Selasa, 05 Agustus 2014

Mencicipi Limbangan




Pernahkah kamu merasa setelah berwisata di tempat yang jauh, ternyata sadar bahwa menikmati keindahan daerah sekitar rumah juga sesuatu yang tak kalah menyenangkan? Saya baru mengalami itu. Ada sejumlah tempat di Kecamatan Limbangan yang menyajikan pesonanya tersendiri. Beberapa tempat lain yang saya kunjungi, bernilai karena punya kepingan memori aktivitas di masa lalu. Pagi itu saya, bersama adik pertama saya Rizki, dan Ridwan teman saya semasa TK sampai SMA, mengayun langkah puluhan kilometer memutari sejumlah desa. Bapak saya dan teman semasa kuliahnya dulu juga turut serta dalam perjalanan itu. Merekalah kapten perjalannya. Bagi keduanya, perjalanan itu bagaikan nostalgia. Berikut sekilas penjelasan tentang wisata kami di Limbangan:

06.00
Berangkat dari Kampung Kudang, memutar ke Kampung Berdikari, melewati Alun-Alun Limbangan, berbelok ke arah Monggor, lurus terus menyusuri parit sampai tiba di Pasar Limbangan yang merangkap sebagai terminal. Di sana kami menyantap kupat tahu sebagai menu sarapan. Kurang dari satu jam kemudian, kami tiba di tujuan pertama.

Fajar di sekitar Alun-Alun Limbangan
Garis cahaya di jalan menuju Batu Nungku
7.30
Berjarak tak jauh dari pasar Limbangan, bukit Batu Nungku tak sulit dituju. Kita akan melewati jalan kampung, menyeberangi jembatan kecil, lalu mendaki selama beberapa menit. Sempatkan menengok ke belakang, karena Limbangan terpapar dari ketinggian akan terlihat indah dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Batu Nungku juga bisa jadi tempat berkemah. Kami sempat berpapasan dengan pendaki yang baru pulang setelah tiga malam bersenang-senang di puncak sana dengan gitar dan djembe-nya.

Saat jalan menanjak, sempatkan lihat ke belakang
Limbangan dilihat dari Batu Nungku
Mengabadikan diri
Ya begitulah. Itu saya. Hehe
Gunung Haruman didampingi Gunung Cikuray di sebelah kiri
Gunung Haruman terlihat lebih dekat di perjalanan menuju Batu Nungku
Tampakan sisi lain dari Batu Nungku
Saat beberapa langkah lagi tiba di puncak Batu Nungku, inilah pemandangannya
Pak Jai mendokumentasikan pemandangan dari atas Batu Nungku
Ridwan sedang merenung
Ridwan sedang melamun
Ridwan sedang istirahat di tempat :D
08.30
Di Kampung Cibadak Lebak, kami mampir di rumah Mak Emi, bibi bapak saya. Usianya 75 tahun, tapi masih terlihat sehat. Dengan suara cemprengnya yang khas, ia berbincang tentang banyak hal, kebanyakan nostalgia semasa muda. Kami disuguhi sesisir pisang dingin yang menyegarkan. Mak Emi mengaku senang punya kulkas di rumah panggungnya.
Mengunjungi Mak Emi
09.00
Menyusuri jalan desa Pasir Waru, kami menuju Pasir Astana. Pasir dalam basa sunda, berarti bukit. Sedangkan astana bermakna makam. Di Pasir Astana ada sejumlah makam tokoh penyebar agama islam, diantaranya Mbah Khotib atau masyarakat sekitar menyebutnya Mahketib. Di samping makam Mahketib ada sebuah bangunan kecil yang dihiasi patung Bung Karno. Di bagian atas pintunya yang berukirkan kujang, ada lambang garuda pancasila dan tulisan nama tempat itu: Museum Mini Bung Karno. Sayangnya pintu terkunci dan kami tak bisa masuk.
Sulit mendeskripsikan ini :D
Makam Syekh berlatar Gunung Haruman
Makam Mbah Khotib, salah seorang penyebar ajaran agama Islam di wilayah Limbangan
09.30
Kami melanjutkan perjalanan dengan melewati sungai Cipancar. Menyeberangi sungai itu menjadi pengalaman nostalgis yang menyenangkan. Ketika kecil, saya dan teman-teman tak jarang bermain di sungai dan berimajinasi dengan batu besar di sana. Ada batu yang kami analogikan sebagai gajah, badak, buaya, motor cross, dan sebagainya. Meskipun kali ini cuma mencelupkan kaki dan merasakan dorongan ringan arus sungai, saya sudah cukup puas. Sayangnya beberapa sampah mengotori sungai.
Menyeberangi Cipancar
Berpose ketika menyeberang 
10.00
Setelah melewati pematang sawah dan kebun, kami tiba di Leuwi Bolang. Di sini ada pintu air yang menjadi tempat anak-anak berenang, dulu. Bapak berkisah bahwa dulu ia sering melompat ke sungai dari pintu air setinggi sekitar 5 meter. Saya pernah bersama teman semasa SD berenang di sana, tapi tidak beraksi seekstrim bapak saya dulu. Haha.
Menguji nyali
Pintu air Leuwi Bolang
10.30
Matahari perlahan tidak lagi terasa hangat. Perjalanan kami berlanjut dengan menyusuri persawahan di Kampung Cangkudu. Sesekali langkah kami tersendat ketika bapak menjelaskan suatu tempat.

Menyusuri pinggiran parit di Kampung Cangkudu
Bapak mengenang tempat ini sebagai sungai yang dulunya dihampiri sawah.  
11.00
Setelah sekitar lima jam berjalan kaki, kami tiba di sebuah balong atau kolam milik Pak Jai, teman bapak yang turut serta dalam perjalanan itu. Sambil menikmati belaian angin, kami pun menyantap menu makan siang: nasi merah digabung tahu panas bersama sambal terasi segar plus gorengan dan tumis cap cay. Jeda tak lama, kami pulang ke rumah berjalan kaki lagi dan tiba pada tengah hari.

Dokumentasi serunya perjalanan di atas saya abadikan dalam wujud video. Dua video itu memang minim penjelasan. Namun di salah satu video saya sertakan secuplik sejarah Limbangan seperti tertulis di situs resmi Kabupaten Garut. Enjoy Limbangan!

Tiba di garis finish

2 komentar: