Seorang teman rupanya tersinggung. Ketika itu saya memperbaiki penggunaan kata "kita" dan "kami". Mulanya saya kira tak ada buntut setelah di akhir koreksi saya berkata lirih, "sori". Ternyata setelah sekian hari berlalu dan kami dihadapkan ke satu sumber suara yang sama, ia menyinggung lagi urusan kita-kami. Katanya pembicara di depan saja bilang kita, bukan kami. Saya bilang si pembicara salah. Teman saya lalu tersenyum kecut.
Saya heran kenapa kita dan kami ini jadi sering tertukar begini. Mungkin ini gejala yang sama ketika kata "tuan" dan "nyonya" berganti menjadi "anda" di tahun 50an. Ketika itu Rosihan Anwar memperkenalkan kata ganti orang kedua itu sehingga berkesan setara. Meski mungkin memang benar ini gejala bahasa yang bisa benar-benar terjadi, saya merasa geli sendiri jika terus membiarkan gejala itu menunjukkan bahwa poin ketiga sumpah pemuda sedang memudar. Penggunaan kata kita (aku dan kamu) untuk menggantikan maksud kami (aku dan orang lain, tidak termasuk kamu), adalah proses membahasa inggriskan bahasa indonesia. Dalam bahasa inggris, kami dan kita diwakili satu kata yang sama, "us" atau "we". Lalu saat ini di Indonesia, pernyataan "kami putera-puteri bangsa indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indonesia" sudah kehilangan esensi. Sumpah pemuda malangnya seakan diketok sebatas slogan. Maka dengan ini saya mengajak teman-teman untuk kembali menggunakan kami dan kita sesuai dengan porsinya masing-masing. Kalau kita terus memaklumi kosongnya eksekusi semboyan di Indonesia, sudahlah lebih baik bangsa ini melaju sendiri di atap kereta-kelas-ekonomi tren, tanpa identitas dasar yang menjadi pembatas lintasan. Lupakan bhineka tunggal ika, buang ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani, kasarnya demikian.
Coba teman-teman tengok arti kata "kita" di sumber ini dan ini. Atau arti "kami" di sini dan sini. Terlihat kan bedanya?
Berikut bacaan yang sangat saya rekomendasikan untuk sejawat baca.
Saya heran kenapa kita dan kami ini jadi sering tertukar begini. Mungkin ini gejala yang sama ketika kata "tuan" dan "nyonya" berganti menjadi "anda" di tahun 50an. Ketika itu Rosihan Anwar memperkenalkan kata ganti orang kedua itu sehingga berkesan setara. Meski mungkin memang benar ini gejala bahasa yang bisa benar-benar terjadi, saya merasa geli sendiri jika terus membiarkan gejala itu menunjukkan bahwa poin ketiga sumpah pemuda sedang memudar. Penggunaan kata kita (aku dan kamu) untuk menggantikan maksud kami (aku dan orang lain, tidak termasuk kamu), adalah proses membahasa inggriskan bahasa indonesia. Dalam bahasa inggris, kami dan kita diwakili satu kata yang sama, "us" atau "we". Lalu saat ini di Indonesia, pernyataan "kami putera-puteri bangsa indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indonesia" sudah kehilangan esensi. Sumpah pemuda malangnya seakan diketok sebatas slogan. Maka dengan ini saya mengajak teman-teman untuk kembali menggunakan kami dan kita sesuai dengan porsinya masing-masing. Kalau kita terus memaklumi kosongnya eksekusi semboyan di Indonesia, sudahlah lebih baik bangsa ini melaju sendiri di atap kereta-kelas-ekonomi tren, tanpa identitas dasar yang menjadi pembatas lintasan. Lupakan bhineka tunggal ika, buang ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tut wuri handayani, kasarnya demikian.
Coba teman-teman tengok arti kata "kita" di sumber ini dan ini. Atau arti "kami" di sini dan sini. Terlihat kan bedanya?
Berikut bacaan yang sangat saya rekomendasikan untuk sejawat baca.
“Kita” dan “Kami” pada 2012Sarlito Wirawan Sarwono, PSIKOLOG SOSIALSumber : KOMPAS, 5 Januari 2012Beberapa tahun belakangan saya cemas melihat, mendengar, dan membaca media massa—elektronik atau cetak, juga media sosial—serta percakapan sehari-hari yang mencampuradukkan saja pengertian dan penggunaan kata ”kita” dan ”kami”.Sekarang semua cenderung memakai kata ”kita”, padahal yang dimaksudkan adalah ”kami”. Sepasang selebriti yang sedang pacaran ketika ditanya media infotainment menjawab, ”Yah, kita jalani saja, sekarang kita belum serius.” Menteri menjelaskan kepada wartawan, ”Masalah itu sedang kita proses”; dan presenter stasiun televisi berkata, ”Kita menyiapkan sebuah acara menarik untuk Anda.” Padahal, semua ”kita” itu, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, seharusnya ”kami”.Lebih kaget lagi ketika saya bertanya kepada mahasiswa saya (Psikologi, semester I): apa bedanya ”kita” dan ”kami”? Satu kelas, sekitar 50 mahasiswa, bingung. Salah satu mencoba menjawab, ”Kita itu kalau sedang berdua atau kelompok kecil. Kalau kelompoknya besar: kami.” Yang lain diam seribu bahasa. Gubrak! (bahasa gaul). Hampir pingsan saya. Orang Indonesia sudah tidak bisa lagi membedakan antara ”kita” dan ”kami”.Fuad Hassan, dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1974 (dalam versi bahasa Inggris: Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness, Winoka, 2005), menyatakan bahwa ”kita” dan ”kami” bukan hanya merupakan ciri khas bahasa Indonesia, melainkan punya makna budaya dan cara berpikir bangsa ini. Bahkan, Fuad Hassan membuktikan tesisnya bahwa orang Indonesia menjadi neurosis (stres, depresi, cemas, dan sebagainya) karena kehilangan kemampuannya ber- ”kita” dan hanya bisa ber-”kami” saja.Dalam bahasa Inggris (dan Belanda yang saya pahami sedikit selain Inggris), tidak ada pengertian ”kita”. Yang ada hanya ”kami” (Inggris: we) sebagai jamak dari ”aku” (Inggris: I), sebagai lawan kata dari ”kamu” atau ”kalian” (you). Adapun tentang pihak ketiga, bahasa Indonesia ataupun Inggris sama-sama memilikinya: dia (he/she) untuk tunggal dan mereka (they) untuk jamak.”Kami” yang MeleburAkan tetapi, bahasa Indonesia memiliki ”kita” yang berarti ”aku/kami dan kamu/kalian sebagai bagian dari satu kebersamaan”. Berbeda dari ”kami” yang berarti ”aku bersama teman-temanku atau kelompokku atau kerabatku, sedangkan kamu/kalian bukan bersama aku”.Ketika seseorang ber-”kita”, dia meleburkan dirinya kepada diri-diri orang lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya (ke-”kami”-annya). Kami orang Ambon-Kristen dan kami orang Ambon-Muslim bisa saling berseteru, tetapi bisa saling bersatu, sebagai sesama orang Ambon. Kami orang Ambon, kami orang Jawa, kami orang Sulawesi, bersama menjadi kita bangsa Indonesia. Terjadilah Sumpah Pemuda (1928) yang berujung kemerdekaan Indonesia (1945).Namun sekarang, ketika bangsa ini kembali ke ke-”kami”-an masing-masing (dengan salah sebut sebagai ”kita”), bisa diramalkan akan berkeping-kepinglah jadinya bangsa ini. Kita LSM (kamu pemerintah), kita rakyat (kamu polisi), kita Muslim (kamu Kristen, Syiah, Ahmadiyah), kita Madura (kamu Dayak, Melayu), kita STM anu (kamu SMA itu), dan seterusnya. Ujung-ujungnya bukan NKRI yang jaya dan rakyat sejahtera, melainkan jahit mulut, rakyat ditembak polisi, polisi dibacok rakyat, bom, dan sebagainya. Itulah keadaan bangsa ini pada tahun 2011.Bagaimana 2012? Kita (bukan kami) harus kembali ke semangat ke-”kita”-an untuk mencapai Indonesia bersatu, bersama, damai, sejahtera, dan makin maju. Semua eksponen bangsa harus ber-”kita” bangsa Indonesia untuk selesaikan semua masalah. Dari kasus Mesuji sampai Bank Century, dari pilkada sampai pemilu, dari agama sampai etnik dan politik. Pokoknya semua.Semangat ke-”kita”-an itu ada pada saat seluruh bangsa Indonesia bersorak ketika timnas sepak bola Indonesia mencetak gol ke gawang lawan. Yang Muslim, yang Kristen, yang Papua, yang teroris, yang Golkar, PDI-P, atau Demokrat, semua bersorak: ”Goool...!!!” Tak peduli apakah yang mencetak gol Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Titus Bonai, Andik Vermansyah, atau mungkin juga Markus Haris sekalipun. ●
Untuk memperkaya kasus keganjilan dan koreksi tentang penggunaan bahasa, coba teman-teman buka tautan dari the poskamling ini. isinya jelas, informatif dan menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar