Lebaran baru saja lewat. Beruntunglah mereka yang berkesempatan pulang kampung dan merayakannya bersama keluarga, meski pun perjuangan untuk mencapainya kita tahu tidak gampang. Tahun ini saya ada di barisan orang beruntung itu. Setelah menempuh sekitar sepuluh jam perjalanan, akhirnya sore itu saya tiba di rumah. Dua hari menjelang lebaran jalur mudik lintas selatan sangat padat kendaraan. Saya sampai harus menggunakan pilihan bantuan terakhir: turun di jalan dan minta dijemput bapak saat jarak ke rumah tinggal 15 menitan jika lalu lintas normal. Sesampainya di rumah pun, saya langsung berangkat menghadiri acara buka puasa bersama teman-teman semasa SMP. Reuni. Itulah salah satu nyawa masa lebaran. Ajang kita melupakan sejenak kecemasan masa depan yang tidak pasti, dan menenggelamkan diri dalam sensasi hidup di masa sepuluh tahun lalu. Atau kata Zen RS, bercengkerama dengan teman masa kecil itu upaya menjaga keutuhan masa silam. Memastikan diri tak menyusut dan bertahan dalam bentuknya.
Orang yang saya rasa menjadi cermin sebuah fragmen masa kecil saya yang menyenangkan, adalah Ende. Nama lengkapnya Dede Suryamin, atau Dede Yamin, atau teman-teman SD kami yang lain memanggilnya Baso, karena di namanya ada kata "yamin". Sekitar tahun 1996 saya sekeluarga pindah rumah. Teman bermain saya di tempat baru adalah Ende dan keponakannya, Johan. Mereka tinggal tak jauh dari rumah baru tadi. Saya, Ende dan Johan, serta adik saya kemudian menjadi kawan sepermainan. Ende dan Johan bahkan tak canggung masuk rumah kami. Kalau mau nonton TV, mereka tinggal buka pintu dan langsung bergabung duduk di depan TV. Sejumlah permainan juga kami jajal. Dari membuat saung dari jerami ketika sawah di dekat rumah panen, membuat jebakan di gundukan pasir, menerbangkan layangan, hingga bermain sepak bola. Ende ini bermain sebagai striker. Di tim RT kami dia memegang peran kapten. Pun demikian di luar lapangan. Ia punya wibawa seorang pemimpin. Saya ingat ketika kami kelas 3. Saya kala itu menjadi KM, Ketua Murid. Entah karena apa, saat pulang sekolah beberapa orang teman meneriaki saya "KM balehom", artinya KM yang kurang cakap. Ende-lah yang kemudian hadir jadi pembela saya. Langkah kakinya yang diselingi pose jinjit tertahan. Ia berbalik ke arah kawanan tadi. Saya lalu bilang sudahlah biarkan mereka. Kami kembali melanjutkan pulang. Ende juga bisa dibilang influencer, sosok yang memberi pengaruh kapada yang lain. Suatu ketika obrolan kami diwarnai kisah seru tentang Ende dan Johan yang menaiki gajah di sungai, atau buaya di sana. Bahkan ada motor cross juga yang mereka mainkan di sungai. Bagaimana bisa? Suatu pagi saya diajaknya ke sungai, dan merasakan sensasi berfantasi dengan batu kali yang besar ukurannya bak gajah, badak, atau kuda. Tergantung imajinasi kita mau menjadikan batu itu makhluk apa.
Berimajinasi juga kami terapkan ketika bermain di balai desa, tempat anak-anak menghabiskan sore. Ketika itu rumput jepang hijau terhampar di halamannya. Ujung dedaunannya akan terasa menusuk ketika kita menduduki. Di sanalah surga kami. Sebatang pohon lengkeng berbatang sekepalan tangan menaungi kami yang bermain perang-perangan. Di sebelahnya sebuah pohon beringin rimbun tumbuh tak terlalu tinggi. Dari pohon itu kamu sering bereksperimen dengan ulat dan kepompong yang berkilauan. Pagar balai desa kami anggap sebagai kuda. Bosan bermain khayalan, kami berlatih menendang penalti di atas rumputnya. Ketika bola menghantam kaca, kami panik. Akibatnya, Mang Mumuh datang marah. Bermain bola akhirnya kami lakukan dalam skala lebih kecil. selembar kardus bekas kami potong-potong hingga membentuk 22 potongan yang dilipat membentuk segitiga di atas tegel. Di kedua sisinya kami gambar desain kaos tim klub favorit kami. Nama dan nomor punggung tentu tak lupa disertakan. Saya sangat mengidolakan Juventus kala itu. Lipatan kardus kemudian kami susun sesuai formasi. Sesobek kecil kertas kami mampatkan hingga berbentuk bundar. Itulah bolanya. Kami menendang kertas itu dengan menekan si kardus hingga menghantam bola ke arah gawang. Siapa yang pemainnya berposisi paling dekat dengan bola, ia berhak menendang. Keseruan ragam permainan itu pada akhirnya berakhir dengan asiknya jenis permainan lain: Play Stasion.
Berimajinasi juga kami terapkan ketika bermain di balai desa, tempat anak-anak menghabiskan sore. Ketika itu rumput jepang hijau terhampar di halamannya. Ujung dedaunannya akan terasa menusuk ketika kita menduduki. Di sanalah surga kami. Sebatang pohon lengkeng berbatang sekepalan tangan menaungi kami yang bermain perang-perangan. Di sebelahnya sebuah pohon beringin rimbun tumbuh tak terlalu tinggi. Dari pohon itu kamu sering bereksperimen dengan ulat dan kepompong yang berkilauan. Pagar balai desa kami anggap sebagai kuda. Bosan bermain khayalan, kami berlatih menendang penalti di atas rumputnya. Ketika bola menghantam kaca, kami panik. Akibatnya, Mang Mumuh datang marah. Bermain bola akhirnya kami lakukan dalam skala lebih kecil. selembar kardus bekas kami potong-potong hingga membentuk 22 potongan yang dilipat membentuk segitiga di atas tegel. Di kedua sisinya kami gambar desain kaos tim klub favorit kami. Nama dan nomor punggung tentu tak lupa disertakan. Saya sangat mengidolakan Juventus kala itu. Lipatan kardus kemudian kami susun sesuai formasi. Sesobek kecil kertas kami mampatkan hingga berbentuk bundar. Itulah bolanya. Kami menendang kertas itu dengan menekan si kardus hingga menghantam bola ke arah gawang. Siapa yang pemainnya berposisi paling dekat dengan bola, ia berhak menendang. Keseruan ragam permainan itu pada akhirnya berakhir dengan asiknya jenis permainan lain: Play Stasion.
Play Stasion atau PS meracuni hidup saya sejak kelas 6. Uang jajan saya bertambah demi membiayai hobi baru itu. Tiap pagi di masa senggang sekolah saya duduk berjam-jam di sebuah rental PS beraroma bensin di kawasan Pasar Heubeul Limbangan Garut. Adik saya juga tak kalah kecanduan. Ia tamatkan permainan Harry Potter. Dia ulik trik fatality-brutality-animality di permainan Mortal Kombat. Ende pun tak kalah terlena. Ia bahkan ditawari menjadi penjaga sebuah tempat penyewaan PS. Artinya, kami semakin jarang bertemu untuk sama-sama bermain. Masa SMP pun terlewati. Era SMA terlampaui. Siang hari di hari lebaran kemarin, saya dan adik melewati tempat kami bermain PS dulu. Pemilik pusat permainan itu sudah punya cabang usaha lain: lapangan futsal di depan game center. Di balik kaca lapangan itu, Ende tampak melempar senyum. Kami berbalik dan memarkir motor, menyalami Ende, menanyakan kabarnya, bertanya tentang kenapa kami tak bertemu di masjid ketika Solat Id. Rupanya ia sibuk dengan pekerjaannya. Kami berbincang singkat. Sesekali Ende melirik ponsel di genggaman tangannya. Caranya menyunggingkan senyum, posenya ketika berdiri yang khas, rasanya tak berubah. Pertemuan singkat dengan Ende siang itu membuahkan lamunan tentang masa-masa yang pernah kami alami. Kilasan pertemuan dengan Ende menyiram ingatan masa kecil yang kata Zen RS seperti bunga dalam pot. []
:")
BalasHapus