Minggu, 23 September 2012

Pendamping


Untuk tahu ukuran baku, kita perlu acuan. Di era kini, pada beberapa bidang, keberadaan acuan katanya sudah mulai rancu. Bicara soal musik, biasanya label rekaman jadi tolak ukur kualitas. Nyatanya, musisi tanpa rumah berupa label, banyak yang karyanya enak dinikmati. Buku, butuh penerbit buat distribusi, juga untuk penjamin mutu. Biasanya buku yang dinaungi penerbit berkapital tebal, memang bukan buku sembarang buku. Tapi ada juga anomali serupa kasus musik tadi. Beberapa buku, meski tidak dinaungi penerbit akbar, punya taji sendiri. Sebutlah contohnya buku yang sesaat lagi akan saya gunjingkan ini.

Pendamping judulnya. Buku ini didaulat sebagai peraih podium kedua sebuah kompetisi penulisan buku indie. Buku ini pun lalu terbit dari bawah atap Indie Book Corner, sebuah proyek yang didirikan penulis-penulis dalam rangka publikasi karyanya. Nama pengarangnya Ardi Kresna Crenata. Di dalam lembaran 136 halaman ini, 11 cerita pendek dikisahkan sang penggubah. Ardi bukan orang baru dalam urusan tulas-tulis. Beberapa puisinya bergantian mejeng di kolom sastra berbagai media massa. Kali ini ia membukukan cerpen-cerpennya yang beridentitas.

Sebelum kumpulan cerpen Pendamping dimulai dengan titel Nubuat, sebuah bab bertajuk Sebelum Cerita, mengawali kisah. Disini Ardi membeberkan motif dibalik kegemarannya menulis cerpen. Ia juga memberi semacam perkenalan bahwa kisah-kisah yang nanti akan ia ceritakan adalah ikhtiar pria asal Cianjur itu, dalam mencipta cerita yang tidak abai terhadap bentuk dan gagasan. Maka mari, saya paparkan bentuk dan gagasan yang disuguhkan Ardi.

Nubuat yang bercerita dengan orang pertama sebagai pencerita, berkisah tentang keputusasaan, meski si tokoh utama mengaku itu pengkhianatan. Yang menarik dari kisah ini adalah, kita digantung diakhir. Dilepas untuk memilih mana yang nyata, mana si fatamorgana. Begitu indah. Nubuat bisa jadi pemantik bagi meletusnya protes Ardi terhadap tema diskriminasi minoritas yang tertuang di kisah setelahnya.

Ardi menggemari seni berbau jepang. Di nomor Pertemuan, ia menyisipkan dialog berbahasa Jepang dalam kisahnya. Judul ini masih bercerita intimidasi. Ardi begitu lihai mengolah alur dengan bahasa yang membuai, lalu menukik di akhir menghadapkan kita ke ending yang menyesakkan, menggoda kita kembali membuka halaman yang lalu, halaman yang ternyata berisi halusinasi.

Saya kurang tertarik dengan Para Prajurit Nekhtar. Meski cerita ini adalah bukti bahwa Ardi memang bereksperimen dengan bentuk, tapi Ardi yang khas dan liar di perbatasan realitas dan surealitas, terasa kurang tepat menyajikan cerita khas anak yang lurus dengan pesan moral yang cukup terang terpampang. Para Prajurit Nekhtar berkisah tentang kehidupan kerajaan hewan yang pesan moralnya, damai itu indah. Peperangan cuma membuat pemenangnya jadi arang, si kalah jadi abu.

Pembicaraan intens terlibat antara "aku" dan Alea. Mereka punya cara unik dalam menjalin komunikasi. Keduanya berbincang melalui telepon umum. Ya, Telepon Umum. Alea bilang ia memang lebih suka menelpon "aku" melalui telepon umum, ke telepon rumah, bukan ponsel. Alea lalu bercerita bahwa ia punya semacam dilema terkait identitasnya sebagai penganut agama minoritas. Di cerpen ini Ardi jelas menyindir kasus intoleransi antarumat beragama di daerahnya berkreasi, Bogor. Ending cerpen ini tak kalah menyentak. Ardi kembali membuat kita gemas, bagaimana bisa Alea menelpon dari sana?

Isu asmara manusia sejenis, diwarnai dengan penampakan dari sudut pandang anak, Ardi hadirkan di Layang-Layang, Domba dan Kita. Ardi masih asyik bermain dengan penggunaan kata ganti orang pertama sebagai tokoh utama. Ardi seakan tak mau apatis dengan tidak mengangkat isu yang menurutnya memang perlu mendapat perhatian lebih banyak orang.

Judul buku ini rupanya diambil dari salah satu judul cerpennya, Pendamping. Bukan soal pendamping dalam kerangka interaksi lawan jenis, pendamping yang dikenalkan oleh Ardi adalah sosok imajiner kecil bersayap yang menyertai tiap kita. Ardi berkontemplasi tentang hakikat cinta dan kebencian, tentang sifat manusia yang ingin si pendamping ubah.

Ardi banyak mengecoh pembaca melalui cerpennya. Permainan jumlah tokoh, perjalanan alur yang menukik tajam di akhir, ia sajikan dalam Menunggu. Cerpen ini berpusat pada romantisme ibu dan anak diantara segelas susu tanpa kopi dan secangkir kopi tanpa susu yang diwarnai dengan pembunuhan. Kita diseret menjadi "aku" yang berbicara dengan "kamu" yang sejatinya bukan orang lain.

Alea bisa jadi nama keramat bagi Ardi. Jika di Telepon Umum nama ini muncul sebagai salah satu tokoh, di cerpen kedelapan, Alea naik pangkat menjadi judul. Kali ini Alea hadir sebagai korban salah asuh orang tuanya, ibunya. Alea yang kuliah di jurusan matematika (Ardi juga kuliah di jurusan matematika) dan hobi membaca, merasa dikekang ibunya yang terlalu otoriter. Si "aku" yang bercerita, mengaku dititipi buku-buku nonmatematis Alea, karena kalau ketahuan ibunya, gawatlah suasana. "Aku" lalu tahu bahwa Alea mengalami penyimpangan psikologis, mungkin karena alur hidupnya yang berat. Di akhir, Ardi mengeksekusi dengan bengis, mengingatkan saya ke film Sympathy For Mr. Vengeance.

Ternyata Alea datang lagi di Serangan Terakhir. Kali ini dalam suasana peperangan. Ned dari kisah Layang-Layang, Domba dan Kita juga ada. Kali ini Ardi mengawali kisah dengan nostalgia romantisme di tengah peperangan. Barulah di akhir ia menggambarkan huru-hara baku tembak sarat ilusi yang diakhiri seperti kebanyakan cerpennya yang lain, kematian.

Luasnya cakupan topik cerpen Ardi tergambar di Pintu. Ia mengangkat problematika rumah tangga dan menjahitnya menjadi sebuah kisah pilu dengan rajutan kata yang tetap puitis. Ardi, masih tetap menggemari kisah katastropik.

Cerpen penutup diberi tanda bintang di judulnya. Tanda bintang itu mengacu ke pengakuan si penulis bahwa cerpen ini terinspirasi dua cerpen Avianti Armand dan satu puisi Anna Akhmatova. Air dan Perempuan, begitu tajuknya berbunyi. Cerpen ini diceritakan dengan nafas dendam. Isinya tentang seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Bagaimana bengisnya si perempuan memberontak, diceritakan Ardi tanpa mengenal kata ampun. Ardi menutup Pendamping dengan kata "dosa".

Setidaknya tiga sastrawan memberi kesan di sampul belakang Pendamping. Penyair Fatkurrahman Abdul Karim memuji kejernihan bertutur yang sarat metafora serta amanat nilai kemanusiaan. Penulis Khrisna Pabichara mengakui dirinya hanyut dalam kejutan dan ketegangan dalam kumpulan cerpen Pendamping. Sementara cerpenis Norman Erikson Pasaribu mengamini eksperimen Ardi dalam mengeskplorasi bentuk dan gaya. Buku ini juga menarik karena dibubuhi ilustrasi apik karya Maria Agustina Kaka di tiap judul cerpennya. Ardi bisa ditemui di facebook dengan akun Ardy Kresna Crenata, twitter @crenata014, blog http://ardykresnacrenata.wordpress.com/ dan bisa dikontak di 085693841985.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar