Jarum pendek dan jarum panjang sudah berimpit vertikal mengarah angka 12 saat angkot yang saya tumpangi menembus basahnya Bogor pasca guyuran hujan sepanjang separuh Sabtu itu. Sekitar 15 menit kemudian Saya dan Agus Surachman tiba di terminal Bubulak Bogor, di pos penghentian bis Trans Pakuan yang terlihat tak seperti biasanya. Siang itu tak ada bis yang terlihat siap untuk berangkat. Tak lama kemudian tibalah bis yang kami nantikan. Setengah jam sebelum acara yang kami tuju dimulai, akhirnya bis itu berangkat. Jam satu siang itu, akan diadakan workshop perfilman di kampus IPB Baranangsiang. Tertarik dengan titel “workshop”, saya mengorbankan kehadiran di seminar kepemimpinan dan wirausaha oleh Fakultas Ekologi Manusia dengan menghadirkan Rokhmin Dahuri yang juga digelar siang itu.
Saya dan Agus tiba di lokasi acara 15 menit setelah event itu direncanakan digelar. Ternyata acara yang dimaksud bukan sebuah workshop yang menawarkan luaran berupa skill teknis, melainkan screening beberapa film. Selain berjumpa dengan Attar Fariduddin dan Dony P. Herwanto, saya juga bertemu dengan Bang Beruk, senior di organisasi Music Agriculture X-pression (MAX!!). Seniman dengan rambut bak sarang lebah yang saya sebut belakangan, menyatakan bahwa film yang akan ditayangkan hari ini adalah film tentang Koil. Kening saya berkerut. Koil punya film? Mungkinkah film ini yang dimaksud? Mungkinkah film yang dimaksud adalah tayangan ulang konser tunggal band asal Bandung itu? Saya makin tak sabar jika memang film Koil yang akan ditampilkan.
Beberapa film pendek yang ditayangkan di awal acara diacu berdasarkan kisah 140 karakter dari @fiksimini. Menu utama pertama adalah film bertajuk Mengejar Impian besutan Nia Dinata. Film dokumenter itu bercerita tentang pengalaman beberapa anak sekolah yang berusaha mengejar impian mereka menempuh pendidikan tinggi melalui (inilah yang saya sayangkan) beasiswa Sampoerna. Kehadiran beasiswa Sampoerna dan Sampoerna Academy (SMAN 10 Malang) seakan menyatakan bahwa film itu adalah iklan (atau memang itu pesan sponsor?). Saya akhirnya memilih berpaling ke buku yang saya bawa. Selain karena pencantuman merek itu, gaya dokumenter yang disajikan juga terasa kurang natural. Bayangkan adegan seorang pedagang cilok yang bertutur pada anaknya bahwa di sebuah SMA, ada program beasiswa. Tragisnya, adegan itu mengesankan bahwa ada skenario yang menjadi penuntun. Tapi entahlah, itu hanya pandangan saya sebagai penonton yang awam dengan film, dan tentu saja kalaupun saya berani memberi rating, pemeringkatan itu belum terlalu layak diperhitungkan. Saya beri nilai satu dari lima bintang untuk Mengejar Mimpi.
Film selanjutnya akhirnya bergulir. Sebuah karya dokumenter yang dibidani Andibachtiar Yusuf berjudul Hope lalu diputar. Hope tersusun dari tiga sub judul. Sesi pertama berjudul The Majorities To Die For. Babak ini bercerita tentang betapa fanatiknya para simpatisan partai besar saat pemilu 2004. Di sesi berikutnya tampillah tim barongsai Indonesia yang menyandang gelar juara dunia dalam bidang kompetisi asal China itu. Kisah membanggakan itu tersusun dalam rubrik The Minorities. Sesi terakhir kemudian membuat saya merasa beruntung hadir di tempat itu. The Nation merupakan sesi paling buncit sekaligus klimaks film itu. Subjudul The Nation menghadirkan dua selebritis yang membahas topik kebangsaan.
The Nation berisi perbedaan paradigma dua tokoh musik Indonesia tentang kondisi negeri. Figur pertama yang dimaksud adalah Julius Aryo Verdijantoro, vokalis grup musik Koil yang lebih dikenal dengan nama Otong. Rupanya ini yang dimaksud Beruk. Anehnya, hingga akhir acara gitaris Johny The Good itu tak kunjung terlihat. Baiklah, mari kita kembali ke film Hope. Otong dikenal sebagai mesin yang menggerakan band rock asal kota kembang itu. Selain produktif bermusik, Otong juga membuka usaha penjualan busana bernama God Incorporated di Bandung. Dalam film itu diperlihatkan Donnijantoro (adik Otong sekaligus gitaris Koil) memamerkan sebuah desain kaos Koil berjudul Sistem Kepemilikan. Bagian depan kaos putih itu bergambar lukisan mooi indie khas anak-anak yang menurut Doni (demikian gitaris Koil itu biasa dipanggil) adalah penampakan yang selalu sama dibuat hampir semua anak Indonesia untuk menyatakan gambar pemandangan. Di langit dalam gambar itu tertulis kalimat “ini negara bodoh yang sangat kubela”. Doni menyatakan bahwa gambar itu dibuat oleh anak Otong. Di bagian punggung kaos juga tertulis kalimat yang sama, tertulis rapi dengan bentuk khas karya anak-anak yang baru belajar menulis. “Ini juga anaknya Otong yang bikin, terus gua scan, ditempel disini,” papar Doni. Adegan yang kemudian muncul adalah tingkah seorang anak lelaki bernama Al. Tahun 2010 lalu ia berusia 10 tahun. Bocah itu tak lain adalah anak tertua Otong. Dengan penuh rasa percaya diri, Al lalu memperlihatkan gambarnya yang lain. Selain Otong dan Doni yang sukses mengelola distro, ditampilkan pula Leon Ray Legoh yang sedang asyik memasak bersama koki lain yang juga mengenakan baju hitam keluaran God Inc di dapur restoran miliknya.
Salah satu sumber inspirasi Otong dalam membuat lirik lagu adalah status Twitter orang lain
“Selalu saja ada sesuatu yang salah dengan Indonesia, apa sebenarnya yang menyebabkan hal itu?” “Karena lu kerjanya cuma ngomong doang, ga berbuat sesuatu untuk memperbaiki kesalahan itu.” Dialog singkat itu dituturkan Pandji Pragiwaksono, seorang rapper yang juga dikenal sebagai pencetus Indonesia Unite dengan slogannya yang sakti, Kami Tidak Takut. Tokoh multitalenta lulusan ITB itu dikenal sebagai figur yang menyuarakan optimisme tentang Indonesia. Pasca peristiwa peledakan hotel JW Marriott, Pandji melihat fenomena munculnya citra negatif yang melekat di Indonesia. Melalui misi untuk meredam citra negatif itu dengan ekspos kelebihan bangsa, Pandji terus berjuang di bawah bendera Indonesia Unite, hingga membentuk forum Provocative Proactive, menggubah lagu nasionalis, serta upaya lain untuk mengharumkan nama bangsa.
Dalam sesi selanjutnya, sebuah topik nasionalisme dibahas menurut perspektif personal antara Otong dan Pandji. Tengok saja bagaimana mereka memandang potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Otong berikrar bahwa jika ia jadi presiden suatu saat nanti, ia tak akan merusak alam untuk tujuan kesejahteraan. Yang akan ia lakukan adalah mendukung berkembangnya potensi seniman-seniman bangsa seperti seni debus, seni tari, dan lain-lain. Senada dengan Otong, Pandji juga mengiyakan pentingnya kualitas SDM bangsa Indonesia sebagai modal peningkatan martabat bangsa di mata dunia.
Otong cenderung berbicara sebagai insan nusantara yang pesimistis. “Indonesia itu persis kayak Amerika di era Jimmy Carter,” ucap Otong dalam pemaparannya. “Saat pemerintah mencanangkan program hemat energi, semua komponen negara kompak mendukung. Setelah Carter turun tahta, program itu lalu dihapuskan karena ada deal dengan perusahaan minyak tertentu,” pungkas vokalis berambut panjang itu. Di lain pihak, Pandji berpesan bahwa jika ada hal yang tidak kita sukai dengan negeri ini, maka ubahlah. Jangan biarkan kita dan cucu kita menjadi generasi penggerutu.
Penonton lalu diberi paparan adegan bentrok di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu silam. Selain itu aksi suporter yang tiba-tiba memasuki lapangan saat timnas Indonesia sedang berlaga juga turut ditampilkan. Saat digelandang aparat, ‘suporter nasionalis’ itu meminta maaf. “Sama Laos dan Myanmar aja kalah. Ga tau apa yang salah [dengan sepak bola kita],” Tutup suporter itu menyayangkan keadaan.
Atas berbagai minus dan plus Indonesia, Pandji berharap agar setidaknya 50 tahun ke depan semua komponen bangsa tahu apa yang harus dia lakukan untuk Indonesia. Sementara itu Otong menyatakan bahwa hidup ini hopeless, nikmati saja yang sudah ada. “berterimakasihlah ke Tuhan. Itu pun kalo kita percaya Tuhan. Kalo percayanya ke setan ya berterimakasihlah ke dia,” tutur Otong.
***
Bagian akhir dari acara hari itu adalah diskusi tentang film Hope bersama sutradaranya sendiri, Andibachtiar Yusuf. Sutradara yang akrab dipanggil Ucup itu menjawab berbagai pertanyaan audiens dengan gaya yang natural dan blak-blakan. Saat seorang penonton bernama Rheza Ardiansyah (ehm, that’s me) bertanya tentang alasan mengapa Koil dipilih sebagai corong yang menyuarakan nasionalisme, bukannya Jeruji yang juga memiliki pesan serupa tapi dengan kemunculan yang mungkin lebih awal, Ucup dan kamerawan yang hadir bersamanya (moderator lupa mengenalkan pembicara, bahkan ia lupa mengenalkan diri sendiri) menyatakan bahwa Koil dipilih karena tim pembuat film sudah memiliki relasi yang baik dengan mereka, sehingga memudahkan proses produksi film.
Saya baru menyadari bahwa titik tekan Otong dan Pandji tentang solusi membangun bangsa berasal dari teropong yang berbeda, setelah sang sutradara menyatakan perbedaan solusi itu. Otong menyatakan bahwa dengan berjuang bagi diri sendiri maka kita telah berjuang untuk bangsa, sedangkan Pandji menghimbau persatuan nasional. Kurang kontrasnya perbedaan pendapat itu mungkin disebabkan oleh adanya kesepahaman dua narasumber terhadap topik tertentu (contoh: tentang SDM Indonesia), sehingga kurang menajamkan perbedaan cara untuk mencapai tujuan sama kedua narasumber. Jika di film Prison and Paradise karya Daniel Rudi perbedaan pendapat Imam Samudra dan Ali Imron yang semula sepaham mampu menjadi daya tarik tersendiri, maka daya tarik film Hope ini adalah pola pikir narasumber yang out of the box, tanpa terlalu menonjolkan perbedaan antara keduanya. Saya setuju dengan pernyataan sutradara jebolan Jurnalistik Universitas Padjadjaran itu bahwa film ini tidak memiliki pesan khusus, namun memiliki statement yang menjadi identitas film.
Hal lain yang saya sayangkan adalah Leon Ray yang hanya ditampilkan saat memasak, tidak diberi kesempatan (tidak diminta) bertutur. Padahal satu kalimat yang menyatakan bahwa ia memiliki sebuah restoran dan juga mempekerjakan beberapa karyawan akan terasa lebih dari cukup untuk memotivasi penonton bahwa industri kreatif di sisi lain juga memiliki nilai penyerapan tenaga kerja yang tinggi. “Soalnya di Koil itu juru bicaranya Otong. Waktu itu Adam juga ada, katanya biar Otong aja yang bicara. Pengakuan Otong yang menyatakan tak bisa bermusik itu benar, karenanya personil lain fokus ke karya musik mereka,” demikian pemaparan sang pengambil gambar. Menanggapi pertanyaan tentang kepuasannya terhadap karya sendiri, Ucup mengaku tidak puas dengan rilisnya karya berbudget 50 juta ini. “Seperti ga kemana-mana,” katanya. Baiklah, tiga setengah bintang untuk Hope, selamat.
Film inspiratif itu juga tersaji dalam bentuk DVD. Di bagian belakang kemasan DVD itu tampak Otong dengan kaos hitamnya yang bertuliskan “ini negara bodoh yang sangat kubela”. Di samping Otong berdiri Pandji dengan kaos merah yang bertuliskan “kami tidak takut”. Ya, kami tidak takut dengan kondisi aktual negara bodoh yang kami bela ini, karena kini kami tahu solusinya. Kami harus menggalang kebersamaan dan memulai upaya peningkatan kualitas bangsa dari diri sendiri.
GREAT! Nice Post Za...Interesting, I like it..Keep spirit to writing and reporting ya..
BalasHapus