Jumat, 19 November 2010
Senin, 01 November 2010
Kartini Sebuli
Awal dari kebangkitan sebuah masyarakat adalah timbulnya minat pendidikan, sehingga dengannya kualitas sumber daya manusia pun meningkat dan mampu bangkit menuju masa depan yang lebih cerah. Hal demikian terjadi di awal era kebangkitan Indonesia melawan penjajah saat kaum priyayi yang beruntung mengenyam pendidikan kemudian menjadi nahkoda kebangkitan bangsa. Namun dewasa ini, sistem sosial masyarakat, kemauan dan akses terhadap pendidikan masih menjadi PR besar bagi peningkatan daya juang bangsa. Selama menjalankan tugas Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sebuli Kecamatan Kelumpang Tengah Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan, kami menemukan seorang tokoh yang begitu gigih memperjuangkan diri atas tercapainya pendidikan yang layak. Kartini asal desa lingkar tambang itu bernama Nur Ainah.
Diawali dari televisi
Figur-figur hitam-putih itu tampak ceria di dalam balok kaca. Mereka adalah anak-anak yang beruntung mencicipi megahnya karunia pengetahuan melalui pendidikan. Di hadapan satu-satunya televisi sederhana di desa itu, Ainah cilik duduk terpaku. Rentetan adegan yang dilihatnya kemudian menggugah sebuah kemauan yang kuat terpatri dalam hatinya. Ia ingin berpendidikan tinggi seperti mereka, kemudian menjalani karir di sebuah tempat bernama kantor. Namun ternyata tak mudah menyandang cita-cita yang berbeda dengan sebaya. Sebuli adalah sebuah desa yang suasana relijiusnya begitu kental. Kebanyakan orang tua di desa itu berharap agar anaknya menjadi ahli agama, sehingga alternatif pendidikan yang dipilih adalah pendidikan dengan kurikulum yang dominan berbasis Islam. Rintangan pertama yang ia rasakan demi tingkat dan jalur pendidikan yang ia inginkan adalah ejekan lingkungannya yang lebih menghendaki Ainah melanjutkan pendidikan di pesantren selepas SD. Meski demikian, wanita yang kini bersuami kepala Desa Sebuli itu tetap teguh pada pendiriannya. Begitu pula saat hambatan finansial siap menghadang. Tanpa ragu, Ainah menyatakan siap menuntut ilmu ke SMP di ibu kota kecamatan meski dibekali seadanya.
Tekad mengalahkan alasan
Dalam masa studi di SMP itu, Nur Ainah sangat aktif di kelas. Predikat juara selalu melekat padanya. Ia pun aktif sebagai wakil ketua kelas, bahkan wakil ketua OSIS. Anak ketiga dari 6 bersaudara itu begitu gigih dalam perjuangannya. Tak jarang ia terlibat konflik dengan rekan seorganisasinya karena Ainah tak mau bolos meninggalkan kelas akibat aktivitas organisasi. Hal itu dilakukannya agar ia tetap berusaha adil dan bertanggung jawab terhadap kedua tugas itu.
Suatu hari menjelang kelulusannya dari SMP, sang ayah hadir ke rumah kos Ainah. Ayah Ainah menyampaikan kabar bahwa seorang pria telah melamar Ainah, dan jika bersedia, mereka akan dinikahkan selepas Ainah menyelesaikan studi SMP. Ainah spontan menolak lamaran itu, karena ia ingin melanjutkan sekolah. Tiadanya kekuatan finansial keluarga kembali menjadi benteng penghalang cita-cita. Karenanya dengan menikahkan sang anak perempuan tertuanya, setidaknya beban Ayah Ainah yang harus menghidupi 6 orang anak dengan rentang usia yang tak jauh berbeda bisa dibantu. Untuk keperluan sehari-hari saja keluarga petani gurem itu harus berjibaku, apalagi untuk keperluan sekolah yang nominal kebutuhan biayanya tidak kecil. Lagi-lagi Ainah menantang nasib. Ia bersedia dikirimi seadanya dan mencari biaya hidup sendiri saat SMA nanti. Sekali lagi, tekad kuat mengalahkan semua alasan untuk menyerah. Ainah melanjutkan pendidikan SMK di Pulau Laut dengan biaya hidup yang ia peroleh dari berbagai beasiswa dan hadiah berbagai perlombaan yang ia menangkan. Di ibu kota kabupaten itu, bahkan Ainah ditolong sebuah keluarga asal Bandung yang kemudian mengakuinya sebagai anak angkat.
Masa studi di SMK akhirnya usai. Berkat keuletan serta prestasi yang ia peroleh, Ainah ditawari bekerja di sebuah perusahaan kontraktor batu bara di sekitar desanya. Berkat tekad yang dikombinasikan dengan upaya gigih demi cita-citanya, kini gambaran tentang pendidikan tinggi serta pekerjaan kantor yang ia idamkan benar-benar menjadi nyata. Atas pencapaian gemilangnya itu, Ainah telah mampu menyekolahkan adik-adiknya hingga kini mereka turut bekerja di perusahaan tambang batubara PT Arutmin Indonesia.
Melengkapi diri
Pencapaian tekad personalnya telah terpenuhi, saatnya kini Ainah melengkapi separuh jiwanya yang tinggal di hati lain. Seorang pemuda yang saat itu bekerja pada sebuah perusahaan kelapa sawit beruntung menjadi tambatan hati Ainah. Isanol Fauzi nama pria itu. Mereka akhirnya bersatu dalam satu bahtera pernikahan hingga buah hati mereka pun hadir. Padatnya jadwal kerja harian memaksa Ainah terpisah dengan Naufal Anwar, anaknya. Naufal sering dititipkan di rumah neneknya sementara kedua orang tuanya bekerja. Terkadang saking padatnya jadwal kerja, Ainah baru bisa menemui anaknya setelah seminggu berpisah. Sadar akan pentingnya peran ibu dalam tumbuh kembang anaknya, Ainah memutuskan berhenti dari pekerjaannya setelah 10 tahun menggantungkan pendapatan pada perusahaan itu.
Pasca angkat koper dari tempat kerjanya, Ainah tak hanya kehilangan sumber pendapatan. Akurasi penglihatannya pun turut menurun akibat intensitas interaksi mata dan radiasi layar komputer yang tinggi saat bekerja dulu, akibatnya kini lensa tebal melapisi mata visioner sang kartini. Tak hanya itu, Ainah pun kerap merasakan nyeri di kepalanya. Ekses lain dari durasi kerja yang fantastis adalah vertigo yang juga harus ia hadapi. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk bisa sembuh dari sakitnya. Selain karena ia tak lagi bekerja, suaminya pun belum memiliki pekerjaan tetap selepas kontrak kerja di perusahaannya jatuh tempo. Meski berbagai keterbatasan menghadang, Ainah selalu mengupayakan diri meluangkan waktu bagi anaknya. Tiap pagi ia mengantar anaknya sekolah. Tiap malam anaknya dibantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Kesuksesan Naufal Anwar sepertinya telah menjadi prioritas baru Ainah.
Arti kehadiran kami
Membajanya tekad Ainah hingga mimpi pendidikan tingginya menjadi nyata tak lepas dari stimulus yang ia lihat di televisi. Meski saat itu akses terhadap televisi tidak semudah sekarang, namun muatan yang terkandung di dalamnya tepat dan menginspirasi. Agar generasi muda Desa Sebuli juga termotivasi untuk terus menuntut ilmu, maka mereka perlu mencontoh sebuah model yang bisa diikuti jejaknya. Semoga dengan kehadiran kami di Desa Sebuli, banyak anak yang terangsang untuk menuntut ilmu hingga jenjang tertinggi dan berjuang untuk mewujudkan cita-citanya.
Diawali dari televisi
Figur-figur hitam-putih itu tampak ceria di dalam balok kaca. Mereka adalah anak-anak yang beruntung mencicipi megahnya karunia pengetahuan melalui pendidikan. Di hadapan satu-satunya televisi sederhana di desa itu, Ainah cilik duduk terpaku. Rentetan adegan yang dilihatnya kemudian menggugah sebuah kemauan yang kuat terpatri dalam hatinya. Ia ingin berpendidikan tinggi seperti mereka, kemudian menjalani karir di sebuah tempat bernama kantor. Namun ternyata tak mudah menyandang cita-cita yang berbeda dengan sebaya. Sebuli adalah sebuah desa yang suasana relijiusnya begitu kental. Kebanyakan orang tua di desa itu berharap agar anaknya menjadi ahli agama, sehingga alternatif pendidikan yang dipilih adalah pendidikan dengan kurikulum yang dominan berbasis Islam. Rintangan pertama yang ia rasakan demi tingkat dan jalur pendidikan yang ia inginkan adalah ejekan lingkungannya yang lebih menghendaki Ainah melanjutkan pendidikan di pesantren selepas SD. Meski demikian, wanita yang kini bersuami kepala Desa Sebuli itu tetap teguh pada pendiriannya. Begitu pula saat hambatan finansial siap menghadang. Tanpa ragu, Ainah menyatakan siap menuntut ilmu ke SMP di ibu kota kecamatan meski dibekali seadanya.
Tekad mengalahkan alasan
Dalam masa studi di SMP itu, Nur Ainah sangat aktif di kelas. Predikat juara selalu melekat padanya. Ia pun aktif sebagai wakil ketua kelas, bahkan wakil ketua OSIS. Anak ketiga dari 6 bersaudara itu begitu gigih dalam perjuangannya. Tak jarang ia terlibat konflik dengan rekan seorganisasinya karena Ainah tak mau bolos meninggalkan kelas akibat aktivitas organisasi. Hal itu dilakukannya agar ia tetap berusaha adil dan bertanggung jawab terhadap kedua tugas itu.
Suatu hari menjelang kelulusannya dari SMP, sang ayah hadir ke rumah kos Ainah. Ayah Ainah menyampaikan kabar bahwa seorang pria telah melamar Ainah, dan jika bersedia, mereka akan dinikahkan selepas Ainah menyelesaikan studi SMP. Ainah spontan menolak lamaran itu, karena ia ingin melanjutkan sekolah. Tiadanya kekuatan finansial keluarga kembali menjadi benteng penghalang cita-cita. Karenanya dengan menikahkan sang anak perempuan tertuanya, setidaknya beban Ayah Ainah yang harus menghidupi 6 orang anak dengan rentang usia yang tak jauh berbeda bisa dibantu. Untuk keperluan sehari-hari saja keluarga petani gurem itu harus berjibaku, apalagi untuk keperluan sekolah yang nominal kebutuhan biayanya tidak kecil. Lagi-lagi Ainah menantang nasib. Ia bersedia dikirimi seadanya dan mencari biaya hidup sendiri saat SMA nanti. Sekali lagi, tekad kuat mengalahkan semua alasan untuk menyerah. Ainah melanjutkan pendidikan SMK di Pulau Laut dengan biaya hidup yang ia peroleh dari berbagai beasiswa dan hadiah berbagai perlombaan yang ia menangkan. Di ibu kota kabupaten itu, bahkan Ainah ditolong sebuah keluarga asal Bandung yang kemudian mengakuinya sebagai anak angkat.
Masa studi di SMK akhirnya usai. Berkat keuletan serta prestasi yang ia peroleh, Ainah ditawari bekerja di sebuah perusahaan kontraktor batu bara di sekitar desanya. Berkat tekad yang dikombinasikan dengan upaya gigih demi cita-citanya, kini gambaran tentang pendidikan tinggi serta pekerjaan kantor yang ia idamkan benar-benar menjadi nyata. Atas pencapaian gemilangnya itu, Ainah telah mampu menyekolahkan adik-adiknya hingga kini mereka turut bekerja di perusahaan tambang batubara PT Arutmin Indonesia.
Melengkapi diri
Pencapaian tekad personalnya telah terpenuhi, saatnya kini Ainah melengkapi separuh jiwanya yang tinggal di hati lain. Seorang pemuda yang saat itu bekerja pada sebuah perusahaan kelapa sawit beruntung menjadi tambatan hati Ainah. Isanol Fauzi nama pria itu. Mereka akhirnya bersatu dalam satu bahtera pernikahan hingga buah hati mereka pun hadir. Padatnya jadwal kerja harian memaksa Ainah terpisah dengan Naufal Anwar, anaknya. Naufal sering dititipkan di rumah neneknya sementara kedua orang tuanya bekerja. Terkadang saking padatnya jadwal kerja, Ainah baru bisa menemui anaknya setelah seminggu berpisah. Sadar akan pentingnya peran ibu dalam tumbuh kembang anaknya, Ainah memutuskan berhenti dari pekerjaannya setelah 10 tahun menggantungkan pendapatan pada perusahaan itu.
Pasca angkat koper dari tempat kerjanya, Ainah tak hanya kehilangan sumber pendapatan. Akurasi penglihatannya pun turut menurun akibat intensitas interaksi mata dan radiasi layar komputer yang tinggi saat bekerja dulu, akibatnya kini lensa tebal melapisi mata visioner sang kartini. Tak hanya itu, Ainah pun kerap merasakan nyeri di kepalanya. Ekses lain dari durasi kerja yang fantastis adalah vertigo yang juga harus ia hadapi. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk bisa sembuh dari sakitnya. Selain karena ia tak lagi bekerja, suaminya pun belum memiliki pekerjaan tetap selepas kontrak kerja di perusahaannya jatuh tempo. Meski berbagai keterbatasan menghadang, Ainah selalu mengupayakan diri meluangkan waktu bagi anaknya. Tiap pagi ia mengantar anaknya sekolah. Tiap malam anaknya dibantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Kesuksesan Naufal Anwar sepertinya telah menjadi prioritas baru Ainah.
Arti kehadiran kami
Membajanya tekad Ainah hingga mimpi pendidikan tingginya menjadi nyata tak lepas dari stimulus yang ia lihat di televisi. Meski saat itu akses terhadap televisi tidak semudah sekarang, namun muatan yang terkandung di dalamnya tepat dan menginspirasi. Agar generasi muda Desa Sebuli juga termotivasi untuk terus menuntut ilmu, maka mereka perlu mencontoh sebuah model yang bisa diikuti jejaknya. Semoga dengan kehadiran kami di Desa Sebuli, banyak anak yang terangsang untuk menuntut ilmu hingga jenjang tertinggi dan berjuang untuk mewujudkan cita-citanya.
Langganan:
Postingan (Atom)