Tabula Rasa. Pertama kali saya dengar dua kata itu ketika duduk di kelas Psikologi Anak saat kuliah dulu. Saat itu Bu Melly mengenalkan istilah yang mulanya dicetuskan filsuf John Locke. Artinya kertas kosong. Teori tabula rasa menggambarkan bahwa seorang bayi lahir sebagai secarik bersih kertas yang siap ditulisi. Lalu bertahun-tahun kemudian Tabula Rasa muncul sebagai titel sebuah film. Film yang tadi malam saya tonton setelah melewati celah sempit waktu usai menunaikan tugas liputan.
Tabula Rasa dibuka dengan adegan pertandingan sepak bola di Papua. Seorang pemain bersinar sebagai bintang lapangan, Hans namanya. Singkat cerita, Hans berkesempatan mendaki posisi ke Jakarta. Rupanya di ibu kota kariernya tak secemerlang yang ia alami di tempat asalnya. Di antara batas tipis keputusasaan, seorang ibu datang menolong Hans. Selanjutnya kita akan mengenal ibu itu dengan panggilan Mak. Sebuah rumah makan khas Padang menjadi tumpuan sumber penghasilan Mak. Dengan kasihnya, Hans diajak Mak ke rumah makan itu. Rupanya ada sekeping kenyataan yang membuat Mak sedemikian simpati kepada Hans. Lalu konflik muncul di rumah makan yang awalnya sepi pengunjung itu. Guliran kisah pun terus berlanjut, berlatar kuah gulai kepala kakap yang mencairkan liur, didihan kuah rendang dan taburan sambal khas kuliner Minang.
Tabula Rasa menarik karena ia memaparkan visualisasi idealisme, kasih sayang yang tanpa kenal identitas, hingga contoh sikap legawa dalam sebuah prahara. Berlokasi di sebuah jalan raya di Parung Bogor (alamatnya kelihatan di plang rumah makan), film ini terkesan minimalis. Lokasinya paling cuma di sekitaran pasar, perlintasan kereta, dan rumah makan padang. Dan oh ya, keindahan alam Serui, Papua, juga dihadirkan. Tapi jangan kira film ini sempit makna dan cerita. Meski di awal membuat kening berkerut, toh di beberapa adegan berikutnya, kesan tidak logis yang semula muncul bisa dijelaskan. Contohnya soal alasan kenapa Mak yang Minang banget itu mau-mau aja Hans yang sangat Papua merapat ke rumah kecilnya. Sektor audio juga cukup impresif. Dengan bantuannya, adegan yang memperlihatkan Uda Parmanto yang mancicipi gulai kepala kakap bisa sedemikian emosional. Belum lagi kehadiran Dankie vokalis/ gitaris Dialog Dini Hari yang bercameo menyanyikan lagunya sebagai pengamen.
Tabula Rasa tiba pada sebuah ketika. Kamera meninggi, memperlihatkan tampakan burung terbang yang menatap jalanan dan sebuah kejadian. Layar memudar, film pun usai. Ini sebenarnya penutup yang kurang menyenangkan, mungkin karena konflik yang disajikan rasanya terlalu sederhana. Atau mungkin ending film terlalu dekat dengan klimaks. Entahlah. Saya cek jam, rupanya sudah pukul sembilan malam. Film berakhir sejak ia diputar jam 19.15, waktu penayangan kedua sekaligus skrining terakhir Tabula Rasa di bioskop. Kemarin, Tabula Rasa cuma tayang di bioskop TIM XXI, itu pun cuma dua kali pembukaan teater, jam lima dan jam tujuh. Maka deru motor yang saya geber pasca magrib usai itu terbayar setimpal. Rasanya keputusan untuk memaksakan diri menonton film produksi Life Like Picture itu sudah tepat. Lain kali, saya akan menonton lagi film lain keluaran rumah produksi itu. []
Setiap baca review ttg film ini isinya serupa, endingnya antiklimaks tapi direkomendasikan utk ditonton, bikin galau.. Hehehe..
BalasHapuscuma satu cara membuktikannya: tonton! :)
BalasHapusNice review gan, sayang ane gak bisa nonton filmnya. ^^
BalasHapus