Akhirnya, kesempatan itu tiba juga. Saya diberi tugas liputan ke luar negeri. Tak tanggung-tanggung, langsung saya dikirim ke Jerman, liput Leipzig Book Fair yang juga diikuti tokoh-tokoh di bidang kepenulisan tanah air. Berikut ini hasil liputan saya di sana:
- metrotvnews.com: Topik Komunisme Indonesia Masih Disukai Penerbit di Jerman
- metrotvnews.com: Penulis Ronggeng Dukuh Paruk akan Berhenti Menulis?
- Metro Bisnis: Komik Garudayana Jadi Primadona di Leipzig Book Fair
- Belajar dari cara Bangsa Jerman merawat ingatan (belum tayang)
- 360: Ayo Baca!
Secara sekilas, saya akan ceritakan kisah di balik perjalanan dan pembuatan hasil liputan yang dilaksanakan selama enam hari tersebut (termasuk dua hari perjalanan). Selasa malam itu, saya menumpangi pesawat Lufthansa. Di ruang tunggu keberangkatan, saya dan rombongan wartawan kemudian berjumpa dengan Pak Ahmad Tohari dan Pak Sapardi Joko Damono. Kami berangkat bersama sementara anggota delegasi lain ada yang sudah ke Jerman duluan dan berangkat belakangan.
|
Buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin mendapat tanda tangan penulisnya sendiri |
“Wartawan sekarang muda-muda ya,” celetuk Pak Tohari. “Ini mungkin seusia cucu saya,” ujarnya mengira-ngira setelah saya memperkenalkan diri. Rupanya nantinya di Jerman, saya dan Pak Tohari berbagi ruang istirahat. Di Kuala Lumpur, ketika transit ke penerbangan berikutnya, saya kemudian sodorkan kumpulan cerpen Senyum Karyamin untuk ditandatangani penulisnya. Dua belas jam kemudian, tibalah kami di Jerman.
|
Berfoto di Bandara Kota Leipzig |
Kala itu rabu siang, atau rabu pagi di Jakarta ketika saya tiba setelah tiba di Leipzig. Dari Kuala Lumpur tadi, sebenarnya kami singgah dulu di Frankfurt. Dari Frankfurt, kami naik pesawat lagi ke Leipzig sekitar satu jam. Saya gak yakin musim apa itu ketika saya tiba di Leipzig. Yang jelas, dingin dan kering, tapi menyegarkan. Sejuk. Suasana itu terasa ketika kami menjajal perjalanan ke pusat kota Leipzig dengan naik tram. Kami pun mulai mencicil pengambilan stok gambar.
Tanpa diduga, kami berpapasan dan berkenalan dengan seorang Indonesia yang sedang belajar di Jerman. Namanya Rina. Ia mengikuti sebuah program pertukaran pemuda. Selama di Jerman, Rina belajar tentang bahasa dan kehidupan di sana. Wanita bergelar sarjana itu tinggal bersama keluarga penyanyi di kotanya. Rina cerita banyak soal Jerman dan penghuninya. Dari soal anak kecil yang selalu mengingatkan untuk hemat energy, anak-anak yang selalu haus penjelasan, hingga kehidupan studi mahasiswa Indonesia di Leipzig.
|
Rina mengajarkan kami cara menumpangi tram |
|
Saya dan Seno (RCTI) ambil gambar suasana di sekitar stasiun pusat kota atau Hauptbahnhof |
Rina juga mengajarkan kami cara naik tram. Haha. Jadi selama perjalanan ke Hauptbanhauf itu, kami mereka-reka caranya membeli tiket. Rupanya kami baru jalani separuh cara lengkap. Setelah membeli karcis, harusnya kami masukkan karcis itu ke sebuah kotak kecil untuk secara otomatis diberi stempel. Karcis itulah yang nantinya diperlihatkan ke petugas pemeriksaan. Kalau ketauan naik tanpa tiket atau salah tiket, denda puluhan euro menanti. Tapi jarang ada pemeriksaan. Petugas yang saya maksud bukan seperti bapak-bapak yang berdiri di pintu bis transjakarta. Mereka tak ada di tram yang kita tumpangi. Sesekali mereka akan masuk ke sebuah tram dan memeriksa secara acak karcis tram penumpang. Jadi, sebenarnya mau gratis pun bisa, asal kita beruntung naik pas gak ada petugas pemeriksa tiket. Hehe. Oiya, kalau kamu mahasiswa di Jerman, maka gratislah biaya transportasi ini. Enak yah. Kisah lengkap hari pertama saya di Leipzig, akan lebih tergambar dalam figur-figur di bawah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar