Kamis, 09 Oktober 2014

Merasakan Tabula Rasa

Tabula Rasa. Pertama kali saya dengar dua kata itu ketika duduk di kelas Psikologi Anak saat kuliah dulu. Saat itu Bu Melly mengenalkan istilah yang mulanya dicetuskan filsuf John Locke. Artinya kertas kosong. Teori tabula rasa menggambarkan bahwa seorang bayi lahir sebagai secarik bersih kertas yang siap ditulisi. Lalu bertahun-tahun kemudian Tabula Rasa muncul sebagai titel sebuah film. Film yang tadi malam saya tonton setelah melewati celah sempit waktu usai menunaikan tugas liputan.

Tabula Rasa dibuka dengan adegan pertandingan sepak bola di Papua. Seorang pemain bersinar sebagai bintang lapangan, Hans namanya. Singkat cerita, Hans berkesempatan mendaki posisi ke Jakarta. Rupanya di ibu kota kariernya tak secemerlang yang ia alami di tempat asalnya. Di antara batas tipis keputusasaan, seorang ibu datang menolong Hans. Selanjutnya kita akan mengenal ibu itu dengan panggilan Mak. Sebuah rumah makan khas Padang menjadi tumpuan sumber penghasilan Mak. Dengan kasihnya, Hans diajak Mak ke rumah makan itu. Rupanya ada sekeping kenyataan yang membuat Mak sedemikian simpati kepada Hans. Lalu konflik muncul di rumah makan yang awalnya sepi pengunjung itu. Guliran kisah pun terus berlanjut, berlatar kuah gulai kepala kakap yang mencairkan liur, didihan kuah rendang dan taburan sambal khas kuliner Minang.
Tabula Rasa menarik karena ia memaparkan visualisasi idealisme, kasih sayang yang tanpa kenal identitas, hingga contoh sikap legawa dalam sebuah prahara. Berlokasi di sebuah jalan raya di Parung Bogor (alamatnya kelihatan di plang rumah makan), film ini terkesan minimalis. Lokasinya paling cuma di sekitaran pasar, perlintasan kereta, dan rumah makan padang. Dan oh ya, keindahan alam Serui, Papua, juga dihadirkan. Tapi jangan kira film ini sempit makna dan cerita. Meski di awal membuat kening berkerut, toh di beberapa adegan berikutnya, kesan tidak logis yang semula muncul bisa dijelaskan. Contohnya soal alasan kenapa Mak yang Minang banget itu mau-mau aja Hans yang sangat Papua merapat ke rumah kecilnya. Sektor audio juga cukup impresif. Dengan bantuannya, adegan yang memperlihatkan Uda Parmanto yang mancicipi gulai kepala kakap bisa sedemikian emosional. Belum lagi kehadiran Dankie vokalis/ gitaris Dialog Dini Hari yang bercameo menyanyikan lagunya sebagai pengamen.

Tabula Rasa tiba pada sebuah ketika. Kamera meninggi, memperlihatkan tampakan burung terbang yang menatap jalanan dan sebuah kejadian. Layar memudar, film pun usai. Ini sebenarnya penutup yang kurang menyenangkan, mungkin karena konflik yang disajikan rasanya terlalu sederhana. Atau mungkin ending film terlalu dekat dengan klimaks. Entahlah. Saya cek jam, rupanya sudah pukul sembilan malam. Film berakhir sejak ia diputar jam 19.15, waktu penayangan kedua sekaligus skrining terakhir Tabula Rasa di bioskop. Kemarin, Tabula Rasa cuma tayang di bioskop TIM XXI, itu pun cuma dua kali pembukaan teater, jam lima dan jam tujuh. Maka deru motor yang saya geber pasca magrib usai itu terbayar setimpal. Rasanya keputusan untuk memaksakan diri menonton film produksi Life Like Picture itu sudah tepat. Lain kali, saya akan menonton lagi film lain keluaran rumah produksi itu. []

Kamis, 11 September 2014

Surat Buat Adik-Adik Siswa SDN 9 Semende Darat Ulu

Ini isi surat yang saya kirim: foto dokumentasi liputan (dilengkapi deskripsi foto di belakangnya), kartu pos biar mereka bisa kirim balasan, dan tentu saja surat yang isinya kisah tentang kehidupan seorang wartawan
Seorang pengajar muda berinisiatif membangkitkan motivasi anak didiknya untuk banyak bercita-cita dan berani bermimpi melalui kisah yang dialami orang-orang dari berbagai macam profesi. Saya tertarik untuk berbagi. Berikut terlampir isi surat yang saya kirim dan publikasi dari sang pencetus ide, barangkali kamu tertarik gabung. Deadline nya masih lama, akhir September. Mari buka mata mereka, adik-adik kita!



Lampiran 1

Halo adik-adik,

Semoga saat membaca surat ini, suasana hati adik-adik semua sedang bahagia. Kakak juga senang sekali bisa menyurati kalian di Bumi Sriwijaya saya. Adik-adik yang manis, kenalkan nama kakak Rheza Ardiansyah. Kakak sehari-hari berprofesi sebagai wartawan. Kalian tahu apa itu wartawan? Kalau tidak ada wartawan, mungkin kalian tidak akan tahu kalau kita akan punya presiden baru. Atau kalau tidak ada wartawan, teman-teman kita di seluruh Indonesia mungkin tidak akan tahu sebuah tempat bernama Desa Danau Gerak di Kabupaten Muara Enim. Betul, wartawan itu orang yang kerjanya memberitahukan sesuatu. Kami setiap hari membuat berita. Informasi yang kalian baca di koran, kalian dengar di radio, atau kalian tonton di TV, itu buatan kami. Adik-adik tahukah kalian? Jadi wartawan itu menyenangkan loh. Sini kakak ceritakan.


    Adik-adik siswa SDN 9 Semende Darat yang baik, coba lihat foto yang kakak kirim buat kalian. Itu foto kakak waktu bertugas ke Papua. Ada penjelasan tentang foto itu di belakangnya. Kalian tahu di mana Papua? Tempatnya ada di timur. Di ujung Indonesia kita. Kalau kalian ke sana menggunakan pesawat terbang dari Jakarta, lama perjalanannya bisa sampai 6 jam. Kalau pake kapal laut, bisa berhari-hari, bahkan mungkin seminggu lebih. Papua itu indah sekali. Orang-orang di sana berbeda dengan yang ada di Desa Danau Gerak. Kebanyakan orang Papua berkulit gelap, rambutnya menggumpal tebal. Mereka juga baik hati. Kalau adik-adik mengenal suku melayu di tanah Sriwijaya yang kalian tempati, maka di Papua sana sukunya ada bermacam-macam. Bayangkan, antar kampung di Papua sana sukunya sudah beda, dan bahasanya juga sudah lain lagi. Makanya Bahasa Indonesia sangat penting karena dengan bahasa itulah orang Papua saling mengerti. Hayo, nilai pelajaran Bahasa Indonesia kalian gimana? Bagus kan?


    Adik-adikku yang manis, sewaktu bertugas ke Papua, kakak pergi ke sebuah tempat bernama Kabupaten Puncak. Letaknya di tengah pulau Papua. Kita cuma bisa ke sana setelah menaiki pesawat berkapasitas tak lebih dari 10 orang dari bandara Mozes Kilangin di Timika. Itu pun setelah melewati hutan belantara yang luaaaaas sekali. Coba kakak tanya, berapa harga bensin satu liter di Desa Danau Gerak? Enam ribu lima ratus? Lebih dari sepuluh ribu? Kalau di Kabupaten Puncak, satu liter bensin harus kamu beli dengan uang 50 ribu rupiah. Mahal sekali kan. Itu karena bensin tadi harus diangkut dengan pesawat yang ongkos kirimnya juga mahal. Di kawasan pegunungan tengah Papua sana jalan darat memang belum ada. Itu salah satunya karena daerahnya bergunung-gunung dan susah dibangun. Pemerintah Kabupaten Puncak ingin buat kereta gantung agar memudahkan kita kalau mau berkunjung ke sana. Nah tugas kakak sebagai wartawan, adalah mengabarkan kondisi itu kepada masyarakat, lalu mencarikan informasi tentang apa yang kira-kira bisa memecahkan masalah terasingnya Kabupaten itu. Kakak juga harus mengingatkan pemerintah agar memperhatikan wilayah seperti Kabupaten Puncak.


    Nah, jika kalian menjadi wartawan, kurang lebih hal seperti itu yang akan dilakukan. Tugas utama wartawan itu selain memberikan informasi, juga mengawasi pemerintah agar mereka bekerja dengan baik. Contohnya begini. Beberapa waktu lalu ada seorang hakim yang menerima uang milyaran rupiah dari seorang pemimpin daerah. Itu tidak boleh dilakukan karena putusannya menjadi tidak adil, dan kita sebagai masyarakat akan dirugikan. Wartawan juga akan galak kepada setiap pelanggaran aturan. Misalnya: kita kan sebagai warga negara yang baik harus bayar pajak ke negara. Nah ada perusahaan yang tidak bayar pajak sampai nilainya trilyunan rupiah. Seorang wartawan mengabarkan kenakalan itu sehingga si perusahaan hingga kini terus dituntut untuk membayar kewajibannya. Karena kan uang pajak itu untuk pembangunan kita juga.


    Adik-adikku sekalian, coba kakak mau tanya. Siapa pahlawan super jagoan kalian? Superman? Batman? Spiderman? Power rangers? Aksi mereka itu mirip dengan apa yang dilakukan wartawan. Kalau para super hero tadi membasmi kejahatan dengan kekuatan super mereka, kalau wartawan membasminya dengan memberitakan. Agar nantinya para penegak hukum kita dan masyarakat, langsung bertindak menghentikan pelanggaran. Makanya, wartawan itu juga harus jadi orang baik. Nah kalau adik-adik tertarik buat jadi wartawan, biasakan jujur sejak sekarang. Patuhilah aturan yang sudah disepakati. Kalau kata ibu guru harus mengerjakan tugas sendiri, kerjakanlah secara mandiri. Kalau kata ayah atau ibumu kamu harus bantu mereka, lakukan dengan senang hati. Ingat ya, semua harus dilakukan dengan senang hati dan menyenangkan yang lain. Dengan begitu, jadi apa pun kalian nanti, akan terasa nyaman. Menurut kakak, yang perlu adik-adik lakukan sekarang cuma satu: lakukan apa pun hal baik yang belum kalian lakukan. Bernyanyilah selantang mungkin. Berlarilah secepat kalian bisa. Cetaklah gol sebanyak mungkin. Cari tahu apa yang membuat kalian penasaran. Katakan apa pun yang kalian rasakan. Tulislah buku harian. Jauhkan rasa malu. Tertawakan diri sendiri. Dari sana, kalian nantinya akan menemukan satu pilihan yang paling disukai. Kalian akan berkata ke diri kalian sendiri bahwa itulah bidang yang akan kalian dalami. Dari situlah kalian akan berguna lagi untuk orang-orang di sekitar.


    Surat kakak kepanjangan gak? Hehe. Sekian dulu obrolan kita kali ini ya. Senang sekali kakak bisa menyapa kalian di sana. Semoga suatu hari nanti kita benar-benar bertemu secara langsung. Semoga surat ini bermanfaat. Semoga cita-cita kalian selalu tercapai. Salam hangat dari kakak. Sampai jumpa.

Jakarta, 27 Agustus 2014

Rheza Ardiansyah
Wartawan Metro TV


Lampiran 2

Salam Indonesia!

Perkenalkan, saya Prawinda Putri Anzari, S.Ikom. Pengajar Muda dari Yayasan Indonesia Mengajar untuk penempatan Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.
Adalah SDN 9 Semende Darat Ulu di Desa Danau Gerak tempat saya mengajar.

Desa ini tepat berada di lereng bukit barisan dengan cuaca yang sangat dingin dan akses jalan yang lumayan sulit. Listrik hanya berasal dari turbin arus sungai dari sore hingga pagi.

Di sekolah kami terdapat sekitar 170 murid. Mayoritas penghasilan penduduk dusun adalah berkebun kopi dan sawah.

Hal ini membuat anak-anak didik kami hanya memiliki satu tujuan saat besar nanti, yaitu melanjutkan mengurus kebun orang tuanya.
Padahal murid-murid disini sangat bersemangat untuk belajar dan mengenal hal maupun dunia baru.

Saya mengajak kakak-kakak semua untuk menuliskan surat semangat kepada mereka. Surat tersebut dapat berisi apa profesi kalian, atau kalian kuliah di jurusan apa.

Akan lebih baik apabila melampirkan foto yang menunjukkan profesi yang kalian jalani. Beri mereka motivasi dan pengetahuan baru untuk mengejar cita-cita yang lebih baik.

Surat dapat dikirimkan ke:
PO BOX 1113 Kantor Pos Muara Enim Sumatra Selatan 31300

Kami tunggu surat kalian semua hingga 15 september((Mengingat akses sulit ke kabupaten, saya baru dapat turun bukit 1-1,5 bulan sekali. Jadi diharapkan ketepatan waktu untuk pengiriman ^^)
Untuk info lebih detail, contact di 081289037828

Terima kasih... Dan mohon bantuan sebarkan ajakan ini. Supaya senyum mereka tetap menghiasi bumi sriwijaya :)

#repath berantai

Menghindari Dehumanisasi di Film I Saw The Devil

Saya baru khatam menonton film I Saw The Devil. Ini film dari Korea Selatan yang intinya bertema tentang balas dendam. Kisahnya bermula dari pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat terhadap seorang wanita. Si wanita yang mengaku hamil sebelum dieksekusi ini punya pacar anggota polisi. Ketika tubuhnya dimutilasi dan potongannya ditemukan, sang pacar membalaskan dendam. Ketika menemukan pembunuh pacarnya, ia tak langsung menghabisi nyawa pria itu. Si pembunuh disiksa perlahan agar benar-benar menderita. Tapi tentu saja dia melawan. Nah pertarungan dua kubu itulah yang jadi lika-liku di film ini. Merah darah. Itu warna duel diantara keduanya. Adegan sadis tak jarang diekspos. Itulah yang membuat saya berpikir.

Apa yang terjadi, jika seekor katak dimasukkan ke dalam kuali berair panas? Ia akan otomatis melompat dari dalamnya. Menyelamatkan diri. Lalu bagaimana jika katak tadi dicemplungkan ke air bersuhu normal. Ia akan otomatis berenang-renang di dalamnya. Saat itu, kuali dipanaskan. Air memanas seiring tarian api yang makin menggila. Apa kabar si katak? Dia mati kepanasan. Analogi demikian nampaknya paralel dengan yang akan terjadi dalam kepala penonton film berjenis sadis. Saat menyaksikan adegan pornografi atau kekerasan yang vulgar, ada satu batas ketika kita berusaha menghindar. Kita merasa muak dengan visualisasi yang tampak. Tapiii, dengan iming-iming aliran kisah yang tidak mau ditinggalkan, toh kita memaksakan diri. Padahal, itulah batas toleransi pikiran manusia untuk menganggap wajar sebuah adegan. 

Dalam sebuah analisa, dipaparkan bahwa pornografi berbahaya karena ia memberikan sensasi syur yang tak ada habisnya. pada kali pertama, ada sensasi "wah" yang dirasakan. Lalu untuk menghasilkan sensasi serupa yang adiktif, seorang pecandu porno mengulang upaya yang sama. Ulangan itu terus terjadi hingga hilanglah sensasi yang muncul dari rangsangan konstan. Ia kemudian mencari rangsangan seksual lain yang keluar dari pakem normalitas. Inilah jabang bayi penyimpangan seksual. Pedofilia, incest, atau hal seksual lain yang dirasa menghentak penganut normalitas awam, kemudian muncul. Kekhawatiran serupa mungkin juga bisa terjadi dengan tampilan vulgar ala film sejenis I Saw The Devil di atas. Mungkin seorang masokis awalnya tak tahan melihat darah yang mengalir. Dipaksakan, ia lalu terbiasa. Akhirnya adegan vulgar lain menjadi sesuatu yang biasa saja. Inilah yang bisa membunuh kemanusiaan. Peradaban tinggi manusia yang dibangun di atas asumsi bersih, rapi dan enak dipandang, direkonstruksi. Maka jika barbarisme menjadi awam, standar peradaban manusia tersebut mundur sekian langkah. Oleh karena itu, meski tetap mengapresiasi film berjenis gore atau slasher atau apalah itu namanya, saya selalu menahan diri untuk tidak membiasakan familiar dengan adegan yang bisa menghilangkan rasa tega atau kasihan. []

Rabu, 27 Agustus 2014

Duduk di Samping Pak Pilot yang Sedang Bekerja



Pulang dari tugas liputan di Kabupaten Puncak Papua, saya duduk di kursi co pilot dalam pesawat dari Ilaga ke Timika. Rasanya menyenangkan sekali. Video di atas itu gambarannya. Atau foto-foto di bawah ini:

Sebuah air terjun di tengah belantara hutan terlihat dari pesawat


Kelokan sungai pun bisa kita nikmati dengan jelas

Terbang di atas awan

Rekan tim liputan yang lain duduk di bagian belakang pesawat yang sebenarnya untuk mengangkut barang

Kumpulan titik-titik rumah itulah ilaga, distrik yang jadi ibu kota kabupaten puncak papua. Ada delapan distrik di kabupaten yang berdiri sejak 2008 ini. Sebuah distrik ada yang nyebut "negara lain" karena rawan. Rawan you know lah. Tapi sekarang kata bupati, TNI, peneliti, warga-warga di sana: sudah aman.

Lihat titik merah putih di bukit kering itu? Dia bendera merah putih ukuran 10x15 meter persegi. Memperingati HUT RI Ke-69, di kabupaten puncak dipasang 5 bendera raksasa di 5 bukit berbeda. Bukit menggaro hangus karena dibakar warga. Tadinya mau dibuat kebun. Simak kisah lengkap pendakian ke Bukit Menggaro di tautan ini.

Yang putih-putih itu bukan salju. Tapi memang di pegunungan tengah ini dingin. Bahkan puncak cartenz ada di kawasan pegunungan tengah papua, di kabupaten puncak yang kami kunjungi. Ibu kota kabupaten puncak itu namanya distrik ilaga

Ini dia salah satu pemandangan dari pesawat barang yang kami tumpangi dari ilaga ke timika. Ada banyak jenis tebing. Yang rata kayak di kanan itu memang unik

Seminggu setelah terbang, pesawat yang pernah kami tumpangi terpeleset di landasan pacu. Beruntung awak kapalnya selamat.