Dari tempat inilah kisah ini bermula. Di sebuah tempat reparasi alat elektronik harapan saya berlabuh. Semoga sebuah walkman SONY yang dibeli 14-an tahu lalu itu bisa diperbaiki. Saya ingin merasakan sensasi itu lagi. Sensasi menikmati musik sebagai sebuah album. Kala itu tahun 2000. Saya kelas 5 SD. Teman sekelas saya memperkenalkan musik yang kemudian mengalahkan potensi fanatisme saya ke klub sepak bola Liverpool. Maksudnya gini. Rasanya periode usia ketika itu adalah masa saat kita mengenal sesuatu, menyukainya, lalu mengidolakannya, dan belajar tentang fanatisme. Saat itu kesukaan saya ada dua, main bola dan musik. Di kamar saya waktu itu ada poster full team Liverpool, ada Zinedine Zidane, ada Robbie Fowler, selain poster Sheila On 7 yang jumlahnya lebih banyak. Haha.
Kaset pertama yang saya beli adalah album Kisah Klasik Untuk Masa Depan-nya Sheila On 7. Saat itu saya sampai belajar gitar dari lagu Tunggu Aku di Jakarta. Bahkan waktu majalah Fantasi rilis edisi khusus Sheila On 7, saya memaksakan beli ke pasar yang relative jauh lah dari sekolah dan rumah. Luar biasa, konyolnya. Hahahaha. Singkat cerita, saya kemudian minta dibelikan album pertama Sheila On 7, dapetnya CD. Saya pikir saat itu “wah ini pasti semua lagu ada video klipnya nih”. Eh, ternyata semua cuma suaranya. Yaiyalah. Hahaha. CD itu kemudian hilang dipinjam teman waktu SMP. Dia mengganti debut album band asal Jogja itu dengan kaset. Tanggal 7 Desember 2002 album 07 Des rilis, saya beli juga. Tiga album itu kemudian menemani masa peralihan saya dari bocah ke remaja. Dan seperti layaknya album dan musik lain, Sheila On 7 adalah penanda momen. Tiap lagu dan album punya kisahnya tersendiri. Nah begitu Sheila On 7 buat album OST 30 Hari Mencari Cinta, hubungan kami mulai longgar, saya cuma cukup tahu saja waktu itu sama lagu-lagunya. Meskipun gak bisa dipungkiri juga, album itu memang bagus. Versi rekam ulang lagu lama lebih enak. Saya paling suka lagu Untuk Perempuan.
Tahun berganti, Anton keluar, Sakti jadi ustad, Linkin Park naik daun, saya kenal Slipknot. Ada buku musik MBS (Musik Book Selection), saya lalu tahu Silverchair, lalu Kurt Cobain, dan lain-lain. Sheila On 7 perlahan terlupakan. Akhir masa SMP sampai awal masuk SMA, saya benar-benar punya selera musik baru. Singkat cerita tibalah kita di era ketika kaset sudah jadi barang yang tidak populer. Saya dan Charlen, teman sekantor, suatu hari terlibat dalam sebuah pembicaraan ringan. Kami mengobrol tentang Sheila On 7, band yang pernah saya idolakan dan Charlen idolakan sampai sekarang. Saya dan Charlen ketika itu begitu bersemangat mengomentari album pertama yang kesannya begitu meledak-ledak, anak muda pemberontak banget tapi ada sisi bijak dan rapuhnya. Lihat lirik lagu Bobrok misalnya, lalu tengok Perhatikan Rani, terus Berai, Dan, serta Terlintas Dua Kata. Lalu di album kedua mereka lebih personal. Lagu macam Sephia, Sahabat Sejati, Kisah Klasik Untuk Masa Depan, rasanya begitu berpusat pada seseorang dengan kehidupannya. Di album 07 Des, Sheila On 7 hadir dalam artwork yang rasanya musiknya banget. Kesannya teduh dan megah. Sebuah payung melindungi bola dunia yang berbunga. Ciri yang paling khas di album ini adalah suara orkestra. Meskipun suara benda gesek bukan hal asing (di lagu Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki ada sesi orkestra juga), tetap album 07 Des rasanya beda dengan si album cikal. Album berikutnya, saya angkat tangan. Gak ngikutin banget soalnya. Charlen justru mengidolakan album Pejantan Tangguh. Iya sih beberapa lagu memang keren di album itu, macam Khaylila’s Song, Itu Aku, Pemuja Rahasia. Tapi saat itu saya malah khusyuk dengerin Pejantan Tambun-nya Endank Soekamti. Haha.
Saya lalu pingin tahu gimana album teranyar mereka rasanya. Musim Yang Baik adalah album ke-8 Sheila On 7 sekaligus album terakhir mereka bersama Sony Musik yang membesarkan mereka sejak penghujung millennium ke-20. Jadi, album ini pasti spesial. Ini album penanda zaman. Charlen bilang sih bagus-bagus aja. Dia sendiri seingat saya sulit menggambarkan segimana bagus album ini. Pokoknya bagus. Haha. Nah lalu saya terpikir buat beli kaset album Musim Yang Baik dan perbaiki Walkman. Malangnya, si Walkman rusak total dinamonya. Gak ada lagi pabrik Sony di Indonesia. Beli baru? Males mending jajan yang lain. Wasalam lah intinya sama perkasetan. Artinya saya juga gak bisa menikmati Sheila On 7 sebagaimana ia dulu saya kenal pertama kali. Tapiiii, sebuah kejutan tiba. Dalam acara perayaan tiga tahun JDP 7 Metro TV, saya beruntung dapat hadiah yang paling menggambarkan Charlen. Apa yang paling Charlen banget? Apa lagi kalau bukan Sheila On 7? Dan di sinilah saya sekarang, dilatarsuarai lagu Belum ketika menulis ini. Tentu saja itu dari album Musik Yang Baik, album yang beberapa waktu lalu saya ingin miliki, tapi tertunda karena saya lebih milih beli dua CD lain duluan. Hehe.
Gimana rasanya Musim Yang Baik? Charlen gak salah. Bagus. Keren. Album ini tetep Sheila On 7 banget. Secara keseluruhan memang suara gitarnya lebih tipis karena cuma Eross yang ngisi. Tapi bukan berarti itu jelek. Justru Eross jenius karena menggunakan efek gitar crunch yang beridentitas blues di musik pop rock. Lagu-lagunya punya suasana beda-beda sih. Saya belum begitu mengenali sebuah lagu sehingga bisa tahu judul lagunya. Tapi memang tiap titel khas sih. Misalnya lagu Musim Yang Baik itu kayak lagu Cemburu-nya Dewa di album Bintang Lima, atau kayak lagu Saat Aku Lanjut Usia-nya Sheila On 7 di album 07 Des. Lagu Lapang Dada memang cocok jadi single utama. Saya pertama kali riset tentang album ini, dapetnya lagu bervideo klip pernikahan ini. Yang juga unik dari album SO7 ini, adalah lagu penutup yang benar-benar bernada menutup. Lagu Sampai Jumpa di album Musim Yang Baik ini punya nyawa serupa Selamat Tidur di album Kisah Klasik… dan Saat yang Tepat Tuk Berpisah di 07 Des.
Soal pengemasan album, saya juga harus sematkan pujian khusus. Sebelum kocokan hadiah di acara JDP 7 tadi, saya lagi baca majalah Rolling Stone edisi Januari 2015. Ada wawancara vokalisnya FSTVLST, Farid Stevy Asta, yang juga bikin desain sampul album Musim Yang Baik. Duh saya makin penasaran dan takjub. Unik aja gitu, Sheila On 7 selalu ngajak seniman dari tempat mereka lahir di dua album terakhir buat bikin desain sampul. Album Berlayar, dibuat oleh Wok The Rock, si empunya Yes No Wave Records, netlabel berciri khas musik eksperimental dari Jogja. Di album Berlayar, seniman bernama asli Woto Wibowo itu menghadirkan lagi seni kruistik yang belakangan ini rasanya kurang popular. Nah di album ini, Farid menggambarkan Musim Yang Baik dengan bunga sepatu yang bermekaran. Desain kertas liriknya juga unik. Mereka disebar per lembar. Maka dengan lembaran lirik ini, sebenarnya cover si album juga bisa berubah bergantung ikon lirik mana yang kamu simpan di tumpukan terdepan dan nongol di lingkaran di halaman bungkus si CD. Ini kayak albumnya Escape-nya Endah N Rhesa yang juga bisa ganti, antara yang bernuansa siang, atau nuansa malam.
Akhirul kalam, di daftar putar saya sekarang ini, deretan lagu dari album Musim Yang Baik berjejer bersama lagu-lagu album Destinasi Empat-nya Sentimental Moods dan Profanatik-nya DeadSquad yang baru saya beli. Jadi, tanpa walkman dan kaset pun bisa aja sih kita menikmati sebuah musik per album. Justru inilah saatnya untuk membuat penanda momen baru, dengan cara menikmati yang juga beda. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar