on, yang penting ga saling ganggu, betul.

Setelah solat, gw masuk lagi ke arena dansa (baca: arena moshing). Dari luar, terlihat asap putih memadati ruangan. Bukan kebakaran, itu asap rokok (damn I hate fucking smoke). Demi sebuah sajian musikal nan impresif, gw korbankan sedikit ruang paru gw buat diisi partikel hasil bakaran tembakau itu. Beberapa detik setelah berdiri di pinggir bibir panggung, pandangan gw mulai mengabur, padahal gw udah pake kacamata. Pas gw buka kacamata, ternyata lensanya berembut. Wow, sepertinya neraka bocor, dan hawa panasnya tersalur ke dalam ruang suara itu. Selain panas dan berbau asap rokok, udara disana juga lembab, gw tengok kanan-kiri, atas-bawah (sebenernya atas ngga), basah semua dengan keringat ekspresi yang menggila. Pas gw masuk, di panggung, The Jaka Sembung sedang memanjakan seisi Kemuning Gading, bahkan panggung penuh dengan nyawa. Ya, penonton banyak yang naik panggung, jadi penari latar dadakan, bahkan ada yang foto2 sama vokalis. Ckckck. Kesibukan lain tampak terlihat di sisi kanan panggung. Musa sang vokalis From Nothing sekaligus panitia disana, terlihat sibuk mengenyahkan makhluk2 yang membandel naik venue. Ia sedang bersikeras mengamankan alat agar jangan sampai dirusak masa. Pepatah Pak Deden diatas mulai terbukti, setan itu kuat banget godaannya pas maghrib, makanya buruan solat, paksa diri kita sendiri, sebelum dipaksa orang lain, oke sohib!
The Jaka Sembung, menurut gw mereka adalah candu, ganja, opium, whatever lah you name it, pokonya yg bikin mabok dah. Gimana kagak “mabok”, musisi rock n roll itu mampu membius massa sampe liar gitu. Apalagi pas nyanyi lagu terakhir, temponya lambat, tapi sajian lagu itu malah jadi karaoke. Suara vokalis bener2 ilang, part vokal diisi sama manusia2 yang ada di bibir panggung, maupun penari latar wannabe diatas panggung sana. Anak street punk, anak SMP, anak APWG (liat dari bajunya), semua tumpah disatu sudut ruangan, blek tah didinya kabeh, nyanyi semua, edan. Mungkin karena lagu mereka lebih familiar sama bibir, lebih mudah diucapkan, dibanding lagu FOE misalnya, yang liriknya kayaknya bukan kata2, tapi teriakan tanpa nada dan kata. Hehe, maap, ini pendapat pribadi yah. Atas pencapaian fenomenal itu, The Jaka Sembung pantaslah dinobatkan sebagai The Most Attractive Performance malam itu.

Setelah Jakbung turun, giliran From Nothing menderu distorsi. Gw sama Ikiw setuju kalo FN (bukan Finding Nadia ini,hehe) pantas menyandang titel Man of The Match di event itu. Selain berjasa sebagai panitia, orang2 di band yang kebanyakan personilnya pake kaos putih itu juga mampu menampilkan sajian yang amat impresif. Kedua gitaris beserta basis serempak menutup mata dengan kain putih. Soal akurasi nada sama permainan, hampir ga ngaruh, tetep ngena. Bahkan salah satu gitaris mainin gitarnya kayak maen kecapi, masih dengan mata tertutup kain, Woaw. Di tengah aksi fenomenal sang pekerja seni itu, gw diajak ngobrol sama seorang penonton. Dia nanya, ini band mana. WTF? Ga tau band ini? Ndeso sekali (padahal gw juga baru tau 1 lagu, The Case Was Closed.haha, berarti gw juga katrok. Gapapa, setidaknya dia setingkat lebih kuper dari gw, gw ndesi, dia ndeso.haha), trus dia bilang screamnya bagus. Gw jawab aja ini band lama sebenernya, bandnya sang maestro acara ini. Trus dia nanya lagi, drummernya les dimana. Dalem ati gw jawab, mana gw enyoy.

Sang Man of The Match akhirnya turun panggung. Giliran Not For Child mengguncang malam. Band ska itu ga kalah gila sama The Jakbung, apalagi musiknya asik, ngingetin sama band ska favorit gw yg asal Inggris, Spunge. Pas Not For Child maen, situasinya ga jauh beda sama pas Jakbung unjuk gigi. Musa masih sibuk dorong2in orang ke luar panggung, sementara di sisi kiri, basis From Nothing ikut bantu, dia nutupin sound monitor dari jamahan tubuh2 yang berkeliaran tanpa kendali. Dia sempet bilang kalo jangan ada yang naik panggung, daripada acaranya di-cut. Bener juga boy, gw pernah baca, yang bikin Bogor sepi gigs itu ya para aktor di gigs itu sendiri, mereka terlalu brutal, jadinya aparat ga percaya, takut lanjut ke tindak anarkis. Killing Me Inside pernah tuh ngalamin kasus tadi, iya kan. Makanya nih melalui hore-punya-blog.blogspot.com ini, gw ngajak temen2 semua buat bertindak cerdas selama di acara musik. Mari kita ciptakan kondisi kondusif, biar ritual apresiasi kita berjalan khidmat, setuju semua kan?

Detik demi detik berlalu, setelah Not For Child, ada Full Of Envious, trus bintang tamu deh, Sweet As Revenge. Selama Not For Child maen, gw udah liat polisi yang bolak-balik ke backstage, ga tau dah mo ngapain. Sweet As Revenge ankhirnya naik tahta, lagu apa itu gw ga tau, berhasil mereka nyanyikan. Setelah lagu pertama, ternyata mereka langsung bilang salam perpisahan, OMFG, bentar amat mas, biasanya kan yang paling ditunggu tu yang maen paling lama. Gw punya beberapa analisa terkait fenomena itu. Pertama, mungkin bapak2 berseragam cokelat itulah penyebabnya. Mereka meminta acara diputus atas dasar mosi tidak percaya terhadap kelancaran dan keamanan acara, mengingat kondisi internal ruangan udah seperti acara musik (lha itu kan emang acara musik pak). Hipotesis kedua, tampilnya Sweet As Revenge dengan satu lagu, adalah bagian dari strategi panitia buat narik massa biar stay sampe akhir. Ckckck, cerdas lah, mereka. Kalo gw jadi bikin sebuah gigs, taktik macem tadi kemungkinan gw gunakan, tergantung budgetnya ntar.haha.

Berkat eksistensi gw di acara itu, gw termotivasi buat bikin bisnis EO, sounds great huh? Tapi setelah liat rintangan yang dihadapi Musa yang notabene udah punya nama di scene lokal tapi masih terlihat kesulitan ngontrol massa, gw jadi mawas diri, siapa gw? Punya power apa gw kalo ada di situasi kayak gitu? Dan gw harus banyak belajar dulu, biar suatu hari nanti, gw siap mengemban tugas mulia menyediakan lahan bagi mereka yang butuh penghormatan karya musik. Nah, buat Best Performance, gw mau menganugerahkan gelar itu ke Douet Mauet’s. ajib lah mereka. Maen berdua doang, gitar sama drum. Drummernya jago, dia guru les, wong muridnya ada yang jadi anak MAX!!, waktu audisi sempet gw wawancara. Trus yg main gitar, rapi maennya, motil lagi, ga statis di satu posisi, bahkan dia sempet naik bass drum. Kualitas vokal, ga ada yang perlu gw cela. Yg gw puji juga, salah satunya adalah suara bass yang tercover sama permainan gitar sang vokalis. Permainan senar atas sama penggunaan efek yang pas pasti kunci utama produksi suara itu. Overall, saran gw buat pengembangan gigs di Bogor adalah, marilah kita seringkan acara2 beginian, biar kita bisa seproduktif Bandung misalnya, kayaknya disana tiap minggu ada aja panggung yang siap jamah, jadinya ya subur musisi disitu. Nah kalo bangsa kita udah subur musisinya, sama kualitas musiknya bagus, kualitas bangsa secara holistis harusnya jadi kebawa bagus dong, ya ga coy.

Tadi kan kita udah punya Man of The Match, Most Attractive Performance, sama Best Performance. Nah sekarang gw mau ngenalin kalian sama penyandang gelar Hattrick. Mereka adalah, Clumsy Little Boy (clib),yeeeee, horreeee. Mereka menang soalnya bawain tiga lagu.hehe, sebenernya yg lain juga 3 lagu, tapi yang mau gw bahas ya clib ini.hehe. teman2 silahkan kunjungi myspace.com/clumsylittleboy, disana ada 2 lagu versi live kami, belum bagus, tapi kalo suka sok aja donlot sesukanya. Kalo ga suka? Inget kata slank di lagu tong kosong,
“hak manusia ingin bicara, hak manusia ingin bernyanyi
kalau sumbang janganlah didengarkan, kalau merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina”



ini adalah suasana panggung saat the jaka sembung beraksi



ini adalah bassis from nothing yang mengamankan properti panggung dari kegilaan massa



ini adalah kerusakan yang timbul di depan panggung



ini adalah pemandangan saat full of envious unjuk gigi



ini adalah para bapak yang muncul di akhir2 acara



ini adalah suasana moshpit bada acara



pulang semua



udahan