Saya baru khatam menonton film I Saw The Devil. Ini film dari Korea Selatan yang intinya bertema tentang balas dendam. Kisahnya bermula dari pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat terhadap seorang wanita. Si wanita yang mengaku hamil sebelum dieksekusi ini punya pacar anggota polisi. Ketika tubuhnya dimutilasi dan potongannya ditemukan, sang pacar membalaskan dendam. Ketika menemukan pembunuh pacarnya, ia tak langsung menghabisi nyawa pria itu. Si pembunuh disiksa perlahan agar benar-benar menderita. Tapi tentu saja dia melawan. Nah pertarungan dua kubu itulah yang jadi lika-liku di film ini. Merah darah. Itu warna duel diantara keduanya. Adegan sadis tak jarang diekspos. Itulah yang membuat saya berpikir.
Apa yang terjadi, jika seekor katak dimasukkan ke dalam kuali berair panas? Ia akan otomatis melompat dari dalamnya. Menyelamatkan diri. Lalu bagaimana jika katak tadi dicemplungkan ke air bersuhu normal. Ia akan otomatis berenang-renang di dalamnya. Saat itu, kuali dipanaskan. Air memanas seiring tarian api yang makin menggila. Apa kabar si katak? Dia mati kepanasan. Analogi demikian nampaknya paralel dengan yang akan terjadi dalam kepala penonton film berjenis sadis. Saat menyaksikan adegan pornografi atau kekerasan yang vulgar, ada satu batas ketika kita berusaha menghindar. Kita merasa muak dengan visualisasi yang tampak. Tapiii, dengan iming-iming aliran kisah yang tidak mau ditinggalkan, toh kita memaksakan diri. Padahal, itulah batas toleransi pikiran manusia untuk menganggap wajar sebuah adegan.
Apa yang terjadi, jika seekor katak dimasukkan ke dalam kuali berair panas? Ia akan otomatis melompat dari dalamnya. Menyelamatkan diri. Lalu bagaimana jika katak tadi dicemplungkan ke air bersuhu normal. Ia akan otomatis berenang-renang di dalamnya. Saat itu, kuali dipanaskan. Air memanas seiring tarian api yang makin menggila. Apa kabar si katak? Dia mati kepanasan. Analogi demikian nampaknya paralel dengan yang akan terjadi dalam kepala penonton film berjenis sadis. Saat menyaksikan adegan pornografi atau kekerasan yang vulgar, ada satu batas ketika kita berusaha menghindar. Kita merasa muak dengan visualisasi yang tampak. Tapiii, dengan iming-iming aliran kisah yang tidak mau ditinggalkan, toh kita memaksakan diri. Padahal, itulah batas toleransi pikiran manusia untuk menganggap wajar sebuah adegan.
Dalam sebuah analisa, dipaparkan bahwa pornografi berbahaya karena ia memberikan sensasi syur yang tak ada habisnya. pada kali pertama, ada sensasi "wah" yang dirasakan. Lalu untuk menghasilkan sensasi serupa yang adiktif, seorang pecandu porno mengulang upaya yang sama. Ulangan itu terus terjadi hingga hilanglah sensasi yang muncul dari rangsangan konstan. Ia kemudian mencari rangsangan seksual lain yang keluar dari pakem normalitas. Inilah jabang bayi penyimpangan seksual. Pedofilia, incest, atau hal seksual lain yang dirasa menghentak penganut normalitas awam, kemudian muncul. Kekhawatiran serupa mungkin juga bisa terjadi dengan tampilan vulgar ala film sejenis I Saw The Devil di atas. Mungkin seorang masokis awalnya tak tahan melihat darah yang mengalir. Dipaksakan, ia lalu terbiasa. Akhirnya adegan vulgar lain menjadi sesuatu yang biasa saja. Inilah yang bisa membunuh kemanusiaan. Peradaban tinggi manusia yang dibangun di atas asumsi bersih, rapi dan enak dipandang, direkonstruksi. Maka jika barbarisme menjadi awam, standar peradaban manusia tersebut mundur sekian langkah. Oleh karena itu, meski tetap mengapresiasi film berjenis gore atau slasher atau apalah itu namanya, saya selalu menahan diri untuk tidak membiasakan familiar dengan adegan yang bisa menghilangkan rasa tega atau kasihan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar