Sabtu, 29 September 2012

Umam: Bermusik Dalam Hening

Can I Say Edisi 12 akan menampilkan Sound of Silence di rubrik paling depan. Simak wawancara saya dan Sound of Silence berikut ini, dan nantikan rilisan terbaru Can I Say, karena bisa jadi, wawancara versi majalah digital Can I Say bakal jauh lebih seru.



Halo Sound of Silence a.k.a Asyraful Umam, lagi sibuk apa?

Saat ini Sound of Silence (SOFS) sedang mempersiapkan album ke 3. materi lagu sudah terkumpul, namun artwork belum selesai. rencananya tahun ini harus rilis. saat ini saya sedang sibuk menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa tingkat akhir.


Kenapa sih menamakan diri Sound of Silence?

Awalnya, saya melihat kata “sound of silence” dari judul lagu yang terpampang di sebuah kaset tua milik ibu saya. Entah mengapa dari situ saya terinspirasi untuk menjadikan Sound of Silence sebagai nama project saya ini. Mungkin karena keterkaitan dalam proses pembuatan lagunya yang sering saya lakukan di kamar dalam suasana hening.


Gimana proses kreatif pembuatan lagu-lagu SOFS?

Inspirasi terbesar adalah dari apa yang saya rasakan saat itu. Maka tema-tema lagu yang SOFS buat beragam, dari pengalaman pribadi, kritik sosial (see it, hear it, and feel it. jakarta frustasi), kecintaan terhadap lingkungan (nature, adventure), pengalaman pribadi (forget it and then forgive it, unforgettable smile), dsb dsb. Hehe. SOFS sendiri dalam pembuatan lagunya tidak membutuhkan banyak konsep, saya lebih out of the box dan mengandalkan inspirasi spontanitas.


Cool.trus sofs pernah manggung dimana aja Mam?

SOFS pertama manggung di sebuah kompetisi Soundtrack Komik oleh Majalah HAI, di central park,di kompetisi tersebut alhamdulillah SOFS menang, kemudian di undang untuk tampil di acara FIXFEST dan JAVAROCK’N LAND oleh majalah HAI. Album ke 2 Sound Of Silence “see it, hear it, and feel it” juga mendapat apresiasi dari web Jakarta Globe, sebagai album terbaik dalam 2011.


Album sofs dirilis label mana aja? Artwork sampe lagu semua lo yg ngerjain sendiri ya?

Album sound of silence di rilis 2 netlabel. Inmyroom records (indonesia) dan Misspelled Records (australia)
Album 1 - Only Dream
album 2 - See it, Hear it, and Feel it

SOFS juga membuat album unrelease yang berisi lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca, Stars and Rabbit, Radiohead, dan The Cure yang telah dikemas ulang dengan gaya SOFS.
iya semua dilakukan sendiri..


Musik/musisi mana yang banyak berpengaruh ke pembentukan karya sofs?

Ketika mendengar Exsplosions In The Sky saya paham, bahwa kita juga bisa bercerita lewat nada.


Instrumen apa aja yang dipake?

Saya lebih mengoptimalkan software-software dari komputer salah satunya Fruity Loops. Basic dasarnya saya di ajari oleh gitaris di band saya Distorsi Alam Timur, namanya Riff Hkm. Sebelumnya juga sempat di ajari sekilas oleh teman kampus saya yang bernama Denzel. Saya pelajari dari akhir tahun 2010


SOFS udah punya berapa lagu?

Lagu sudah puluhan, sempat kolaborasi dengan abang saya saat mengcover lagu dari band indie folk asal jogja, Stars and Rabbit yang berjudul Worth it.


Lagu SOFS yang paling berkesan yang mana? Yang maknanya paling dalam?

Hmm.,,pertanyaan sulit nih..karena pada saat proses penciptaannya setiap lagu berkesan mendalam bagi saya. hmm, tapi kalo ditanya yang paling dalam. hmm..Apa ya, saya tetap bingung..:P


Selain menggarap SOFS, Umam berkarya di bentuk lain ga? Kan anak DKV, pasti jago bikin karya visual. Hehe.

Selain di SOFS saya juga buat project seperti Distorsi Alam Timur (alternative rock), Beautiful Garbage (eksperimental), Ruang Damai (indie folk), Minimalis Maksimalis (punk rock). Kalo karya desain, hmm..iya suka juga buat gambar-gambar..hehe


Kalo karya2 grafis lo banyak dipajang dimana?

karya grafis sih masih dikonsumsi pribadi aja. hehe


Seniman favorit siapa? Dalam hal seni lain non musik?

Jack Black telah mencapai hampir semua impian saya. Selain bintang film, sutradara, dia juga musisi berkarakter. Saya mulai menggemarinya ketika menyaksikan film Tenacious D.


Pandangan SOFS soal seni tradisional? (Kalo tradisional diartikan sebagai 'yang tua/terdahulu')

Seni tradisional, saya ingin sekali mengemasnya menjadi sesuatu yang tidak dianggap “kampungan”. Sebenarnya sih ini masalah individunya ya, yang jika masalah ini dirinci secara mendasar akan sangat membutuhkan perbincangan yang sangat panjaaang..hehe, intinya sih masih banyak masyarakat yang beranggapan apa yang berbau asing itu selalu keren dan sesuatu yang tradisional di anggap kuno atau kampungan.

Makroen Sanjaya

Irvan: Bangsa Kita Gak Menghargai Musiknya Sendiri

Sudah lama sekali saya tidak menampilkan lagi rubrik "orang" di blog ini. Sejak awal tahun 2011, saya mewawancara beberapa orang teman, lalu memajang hasil wawancara itu dalam blog ini. Rupanya itulah salah satu embrio lahirnya majalah digital Can I Say yang di dalamnya memuat rubrik profile. Hasil wawancara saya di tag "orang", nantinya dipajang di rubrik profile Can I Say. Begitu juga dengan posting ini. Kali ini, wawancara saya dengan Irvan Januari, akan tampak di artperience Can I Say Magazine edisi 12 yang akan terbit segera. Langsung saja, mari selami kolam pemikiran Irvan Januari, si pecinta dangdut sejati.




Ironisnya musik dangdut. Beberapa orang bangga dengan adanya genre ini, bahkan jargon dangdut is the music of my country pun sempat populer. Namun di sisi lain, dangdut sepertinya sudah mulai tak digandrungi. Seorang pria bernama Irvan Januari berani berdiri di sisi seberang dan lantang berkumandang bahwa ia menggilai musik dangdut. Irvan mengaku suka dangdut sejak kecil. Memori tertuanya bercerita bahwa ketika berusia 18 bulan, ia sudah menari girang ketika musik dangdut mengalun di pasar saat Irvan kecil diajak ibunya belanja. Dangdut diakui Irvan membuatnya rileks. "Menurut gue, dangdut itu sumber kenikmatan. Terserah orang bilang kampungan, katrok atau apa, itu tetep musik yang gue cintain. Gue abis kerja, lagi cape, denger dangdut, fresh lagi", aku Irvan. Bahwa ia berani direndahkan dengan musiknya, Irvan yang mahir bermain kendang memang merasa demikian, terutama ketika SMA. Namun yang ia rasakan dari alienasi itu justru bukan perasaan kecil hati. "Gue justru merasa kalo lo ga suka dangdut, lo bukan orang Indonesia, soalnya dangdut kan musik indonesia, meskipun adaptasi dari India" ujarnya bersemangat. Menurut penggemar Rhoma Irama ini, musik dangdut saat ini sedang mati suri. Ia habis-habisan mengkritik kontes dangdut, hingga dengan pedas mengomentari musik (yang kita sebut) dangdut yang terkesan erotis.

"Sekarang makin jarang penyanyi yang nyanyiin dangdut yang pure dangdut. Kadang di-mix sama disko, ada koplo, sedangkan koplo itu bukan dangdut", papar Irvan mengawali kritiknya. Ia mengaku menyayangkan turunnya pamor dangdut sebagai musik yang elegan, dangdut yang dulu diangkat martabatnya oleh Rhoma Irama, idolanya sejak duduk di bangku SD. "Dangdut itu suara, bukan goyangan, goyang tu hiasan aja. Jadi musik dangdut erotis itu sampah. Awalnya dangdut udah pengen elegan, jadi dengan ada musik kayak gitu, orang jatuhnya malah jijik kan, suaranya nomor 12, goyangannya jadi nomor 1. Gue benci banget yang kayak gitu", kelakar Irvan bersemangat. Katanya, dangdut yang benar-benar dangdut itu, musik yang dibawakan Imam S. Arifin, Rhoma Irama, Hamdan ATT, mansyur S, Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, dan penyanyi dangdut lain yang muncul sebelum abad ke-21. "Lagu-lagu sekarang kayak ABG tua, Cinta Satu Malam, Hamil Duluan, itu bukan dangdut. Walaupun penyanyinya penyanyi dangdut, misalnya Hamil Duluan, itu kan yang nyanyi Tuti Wibowo. Sedih sih sekarang liat kondisi dangdut", tukas Irvan.

Soal jumlah pecinta dangdut, Irvan yang kini memajang lagu-lagu Joni Iskandar dan (tentu saja) lagu-lagu Rhoma Irama di playlist music playernya ini, mengaku optimis bahwa banyak anak muda yang sekarang suka dangdut. "Coba liat anak muda kalo nongkrong main-main gitar, pasti ujung-ujungnya lagu dangdut juga yang dinyanyiin", tegasnya. Namun sayangnya, menurut Irvan, perkembangan dangdut mati. "KDI (Kontes Dangdut TPI), apa segala macem, itu justru mematikan dangdut, (soalnya) cuma bikin penyanyi, bukan jadi pencipta lagu, sedangkan dangdut sekarang ini udah ga ada pencipta lagunya, kayak Muchtar B, Asmin Cayder, Leo Waldy, udah pada ga ada. Jadi ya kebanyakan penyanyinya, tapi yang bikin lagunya ga ada", papar pria berkepala pelontos itu.

Irvan punya definisi baku soal apa itu musik dangdut. Katanya, kalau musik dangdut tak diwarnai bunyi kendang, itu bukan dangdut. Terkait harapannya tentang musik dangdut, Irvan juga punya pendapat sendiri. "Gue pengen liat di TV, musik dangdut itu dikemas pure dangdut, ga usah pake drum, macem2. (Penyanyi) yang dateng tu Nurhalimah, Fenty Nur, Titiek Nur, Umami (Riza Umami), Vety Vera, Ike Nurjanah, Lilis Karlina. Ironisnya justru mereka terkenal di luar indonesia. Ike main di Amerika, Bang Rhoma juga terkenal di Jepang. Bangsa kita gak menghargai musiknya sendiri", tutup Irvan.

Minggu, 23 September 2012

Pendamping


Untuk tahu ukuran baku, kita perlu acuan. Di era kini, pada beberapa bidang, keberadaan acuan katanya sudah mulai rancu. Bicara soal musik, biasanya label rekaman jadi tolak ukur kualitas. Nyatanya, musisi tanpa rumah berupa label, banyak yang karyanya enak dinikmati. Buku, butuh penerbit buat distribusi, juga untuk penjamin mutu. Biasanya buku yang dinaungi penerbit berkapital tebal, memang bukan buku sembarang buku. Tapi ada juga anomali serupa kasus musik tadi. Beberapa buku, meski tidak dinaungi penerbit akbar, punya taji sendiri. Sebutlah contohnya buku yang sesaat lagi akan saya gunjingkan ini.

Pendamping judulnya. Buku ini didaulat sebagai peraih podium kedua sebuah kompetisi penulisan buku indie. Buku ini pun lalu terbit dari bawah atap Indie Book Corner, sebuah proyek yang didirikan penulis-penulis dalam rangka publikasi karyanya. Nama pengarangnya Ardi Kresna Crenata. Di dalam lembaran 136 halaman ini, 11 cerita pendek dikisahkan sang penggubah. Ardi bukan orang baru dalam urusan tulas-tulis. Beberapa puisinya bergantian mejeng di kolom sastra berbagai media massa. Kali ini ia membukukan cerpen-cerpennya yang beridentitas.

Sebelum kumpulan cerpen Pendamping dimulai dengan titel Nubuat, sebuah bab bertajuk Sebelum Cerita, mengawali kisah. Disini Ardi membeberkan motif dibalik kegemarannya menulis cerpen. Ia juga memberi semacam perkenalan bahwa kisah-kisah yang nanti akan ia ceritakan adalah ikhtiar pria asal Cianjur itu, dalam mencipta cerita yang tidak abai terhadap bentuk dan gagasan. Maka mari, saya paparkan bentuk dan gagasan yang disuguhkan Ardi.

Nubuat yang bercerita dengan orang pertama sebagai pencerita, berkisah tentang keputusasaan, meski si tokoh utama mengaku itu pengkhianatan. Yang menarik dari kisah ini adalah, kita digantung diakhir. Dilepas untuk memilih mana yang nyata, mana si fatamorgana. Begitu indah. Nubuat bisa jadi pemantik bagi meletusnya protes Ardi terhadap tema diskriminasi minoritas yang tertuang di kisah setelahnya.

Ardi menggemari seni berbau jepang. Di nomor Pertemuan, ia menyisipkan dialog berbahasa Jepang dalam kisahnya. Judul ini masih bercerita intimidasi. Ardi begitu lihai mengolah alur dengan bahasa yang membuai, lalu menukik di akhir menghadapkan kita ke ending yang menyesakkan, menggoda kita kembali membuka halaman yang lalu, halaman yang ternyata berisi halusinasi.

Saya kurang tertarik dengan Para Prajurit Nekhtar. Meski cerita ini adalah bukti bahwa Ardi memang bereksperimen dengan bentuk, tapi Ardi yang khas dan liar di perbatasan realitas dan surealitas, terasa kurang tepat menyajikan cerita khas anak yang lurus dengan pesan moral yang cukup terang terpampang. Para Prajurit Nekhtar berkisah tentang kehidupan kerajaan hewan yang pesan moralnya, damai itu indah. Peperangan cuma membuat pemenangnya jadi arang, si kalah jadi abu.

Pembicaraan intens terlibat antara "aku" dan Alea. Mereka punya cara unik dalam menjalin komunikasi. Keduanya berbincang melalui telepon umum. Ya, Telepon Umum. Alea bilang ia memang lebih suka menelpon "aku" melalui telepon umum, ke telepon rumah, bukan ponsel. Alea lalu bercerita bahwa ia punya semacam dilema terkait identitasnya sebagai penganut agama minoritas. Di cerpen ini Ardi jelas menyindir kasus intoleransi antarumat beragama di daerahnya berkreasi, Bogor. Ending cerpen ini tak kalah menyentak. Ardi kembali membuat kita gemas, bagaimana bisa Alea menelpon dari sana?

Isu asmara manusia sejenis, diwarnai dengan penampakan dari sudut pandang anak, Ardi hadirkan di Layang-Layang, Domba dan Kita. Ardi masih asyik bermain dengan penggunaan kata ganti orang pertama sebagai tokoh utama. Ardi seakan tak mau apatis dengan tidak mengangkat isu yang menurutnya memang perlu mendapat perhatian lebih banyak orang.

Judul buku ini rupanya diambil dari salah satu judul cerpennya, Pendamping. Bukan soal pendamping dalam kerangka interaksi lawan jenis, pendamping yang dikenalkan oleh Ardi adalah sosok imajiner kecil bersayap yang menyertai tiap kita. Ardi berkontemplasi tentang hakikat cinta dan kebencian, tentang sifat manusia yang ingin si pendamping ubah.

Ardi banyak mengecoh pembaca melalui cerpennya. Permainan jumlah tokoh, perjalanan alur yang menukik tajam di akhir, ia sajikan dalam Menunggu. Cerpen ini berpusat pada romantisme ibu dan anak diantara segelas susu tanpa kopi dan secangkir kopi tanpa susu yang diwarnai dengan pembunuhan. Kita diseret menjadi "aku" yang berbicara dengan "kamu" yang sejatinya bukan orang lain.

Alea bisa jadi nama keramat bagi Ardi. Jika di Telepon Umum nama ini muncul sebagai salah satu tokoh, di cerpen kedelapan, Alea naik pangkat menjadi judul. Kali ini Alea hadir sebagai korban salah asuh orang tuanya, ibunya. Alea yang kuliah di jurusan matematika (Ardi juga kuliah di jurusan matematika) dan hobi membaca, merasa dikekang ibunya yang terlalu otoriter. Si "aku" yang bercerita, mengaku dititipi buku-buku nonmatematis Alea, karena kalau ketahuan ibunya, gawatlah suasana. "Aku" lalu tahu bahwa Alea mengalami penyimpangan psikologis, mungkin karena alur hidupnya yang berat. Di akhir, Ardi mengeksekusi dengan bengis, mengingatkan saya ke film Sympathy For Mr. Vengeance.

Ternyata Alea datang lagi di Serangan Terakhir. Kali ini dalam suasana peperangan. Ned dari kisah Layang-Layang, Domba dan Kita juga ada. Kali ini Ardi mengawali kisah dengan nostalgia romantisme di tengah peperangan. Barulah di akhir ia menggambarkan huru-hara baku tembak sarat ilusi yang diakhiri seperti kebanyakan cerpennya yang lain, kematian.

Luasnya cakupan topik cerpen Ardi tergambar di Pintu. Ia mengangkat problematika rumah tangga dan menjahitnya menjadi sebuah kisah pilu dengan rajutan kata yang tetap puitis. Ardi, masih tetap menggemari kisah katastropik.

Cerpen penutup diberi tanda bintang di judulnya. Tanda bintang itu mengacu ke pengakuan si penulis bahwa cerpen ini terinspirasi dua cerpen Avianti Armand dan satu puisi Anna Akhmatova. Air dan Perempuan, begitu tajuknya berbunyi. Cerpen ini diceritakan dengan nafas dendam. Isinya tentang seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Bagaimana bengisnya si perempuan memberontak, diceritakan Ardi tanpa mengenal kata ampun. Ardi menutup Pendamping dengan kata "dosa".

Setidaknya tiga sastrawan memberi kesan di sampul belakang Pendamping. Penyair Fatkurrahman Abdul Karim memuji kejernihan bertutur yang sarat metafora serta amanat nilai kemanusiaan. Penulis Khrisna Pabichara mengakui dirinya hanyut dalam kejutan dan ketegangan dalam kumpulan cerpen Pendamping. Sementara cerpenis Norman Erikson Pasaribu mengamini eksperimen Ardi dalam mengeskplorasi bentuk dan gaya. Buku ini juga menarik karena dibubuhi ilustrasi apik karya Maria Agustina Kaka di tiap judul cerpennya. Ardi bisa ditemui di facebook dengan akun Ardy Kresna Crenata, twitter @crenata014, blog http://ardykresnacrenata.wordpress.com/ dan bisa dikontak di 085693841985.


Mabuk Korea

Saya menemukan sebuah lagu bagus. Musiknya asik, liriknya keren. Saya belum punya banyak informasi soal Cacat Nada, musisi yang mengolah Mabuk Korea di bawah ini. Tapi sebagai perkenalan tahap awal, saya coba bagi ke teman-teman. Selamat berdansa ria!

Sabtu, 22 September 2012

Beli CD

Saya baru beli beberapa CD dari sebuah toko CD dan kaset bekas di bilangan Jatinegara Jakarta Timur. Sebenarnya banyak kaset yang pengen saya beli, tapi karena saya ga lagi denger musik pake tape, jadinya beli CD aja. Padahal kaset Daft Punk sempet bikin penasaran. Kaset Scope juga pengen didengerin.

Sempet kaget juga liat koleksi CD sama kasetnya. Semuanya dijual rata, yang impor 30 ribuan, lokal 20 ribu. Saya lalu ngubek-ngubek tumpukan seperti terlihat di bawah ini.




Pilihan saya jatuh di empat CD teratas. Empat CD di bawah ini mengalahkan CD EGRV, Korn: Live and Rare, Marilyn Manson: Mechanical Animal, dll. Sebenarnya ada 2 CD bagus yang sayangnya ga bisa dijual. Jadi ada CD album kompilasi Headbangers Ball 2. Saya baca cover depan-belakangnya, ternyata ada 2 CD, lagunya keren-keren lagi, beruntung lah kalo dapetin ini. Pas dibuka, isinya CD Blink 182 album self titled. Pas ditanya ke abangnya, ternyata tumpukan CD di area itu emang belum disortir, sayang sekali. Di tumpukan yang belum dibenahi itu ada juga CD Enter Shikari.




Sekarang kita fokus ke 4 CD diatas. Di kiri atas ada CD Goodnight Electric album Electroduce Yourself, Kanan atas Drowning Pool: Sinner, Kiri bawah Pearl Jam: Riot Act, kanan bawah ada In Flames: A Sense of Purpose. Dua CD yang disebut terakhir, kondisinya masih sangat bagus. Mereka masih perawan, masih diplastikin. Akhirnya memang kedua CD itulah yang saya tebus.



Pearl Jam saya beli karena saya suka musik grunge, seattle sound atau apalah itu namanya. Tapi grunge yang saya tekuni dengan baik baru Nirvana. Saya cukup kafah mengoleksi karya-karya Nirvana, tepatnya semua beberapa hal tentang Nirvana, dari  poster Kurt Cobain sampe buku biografi Heavier Than Heaven, dari album pertama mereka, Bleach, sampe softcopy rare DVD With The Lights Out yang saya dapet dari Fanfan, sahabat sesama penyuka musik. Nah intinya beli Pearl Jam ini lebih ke pertanggungjawaban moral sih. Haha. Lagu Pearl Jam yang saya tau dan idolakan di album ini baru I Am Mine, sisanya gelap, saya ga punya bayangan soal kayak gimana album ini berbunyi.


Ternyata, musiknya ya begini (saya sambil denger albumnya pas nulis ini. Haha). Saya belum bisa ngomentarin banyak sih, baru denger juga, belum bisa nilai. Soal lirik apalagi, belum ditelaah lebih jauh. Yang menarik dari pembelian album fisik adalah, kemasannya yang suka jadi sumber kepuasan tersendiri. Album ini dilengkapi booklet yang isinya lirik lagu sama foto-foto Pearl Jam lagi latihan. Oiya FYI, album ini dirilis tahun 2002, waktu saya SMP. Saya inget waktu itu I Am Mine emang lagi hits banget, saya masih punya guratan memori tentang gimana suasana video klip lagu itu. Saya kan dulu suka belajar bahasa inggris dari lagu. Nah saya awalnya belum tahu artinya mine itu apa. Saya buka kamus dan mendapati arti mine adalah pertambangan. Saya jadi bingung sendiri kok lagu itu artinya aku adalah pertambangan. Haha. Beberapa waktu kemudian saya diajari arti mine yang sebenarnya, baru deh ngerti. Hahaha.


Album kedua yang saya beli adalah albumnya In Flames, A Sense of Purpose. Pertimbangan pembelian album ini adalah karena selain kualitasnya terjamin karena masih terbungkus plastik, saya berniat buat beli album lokal. Iya, awalnya saya kira In Flames ini band lokal. Soalnya di tulisan di cover belakang bagian bawah ada keterangan CSA Records, komplek bonagabe blablabla Jakarta Timur. Paling ini band (endorse-an) Crooz, simpul saya setelah liat art covernya yang kaos Crooz banget. Pas bayar pun, saya ga mau bayar 30 ribu, soalnya itu kan band lokal, ada label ak.sa.ra-nya lagi. Si abangnya entah pura-pura ga tau apa entah sudah ikhlas, membiarkan saya membayar In Flames seharga CD lokal. Hehe. Tapi beruntung juga sih itung-itung dapet diskon. Hehe. Nah, kesadaran saya bahwa In Flames band impor, baru muncul setelah plastik CD dikoyak dan dijamah isinya. Buset dah keren amat ini band Jakarta sampe niat banget begini bikin art concept sama packaging yang terkesan deluxe, pantesan mahal (ada label harga, 75 ribuan). Pas saya liat nama-nama personilnya, kok pada aneh namanya. Pas diliat album itu direkam dimana, eh Swedia katanya. Dimixing dimana, California katanya. Pas sleeve saya balik, keliatanlah foto personilnya yang ternyata para bule. Hahahaha. Kemana aja gue. Ternyata In Flames udah ada sejak tahun 90an. Album pertamanya aja keluaran 94. A Sense of Purpose ini keluaran 2008.


Gambar orang berkepala aneh di CD mirip konsep Lies For The Liar-nya The Used. Tapi kalo soal musik, In Flames ini mengingatkan kita ke Lamb Of God, atau Mudvayne, atau Killswitch Engage, atau System of a Down, bisa juga ke Mastodon. Keren deh pokoknya, musiknya bagus. Soal lirik saya belum mentadaburi dengan khidmat. Nantilah ya kita bahas. Kesimpulannya, kehadiran 2 CD diatas menambah daftar tunggu CD yang sebaiknya segera saya nikmati. CD Iwan Abdulrahman di bawah belum sempat saya curi dengar. Keasyikan sama musik lain sih, ga pas juga kali ya sama moodnya, apalagi judul albumnya Renungan Ramadhan. Ini kan bulan apa? Syawal aja udah lewat. Haha. tapi album Abah Iwan ini cukup keramat loh bagi saya, meskipun belum didenger yah.


Jadi waktu kuliah, saya dibimbing sama Pak Djemdjem yang ngefans banget sama bimbo. Beliau sering cerita soal musikalitasnya, sama aktivitas luar lapangannya yang demen naik gunung. Beliau juga alumni Lawalata, organisasi pecinta alam kampus IPB. Nah, nama yang cukup sering beliau sebut adalah Abah Iwan, atau Iwan Abdulrahman. Pak Djemdjem terlihat begitu salut sama abah ini. Katanya si abah suka naik gunung cuma buat bikin lagu, merenung, cari inspirasi. Itu demenan beliau juga kali ya, makanya klop. Beberapa minggu lalu, di awal September, saya bertugas meliput ulang tahun Abah Iwan yang ke-65. Ternyata benar, dia bukan orang biasa. Gila men, di umur 60an dia masih kuat naik gunung, ke kilimanjaro lah, elbrus lah, ckckck. Yang dateng ke ultah beliau juga selebritis semua, dari Suryadarma Ali, sampe Slamet Raharjo, ada. Abah Iwan juga ngajar di Unpad, pernah gabung di Bimbo juga. Malam itu di pentas ulang tahunnya, dia tampil jadi single performer. Dia nyanyi sambil diselingi ceramah, bukan ceramah sih, stand up comedy tapi agak serius. Pokoknya inspiratif deh beliau, nanti yah kita lihat rasa albumnya.

================================================================================

Satu lagi album yang saya tunggu, Siliwangi Squad. Itu album baru saya pesan kemarin. Penjualnya bilang besok (hari ini) CD nyampe. Nyatanya mana, ga ada (mulai emosi. Haha). Besok kali ya nyampenya. Album Siliwangi Squad ini album kompilasi hiphop berbahasa sunda. Album musik lain yang lagi pengen saya dengerin adalah albumnya Ras Muhammad. Sebenarnya di toko CD diatas saya nemu CD Steven and The Coconut Treez, tapi rasanya bukan reggae itu yang saya suka. Saya suka reggae-nya Ras Muhammad yang kesannya agak galak. Dua album digital yang baru saya dapat adalah Taring-nya Seringai sama Centralismo-nya Sore. Yang ini saya iseng dapet donlot. Hehe. Sekian dulu kisah tentang CD. Kamu bisa baca memoar soal koleksi kaset saya disini dan disini. Kalau mau beli CD atau kaset di tempat saya beli di Jatinegara, kontak aja orang di bawah ini, klik gambarnya.

Rabu, 19 September 2012

Demo Film Innocence of Muslims


Senin, 17 September 2012 di depan kantor kedutaan besar Amerika Serikat di Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta, massa dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Majelis Mujahidin Indonesia, dan beberapa ormas lain, mengungkapkan kemarahannya atas film Innocence of Muslims yang dibuat seorang warga negara Amerika Serikat. Mereka berdemonstrasi dengan mengerahkan sekitar 500 orang demonstran. Polisi menyiagakan sekitar 750 personil dalam demo ini. Berikut kronologi ringkas melalui rangkaian foto saya.


Polisi bersiap mengamankan aksi massa yang dimulai pukul 14.30

Kawat duri dipasang membentengi kantor kedutaan besar Amerika Serikat

Kerusuhan sudah pecah sejak awal. Entah siapa yang memulai. Polisi memperlihatkan ketapel, kelereng, dan barang lain yang digunakan demonstran untuk menyerang. Seorang pemimpin demonstran dari ormas Garis (Gerakan Reformis Islam) mengaku polisi menyerang mereka duluan.

Seorang polisi merekam kerusuhan.

Seorang demonstran mengibarkan panji kelompoknya

Polisi menembakkan gas air mata. Tindakan ini dilakukan setelah aksi demonstran tak dapat dikuasai.

Selongsong peluru gas air mata

Seorang pemimpin demonstran meminta polisi untuk tidak menembak, sementara demonstran terus melempari polisi.

Polisi mengamankan demonstran yang anarkis dan tampak melayangkan pukulan. Polisi juga terluka dalam aksi itu. Setidaknya seorang anggota polisi terkena hantaman batu di mulutnya.

Polisi terus bersiaga

Sebuah mobil pemadam kebakaran rusak diamuk massa. Memasuki waktu ashar, demonstran melakukan sholat di arena demonstrasi.

Seorang demonstran memperlihatkan tulisan yang ia bawa

Seorang demonstran melintas di hadapan barisan polisi

Pasang badan

Seorang komandan demonstran mengingatkan massanya agar tidak bertindak anarkis.

Corong Aspirasi

Seorang fotografer mengabadikan momen ketika massa memperkuat barisan yang sebelumnya tercerai. Pemimpin demonstran menghimbau agar massanya tidak bersikap anarkistis.

Komandan Polisi memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Kapolda Metro Jaya Untung S. Rajab (tengah) beristirahat bersama rekannya.

Mengemis dalam krisis

Sekitar pukul 17.00, demonstrasi berakhir. Para wartawan tampak membeli jajanan di jalan yang belum bisa dilalui kendaraan seperti biasa, meski demo telah usai.

Foto-foto diatas juga dipajang di galery deviantart saya, lengkap dengan keterangan masing-masing foto  dan kualitas foto yang lebih baik. Untuk mengaksesnya, klik foto di bawah ini.


Minggu, 09 September 2012

I'm Older and Happy


Thanks @windielf

Demonstrasi

Ketika menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton berkunjung ke Jakarta, sejumlah aktivis ormas berdemonstrasi di depan kantor kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta. Mereka menuntun 6 hal terkait keberadaan perusahaan tambang PT Freeport. Kericuhan sempat terjadi dalam demo itu. Simak kisah lengkap demonstrasi itu melalui koleksi foto di galeri deviantart saya dengan mengklik foto di bawah ini.


Kamis, 06 September 2012

Ferrari F12 Berlinetta

Produsen mobil asal Italia, Ferrari, merilis seri mobil terbarunya, Ferrari F12 Berlinetta. Mobil ini adalah mobil tercepat di dunia. Saat berkesempatan meliput peluncurannya, serta memotret beberapa bagian serta mengulas kelebihan mobil ini di foto-foto terkait. Klik gambar di bawah untuk cerita lebih lengkap.

Rebut Sedekah

Kadang niat baik yang tidak disertai pelaksanaan yang tepat bisa berbuah hal yang kurang baik diteladani. Seorang bapak di mesjid Cut Meutia membagikan sedekah dengan membiarkan anak-anak meminta-minta sambil berebut. Simak kisah lengkapnya dengan meng-klik gambar di bawah ini.

Tentara Karang

Masa berlayar telah tiba. Para nelayan di pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara sudah bersiap menyiapkan bekal melaut. Kebanyakan tentara karang (demikian mereka bangga menyebut diri) di daerah sana berasal dari Indramayu. Simak kisah lengkap persiapan mereka menjaring rejeki di lautan lepas. Klik gambar di bawah dan klik tiap gambar untuk membaca penjelasannya. Bon voyage!